"Tapi apa Mas?" Tsabi yang penasaran langsung mencicipinya. Tidak ada masalah, rasanya juga cukup enak. Namun, ia sedikit eneg ketika mendapati isian bawang bombainya."Hehehe. Seharusnya kamu bikin lebih banyak lagi. Aku suka, kalau ukurannya kecil gini kurang sayang.""Ish ... bikin worry saja. Habisin semuanya Mas, aku kenyang.""Kapan kamu makan?" Sedari bangun Shaka belum melihat istrinya mengisi perutnya."Lihatin kamu udah kenyang. Aku belum lapar, udah minum susu tadi," jawab Tsabi benar adanya."Sini aku suapin," ujar pria itu membagi sisa gigitannya.Sebenarnya Tsabi agak mual dengan bawang bombay, tetapi isian itu kurang menarik tanpa umbi satu itu.Tsabi baru mengunyah beberapa suapan, tetapi dia merasa semakin eneg. Wanita itu langsung beranjak dari kursi seraya menutup mulutnya.Shaka yang melihat itu langsung berdiri menyusul. Paling tidak bisa melihat istrinya dalam kesusahan."Sayang, maaf, kamu beneran mual?" ucap pria itu iba. Kasihan sekali melihat Tsabi yang menda
"Hentikan!" Suara lantang itu terdengar cukup nyaring menggema di ruangan. Mencuri semua atensi orang yang hadir. Mempelai pria yang tengah menjabat tangan Pak Ustadz ikut menoleh hampir bersamaan. Siapakah pria di ujung sana yang berani-beraninya menyela acara penting mereka. Tsabi yang duduk di bilik berbeda tengah tertunduk doa khusuk ikut mendongak dengan rasa ingin tahu. Seorang laki-laki berpenampilan luwes tiba-tiba muncul di saat detik-detik acara sakral hendak dimulai. Mengejutkan sekaligus menghebohkan semua yang hadir. Pria misterius itu berjalan tertata dengan sekawanan bodyguard di belakangnya. "Anda siapa? Ada urusan apa?" tanya Pak Ustadz menjeda aktivitasnya. Pria itu bernama Arshaka Keenandra yang secara terang benderang menghadap Pak Kyai mengungkapkan pernyataan yang cukup mencengangkan. Bahkan membuat geger dan Pak Kyai sekeluarga syok.Bagaimana tidak, Arshaka Keenandra adalah seorang keturunan blasteran eropa yang berdomisili di ibu kota dengan segudang prest
"Ini kertas apa, ini bukan punya saya," tolak Tsabi jelas tidak mengakuinya. Dari mana asalnya saja Tsabi tidak paham. "Kamu boleh menyangkalnya, tapi kehamilan kamu tidak bisa dicegah," kata Shaka tenang. "Tidak mungkin, bagaimana bisa aku hamil. Sedang mengenalmu saja tidak," pekik Tsabi murka. "Benar, ummi juga tidak percaya Tsabi hamil. Bisa saja kan orang ini fitnah," sela Ummi juga tidak percaya. "Kenapa tidak Anda buktikan saja pada putrimu, biar jelas semuanya," kata Shaka memberi solusi. Pria itu sudah mempunyai cukup banyak bukti yang valid. Bahkan membuktikan sendiri dengan jelas. Ummi langsung menatap Tsabi dengan penuh selidik. Dia tidak mau percaya dengan pria misterius di depannya. Namun, untuk menyakinkan dirinya, tidak ada salahnya juga membuktikan sendiri. "Tidak mungkin Ummi, jelas Tsabi tidak pernah bercampur dengan pria mana pun. Aku mohon Ummi dan Abi percaya," kata Tsabi menggeleng resah. Suasana menjadi semakin tidak kondusif. Jika memang benar, putrinya
Tsabi bertanya dengan bingung, sementara Amena uring-uringan. Gadis kecil itu tidak mau menikah, sementara keinginan dari Ustadz Zubair susah untuk ditolak mengingat itu kesalahan dari putrinya yang telah melanggar marwah sebagai muslimah."Ummi, kenapa Amena bilang mau dinikahkan dengan Iqbal?" tanya Tsabi belum juga paham. Hatinya hancur seketika mengetahui hal ini. "Iya, seharusnya ummi dan Abi yang bertanya padamu, bagaimana bisa kamu tidak bisa menjaga diri sebelum menikah. Kamu harus menikah dengan calon bapak dari anak yang kamu kandung!" tandas Ummi Shali emosi.Tsabi terdiam, tidak punya pilihan lebih tepatnya, sungguh ujian ini terlalu berat gadis itu rasa. Dia tidak pernah melakukan perbuatan terhina itu, jadi tidak mungkin tiba-tiba hamil begitu saja. Pasti ada sesuatu yang Tsabi sendiri tidak paham dengan apa yang terjadi pada dirinya. Sangat tidak mungkin hamil tanpa tersentuh. Suasana ruangan menjadi tidak kondusif. Semua orang di luar sana mulai kasak-kusuk dan berta
"Calon suami kamu," jawab Shaka dengan percaya diri. Tersenyum manis menatapnya lekat."Calon suami? Sebenarnya apa maumu, kenapa saya bisa ada di sini?" tanya Tsabi langsung turun dari ranjang memberi jarak. Menatap sekitar yang terasa asing."Tentu saja tidak becanda, sebelum pagi aku akan mengantarmu, ayo pulang! Kedua orang tuamu cemas," ujar Shaka sudah siap mengganti pakaian tidurnya.Tsabi baru ingat kalau dirinya malam tadi hendak kabur dari rumah daripada dinikahkan dengan pria yang tidak dikenal. Terlebih mengaku-ngaku tentang kehamilannya yang Tsabi sendiri masih belum yakin kalau dirinya hamil."Nggak, Anda harus menjelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi? Maksud Anda apa? Kenapa memfitnah aku, tolong jelaskan sebelum pernikahan besok dimulai atau aku tidak akan pernah mau datang besok!" ancam Tsabi menatap waspada."Kamu mengancamku? Tenangkan dirimu, setelah kita menikah,akan kujelaskan semuanya. Bersiaplah ... besok kita akan menikah.""Konyol, bagaimana mungkin kit
Tsabi terpekur di kamar pengantin dengan harap-harap cemas. Gadis itu duduk sembari memanjatkan doa kebaikan untuk pernikahannya. Walaupun pernikahan itu tidak diharapkan, ia tetap berharap ada keajaiban yang membawanya dalam kedamaian.Orang-orang tengah sibuk mempersiapkan acara inti. Ijab qobul yang sebentar lagi akan diikrarkan oleh kedua pria berbeda profesi itu.Shaka yang pagi itu didampingi orang-orang pentingnya, sudah siap di depan meja akad. Begitupun dengan Iqbal, menatap dingin pria di sampingnya yang telah merampas calon istrinya hingga berakhir harus menikahi bocah. Andai saja ada kesempatan mengobrol antara dirinya Tsabi, Iqbal akan mempertimbangkannya mengingat dirinya sudah lebih dulu menaruh harapan dan jatuh hati pada putri sulung Pak Kiai."Astaghfirullah ...," batin Iqbal memfokuskan diri. Lebih kepada berserah atas takdir di luar ekspektasi ini.Baik Iqbal dan juga Shaka sama-sama mempersiapkan performa terbaik mereka di hadapan para saksi dan semua orang yang da
"Kemasi pakaianmu Tsabi, atau kamu tidak akan membawa apa pun dari sini?" bisik pria itu tepat di dekat telinganya. Hembusan napasnya hangat menyapu pipi, membuat bulu kuduk Tsabi meremang seketika. Gadis itu menoleh dengan wajah memanas dan tubuh deg degan. Takut sekali kalau tiba-tiba suami dadakannya itu mengambil haknya dengan paksa. Pergerakannya yang tiba-tiba benar-benar hampir membuatnya jantungan. "Aku sedang menunggumu, bisa bergerak sekarang?" ucap Shaka gemas lama-lama melihat Tsabi hanya diam. "Aku mau pamit dulu dengan abi dan ummi," ucap Tsabi melangkah keluar dari kamar. Jantung masih berdetak tak beraturan. Biar bagaimanapun dirinya seorang perempuan normal, didekati pria berstatus halal tentu membuatnya berpikir macam-macam. Shaka menghela napas kasar. Baginya waktunya sangat berharga. Dia adalah orang yang hampir tidak pernah sabar menunggu, mengapa berurusan dengan perempuan itu membuatnya seperti tertahan dengan waktu. Kesal, membuat pria itu tak tahan lalu ik
"Tolong ambilkan aku handuk, dan siapkan gantinya," pinta Shaka setengah berbisik. Rasanya jantung Tsabi seperti berhenti berdetak dan mau lompat dari tempatnya, bulu kuduknya merinding semua saat sapuan hangat napas suaminya menyerbu pipi. Tsabi bahkan hanya mampu mengangguk tanpa kata. Pria itu menarik diri memberi jarak, beranjak tanpa dosa. Masuk ke kamar mandi begitu saja. "Huh ... astaghfirullah ...," ucap Tsabi langsung beristighfar begitu punggung suaminya menghilang dibalik pintu. Merasa begitu lega sejenak. "Handuk? Di mana handuk?" Tsabi masuk ke ruang ganti. Mencari-cari kain yang diminta suami misteriusnya itu. Jelas kesulitan mengingat dia belum tahu betul letak barang-barang di rumah ini. Ia pun membuka satu persatu lemari yang memungkinkan kain itu ada di sana. "Di mana sih!" Tsabi menggerutu kesal terus mencari. Ia menemukan setumpukan handuk bersih yang tertata rapih. Langsung menarik satu dari lipatan. Membawanya keluar, dan setelahnya bingung cara memberikan pad
"Tapi apa Mas?" Tsabi yang penasaran langsung mencicipinya. Tidak ada masalah, rasanya juga cukup enak. Namun, ia sedikit eneg ketika mendapati isian bawang bombainya."Hehehe. Seharusnya kamu bikin lebih banyak lagi. Aku suka, kalau ukurannya kecil gini kurang sayang.""Ish ... bikin worry saja. Habisin semuanya Mas, aku kenyang.""Kapan kamu makan?" Sedari bangun Shaka belum melihat istrinya mengisi perutnya."Lihatin kamu udah kenyang. Aku belum lapar, udah minum susu tadi," jawab Tsabi benar adanya."Sini aku suapin," ujar pria itu membagi sisa gigitannya.Sebenarnya Tsabi agak mual dengan bawang bombay, tetapi isian itu kurang menarik tanpa umbi satu itu.Tsabi baru mengunyah beberapa suapan, tetapi dia merasa semakin eneg. Wanita itu langsung beranjak dari kursi seraya menutup mulutnya.Shaka yang melihat itu langsung berdiri menyusul. Paling tidak bisa melihat istrinya dalam kesusahan."Sayang, maaf, kamu beneran mual?" ucap pria itu iba. Kasihan sekali melihat Tsabi yang menda
"Kamu juga capek kan Mas, kenapa mijitin?" tanya wanita itu sembari menyender di kepala ranjang. "Lelahku hilang saat melihat senyum kamu sayang," ujar Shaka jujur. Sedamai itu ketika menatap wajahnya yang teduh. Selalu menenangkan. "Bisa aja kamu Mas," jawab Tsabi tersenyum. Ditemani gini saja sudah mengembalikan moodnya. Apalagi dipijitin begini, sungguh Mas Shaka suami yang romantis dan pengertian. Perlahan netra itu mulai berat. Seiring sentuhan lembut yang mendamaikan. Tsabi terlelap begitu saja. Melihat itu, Shaka baru menyudahi pijitanya, dia membenahi posisi tidur istrinya agar lebih nyaman. Sebenarnya ada hasrat rindu yang menggebu, apalagi memang pria itu sudah beberapa hari tak berkunjung. Namun, nampaknya waktu dan keadaan kurang memberikan kesempatan. Tsabi juga terlihat lelah akibat aktivitas seharian di luar. Shaka akan menundanya besok sampai waktu memungkinkan. Agar keduanya sama-sama nyaman. Terutama Tsabi yang saat ini tengah hamil muda. Kadang moodian. Shaka h
"Nggak jadi aja ya, perasaan aku nggak enak," kata Shaka yang sebenarnya takut kalau nanti istrinya bakalan sakit hati lagi. "Kenapa, kalau dia nggak mau ketemu sama aku, mungkin mau dijengukin kamu. Kita bisa bawakan makanan kesukaan Angel dan mukena. Aku yakin dia mau berubah. Kita tidak boleh memusuhinya Mas.""Kenapa sih kamu jadi orang baik banget. Dia udah jahat banget loh sama kamu, sama keluarga kita. Wajar kan kalau pada akhirnya aku nggak respect.""Sangat wajar, itu namanya naluriah. Ketika seseorang disakiti terus membalas. Aku cuma mau kasih ini Mas, mana tahu dia bisa terketuk hatinya untuk melakukan kebaikan.""Oke, nanti aku antar," ucap Shaka pada akhirnya. Mereka benar-benar mengunjungi Angel yang saat ini dalam tahanan. Akibat perbuatannya, Angel harus menerima sanksi berat. Mendapatkan kurungan yang tak sebentar. Karena mencoba melakukan penganiayaan dan juga pembunuhan."Ngapain kalian ke sini? Puas lihat aku di sini seperti ini," sentak Angel menatap sinis pasu
Sepekan telah berlalu, tapi kesedihan nampaknya masih membekas di hati Shaka. Suasana hatinya beberapa hari ini sedang tidak baik-baik saja. Beruntung Tsabi adalah istri yang begitu perhatian dan pengertian. Wanita itu sangat sabar menemani suaminya yang dalam suasana duka.Hari ini pria itu sudah mulai beraktivitas kembali seperti biasanya. Toko dan bengkelnya juga sudah mulai dibuka kembali. Setelah sepekan tutup total karena dalam suasana berkabung. Ibunya memang belum meninggalkan banyak kenangan manis dengannya. Namun, sebagai seorang anak pasti sangat kehilangan ditinggalkan orang yang telah melahirkannya untuk selamanya. "Mas, ini ganti kamu hari ini," ujar Tsabi menyiapkan pakaian ganti suaminya. Walaupun beraktivitas di samping rumahnya, tentu Tsabi tak pernah lupa mengurusi pakaian suaminya juga untuk kesehariannya. Santai, tapi bersih dan tertata. "Makasih sayang," jawab Shaka memakainya begitu saja di depan istrinya. Sudah tidak tabu lagi. Bahkan menjadi pemandangan men
Tepat pukul lima sore hari Nyonya Jesy menghembuskan napasnya yang terakhir. Shaka sangat terpukul dengan kepergian ibunya. Pria itu tersedu sembari membacakan ayat-ayat suci di dekat ibunya. Tsabi mengusap lembut punggung Shaka setelah menyelesaikan surat yasin menutup doa ibu mertuanya. "Yang ikhlas Mas, biar mommy tenang," ucap Tsabi menguatkan. Dia tahu ini berat, hanya doa terbaik untuk almarhum mommy yang sekarang bisa ia lakukan. Wanita itu langsung menghubungi keluarganya. Ummi Shali, Ustadz Aka, dan Khalif serta beberapa orang abdi dalem langsung bertolak ke rumah sakit. Tentu saja untuk mengurus kepulangan dan juga pemakamannya. Beberapa orang lainnya nampak sudah bersiap menunggu jenazah pulang ke rumah duka. Suasana mengharu biru saat jenazah itu tiba dan hendak disholatkan. Ustadz Aka sendiri yang mengimaminya. Berhubung waktu belum terlalu malam, almarhum langsung dikuburkan malam itu juga. Tepatnya setelah sholat maghrib. Semuanya seakan berjalan begitu cepat. Padah
"Tsabi, apa yang terjadi sayang?" Ummi Shali dan suaminya langsung bertolak ke rumah menantunya begitu mendapatkan kabar dari Shaka. "Zayba jatuh Ummi, dia sepertinya sangat kaget," jelas Tsabi mengingat bocah kecil itu terlepas dari troli. Salah satu karyawan toko yang menggendongnya dan langsung mengamankan bayi itu. "Astaghfirullah ... Mas, cucuku gimana ini. Kita bawa ke tukang pijat.""Kenapa bisa sampai seteledor itu menjaga anak kecil. Bukankah kamu di rumah?""Tsabi tidak enak badan abi, tadi habis periksa. Aku nitip ke mommy, tapi malah ada musibah begini.""Kamu sakit?" tanya Ummi Shali menatap dengan serius. "Sakit, tapi sebenarnya—" Tsabi terdiam, agak ragu berkata jujur saat ini. Namun, bukankah kabar baik itu harus berbagi. "Sebenarnya apa?" tanya Abi Aka giliran yang menatapnya. "Zayba mau punya adik, Ummi," kata Tsabi malu dan ragu membagi kabar bahagia tersebut. "Kamu hamil lagi?" tanya Ummi cukup kaget. Baby Zayba belum genap satu tahun sudah mau punya bayi. Ba
"Ide menarik, boleh dicoba kalau nanti gagal.""Maaf ya, belum bisa bahagiakan kamu," ucap Shaka tiba-tiba. Baru saja mau bangkit, sepertinya ada saja halangannya. "Aku nggak ngerasa gitu kok, maaf juga kalau masih banyak mengeluh selama jadi istri kamu." Tsabi mencoba menerima dan bersabar dengan ujian yang datang dari keluarga Shaka. Dia juga harus bisa menerima keluarganya juga bukan. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Hampir satu purnama Angel menumpang di rumah mereka. Semua Tsabi lalui dengan tidak mudah. Karena wanita itu sering berulah dengan sengaja. Beruntung Shaka yang pengertian memperlakukan Tsabi dengan penuh perhatian. "Sayang, kamu pucet sakit?" tanya Shaka memperhatikan istrinya yang sepertinya kurang enak badan. "Agak pusing Mas, perlu minum obat kayaknya." Beruntung ini hari libur, jadi Tsabi tidak harus berangkat mengajar. "Ya sudah tiduran saja, mumpung libur juga. Tidak usah mengerjakan apa pun. Zayba hari ini full sama abi.""Makasih Mas," jawab
"Nggak bisa Mas, aku kan kemarin sudah izin. Kamu sarapan dulu ya, terus minum obat. Nanti biar Zayba sama Mbok Tini. Kemarin juga seharian sama Mbok Tini."Shaka yang tengah rebahan meraih pinggang istrinya agar duduk makin dekat. Pria itu memposisikan kepalanya tepat di pangkuan istrinya dengan manja. "Obatnya kamu," katanya sembari menenggelamkan wajahnya ke perut Tsabi. Tangan kanannya memeluk erat. Seolah tidak mengizinkan wanita itu untuk beranjak dari sisinya."Aku bikinin sarapan ya, terus minum obat.""Pingin sarapan kamu, yank, aku tidak semangat," kata pria itu mode rewel. Bisa begini juga ternyata cowok yang super dominan itum"Dih ... aku belum bersih lah. Tapi udah mau sembuh kok. Kamu kenapa jadi manja gini sih Mas. Nanti aku kabari kalau udah selesai.""Kangen, namanya juga kangen ya gini. Kamu cuek banget dari kemarin."Repot kalau suaminya mode rewel. Sakit sedikit manjanya ngalahin bayi. Tsabi tidak leluasa bergerak sama sekali. Tiba-tiba Zayba juga merengek. Tsab
"Kamu ngapain sih Mas ngikutin mulu, tidur sana!" omel Tsabi melihat suaminya mengekor dirinya. "Ya itu Zayba rewel, mana tahu kamu butuh bantuan.""Nggak, aku pikir kamu malah nggak ingat pulang," jawabnya ketus. Efek lelah dan juga tubuhnya sedikit tidak enak badan, membuat Tsabi sewot sendiri. "Kok ngomongnya gitu, aku pasti pulang lah. Ya walaupun akhirnya malam. Maaf, tadi ikut ngaji dulu.""Ya nggak pa-pa kan, aku juga nggak pernah ngelarang juga. Kamu mau ngapain aja terserah kamu. Lagian ada Khalif kok yang bisa bantuin ke mana-mana.""Memangnya tadi ke mana? Kamu nggak telpon kan?""Seharusnya kamu ingat memberi kabar. Bukannya nungguin aku hubungi kamu. Memangnya aku sempat apa telpan telpon terus Zayba sakit begini.""Zayba masih sakit?" Tsabi tidak menjawab, melainkan menatapnya dengan merotasi matanya jengah. Bukankah pria itu tahu tadi pagi juga Tsabi sudah mengeluh kalau bayinya sakit. Apa seorang pria tidak sepeka itu. Perempuan itu kembali masuk ke kamar seraya me