"Zayba sudah bobok? Digendong saja, pulang sayang," ujar Shaka mengkode istrinya. "Iya Mas, bentar." Tsabi menuju kamar ibunya. Baby Zayba bobok di kamar utinya. "Ummi, Tsabi mau pulang, maaf jadi ngerepotin sampai malam," ujar perempuan itu menemuinya ke kamar. "Kenapa nggak nginep saja Tsa, kasihan Zayba lagi lelap," kata Ummi menyayangkan. Cucunya seperti anak bontot, sudah sehati, saat mau kembali, Ummi mendadak kesepian. "Besok-besok main lagi ummi, sekarang pulang dulu," kata Tsabi pamit. Perempuan itu menggendong Zayba yang masih lelap. Pamit dengan orang-orang rumah. "Hati-hati di jalan sayang, kalau perlu bantuan ummi buat jagain Zayba, jangan sungkan. Ummi banyak waktu," katanya berpesan. Tsabi mengangguk mengiyakan, tak lupa memberikan buah tangan yang tadi sempat dibeli Shaka. Keduanya pulang cukup malam. "Kangen banget sama bayi mungilnya abi." Shaka mencium lebih dulu bayi mungil dalam gendongan istrinya sebelum menyalakan mesin mobil. "Ish ... jangan digemesin M
"Mas, Zayba rewel." Tsabi memberi jarak, dia tidak berkonsentrasi menikmati sentuhan Shaka yang baru saja dimulai. Pikirannya makin buyar kala rengekan itu semakin jelas tertangkap rungunya. Pria itu pun spontan menghentikan kegiatan nakalnya. Agak tidak rela saat Tsabi beringsut turun meninggalkannya. Namun, baby Zayba yang menangis membuat Tsabi cepat-cepat melangkah. Shaka mengekor istrinya ke kamar utama. Benar saja, Zayba terbangun. Bayi mungil itu menangis begitu saja. Tsabi langsung menggendongnya, belum lama Zayba baru saja minum ASI tentu masih kenyang. Rupanya bayi comelnya perlu diganti pampersnya. Dia merasa risih sebab pup. Membuat Tsabi buru-buru menurunkan Zayba dan membersihkannya agar bayi mungil itu kembali merasa nyaman. "Pantesan rewel, kamu nggak nyaman sih," kata Tsabi sembari mengganti diapersnya. Baby Zayba langsung terdiam begitu diganti dengan yang bersih. Rupanya memang merasa tidak nyaman, jadi protes. Sementara Shaka masih menunggunya, mengamati kedua
"Gimana? harus jujur, nggak boleh bohong?" tanya Tsabi begitu Shaka mencicipi hasil masakannya. "Enak kok, jujur, kamu makin pintar saja memanjakan perut suami," jawabnya sembari mengunyah. "Kalau suka, besok aku masak lagi. Atau kalau nggak, Mas bisa request makanan kesukaan Mas biar aku masakin.""Aku pasti makan masakan kamu sayang," kata Shaka benar adanya. "Mas, minggu depan cutiku habis. Aku sudah mulai mengajar lagi. Zayba gimana ya? Aku titip di ummi nggak pa-pa? Atau cari orang buat ngasuh Zayba. Pagi sampai sore saja, setelah aku pulang, aku urus sendiri.""Emang harus berangkat lagi ya." Shaka agak kurang suka kalau istrinya bekerja. Terlebih baby Zayba butuh pengasuhan ibunya. Namun, ia juga tidak semata-mata melarangnya. Biar bagaimanapun, pekerjaan Tsabi menyangkut orang banyak dan mengenai tanggung jawabnya. "Iya Mas, kan cuma cuti tiga bulan. Kamu ngebolehin kan?""Biar Zayba sama aku saja. Nanti sambil jagain toko, aku bisa kok," jawab Shaka spontan membuat Tsabi t
Tsabi membawa dua teh hangat untuk kedua tamu yang sekarang sudah beranjak ke ruang tamu. "Silahkan Tante," ucap Tsabi sopan. Walau ada perasaan kesal, tetap saja dua harus menghormati ibunya Shaka. "Makasih sayang," ucap Shaka sebelum Tsabi beranjak. Perempuan itu sekaligus membawa Zayba ke dalam. Tidak ingin terlibat obrolan apa pun dengan anak dan juga ibu itu. Walau hatinya kepo. Berusaha menahan diri untuk ranah yang bukan urusannya. "Silahkan diminum Mom," ujar Shaka mempersilahkan ibunya. Jangankan mencicipi buatan Tsabi, minat pun tidak. Kedatangannya tidak untuk berbasa-basi, dia tetap ingin meminta putranya kembali. Bahkan dengan iming-iming kekayaan yang fantastis. Namun, sayangnya Shaka saat ini tidak tergiur materi, apalagi gila jabatan yang membuat dirinya haus kekuasaan. Mungkin dia akan disanjung di depan semua orang karena kekuasaannya yang dimiliki. Namun, dia tidak tertarik sama sekali untuk menjadi seperti dulu. . "Ya ampun Shaka, kamu itu jangan keras kepala.
"Aku mau sendiri," kata Tsabi memberi jarak. Beringsut memutar tubuhnya menjauh dari Shaka sembari menyusut sudut matanya yang basah. Tidak menyalahkan Shaka, hanya saja sedang tidak ingin ditemani. Pria itu tertegun, bingung hendak melakukan apa. Dia juga tak kunjung beranjak dari kamar. Mau menggendong Zayba, nampaknya tengah minum ASI pada ibunya. "Oke, Mas di depan ya, kalau butuh sesuatu, panggil saja," katanya berpesan. Tangannya terulur hendak meraih puncak kepalanya. Namun, hanya berakhir menggantung di udara. Dia menarik kembali. Takut merasa Tsabi tidak nyaman. Shaka meninggalkan Tsabi yang jelas sedang tidak baik-baik saja. Dia bingung hendak melakukan apa. Pria kaku yang sebelumnya tidak mempunyai pengalaman romantis apa pun dalam hal wanita. Sedang belajar meratukan kekasih halalnya, walau hasilnya masih selalu bikin istrinya nangis. Jadi, ketika mendapatkan hal semacam ini, Shaka ikut galau sendiri cara membujuknya. Shaka kembali ke toko otomotif, dia menyibukan diri
Shaka mandi dengan cepat, sementara Tsabi bermain dengan Zayba yang sudah bangun dari tadi. Baby mungil itu tidak rewel sama sekali. Ketika terbangun, ada ibunya di dekatnya yang langsung menyapa dan memberikan perhatian. Derit pintu kamar yang terbuka membuat wanita itu menoleh sekilas, lalu kembali menyapa Zayba dengan guyonan. Shaka masuk dengan handuk melilit sebatas pinggangnya. "Ini ganti buat aku?" tanya pria itu menghampiri istrinya. Melihat pakaian dirinya sudah tersaji di atas ranjang, membuat hati Shaka menghangat seketika. "Iya," jawab Tsabi tanpa mengalihkan pandangan. Tetap sibuk membersamai bayinya. "Katanya mandiin, udah aku siapin airnya," ujar pria itu pengertian. "Siap Abi," jawab Tsabi seolah mewakili jawaban bayi mungilnya. Wanita itu langsung membuka pakaian Zayba, membawanya ke kamar mandi. Tak lupa menyambar handuk bersih yang ada di gantungan. Dengan santai memandikan Zayba. Sudah tidak kaku lagi, bahkan bisa sangat lancar membolak-balik saat menyabuni.M
Shaka mencengkram kuat punggung pria itu saat hendak berlari. Menariknya hingga tersungkur mundur. Menghalangi agar tidak lolos, lalu dengan sekali pukulan menghajarnya. Tak memberi ampun sedikit pun. Pria dengan penutup wajah itu terhempas ke sudut ruangan. Saat Shaka hendak melayangkan tendangan, dia berhasil menghindar, lalu berusaha berlari lagi. Namun, lagi-lagi Shaka mengejarnya hingga pria itu kembali menghempaskan ke dinding. "Bangun brengsek! Untuk apa kamu merusuh di tokoku. Cari mati ya!" sentak Shaka menghardiknya. Tidak memberikan satu kesempatan pun untuk pria itu melawannya.Pria yang kini telah terkapar itu terdiam putus asa. Dia masih mencari celah untuk melarikan diri. Namun, tentu hal itu tidak Shaka biarkan. Sebelum penjahat itu beringsut menjauh, Shaka kembali memberi serangan hingga membuat pria itu mengerang kesakitan."Jangan!" pekik penjahat itu memohon ampun saat Shaka hendak menendangnya. "Tolong lepaskan aku, Tuan, , aku hanya orang suruhan," kata pria i
Tsabi menunggu kepulangan suaminya yang tak kunjung muncul. Wanita itu mulai cemas lantaran Shaka tidak meninggalkan pesan apa pun. Ditambah ponselnya tertinggal, jadi tidak bisa saling memberi kabar. "Duh ... Mas Shaka ke mana sih, bikin orang cemas saja." Tsabi yang tidak tenang sampai mengabaikan rengekan Zayba. Wanita itu melamun di ruang tamu sembari menunggu kepulangan Shaka. "Apa aku telpon Khalif saja ya, mana tahu bisa bantu," ujar Tsabi tak bisa diam begitu saja. Namun, niatnya kembali bertentangan dengan naluri hatinya. Bagaimana nanti kalau ummi dan abi sampai tahu dan banyak tanya. Bukankah itu malah akan memperumit hubungan yang sudah diperjuangkan sejauh ini. Rengekan Zayba membuat Tsabi beranjak dari ruang tamu. Menghampiri putrinya yang sendirian di kamar. "Zayba, jangan rewel sayang, do'akan abi yang belum pulang. Semoga abi ingat Zayba ya di mana pun berada. Dia bisa pulang secepatnya," ucap Tsabi sembari menenangkan bayi mungilnya. Baby Zayba kembali diam sete