"Mas, aku boleh tanya?" Izinku. Takutnya nanti mas Abi malah meledak-ledak dan enggan menjawabku sebab apa yang aku tanyakan ini sangatlah sensitif baginya. Tapi, sejauh aku mengenalnya, dia tak pernah sampai segitunya padaku. Atau mungkin aku tidak mengenal dirinya yang sebenarnya.
"Boleh." Ujarnya.
Dia mengunci mobil dan mengajakku untuk masuk ke mall. Sebab katanya, nanti kita sarapan dulu di dalam dan setelahnya membeli perlengkapan rumah.
Iya, khusus hari ini, mas Abi mengatakan kalau kita tidak masuk kerja. Lagipula, ini hari Jumat dan biasanya tidak ada laporan yang masuk ke emailku. Kalaupun ada, aku akan jadwalkan ke hari Senin sebab hari Jumat memiliki jam kerja yang cukup singkat.
"Hmm.... Kalau tidak keberatan, aku boleh tahu alasan mas kenapa pulang dalam keadaan mabuk?. Jujur saja, itu pertama kalinya aku melihat mas seperti itu." Tanyaku sedikit ragu. Apalagi saat aku bertanya hal demikian, dia malah mendelik menatapku kurang suka.
"Hanya sedikit mengacaukan pesta saja, Alesha. Tidak ada yang perlu kamu dikhawatirkan. Jawabanku cukup menjawab, kan?"
Mana mungkin aku menolak. Pasti jawabanku adalah, "iya, mas. Sudah sangat menjawab." Kataku. Tersenyum padamu, namun jujur itu semua adalah palsu.
Kami terus menyusuri masuk lebih dalam ke mall. Aku seketika tersadar kalau mas Abi belum makan kemarin. Apakah dia sudah dapat makan atau belum? Mengingat dia pulang dalam keadaan yang cukup mengkhawatirkan.
"Mas?!" Panggilku. Dia sedang berhenti, melihat ponselnya. Sepertinya ada yang sangat penting.
Dia menoleh dan menyahut. Hanya saja, fokusnya kembali ke ponselnya. Mungkin aku sedikit memaksa dengan mencoba untuk mengetahui urusannya, hanya saja rasa penasaranku ini tidak bisa aku tolak mentah-mentah. Aku beranjak mendekatinya, namun ketika aku terjadi dia langsung memasukan ponselnya ke saku celana.
Jujur saja, aku sedikit tersinggung saat ini.
"Iya? Apa?" Tanyanya.
"Tidak. Aku hanya mau bilang kalau aku mau makan di sana!" Tunjuk ku ke salah satu restoran yang sering kamu masuki ketika mengunjungi mall ini.
"Oh, oke. Ayo kita makan." Katanya, mengajakku dengan rangkulannya yang begitu ringan.
***
Lagi-lagi aku tersinggung. Untuk kesekian kalinya aku bertanya, namun mas Abi mengabaikan ku dan malah lebih tertarik untuk melihat ponselnya. Bahkan makanan di depannya kalau bisa berbicara akan menggerutu seperti yang ingin aku lakukan kini.
"Mas, makan dulu. Mas pasti belum makan dari kemarin." Kata ku mengingatkan kembali.
"Iya."
Berulang kali hanya itu saja yang ia jawab, tidak ada kata lain. Mas Abi yang ada di depanku sekarang dengan status sebagai suamiku, sangatlah berbeda dengan mas Abi saat ia menjadi atasanku.
Apa ini ada hubungannya dengan Elisa?. Astaga, memikirkannya membuatku pusing. Aku lebih baik menghabiskan makananku, daripada mengkhawatirkan segala hal yang belum tentu juga mau peduli denganku.
Cukup lama, akhirnya aku dan mas Abi selesai makan dan memutuskan untuk membeli perlengkapan dapur beserta isi kulkas.
"Ini!"
Mas Abi menyodorkan kartu miliknya. Aku hanya tersenyum saja. "Tidak, mas. Kebetulan gaji dari mas juga masih banyak di rekeningku. Aku bisa memakai itu. Simpan saja untuk pernikahan mas dengan Elisa nanti." Kata ku.
Sebab aku tahu, bahwa usia pernikahanku dengan mas Abi tidak akan berlangsung lama. Mas Abi harus bersama dengan cintanya, Elisa. Sedangkan aku mungkin akan mencoba untuk mencari pria lain. Beruntungnya kami memilih untuk nikah siri, belum ada buku nikah dan nama kami yang terdaftar di Pengadilan Agama.
"Ambil aja!" Paksa mas Abi.
"Tidak perlu, mas." Tolak ku.
"Kalau begitu nanti aku saja yang membayarnya. Aku tahu kamu tidak akan menerimanya sampai kapan pun." Ucap mas Abi, membuatku tertawa. Dia tahu bagaimana tipikalku selama ini.
Akhirnya, kita sudah sampai di tempat yang sudah kita cari. Ini adalah bagian ku sebagai perempuan dan hanya aku yang bisa memahaminya. Aku masuk, pula dengan mas Abi yang mengikutiku dengan mendorong troli bersamanya.
Sebab tidak ada sama sekali peralatan di rumah, maka kali ini aku memilih untuk membeli peralatan dasar saja. Karena bagiku, setelah ini kita tidak punya waktu dengan memasak untuk waktu yang lama dan dengan lauk yang beragam. Setelah ini, kita sibuk dengan urusan kantor.
Lagipula, aku sangat yakin kalau mas Abi akan lebih sering pulang ke rumahnya atau rumah Elisa. Untuk apa dia ke rumah yang kemarin dia beli untukku tinggali?. Aku pikir, mas Abi terlalu aneh kalau sampai mau berduaan sepanjang hari denganku di rumah itu.
Meski ada status suami-istri yang mengikat kita berdua.
Beberapa alat sudah aku masukan ke troli. Dan kini, aku sedang memilih teflon mana yang bagus untukku gunakan nantinya. Namun tiba-tiba terdengar suara seruan.
"Oh, jadi ini perempuan yang udah bikin kamu lupa hari ulangtahun ku?!"
"Ini jalangnya?!"
Aku sontak melepas teflon itu dan membalikkan badan. Apa yang aku lihat kini membuatku terkejut bukan main. Ternyata Elisa, dia dia menyebutku jalang?.
Atau mungkin karena itu lah yang membuat mas Abi pulang dalam keadaan mabuk?. Jujur saja, aku agak bingung dengan keadaan yang kini tercipta di depanku sendiri.
"Maksud kamu apa, Elisa?. Aku dan dia hanyalah sebatas atasan dan bawahan, tidak lebih!" Bantah mas Abi dan aku mendengarnya langsung.
Atasan-bawahan? Tidak sepenuhnya salah, sebab selama ini pernikahan kita begitu tertutup, bahkan foto untuk membuktikan itu semua pun tidak ada.
"Alah!. Aku gak percaya. Mana ada atasan-bawahan bisa terciduk membeli perlengkapan rumah tangga seperti ini kalau tidak ada hubungan yang serius diantara kalian berdua. Ngaku saja, Abi, dia selingkuhanmu, kan?" Paksa Elisa.
"Hei, jalang!. Dibayar berapa kamu sama Abi?. Sudah main berapa kali?!" Tanya Elisa ini padaku.
"A-aku..."
"Dia hanya teman!" Bentak mas Abi dengan lantang.
Suara mas Abi menyadarkan ku dengan lantang kalau kita berdua memang sudah salah langkah. Aku dan mas Abi seharusnya tidak lebih dari atasan dan bawahan, atau tidak lebih dari sekedar teman. Hanya saja, karena satu keadaan aku dan dia malah menikah yang mana tidak ada yang suka dengan hal itu.
"Benar, Elisa. Aku dan mas Abi hanya sekedar atasan-bawahan saja. Kami berteman. Dan alasan kenapa mas Abi bersamaku kini karena aku mau pindah kontrakan, jadi dia membantuku untuk membeli perlengkapan dapur. Tidak lebih, sedikitpun." Kataku. Hatiku rasanya sedikit tercubit setelah mengakui hal itu.
"Dan menggunakan kartu Abi?!" Tanyanya. Dia menatapku nyalang.
Aku menggeleng tegas. "Aku menggunakan kartu milikku sendiri. Kalau tidak percaya, kamu bisa pastikan pada mas Abi." Ujarku.
"Dan mas Abi, terimakasih atas tumpangannya. Sepertinya aku sudah membuat kekacauan dalam hubungan mas Abi dengan Elisa. Sebaiknya aku pulang sendiri saja. Sekali lagi, terimakasih." Ucapku dan merebut troli itu dari mas Abi. Mendorongnya menuju kasir.
Setelah cukup lama berjimbaku dengan barang-barang dapur beserta isinya, aku memutuskan untuk menyudahinya dan pulang ke kontrakan.Sepanjang perjalanan aku memikirkan bagaimana hubungan mas Abi dan Elisa yang sepertinya menjadi rumit karena aku. Tapi, aku juga tidak sepenuhnya salah sebab mas Abi tidak terbuka dengan apa yang ada. Seburuk apapun itu, setidaknya dalam hubungan tidak boleh ada yang disembunyikan. Aku bukan berarti memaksa mas Abi untuk mengakui kalau kita berdua sudah menikah, hanya saja setidaknya dalam pertengkaran mereka tidak boleh membawa-bawa namaku, apalagi sampai menyebutku dengan panggilan 'jalang' di tempat umum."Maaf, mbak. Sudah sampai di alamat tujuan."Suara sopir yang menginterupsi membuatku sadar. "Pak, boleh minta tunggu sebentar, gak? Saya cuman mau mengambil barang-barang saya saja, setelahnya saya mau naik taksi bapak lagi. Boleh, kan?" Tanyaku."Iya, boleh mbak. Saya tunggu." Katanya.Ak
Aku tidur membelakangi mas Abi yang terlelap di belakangku. Sebenarnya, aku tidak pernah sedikitpun bisa terlelap setelah apa yang sudah kami lakukan sebelumnya. Iya, aku tahu, dia sudah berhak melakukanya, hanya saja tidakkah dia melakukannya dengan lembut dan jangan menyebut nama perempuan lain?. Ia seakan-akan melakukannya dengan perempuan itu, dengan memanfaatkan tubuhku.Bahkan kini, air mataku tidak bisa diajak kompromi untuk berhenti menangis. Aku membungkam mulutku untuk tidak bersuara, membiarkan perasaan kecewa ini hanya aku saja yang boleh merasakannya."Eughh..."Ranjang terasa sedikit bergerak. Sepertinya mas Abi sedang mengubah posisi tidurnya. Entahlah, aku tidak berminat untuk memastikan apa yang sedang dia lakukan di belakangku. Entah dia masih terlelap ataupun terbangun, untuk saat ini aku hanya mau menenangkan pikiran dan hatiku."Jam berapa ini, Alesha?"Ternyata dia bangun. Segera aku menghapus air
"Kenapa bapak keras kepala sekali? Saya sudah mengatakan sebelumnya kalau uang itu bukanlah milik saya, tapi kenapa bapak malah semakin menambah uangnya?" Tanyaku keheranan.Aku tidak tahu kalau mas Abi akan sekeras kepala ini padaku. Aku memang sudah berhasil mengembalikan uang itu semuanya tanpa ada yang dikurang-kurangi, tapi lagi-lagi dia mengirimkan ku bahkan dengan nominal yang lebih besar dari sebelumnya."Alesha, aku kan sudah katakan padamu sebelumnya kalau kamu tidak perlu bekerja dan masalah uang belanja aku yang akan menanggungnya. Anggap saja kalau uang yang aku kirim itu uang belanjamu, dan mengganti uang bayaran untuk keperluan dapur.""Dan ya, mulai sekarang aku tidak mau lagi mendengar mu memanggilku dengan panggilan bapak. Alesha, kita sudah menikah, dan aku lebih nyaman dengan panggilan mas dibandingkan dengan panggilan bapak. Kamu mengerti?"Tanpa sadar aku menganggukkan kepala. Aku mengerti dengan apa yang ia
Hancur.Itu lah yang aku rasakan saat ini. Di saat aku belum siap menerima kenyataan bahwa aku hamil anak mas Abi, malah aku mendapatkan kabar kalau dia akan menikah dengan Elisa. Lalu aku mau dikemanakan?. Aku ini istrinya, meski belum diakui sah secara hukum.Semakin kacau pikiranku. Aku hanya terdiam, duduk menunggu taksi yang melewati depan kantor mas Abi. Mungkin hampir setengah jam aku melakukan ini tanpa hal yang pasti. Menunggu dan menunggu, hingga akhirnya aku memutuskan satu hal."Aku tidak bisa lagi dalam hubungan toxic ini. Kalau aku terus-menerus seperti ini, yang ada aku malah terjebak. Aku mau mengambil bajuku dari rumah itu dan tidak mau lagi tinggal di sana." Putusku.Aku segera mengangkat barang-barang kantor milikku, melambaikan tangan untuk menghentikan taksi yang lewat. Setelah mendapatkannya, langsung tanpa pikir panjang mengatakan tujuanku pada sopir taksi itu.Niko tadi sempat mengatakan kalau dia men
Egois.Jawaban dari mas Abi sangat lah egois. Bagaimana tidak, dengan jelas dia mengatakan kalau tidak mau memilih antara aku ataupun Elisa. Maruk sekali!."Tidak satupun. Aku tidak bisa memilih antara kamu ataupun Elisa. Sebab aku punya tanggungjawab yang cukup besar pada mendiang ayahmu, sedangkan aku punya perasaan yang tidak bisa aku tinggalkan pada Elisa." Katanya."Salah satu, mas. Pilihlah agar aku tahu apa yang harus aku lakukan setelah ini. Kalau mas menikah dengan Elisa, lalu bagaimana denganku?. Meski pernikahan kita belum sah secara agama, tapi kita tetap lah suami-istri. Mungkin aku terdengar terlalu mengatur, tapi apa yang akan mas lakukan nanti kalau semisalnya Elisa tahu pernikahan kita?. Dia pasti akan marah padaku. Apalagi sampai tahu aku hamil."Dan apa jawabannya?."Maka jangan biarkan dia tahu tentang pernikahan kita. Publik hanya tahu aku menikah dengan Elisa, tanpa tahu aku menikah denganmu. Kamu menginginka
"Keluar dari kamar itu!"Berdengung telingaku mendengar mas Abi yang berteriak dari telpon ini. Padahal aku sudah berulangkali menolak untuk menerima telponnya, tapi dia memaksa ku sehingga tak punya pilihan lain. Jika aku tidak menerima panggilan telpon darinya, dia akan masuk secara paksa ke kamar hotelku.Yang aku pikirkan adalah bagaimana kalau semua itu diketahui oleh Nadia? Bahkan Elisa?. Apa yang harus aku katakan untuk menjelaskannya.Aku lah yang salah dengan membawa-bawa kebohongan kalau aku datang dengan pacarku, padahal yang sebenarnya terjadi aku bersama sahabatku sendiri."Tidak bisa, mas." Jawabku."Keluar dari sana, Alesha. Atau aku akan dobrak pintu itu!" Kata mas Abi, semakin terdengar berapi-api.Aku terkekeh. "Kenapa mas melarangku sama pria lain sedangkan mas sendiri malah sekamar juga dengan perempuan lain. Aku tahu kalau Elisa pacarmu, mas. Begitu juga denganku. Dia adalah pacarku."Pacar
"Masuk." Suruh mas Abi, tapi tidak dengan nada yang membentak seperti tadi. Sepertinya ia sudah bisa mengendalikan emosinya. Sekeluarnya kami dari lift, dia juga menarik tanganku, tapi tidak dengan paksaan. Hanya saja perasaan ku sudah terlanjur kecewa dengannya. Aku tidak suka dengan kekerasan.Aku tetap diam di tempatku, tidak mau pindah meski barang satu langkah pun. Bahkan kini, aku ingin balik dan kembali ke kamar ku, bukan masuk ke dalam kamar yang bisa saja di dalamnya ada Elisa."Masuk, Alesha. Tinggal masuk aja masa kamu harus buat kesabaranku makin menipis." Ucap mas Abi lagi. Kini, dia juga sedikit mendorong bahuku untuk masuk.Entah kenapa aku sedikit tersinggung dengan cara mas Abi memperlakukanku sekarang. Sontak membuatku menatapnya. "Aku tidak mau, mas. Mas ngerti kan maksudku?. AKU TIDAK MAU!" Tekanku di akhir.Aku tidak peduli dengan helaan nafas mas Abi, karena yang aku perdulikan saat ini hanya satu, sakit hatiku sete
"Mas....hhh...""Bagaimana kalau Elisa tahu nanti kalau kita melakukannya?"Bodohnya aku bertanya hal demikian ketika aku dan mas Abi sedang melakukannya. Kini mas Abi masih semangat bergerak di atasku, memasuki dengan cepat, namun terkadang dengan tempo yang sengaja dia perlambat.Punggungnya sudah penuh dengan cakaranku. Setiap kali dia bergerak lebih cepat, kuku ku akan spontan menancap di punggungnya. Aku sungguh tidak bisa berkata apa-apa ketika berada di bawah kuasa mas Abi.Bukannya menjawab ku, mas Abi malah kini semakin menjadi-jadi. Tidak hanya memasuki ku dengan tempo yang cepat, dia bahkan sepertinya sengaja membungkam ku dengan mulutnya agar tidak bertanya lagi. Dan kedua tangannya itu juga tidak bisa tinggal diam, memainkan dua gundukan kembar milikku. Bahkan sengaja memilinnya pula."Mas...." Desahku.Sayangnya aku yang mendesah membuat mas Abi kegirangan. Kini, tidak hanya aku saja yang mengeluar