Setelah cukup lama berjimbaku dengan barang-barang dapur beserta isinya, aku memutuskan untuk menyudahinya dan pulang ke kontrakan.
Sepanjang perjalanan aku memikirkan bagaimana hubungan mas Abi dan Elisa yang sepertinya menjadi rumit karena aku. Tapi, aku juga tidak sepenuhnya salah sebab mas Abi tidak terbuka dengan apa yang ada. Seburuk apapun itu, setidaknya dalam hubungan tidak boleh ada yang disembunyikan. Aku bukan berarti memaksa mas Abi untuk mengakui kalau kita berdua sudah menikah, hanya saja setidaknya dalam pertengkaran mereka tidak boleh membawa-bawa namaku, apalagi sampai menyebutku dengan panggilan 'jalang' di tempat umum.
"Maaf, mbak. Sudah sampai di alamat tujuan."
Suara sopir yang menginterupsi membuatku sadar. "Pak, boleh minta tunggu sebentar, gak? Saya cuman mau mengambil barang-barang saya saja, setelahnya saya mau naik taksi bapak lagi. Boleh, kan?" Tanyaku.
"Iya, boleh mbak. Saya tunggu." Katanya.
Aku beranjak masuk ke kontrakan sudah aku tempati selama kurang lebih 2 tahun, terhitung dari semenjak aku menjadi sekretaris mas Abi. Alasan utama aku memilih kontrakan ini adalah karena sangat dekat dengan lokasi kantor sehingga aku tidak perlu merasa repot kalau tidak ada kendaraan.
Mulai memasukan barang-barang yang masih tertinggal, seperti ada beberapa baju-baju kantor yang belum dibawa ke rumah baru, pakaian dalam yang tak boleh kelupaan, serta laporan yang harus aku perhatikan penuh seakan-akan sudah menjadi anakku sendiri.
Mengemas mereka dengan sangat baik dan tentunya tidak sampai memakan banyak waktu, sebab di luar sana ada sopir yang bersedia menungguku.
Aku mendengar suara pintu yang di buka. Tidak mungkin sopir itu yang mencoba masuk tanpa izin, kan?. Dia tidak mungkin sampai se-kurang ajar itu, kan?.
Tidak, aku tidak bisa membiarkannya.
Aku segera melepas baju-baju yang masih belum aku masukkan dan beranjak menuju depan. Namun, aku tidak menemukan sopir taksi yang sebelumnya, melainkan mas Abi yang memasukan barang-barang yang tadi sudah aku beli di mall.
"Loh, mas?. Kenapa kesini?. Aku pikir mas pulang ke rumah Elisa. Ada keperluan apa, mas?." Tanyaku. Rasa khawatir itu tergantikan dengan helaan lega.
"Sebentar lagi aku selesai mengemas barang-barangku dan pulang." Lanjutku. Tersenyum padanya seakan melupakan apa yang sudah terjadi sebelumnya.
Seketika membuatku tersadar. Kalau mas Abi bisa membawa barang-barang ini masuk, berarti taksi yang tadi hendak aku tumpangi lagi sudah pergi?.
Aku beranjak keluar untuk memastikan dan benar saja kalau di depan kontrakan sudah kosong. Tidak ada mobil taksi yang terparkir, hanya mobil mewah mas Abi saja.
"Mas, taksinya kemana?. Aku belum bayar dan sudah janji dengannya kalau aku akan pulang dengan taksi." Kataku.
Bukannya menjawab, mas Abi malah menutup pintu, bahkan menguncinya. Aku bingung dengan tingkah lakunya saat ini, namun enggan untuk bertanya. Apa yang mau dia lakukan?.
"Aku sudah membayarnya dan menyuruhnya untuk pergi. Nanti kamu akan pulang bersamaku." Ujarnya.
Mas Abi berbalik, namun tatapannya begitu berbeda dengan sebelumnya. Entah, hanya saja aku memberingsut takut melihat sorot mata mas Abi yang seperti ini. Dia adalah mas Abi yang berbeda dibandingkan dengan yang aku temui dulu.
"Mas..."
Naas. Aku sudah tidak bisa mundur lagi karena sudah mentok dengan tembok. Langkah mas Abi semakin mendekatiku dengan sorot mata yang berbeda. Sangat berbeda.
Seketika aku teringat dengan apa yang terjadi di mall. Apakah mas Abi akan menyalurkan perasaan kesalnya padaku karena bertengkar dengan Elisa?. Apakah dia akan tega melakukannya sedangkan ia sudah berjanji pada ibu untuk senantiasa menjagaku?.
Aku langsung terkesiap. Aku pikir mas Abi akan menamparku karena ia yang mengangkat tangannya, namun ternyata tangannya ia labuhkan pada kedua bahu ku. Sesekali ia memijitnya tanpa suara.
"Mas... Mau ngapain?" Tanyaku.
Tiba-tiba saja rasanya seperti habis berlari dikejar anjing. Degupan di dadaku terasa begitu kencang. Apalagi ketika wajah mas Abi yang mendekat padaku. Berusaha menghindar pun rasanya mustahil sebab mas Abi yang sudah menaruh tangannya di kedua sisiku.
"Aku meminta hak ku." Bisiknya, langsung membuat bulu kudukku berdiri.
"Dan aku mau melakukannya sekarang. Tanpa penolakan." Tekannya.
***
Aku pasrah. Aku mau menolak, tapi dia adalah suamiku. Mau menerimanya pun, sepertinya aku menyesal sekarang.
Aku pikir dia akan memperlakukan ku dengan baik, mengingat apa yang sudah kita berdua lewati selama ini meski hanya sekadar atasan-bawahan. Memiliki hubungan baik, bahkan hingga kini mas Abi memintanya pun dengan cara baik-baik. Hanya saja, kenapa dia malah melakukannya dengan kasar dan tidak terkendali?.
Tidak. Kesan pertama melepaskan keperawanan ku bukan dengan cara yang seperti ini. Aku memang bermimpi akan melakukannya dengan suamiku nanti, tapi dengan cara yang halus, yang mana nikmatnya kita berdua bisa rasakan bersama. Bukan dengan tamparan, pukulan, hingga bahkan salah menyebut nama.
"Elisa..."
Desah mas Abi menyebut nama Elisa, bukan aku, Alesha. Please, aku membutuhkan cukup tenaga untuk menyadarkan mas Abi kalau yang ada di bawahnya sekarang bukanlah Elisa, melainkan diriku, istrinya.
Tapi apalah daya, aku dibuat pasrah olehnya. Meski bagaimana pun aku menolak sebab apa yang dia lakukan sangatlah kasar, namun tak bisa aku pungkiri kalau aku sedikit menikmatinya. Beberapa kali aku memang tidak bisa menahan lenguhku, namun sering kali aku melepas ringisan akibat sakit yang tiba-tiba terasa menyengat dari bagian bawahku tepat saat mas Abi memasuki ku.
Mungkin ini karena kali pertamaku.
"Kamu bilang kalau aku satu-satunya, tapi kamu malah meminta putus dariku. Kamu tahu kalau aku tidak akan menyetujuinya. Selamanya kamu akan tetap menjadi pacarku. Sampai kapanpun!" Gumam mas Abi.
Aku tidak tahu apakah dia masih sadar saat mengadakannya atau bagaimana, tapi aku sungguh sangat kecewa. Hatiku rasanya dicubit habis-habisan, bahkan tanpa sadar aku rasa air mataku keluar tanpa diminta.
"Tidak akan ku biarkan kamu menikah dengan pria lain. Karena hanya aku lah yang sangat pantas untuk itu!" Kata mas Abi lagi, semakin memperdalam dan memasuki dengan begitu kasar.
Tidak. Ini bukanlah mas Abi yang aku kenal. Ini jelas-jelas iblis penjahat kelamin.
Seketika, tangisku pecah. Aku langsung membungkam mulutku sendiri. Tidak mau membiarkan mas Abi melihatku dalam keadaan rendah seperti ini.
"Mas, pelan...." Kata ku.
Tidak. Mas Abi tidak mendengarkan ku. Dia semakin kasar dan keras. Please, apakah ada yang bisa membantuku saat ini?. Tolong pisahkan aku dengan mas Abi yang sepertinya kini sedang tidak sadar dengan apa yang ia lakukan padaku.
"Hanya kamu lah yang pantas menjadi istriku, Elisa. Hanya kamu!" Serunya lagi.
Lalu aku apa, mas?. Pernikahan kita kamu anggap apa?. Hatiku bahkan tubuhku bukan boneka yang bisa kamu beli dengan uang.
Aku tidur membelakangi mas Abi yang terlelap di belakangku. Sebenarnya, aku tidak pernah sedikitpun bisa terlelap setelah apa yang sudah kami lakukan sebelumnya. Iya, aku tahu, dia sudah berhak melakukanya, hanya saja tidakkah dia melakukannya dengan lembut dan jangan menyebut nama perempuan lain?. Ia seakan-akan melakukannya dengan perempuan itu, dengan memanfaatkan tubuhku.Bahkan kini, air mataku tidak bisa diajak kompromi untuk berhenti menangis. Aku membungkam mulutku untuk tidak bersuara, membiarkan perasaan kecewa ini hanya aku saja yang boleh merasakannya."Eughh..."Ranjang terasa sedikit bergerak. Sepertinya mas Abi sedang mengubah posisi tidurnya. Entahlah, aku tidak berminat untuk memastikan apa yang sedang dia lakukan di belakangku. Entah dia masih terlelap ataupun terbangun, untuk saat ini aku hanya mau menenangkan pikiran dan hatiku."Jam berapa ini, Alesha?"Ternyata dia bangun. Segera aku menghapus air
"Kenapa bapak keras kepala sekali? Saya sudah mengatakan sebelumnya kalau uang itu bukanlah milik saya, tapi kenapa bapak malah semakin menambah uangnya?" Tanyaku keheranan.Aku tidak tahu kalau mas Abi akan sekeras kepala ini padaku. Aku memang sudah berhasil mengembalikan uang itu semuanya tanpa ada yang dikurang-kurangi, tapi lagi-lagi dia mengirimkan ku bahkan dengan nominal yang lebih besar dari sebelumnya."Alesha, aku kan sudah katakan padamu sebelumnya kalau kamu tidak perlu bekerja dan masalah uang belanja aku yang akan menanggungnya. Anggap saja kalau uang yang aku kirim itu uang belanjamu, dan mengganti uang bayaran untuk keperluan dapur.""Dan ya, mulai sekarang aku tidak mau lagi mendengar mu memanggilku dengan panggilan bapak. Alesha, kita sudah menikah, dan aku lebih nyaman dengan panggilan mas dibandingkan dengan panggilan bapak. Kamu mengerti?"Tanpa sadar aku menganggukkan kepala. Aku mengerti dengan apa yang ia
Hancur.Itu lah yang aku rasakan saat ini. Di saat aku belum siap menerima kenyataan bahwa aku hamil anak mas Abi, malah aku mendapatkan kabar kalau dia akan menikah dengan Elisa. Lalu aku mau dikemanakan?. Aku ini istrinya, meski belum diakui sah secara hukum.Semakin kacau pikiranku. Aku hanya terdiam, duduk menunggu taksi yang melewati depan kantor mas Abi. Mungkin hampir setengah jam aku melakukan ini tanpa hal yang pasti. Menunggu dan menunggu, hingga akhirnya aku memutuskan satu hal."Aku tidak bisa lagi dalam hubungan toxic ini. Kalau aku terus-menerus seperti ini, yang ada aku malah terjebak. Aku mau mengambil bajuku dari rumah itu dan tidak mau lagi tinggal di sana." Putusku.Aku segera mengangkat barang-barang kantor milikku, melambaikan tangan untuk menghentikan taksi yang lewat. Setelah mendapatkannya, langsung tanpa pikir panjang mengatakan tujuanku pada sopir taksi itu.Niko tadi sempat mengatakan kalau dia men
Egois.Jawaban dari mas Abi sangat lah egois. Bagaimana tidak, dengan jelas dia mengatakan kalau tidak mau memilih antara aku ataupun Elisa. Maruk sekali!."Tidak satupun. Aku tidak bisa memilih antara kamu ataupun Elisa. Sebab aku punya tanggungjawab yang cukup besar pada mendiang ayahmu, sedangkan aku punya perasaan yang tidak bisa aku tinggalkan pada Elisa." Katanya."Salah satu, mas. Pilihlah agar aku tahu apa yang harus aku lakukan setelah ini. Kalau mas menikah dengan Elisa, lalu bagaimana denganku?. Meski pernikahan kita belum sah secara agama, tapi kita tetap lah suami-istri. Mungkin aku terdengar terlalu mengatur, tapi apa yang akan mas lakukan nanti kalau semisalnya Elisa tahu pernikahan kita?. Dia pasti akan marah padaku. Apalagi sampai tahu aku hamil."Dan apa jawabannya?."Maka jangan biarkan dia tahu tentang pernikahan kita. Publik hanya tahu aku menikah dengan Elisa, tanpa tahu aku menikah denganmu. Kamu menginginka
"Keluar dari kamar itu!"Berdengung telingaku mendengar mas Abi yang berteriak dari telpon ini. Padahal aku sudah berulangkali menolak untuk menerima telponnya, tapi dia memaksa ku sehingga tak punya pilihan lain. Jika aku tidak menerima panggilan telpon darinya, dia akan masuk secara paksa ke kamar hotelku.Yang aku pikirkan adalah bagaimana kalau semua itu diketahui oleh Nadia? Bahkan Elisa?. Apa yang harus aku katakan untuk menjelaskannya.Aku lah yang salah dengan membawa-bawa kebohongan kalau aku datang dengan pacarku, padahal yang sebenarnya terjadi aku bersama sahabatku sendiri."Tidak bisa, mas." Jawabku."Keluar dari sana, Alesha. Atau aku akan dobrak pintu itu!" Kata mas Abi, semakin terdengar berapi-api.Aku terkekeh. "Kenapa mas melarangku sama pria lain sedangkan mas sendiri malah sekamar juga dengan perempuan lain. Aku tahu kalau Elisa pacarmu, mas. Begitu juga denganku. Dia adalah pacarku."Pacar
"Masuk." Suruh mas Abi, tapi tidak dengan nada yang membentak seperti tadi. Sepertinya ia sudah bisa mengendalikan emosinya. Sekeluarnya kami dari lift, dia juga menarik tanganku, tapi tidak dengan paksaan. Hanya saja perasaan ku sudah terlanjur kecewa dengannya. Aku tidak suka dengan kekerasan.Aku tetap diam di tempatku, tidak mau pindah meski barang satu langkah pun. Bahkan kini, aku ingin balik dan kembali ke kamar ku, bukan masuk ke dalam kamar yang bisa saja di dalamnya ada Elisa."Masuk, Alesha. Tinggal masuk aja masa kamu harus buat kesabaranku makin menipis." Ucap mas Abi lagi. Kini, dia juga sedikit mendorong bahuku untuk masuk.Entah kenapa aku sedikit tersinggung dengan cara mas Abi memperlakukanku sekarang. Sontak membuatku menatapnya. "Aku tidak mau, mas. Mas ngerti kan maksudku?. AKU TIDAK MAU!" Tekanku di akhir.Aku tidak peduli dengan helaan nafas mas Abi, karena yang aku perdulikan saat ini hanya satu, sakit hatiku sete
"Mas....hhh...""Bagaimana kalau Elisa tahu nanti kalau kita melakukannya?"Bodohnya aku bertanya hal demikian ketika aku dan mas Abi sedang melakukannya. Kini mas Abi masih semangat bergerak di atasku, memasuki dengan cepat, namun terkadang dengan tempo yang sengaja dia perlambat.Punggungnya sudah penuh dengan cakaranku. Setiap kali dia bergerak lebih cepat, kuku ku akan spontan menancap di punggungnya. Aku sungguh tidak bisa berkata apa-apa ketika berada di bawah kuasa mas Abi.Bukannya menjawab ku, mas Abi malah kini semakin menjadi-jadi. Tidak hanya memasuki ku dengan tempo yang cepat, dia bahkan sepertinya sengaja membungkam ku dengan mulutnya agar tidak bertanya lagi. Dan kedua tangannya itu juga tidak bisa tinggal diam, memainkan dua gundukan kembar milikku. Bahkan sengaja memilinnya pula."Mas...." Desahku.Sayangnya aku yang mendesah membuat mas Abi kegirangan. Kini, tidak hanya aku saja yang mengeluar
Bergegas turun ke lantai 7 setelah mendapatkan banyak sekali telpon dari Nadia. Dia sudah menungguku lama di depan kamar hotelku, sedangkan aku malah ada di dua lantai atasnya. Apa yang harus aku katakan padanya agar tidak curiga denganku. Lift lama sekali terbuka, membuatku tidak punya pilihan lain dengan menggunakan tangga darurat. Aku tidak berlari, hanya berjalan dengan cepat. "Astaga, alasan apa yang harus aku katakan pada Nadia nanti?" Sampai di sana lantai 7 aku sudah melihat Nadia yang terlihat begitu kesal dengan kacakkan pinggangnya. "Darimana saja kamu, Alesha?. Aku pikir kamu terlalu nyaman tidur di dalam sana, tapi kamu malah terlihat balik dari tangga itu. Apa yang sudah terjadi denganmu?. "Aku bisa jelaskan semuanya, tapi sekarang aku mau mengambil barang-barangku yang ketinggalan di dalam dulu." Namun sayang, ketika aku hendak membuka pintu kamar hotel, bahuku ditarik oleh Nadia. "Kenapa lehermu bisa mem