Hancur.
Itu lah yang aku rasakan saat ini. Di saat aku belum siap menerima kenyataan bahwa aku hamil anak mas Abi, malah aku mendapatkan kabar kalau dia akan menikah dengan Elisa. Lalu aku mau dikemanakan?. Aku ini istrinya, meski belum diakui sah secara hukum.
Semakin kacau pikiranku. Aku hanya terdiam, duduk menunggu taksi yang melewati depan kantor mas Abi. Mungkin hampir setengah jam aku melakukan ini tanpa hal yang pasti. Menunggu dan menunggu, hingga akhirnya aku memutuskan satu hal.
"Aku tidak bisa lagi dalam hubungan toxic ini. Kalau aku terus-menerus seperti ini, yang ada aku malah terjebak. Aku mau mengambil bajuku dari rumah itu dan tidak mau lagi tinggal di sana." Putusku.
Aku segera mengangkat barang-barang kantor milikku, melambaikan tangan untuk menghentikan taksi yang lewat. Setelah mendapatkannya, langsung tanpa pikir panjang mengatakan tujuanku pada sopir taksi itu.
Niko tadi sempat mengatakan kalau dia men
Egois.Jawaban dari mas Abi sangat lah egois. Bagaimana tidak, dengan jelas dia mengatakan kalau tidak mau memilih antara aku ataupun Elisa. Maruk sekali!."Tidak satupun. Aku tidak bisa memilih antara kamu ataupun Elisa. Sebab aku punya tanggungjawab yang cukup besar pada mendiang ayahmu, sedangkan aku punya perasaan yang tidak bisa aku tinggalkan pada Elisa." Katanya."Salah satu, mas. Pilihlah agar aku tahu apa yang harus aku lakukan setelah ini. Kalau mas menikah dengan Elisa, lalu bagaimana denganku?. Meski pernikahan kita belum sah secara agama, tapi kita tetap lah suami-istri. Mungkin aku terdengar terlalu mengatur, tapi apa yang akan mas lakukan nanti kalau semisalnya Elisa tahu pernikahan kita?. Dia pasti akan marah padaku. Apalagi sampai tahu aku hamil."Dan apa jawabannya?."Maka jangan biarkan dia tahu tentang pernikahan kita. Publik hanya tahu aku menikah dengan Elisa, tanpa tahu aku menikah denganmu. Kamu menginginka
"Keluar dari kamar itu!"Berdengung telingaku mendengar mas Abi yang berteriak dari telpon ini. Padahal aku sudah berulangkali menolak untuk menerima telponnya, tapi dia memaksa ku sehingga tak punya pilihan lain. Jika aku tidak menerima panggilan telpon darinya, dia akan masuk secara paksa ke kamar hotelku.Yang aku pikirkan adalah bagaimana kalau semua itu diketahui oleh Nadia? Bahkan Elisa?. Apa yang harus aku katakan untuk menjelaskannya.Aku lah yang salah dengan membawa-bawa kebohongan kalau aku datang dengan pacarku, padahal yang sebenarnya terjadi aku bersama sahabatku sendiri."Tidak bisa, mas." Jawabku."Keluar dari sana, Alesha. Atau aku akan dobrak pintu itu!" Kata mas Abi, semakin terdengar berapi-api.Aku terkekeh. "Kenapa mas melarangku sama pria lain sedangkan mas sendiri malah sekamar juga dengan perempuan lain. Aku tahu kalau Elisa pacarmu, mas. Begitu juga denganku. Dia adalah pacarku."Pacar
"Masuk." Suruh mas Abi, tapi tidak dengan nada yang membentak seperti tadi. Sepertinya ia sudah bisa mengendalikan emosinya. Sekeluarnya kami dari lift, dia juga menarik tanganku, tapi tidak dengan paksaan. Hanya saja perasaan ku sudah terlanjur kecewa dengannya. Aku tidak suka dengan kekerasan.Aku tetap diam di tempatku, tidak mau pindah meski barang satu langkah pun. Bahkan kini, aku ingin balik dan kembali ke kamar ku, bukan masuk ke dalam kamar yang bisa saja di dalamnya ada Elisa."Masuk, Alesha. Tinggal masuk aja masa kamu harus buat kesabaranku makin menipis." Ucap mas Abi lagi. Kini, dia juga sedikit mendorong bahuku untuk masuk.Entah kenapa aku sedikit tersinggung dengan cara mas Abi memperlakukanku sekarang. Sontak membuatku menatapnya. "Aku tidak mau, mas. Mas ngerti kan maksudku?. AKU TIDAK MAU!" Tekanku di akhir.Aku tidak peduli dengan helaan nafas mas Abi, karena yang aku perdulikan saat ini hanya satu, sakit hatiku sete
"Mas....hhh...""Bagaimana kalau Elisa tahu nanti kalau kita melakukannya?"Bodohnya aku bertanya hal demikian ketika aku dan mas Abi sedang melakukannya. Kini mas Abi masih semangat bergerak di atasku, memasuki dengan cepat, namun terkadang dengan tempo yang sengaja dia perlambat.Punggungnya sudah penuh dengan cakaranku. Setiap kali dia bergerak lebih cepat, kuku ku akan spontan menancap di punggungnya. Aku sungguh tidak bisa berkata apa-apa ketika berada di bawah kuasa mas Abi.Bukannya menjawab ku, mas Abi malah kini semakin menjadi-jadi. Tidak hanya memasuki ku dengan tempo yang cepat, dia bahkan sepertinya sengaja membungkam ku dengan mulutnya agar tidak bertanya lagi. Dan kedua tangannya itu juga tidak bisa tinggal diam, memainkan dua gundukan kembar milikku. Bahkan sengaja memilinnya pula."Mas...." Desahku.Sayangnya aku yang mendesah membuat mas Abi kegirangan. Kini, tidak hanya aku saja yang mengeluar
Bergegas turun ke lantai 7 setelah mendapatkan banyak sekali telpon dari Nadia. Dia sudah menungguku lama di depan kamar hotelku, sedangkan aku malah ada di dua lantai atasnya. Apa yang harus aku katakan padanya agar tidak curiga denganku. Lift lama sekali terbuka, membuatku tidak punya pilihan lain dengan menggunakan tangga darurat. Aku tidak berlari, hanya berjalan dengan cepat. "Astaga, alasan apa yang harus aku katakan pada Nadia nanti?" Sampai di sana lantai 7 aku sudah melihat Nadia yang terlihat begitu kesal dengan kacakkan pinggangnya. "Darimana saja kamu, Alesha?. Aku pikir kamu terlalu nyaman tidur di dalam sana, tapi kamu malah terlihat balik dari tangga itu. Apa yang sudah terjadi denganmu?. "Aku bisa jelaskan semuanya, tapi sekarang aku mau mengambil barang-barangku yang ketinggalan di dalam dulu." Namun sayang, ketika aku hendak membuka pintu kamar hotel, bahuku ditarik oleh Nadia. "Kenapa lehermu bisa mem
"Nik, kamu mau membawaku kemana?" Tanyaku. Aku pikir aku belum memberitahunya mau pergi kemana."Kamu mau pergi kemana? Nanti aku antar, kemanapun itu!" Jawab Niko.Aku tersenyum. Pria ini baik sekali. Mungkin kalau tidak ada dia, aku masih terjebak masalah dengan mas Abi dan Elisa di hotel itu. Andai aku tidak menikah dengan mas Abi, mungkin aku akan mengajak pria ini menjadi pacarku. Itu pun kalau dia mau dengan perempuan yang hancur sepertiku ini."Kamu bisa antar aku ke kontrakan temanku?. Aku sekarang tinggal dengannya." Ujarku."Oke. Siap laksanakan!"***"Mau masuk dulu gak, Nik?" Tawar ku pada Niko. Dia sudah membawaku sampai di depan kontrakan Nadia, pula dengan Nadia yang ada di sampingku. Menemaniku."Sepertinya gak deh, Alesha. Aku lupa mau mengambilkan kakakku barang-barangnya yang ketinggalan di hotel itu. Lain kali aja, ya.""Oke!"Niko pergi meninggalkan pelataran rumah kontrakan N
"Alesha, maafkan aku."Deg.Sontak, piring yang masih aku sabuni jatuh. Beruntungnya ia jatuh di wastafel, tidak di lantai yang akan membuatnya pecah dan mungkin saja bisa melukaiku."Maafkan aku atas kejadian di hotel tadi pagi." Bisiknya lagi.Tangannya turun ke perutku, mengelusnya. Dia juga malah sengaja bermain-main di titik terlemahku, leherku. Aku tidak tahu apa maksud kedatangannya kesini.Nano-nano. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan kini. Entah antara mau menangis, marah, pura-pura tidak tahu dengannya seakan menjadi orang asing, atau malah akan menikmati apa yang dia lakukan padaku. Tapi yang pasti, aku tidak bisa melakukan apapun kini.Sedikit meringis. Mas Abi kembali menyedot leherku. Aku tidak mengerti, kenapa dia suka sekali memberikan jejak di leherku, yang pada akhirnya nanti dia sendiri yang tidak mau mengakuinya. Seperti yang terjadi di hotel tadi, menganggap kalau itu adalah perbuatan pria
"Mas....hhhh....""Ini akan sangat berbahaya kalau kita melakukanya sambil nyetir seperti ini." Bisikku, tidak tahan.Aku duduk di paha mas Abi, menghadapnya, memeluk lehernya. Sedangkan mas Abi yang duduk seperti biasa, sebagaimana mestinya orang yang akan mengemudi. Kami berhadapan satu sama lain. Tapi yang aku takutkan adalah, dia bisa saja membahayakan kita berdua kalau keras kepala tidak membiarkanku turun dari pangkuannya, sedangkan ia masih sibuk bermain di leherku. Aku tidak mau hal ini akan membuatnya tidak bisa fokus dan malah mengantar kami berdua ke rumah sakit."Sensasinya pasti akan sangat berbeda, Alesha. Dan aku ingin mencobanya denganmu." Balas mas Abi setengah berbisik.Dia meniup telingaku, bahkan pula sengaja menggigitnya pelan. Astaga, perlakuan mas Abi yang demikian membuatku tidak bisa berpikir dengan baik. Rasanya kepalaku ingin pecah, tersiksa dalam pancingan demi pancingan yang mas Abi lakukan padaku."Ta