"Alesha, maafkan aku."
Deg.
Sontak, piring yang masih aku sabuni jatuh. Beruntungnya ia jatuh di wastafel, tidak di lantai yang akan membuatnya pecah dan mungkin saja bisa melukaiku.
"Maafkan aku atas kejadian di hotel tadi pagi." Bisiknya lagi.
Tangannya turun ke perutku, mengelusnya. Dia juga malah sengaja bermain-main di titik terlemahku, leherku. Aku tidak tahu apa maksud kedatangannya kesini.
Nano-nano. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan kini. Entah antara mau menangis, marah, pura-pura tidak tahu dengannya seakan menjadi orang asing, atau malah akan menikmati apa yang dia lakukan padaku. Tapi yang pasti, aku tidak bisa melakukan apapun kini.
Sedikit meringis. Mas Abi kembali menyedot leherku. Aku tidak mengerti, kenapa dia suka sekali memberikan jejak di leherku, yang pada akhirnya nanti dia sendiri yang tidak mau mengakuinya. Seperti yang terjadi di hotel tadi, menganggap kalau itu adalah perbuatan pria
"Mas....hhhh....""Ini akan sangat berbahaya kalau kita melakukanya sambil nyetir seperti ini." Bisikku, tidak tahan.Aku duduk di paha mas Abi, menghadapnya, memeluk lehernya. Sedangkan mas Abi yang duduk seperti biasa, sebagaimana mestinya orang yang akan mengemudi. Kami berhadapan satu sama lain. Tapi yang aku takutkan adalah, dia bisa saja membahayakan kita berdua kalau keras kepala tidak membiarkanku turun dari pangkuannya, sedangkan ia masih sibuk bermain di leherku. Aku tidak mau hal ini akan membuatnya tidak bisa fokus dan malah mengantar kami berdua ke rumah sakit."Sensasinya pasti akan sangat berbeda, Alesha. Dan aku ingin mencobanya denganmu." Balas mas Abi setengah berbisik.Dia meniup telingaku, bahkan pula sengaja menggigitnya pelan. Astaga, perlakuan mas Abi yang demikian membuatku tidak bisa berpikir dengan baik. Rasanya kepalaku ingin pecah, tersiksa dalam pancingan demi pancingan yang mas Abi lakukan padaku."Ta
"Mas, sebaiknya kita melakukannya di kursi penumpang. Kalau di depan kurang leluasa." Saranku. Baru saja mobil ini berhenti di basement, mas Abi sudah mengangkat ku untuk duduk di pahanya lagi. Kini dia tidak menahan-nahan gairahnya. Langsung membuka bajuku, bahkan pula menyuruhku untuk membuka celanaku. Tapi, yang menjadi permasalahanya kali ini adalah melakukannya di kursi depan yang penuh dengan kesempitan, dan aku tidak bisa bergerak dengan leluasa. "Oke." Tanpa kami keluar dari pintu mobil, mas Abi membawaku menuju kursi penumpang melalui celah-celah yang ada di tengah kursi ini. Aku hampir saja terjatuh karena terburu-buru. "Hati-hati, Alesha. Kamu bisa saja terluka." Bisiknya. Tersenyum manis pada mas Abi, namun sepertinya itu sudah sangat salah. Mas Abi langsung menyosor, menciumku dengan sangat intens seakan-akan sedang menyedot bibirku sendiri. "Lepas celanamu, Alesha. Aku sudah sangat tidak taha
"Alesha, please, lepaskan tanganku. Aku ingin mencium mu saat ini juga." Mas Abi memohon padaku, tapi rasanya enggan untuk mengindahkan permintaan itu. Aku fokus bergerak di atas mas Abi dan ini lebih menyenangkan."Massss..." Erangku.Aku langsung mendaratkan bibirku di bibirnya. Hanya sebuah kecupan, karena fokusku malah pecah akibat gerakan nikmat yang aku buat sendiri.Mas Abi mengerang. Dengan mata yang terpejam dan memperlihatkan jakunnya yang naik turun membuatku semakin bergairah. Semakin bergerak cepat dan menimbulkan erangan dari kami berdua."Alesha, please. Lepasss...""Tidak akan, mas. Aku belum selesai menyiksa mu, mas." Kata ku."Kamu sudah berhasil menyiksaku, Alesha. Kamu sudah berhasil. Karena itu, please lepas ini dan aku ingin menyentuhmu lebih." Kata mas Abi.Aku sontak berhenti lagi ketika mas Abi hendak meraih puncaknya. Tidak hanya mas Abi yang kecewa, aku pun juga sangat kecewa ka
"Aku mau lagi, Alesha..."Bisikan itu seakan menjadi pemecut bagiku. Tidak hanya dia yang menginginkannya, tapi aku pun juga. Dan entah sudah berapa kali kita melakukannya hari ini. Terhitung ketika baru sampai di basement, hingga naik ke apartemennya dengan sangat terburu-buru. Bahkan itu pun kami sampai lupa menyalakan lampu apartemennya.Suara kami yang begitu ribut memenuhi ruangan apartemen dengan erangan kenikmatan kami berdua. Terdengar ribut nan indah dan hanya kita saja yang mendengarnya.Entah sudah jam berapa sekarang, aku tidak tahu. Karena yang aku fokuskan saat ini hanyalah satu, wajah manis sekaligus lucu miliknya. Dia tidur dengan lenganku yang menjadi bantalnya. Dan bagian lucunya adalah mengarahkan telapak tanganku yang satunya di pipinya.Ingat sekali dengan apa yang ia katakan di tengah pergulatan panas kami. Dia berkata, "you driving me crazy, Alesha. I want you more and more."Sangat indah dan menciptakan kesan yan
"Ibu sudah melakukan hubungan badan ya dengan suaminya?" Tanya dokter, membuatku seketika menjadi malu bukan main.Pipiku rasanya memanas. Tapi, aku tidak bisa menolak ucapan dokter ini. Aku mengangguk, "iya, dok. Kemarin saja." Jawabku.Dokter itu tertawa. Dia menunjuk ke leherku juga, langsung membuatku menyembunyikannya. Saat aku melakukan itu, malah membuatnya tertawa."Tidak apa, Bu. Saya paham. Hanya saja mungkin ibu dan suaminya bisa sedikit menahan nafsu dulu sebelum kondisi janinnya menjadi kuat.""Jadi, aku tidak keguguran kan, dok?" Tanyaku langsung.Dokter itu mengangguk. "Iya, tidak keguguran, Bu. Hanya sedikit saran saja untuk kedepannya bisa ditahan dulu ya. Bilang pada suaminya untuk jangan langsung nyosor gitu aja, takut janinnya terganggu."Huft... Aku bisa bernafas lega. Akhirnya kandunganku tidak kenapa-napa. Setidaknya kabar ini membuatku lebih tenang dibandingkan dengan ucapan mas Abi yang mengat
"Alesha?!"Aku mendengar suara mas Abi yang memanggilku, dan tidak lama dari itu pintu dibuka paksa.Tenyata memang benar mas Abi. Aku hanya melihatnya sepintas saja, kemudian lanjut memasak sebab sebelumnya Nadia menelponku agar aku membuatkannya makanan karena ada teman-temannya yang akan datang."Alesha!""Sebentar, mas. Jangan ganggu aku dulu. Aku sedang memasakkan makanan untuk Nadia karena temannya akan datang." Kata ku."Kamu tidak kenapa-napa, kan?" Tanya mas Abi, sembari memeriksa tubuhku.Ah, mungkin mas Abi mengingat waktu di jalanan tadi saat aku hampir saja tertabrak. Aku juga sempat mendengarnya berteriak memanggil namaku, tapi rasanya itu adalah ilusiku saja."Aku tidak kenapa-napa, mas. Karena itu jangan ke area dapur, nanti bahaya buat mas. Biarkan aku memasak sebentar." Ujarku, masih terdengar lembut. Aku hanya berusaha sabar.Mas Abi tidak mau mengindahkan apa yang aku kata
"Kamu dimana, mas?" Gumamku.Sampai tengah malam aku menunggu kepulangan mas Abi, tapi dia tak kunjung terlihat. Beberapa kali aku mencoba untuk menelponnya, tapi ponselnya tidak aktif.Aku juga sudah menelpon Nadia, tapi dia mengatakan akan pergi ke luar kota bersama temannya. Alhasil, aku tidak bisa mengganggunya dan kini sendirian terus di apartemen ini.Tidak lama setelah mas Abi keluar dari apartemen, badanku menjadi panas. Aku juga merasa begitu pusing, tapi entah kenapa sulit rasanya untuk bangun. Punggung ku terasa kaku. Dan sampai detik ini yang aku lakukan hanyalah satu, tidur menyamping dan menelpon mas Abi yang tak kunjung mengangkatnya."Aku sendirian di sini, mas." Gumamku terus-menerus.Menunggu lama, sendirian, dengan kondisi badan yang sakit, membuatku menangis. Apalagi mengingat diriku yang sedang hamil. Tantangan ku sangatlah besar dalam menghadapi hidup setelah menikah ini.Ting!
Luka bakar di punggungku sudah sedikit membaik, meski aku tahu akan memberikan bekas yang menjijikkan. Bekas luka bakar yang begitu besar, hampir memenuhi punggungku. Selama beberapa hari, aku hampir tidak memakai baju. Hanya ditutupi oleh kain tipis saja. Begitu perih.Sudah sepuluh hari berlalu. Sejak hari itu, mas Abi selalu ada di apartemen. Setiap malam juga tidur denganku, menemaniku yang sakit akibat luka bakar itu. Terkadang, aku tiba-tiba demam. Kadang pula karena faktor kehamilanku, membuatku mual muntah di tengah malam.Beberapa kali aku mendengarnya berbicara dengan Elisa dari telpon ketika aku pura-pura tidur di sampingnya. Mas Abi bicara seperlunya dengan Elisa, bahkan mungkin terkesan dingin padanya. Namun tetap saja, aku masih belum bisa berbuat baik padanya. Sampai saat ini, aku selalu cuek padanya, bahkan menjawab dirinya pun hanya seperlunya.Seperti tadi pagi, mas Abi bertanya aku mau sarapan apa. Dan jawabanku padanya adala