"Kenapa bapak keras kepala sekali? Saya sudah mengatakan sebelumnya kalau uang itu bukanlah milik saya, tapi kenapa bapak malah semakin menambah uangnya?" Tanyaku keheranan.
Aku tidak tahu kalau mas Abi akan sekeras kepala ini padaku. Aku memang sudah berhasil mengembalikan uang itu semuanya tanpa ada yang dikurang-kurangi, tapi lagi-lagi dia mengirimkan ku bahkan dengan nominal yang lebih besar dari sebelumnya.
"Alesha, aku kan sudah katakan padamu sebelumnya kalau kamu tidak perlu bekerja dan masalah uang belanja aku yang akan menanggungnya. Anggap saja kalau uang yang aku kirim itu uang belanjamu, dan mengganti uang bayaran untuk keperluan dapur."
"Dan ya, mulai sekarang aku tidak mau lagi mendengar mu memanggilku dengan panggilan bapak. Alesha, kita sudah menikah, dan aku lebih nyaman dengan panggilan mas dibandingkan dengan panggilan bapak. Kamu mengerti?"
Tanpa sadar aku menganggukkan kepala. Aku mengerti dengan apa yang ia katakan, hanya saja bagaimana kalau nanti percakapan kita kali ini didengar langsung oleh Elisa?.
"Sekali lagi kamu memanggilku dengan panggilan itu, aku akan sangat kecewa, Alesha." Kata mas Abi lagi. Terdengar sedikit mengancam.
Aku merasa bersalah karenanya. Apa aku terlalu keterlaluan?. "Tapi mas sedang bersama Elisa. Aku takut kalau obrolan kita ini akan didengar olehnya. Aku tidak mau menjadi alasan kalian bertengkar lagi. Mungkin aku istrimu, mas. Tapi aku tahu kalau kamu tidak menginginkan hubungan tidak jelas ini karena kamu sangat mengharapkan Elisa menjadi istrimu." Ujarku.
Mas Abi tidak menjawab.
"Mungkin tiga bulan atau lima bulan kita menikah, mas boleh menceraikan ku. Aku tidak masalah dengan itu. Toh juga nama kita belum didaftarkan di Pengadilan Agama. Tidak akan ada yang tahu kalau kita telah menikah sebelumnya." Kata ku.
Agak sedih juga ketika aku mengatakan itu. Bagaimana mungkin ada seorang perempuan yang menginginkan hubungannya kandas dengan begitu cepat. Pasti mereka menginginkan memiliki hubungan yang langgeng sampai kakek nenek, bahkan hingga maut memisahkan.
"Aku akan pikiran lagi tentang hubungan kita. Yang penting sekarang kamu terima uang itu dan jangan lagi panggil aku dengan sebutan itu. Aku tidak suka!" Bantah mas Abi.
"Iya."
Ini sudah jam 1 tengah malam, itu berarti sudah jam 3 pagi disana. Apa yang dilakukan oleh mas Abi sampai masih terbangun jam segini?. Kalau aku bertanya, apa dia tidak curiga?.
"Mas ngapain?" Tanyaku dengan berani.
Mas Abi terkekeh. "Tidak ada. Kan aku sedang telponan denganmu. Dan kamu kenapa tidak tidur? Udah jam 1 lho disana."
Menanyakan kabar bukan berarti peduli. Mungkin saja dia hanya sekadar bertanya, tanpa maksud dan tujuan yang pasti. Ingat, sekedar bertanya.
"Tidak ada. Hanya tidak bisa tidur saja seperti biasa." Jawabku.
Dia tahu kalau aku sering sekali tidak bisa tidur dengan cepat. Dia tahu kalau aku sering begadang, apalagi saat menjadi pegawainya dulu.
"Kamu di rumah, kan?. Semua barang-barangmu sudah di pindahkan, kan?"
"Iya, mas. Aku sudah memindahkannya." Jawabku.
Dan tentu saja itu bohong. Aku tidak pernah sedikitpun keluar dari kontrakan. Terus di dalam seakan-akan sedang mengurung diri.
"Baguslah."
Mungkin ada sekitar lima menitan kita tidak berbicara lagi. Hening. Mas Abi tidak bertanya apapun, dan aku juga sedang bingung mau bertanya apa. Semuanya kosong di kepalaku.
Hingga kemudian muncul satu pertanyaan besar di kepalaku. "Mas, Elisa mana?" Tanyaku sembarang. Dan jujur, aku takut mendengar jawabannya seperti apa.
"Ada di sampingku. Dia sedang tidur. Kelelahan." Jawabnya dan tertawa tipis.
Tidur? Satu ranjang? Kelelahan?. Apa yang sebenarnya mas Abi lakukan dengan Elisa di sana. Kegiatan apa yang mereka habiskan disana selama satu bulan lamanya?. Aku pikir kalau masalah pekerjaan, dia tidak memiliki kerjasama yang mengharuskan sampai satu bulan di sana.
Jawaban mas Abi membuatku bungkam. Aku tidak bisa berkata-kata apa lagi. Rasanya aku menyesal telah menanyakan hal itu padanya.
Sayup-sayup aku mendengar suara perempuan dan tentunya itu adalah Elisa. Siapa lagi kalau bukan dia.
"Abi, aku mau lagi."
Tut...
Aku langsung memutuskan panggilan ini sepihak. Tidak mungkin mas Abi akan melakukan hal yang sudah aku curigai sejak awal. Meski mereka pacaran, tapi bukan berarti itu membenarkan apa yang mereka lakukan.
Tidak. Aku tidak tahan kalau terus seperti ini. 3 bulan? Bahkan satu Minggu pun rasanya aku sudah ingin melarikan diri dari status menyakitkan ini.
***
20 hari berlalu.
Aku pikir seminggu sudah membuatku tidak tahan, namun nyatanya kini sudah melewati tiga Minggu pernikahan ku dengan mas Abi.
Mas Abi selalu menelpon tengah malam dan itu ketika Elisa sudah tertidur di sampingnya. Pernah satu hari aku menolak untuk mengobrol dengannya lewat telpon, namun besoknya pagi-pagi sekali dia langsung menerorku dengan banyak sekali pertanyaan.
Mengenai kebersamaannya dengan Elisa sepertinya sudah banyak membuatku bertahan dalam balutan sabar. Sabar yang aku punya sudah semakin ditempa hingga bisa sekuat sampai detik ini.
Aku selalu menjadi pendengar yang baik untuknya. Mendengarkan dia bercerita tentang harinya bersama Elisa. Mas Abi tidak pernah bertanya tentang apa saja yang aku lalui selama ini, bahkan aku pun juga rasanya enggan untuk memberitahunya.
Aku mau menceritakannya apa? Tentang sesak dada yang aku rasakan setiap hari?. Melihat postingan kebersamaannya di media sosial saja sudah membuatku trauma untuk sekedar membuka akun media sosialku lagi.
Bahkan pernah satu waktu, sepertinya waktu itu mas Abi lupa mematikan telponnya. Aku mendengar dengan jelas bagaimana mereka berdua melenguh nikmat.
Dan ya, ada sedikit perasaan benci dan bingung yang aku rasa pada mas Abi. Aku tidak tahu bagaimana cara untuk mengekspresikan perasanku dengannya. Hanya sebuah tanda tanya besar bagiku.
Dan kini, sudah lebih dari tiga Minggu. Seminggu lagi mereka akan pulang sebagaimana rencana mereka. Aku tidak tahu bagaimana caraku menemui mereka lagi nanti, tapi yang pasti perasaan kita bertiga sudah tidak bisa dikatakan baik-baik saja.
Hari ini aku diminta ke kantor oleh pihak HRD untuk mengambil barang-barang milikku. Tapi, sejak semalam aku merasa tidak enak badan. Aku mual, demam, dan tidak bertenaga. Karena itu, sebelum aku pergi ke kantor, sebaiknya aku mampir dulu di rumah sakit untuk memeriksa keadaan ku.
***
"Anda sedang hamil."
Kabar terburuk bagiku. Paling buruk sepanjang hidupku. Bagaimana mungkin aku hamil disaat aku tahu kalau mas Abi lebih serius dengan Elisa dibandingkan denganku. Lalu bagaimana nasibku dan anakku nantinya?.
Pulang dari rumah sakit dan menuju kantor sama sekali membuatku tidak fokus. Aku bahkan salah masuk ruangan. Beruntungnya Niko selaku kepala HRD membantuku mengemas barang-barangku.
"Hayo mikirin apa?!" Tanya Niko dengan nada jahil.
Aku hanya tersenyum tipis. "Tidak ada, Niko." Jawabku.
"Alah! Kamu tidak bisa berbohong dariku. Aku tahu kalau kamu pasti sedang memikirkan pasangan untukmu ajak nanti ke pesta pernikahan. Iya, kan?" Tebak Niko dengan penuh percaya diri.
"Siapa yang menikah?" Tanyaku.
"Pak Abi dan ibu Elisa."
Deg.
Hancur hatiku.
Selamat, mas. Atas pernikahan kalian. Atas kehancuran ku dengan kabar kehamilan ini.
Hancur.Itu lah yang aku rasakan saat ini. Di saat aku belum siap menerima kenyataan bahwa aku hamil anak mas Abi, malah aku mendapatkan kabar kalau dia akan menikah dengan Elisa. Lalu aku mau dikemanakan?. Aku ini istrinya, meski belum diakui sah secara hukum.Semakin kacau pikiranku. Aku hanya terdiam, duduk menunggu taksi yang melewati depan kantor mas Abi. Mungkin hampir setengah jam aku melakukan ini tanpa hal yang pasti. Menunggu dan menunggu, hingga akhirnya aku memutuskan satu hal."Aku tidak bisa lagi dalam hubungan toxic ini. Kalau aku terus-menerus seperti ini, yang ada aku malah terjebak. Aku mau mengambil bajuku dari rumah itu dan tidak mau lagi tinggal di sana." Putusku.Aku segera mengangkat barang-barang kantor milikku, melambaikan tangan untuk menghentikan taksi yang lewat. Setelah mendapatkannya, langsung tanpa pikir panjang mengatakan tujuanku pada sopir taksi itu.Niko tadi sempat mengatakan kalau dia men
Egois.Jawaban dari mas Abi sangat lah egois. Bagaimana tidak, dengan jelas dia mengatakan kalau tidak mau memilih antara aku ataupun Elisa. Maruk sekali!."Tidak satupun. Aku tidak bisa memilih antara kamu ataupun Elisa. Sebab aku punya tanggungjawab yang cukup besar pada mendiang ayahmu, sedangkan aku punya perasaan yang tidak bisa aku tinggalkan pada Elisa." Katanya."Salah satu, mas. Pilihlah agar aku tahu apa yang harus aku lakukan setelah ini. Kalau mas menikah dengan Elisa, lalu bagaimana denganku?. Meski pernikahan kita belum sah secara agama, tapi kita tetap lah suami-istri. Mungkin aku terdengar terlalu mengatur, tapi apa yang akan mas lakukan nanti kalau semisalnya Elisa tahu pernikahan kita?. Dia pasti akan marah padaku. Apalagi sampai tahu aku hamil."Dan apa jawabannya?."Maka jangan biarkan dia tahu tentang pernikahan kita. Publik hanya tahu aku menikah dengan Elisa, tanpa tahu aku menikah denganmu. Kamu menginginka
"Keluar dari kamar itu!"Berdengung telingaku mendengar mas Abi yang berteriak dari telpon ini. Padahal aku sudah berulangkali menolak untuk menerima telponnya, tapi dia memaksa ku sehingga tak punya pilihan lain. Jika aku tidak menerima panggilan telpon darinya, dia akan masuk secara paksa ke kamar hotelku.Yang aku pikirkan adalah bagaimana kalau semua itu diketahui oleh Nadia? Bahkan Elisa?. Apa yang harus aku katakan untuk menjelaskannya.Aku lah yang salah dengan membawa-bawa kebohongan kalau aku datang dengan pacarku, padahal yang sebenarnya terjadi aku bersama sahabatku sendiri."Tidak bisa, mas." Jawabku."Keluar dari sana, Alesha. Atau aku akan dobrak pintu itu!" Kata mas Abi, semakin terdengar berapi-api.Aku terkekeh. "Kenapa mas melarangku sama pria lain sedangkan mas sendiri malah sekamar juga dengan perempuan lain. Aku tahu kalau Elisa pacarmu, mas. Begitu juga denganku. Dia adalah pacarku."Pacar
"Masuk." Suruh mas Abi, tapi tidak dengan nada yang membentak seperti tadi. Sepertinya ia sudah bisa mengendalikan emosinya. Sekeluarnya kami dari lift, dia juga menarik tanganku, tapi tidak dengan paksaan. Hanya saja perasaan ku sudah terlanjur kecewa dengannya. Aku tidak suka dengan kekerasan.Aku tetap diam di tempatku, tidak mau pindah meski barang satu langkah pun. Bahkan kini, aku ingin balik dan kembali ke kamar ku, bukan masuk ke dalam kamar yang bisa saja di dalamnya ada Elisa."Masuk, Alesha. Tinggal masuk aja masa kamu harus buat kesabaranku makin menipis." Ucap mas Abi lagi. Kini, dia juga sedikit mendorong bahuku untuk masuk.Entah kenapa aku sedikit tersinggung dengan cara mas Abi memperlakukanku sekarang. Sontak membuatku menatapnya. "Aku tidak mau, mas. Mas ngerti kan maksudku?. AKU TIDAK MAU!" Tekanku di akhir.Aku tidak peduli dengan helaan nafas mas Abi, karena yang aku perdulikan saat ini hanya satu, sakit hatiku sete
"Mas....hhh...""Bagaimana kalau Elisa tahu nanti kalau kita melakukannya?"Bodohnya aku bertanya hal demikian ketika aku dan mas Abi sedang melakukannya. Kini mas Abi masih semangat bergerak di atasku, memasuki dengan cepat, namun terkadang dengan tempo yang sengaja dia perlambat.Punggungnya sudah penuh dengan cakaranku. Setiap kali dia bergerak lebih cepat, kuku ku akan spontan menancap di punggungnya. Aku sungguh tidak bisa berkata apa-apa ketika berada di bawah kuasa mas Abi.Bukannya menjawab ku, mas Abi malah kini semakin menjadi-jadi. Tidak hanya memasuki ku dengan tempo yang cepat, dia bahkan sepertinya sengaja membungkam ku dengan mulutnya agar tidak bertanya lagi. Dan kedua tangannya itu juga tidak bisa tinggal diam, memainkan dua gundukan kembar milikku. Bahkan sengaja memilinnya pula."Mas...." Desahku.Sayangnya aku yang mendesah membuat mas Abi kegirangan. Kini, tidak hanya aku saja yang mengeluar
Bergegas turun ke lantai 7 setelah mendapatkan banyak sekali telpon dari Nadia. Dia sudah menungguku lama di depan kamar hotelku, sedangkan aku malah ada di dua lantai atasnya. Apa yang harus aku katakan padanya agar tidak curiga denganku. Lift lama sekali terbuka, membuatku tidak punya pilihan lain dengan menggunakan tangga darurat. Aku tidak berlari, hanya berjalan dengan cepat. "Astaga, alasan apa yang harus aku katakan pada Nadia nanti?" Sampai di sana lantai 7 aku sudah melihat Nadia yang terlihat begitu kesal dengan kacakkan pinggangnya. "Darimana saja kamu, Alesha?. Aku pikir kamu terlalu nyaman tidur di dalam sana, tapi kamu malah terlihat balik dari tangga itu. Apa yang sudah terjadi denganmu?. "Aku bisa jelaskan semuanya, tapi sekarang aku mau mengambil barang-barangku yang ketinggalan di dalam dulu." Namun sayang, ketika aku hendak membuka pintu kamar hotel, bahuku ditarik oleh Nadia. "Kenapa lehermu bisa mem
"Nik, kamu mau membawaku kemana?" Tanyaku. Aku pikir aku belum memberitahunya mau pergi kemana."Kamu mau pergi kemana? Nanti aku antar, kemanapun itu!" Jawab Niko.Aku tersenyum. Pria ini baik sekali. Mungkin kalau tidak ada dia, aku masih terjebak masalah dengan mas Abi dan Elisa di hotel itu. Andai aku tidak menikah dengan mas Abi, mungkin aku akan mengajak pria ini menjadi pacarku. Itu pun kalau dia mau dengan perempuan yang hancur sepertiku ini."Kamu bisa antar aku ke kontrakan temanku?. Aku sekarang tinggal dengannya." Ujarku."Oke. Siap laksanakan!"***"Mau masuk dulu gak, Nik?" Tawar ku pada Niko. Dia sudah membawaku sampai di depan kontrakan Nadia, pula dengan Nadia yang ada di sampingku. Menemaniku."Sepertinya gak deh, Alesha. Aku lupa mau mengambilkan kakakku barang-barangnya yang ketinggalan di hotel itu. Lain kali aja, ya.""Oke!"Niko pergi meninggalkan pelataran rumah kontrakan N
"Alesha, maafkan aku."Deg.Sontak, piring yang masih aku sabuni jatuh. Beruntungnya ia jatuh di wastafel, tidak di lantai yang akan membuatnya pecah dan mungkin saja bisa melukaiku."Maafkan aku atas kejadian di hotel tadi pagi." Bisiknya lagi.Tangannya turun ke perutku, mengelusnya. Dia juga malah sengaja bermain-main di titik terlemahku, leherku. Aku tidak tahu apa maksud kedatangannya kesini.Nano-nano. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan kini. Entah antara mau menangis, marah, pura-pura tidak tahu dengannya seakan menjadi orang asing, atau malah akan menikmati apa yang dia lakukan padaku. Tapi yang pasti, aku tidak bisa melakukan apapun kini.Sedikit meringis. Mas Abi kembali menyedot leherku. Aku tidak mengerti, kenapa dia suka sekali memberikan jejak di leherku, yang pada akhirnya nanti dia sendiri yang tidak mau mengakuinya. Seperti yang terjadi di hotel tadi, menganggap kalau itu adalah perbuatan pria