Nikah siri.
Siapa sangka kalau pada akhirnya aku dan mas Abi menikah siri di hadapan ayah yang sekarat dan mau berpulang ke hadapan Tuhan. Sesaat setelah aku dan mas Abi sah menikah, baru kemudian ayah menyerah. Ia benar-benar meninggalkanku dan ibu.
Sakit mana lagi yang Engkau ciptakan, Tuhan?. HambaMu ini tak sanggup merasakannya. Bagaimana mungkin Engkau mengambil cinta pertama hamba dengan sangat cepat, sedangkan hamba sendiri belum mengabulkan semua permintaannya?.
Mas Abi selalu menarikku ketika memberontak di pemakaman ayah. Tepat di depan mataku ayah dimakamkan untuk terakhir kalinya. Menangis darah pun percuma, sebab dengan tangisan tidak akan membuatnya bisa kembali seperti sedia kala.
"Mas, ayah sudah pergi ninggalin aku, mas." Ujarku pada mas Abi, mencoba melepaskan tanganku darinya.
"Iya, aku tahu Alesha. Tapi kamu tidak bisa membangunkan ayah meski kamu memberontak terus seperti ini. Yang ada hanya akan membuatmu lelah saja. Mengertilah keadaan yang terjadi sekarang!"
"Tapi dia ayahku, mas. Selamanya tidak akan ada yang bisa menggantikan peran beliau dalam hidupku." Ujarku pelan.
Sepertinya tenagaku sudah terkuras habis. Aku sudah tidak bertenaga untuk memberontak, malah kini aku dilanda pusing yang hebat sampai rasanya aku sedang berputar hebat. Bahkan penglihatan ku pun mulai memburam.
"Ayah..."
Gelap.
***
"Alesha, kamu tidak kenapa-napa, kan?"
Pertanyaan pertama dari mas Abi setelah aku baru saja siuman. Aku tidak menyangka kalau aku akan pingsan dan mas Abi akan menungguku tanpa bosan. Mungkin?.
"Mas, ini sudah jam berapa?" Tanyaku.
"Ini sudah mau malam, Alesha. Kamu pingsan lama sekali. Hampir saja aku mau membawamu ke rumah sakit kalau lima menit lagi kamu tidak siuman." Jawab mas Abi, terdengar begitu khawatir.
Aku hanya tersenyum tipis mendengarnya. Dia memang seperti itu, selalu perhatian pada orang lain, meskipun pada orang baru sekalipun. Beruntungnya Elisa memiliki cinta mas Abi. Tapi, sekarang aku dan mas Abi sudah menikah, meski menikah siri. Apakah itu tidak akan berpengaruh pada hubungan mereka?.
"Mas, aku mau ke kamar mandi." Ucapku. Aku mencoba untuk turun dari ranjang. Rupanya, rasa pening yang aku rasakan belum juga bisa mereda, membuatku sedikit oleng saat mau turun dari ranjang. Dan dengan sigapnya mas Abi membantuku sampai ke depan pintu kamar mandi.
"Aku tunggu di luar. Jangan lama-lama." Katanya.
"Iya, mas."
Aku masuk ke dalam untuk buang air kecil. Setelahnya, aku tidak menyangka kalau rasa pusing tiba-tiba menghampiriku lagi dan rasanya hampir sama saat berada di pemakaman itu.
Aku berusaha mencari tempat yang bisa aku pakai untuk pegangan, setidaknya sampai rasa pusingku reda. Namun naas, sesuatu yang tak terduga terjadi padaku lagi. Aku malah terjatuh dan menimbulkan suara yang agak besar.
Brak!
"Aww!" Spontan aku meringis.
"Alesha? Kamu tidak kenapa-napa, kan?" Tanya mas Abi dari luar.
"Iya, mas. Aku tidak kenapa-napa," ucapku, meski setelahnya aku meringis kesakitan dibagian kaki. Sepertinya kaki ku keseleo.
Astaga, merepotkan sekali aku ini.
Aku berusaha bangun meski agak kesusahan. Rasa ngilu di pergelangan kaki ku semakin menjadi-jadi. Apalagi saat hendak mencapai pintu, semakin sakit dan tidak bisa tertahankan.
"Kaki mu kenapa?" Tanya mas Abi langsung saat melihatku kesusahan berjalan keluar dari kamar mandi. Dia bersimpuh, hendak menyentuh kaki ku.
Aku segera menariknya mundur, tidak mau mas Abi sampai sejauh ini, bersimpuh di depanku sedangkan keadaannya dia adalah atasanku. Seharusnya aku lah yang merendah di hadapannya, bukan dia.
"Tidak perlu, mas. Hanya keseleo ringan saja. Nanti juga sembuh." Kata ku.
Bukannya mendengarkan ku, mas Abi malah menarik kembali kaki ku, kemudian memperhatikannya dengan penuh rasa khawatir. Berbeda kali dia berdecak.
Aku tidak tahu kalau dia akan se-perhatian ini padaku, sebab sebelumnya kita tidak pernah sampai sedekat ini. Dulu, hanya sebatas atasan-bawahan saja. Tapi apakah mungkin semuanya berubah setelah pernikahan siri itu?.
Mas Abi lagi-lagi berdecak kesal. Aku belum memiliki persiapan sedikitpun, dia sudah mengangkat tubuhku ala bridal style.
"Hanya keseleo katamu?. Kalau tidak ditangani bakal parah, Alesha." Ujarnya kesal, sembari membawaku ke ranjang yang sebelumnya.
Aku memperhatikan dirinya dadi bawah. Bagaimana ia yang terlihat begitu tampan dan menarik di mataku. Namun lagi-lagi aku harus mengingat satu fakta bahwa pria yang ada di depanku ini adalah milik perempuan lain.
"Sebentar. Aku mau ambil es buat kompres dulu. Kamu jangan kemana-mana!" Katanya dan berlari keluar dari kamar.
Dia, sangat perhatian.
***
"Kalau ibu mengizinkan, saya mau bawa Alesha ke Jakarta dan tinggal dengan saya, Bu. Untuk masalah pernikahan, saya akan daftarkan pernikahan kami ke Pengadilan Agama."
Sebab izin yang mas Abi pinta dari ibu disetujui dengan begitu mudahnya, kini aku dan mas Abi bertolak ke Jakarta setelah hanya satu hari di solo. Berat rasanya meninggalkan ibu sendirian di rumah, apalagi setelah kepergian ayah. Namun karena paksaan ibu lah, yang membuatku kuat untuk meninggalkannya.
Perjalanan yang cukup panjang sampai harus menghabiskan waktu berjam-jam lamanya. Aku beberapa kali tertidur, sedangkan mas Abi tidak pernah sekalipun beristirahat dan membuatku kasihan dengannya. Gara-gara aku, dia harus merasakan kesulitan ini. Aku yakin, dia pasti sedang kesal saat ini, tapi enggan mengatakannya padaku.
"Mas, sepertinya kita istirahat saja. Kasihan mas belum tidur sejak tadi pagi." Kataku menyarankan.
Tapi apa katanya?
"Tidak, Alesha. Kita harus segera sampai karena aku harus menghadiri ulang tahun Elisa. Aku sudah menyiapkan rumah untukmu dan tinggallah di sana, jangan ngontrak lagi. Meski sejak awal kita tidak ada niatan untuk nikah, tapi setidaknya aku bisa lebih bertanggungjawab padamu." Katanya.
Dia terburu-buru bahkan sampai rela tidak tidur agar bisa menghadiri acara ulang tahun Elisa dengan tepat waktu. Aku punya hak untuk melarang? Tentu saja tidak. Itu adalah hubungannya dengan pacarnya yang sesungguhnya. Tidak denganku yang hanya pacar pura-pura, kemudian memaksanya untuk menyetujui pernikahan siri itu.
Dan ya, setelah cukup lelah sepanjang perjalanan, akhirnya kami sampai juga di sebuah rumah yang aku yakini menjadi rumah tempat tinggalku seperti yang dikatakan oleh mas Abi sebelumnya.
"Alesha, ini lah rumah yang aku maksud. Mulai saat ini kamu tinggal di sini. Semua barang-barang dari kontrakan mu sebelumnya sudah aku suruh pindahkan kesini. Masuklah, dan istirahat. Kamu jangan bekerja besok, perhatikan kesehatanmu. Nanti aku akan menghubungimu." Ucapnya, kemudian meninggalkanku yang masih mematung di depan rumah.
Semuanya terasa begitu singkat, namun banyak hal yang sudah dilalui dan tak terduga-duga.
Tiba-tiba aku sudah menjadi istri mas Abi, meski lewat jalur pernikahan siri. Tiba-tiba pula aku sudah tinggal di rumah yang begitu mewah dan tidak pantas untuk aku tempati.
Setelah ini, apalagi kejadian mendadak yang akan menghampiriku?.
Rumah yang sangat luas dan terlalu mewah bagiku. Setelah hampir satu jam lebih aku berkeliling memahami setiap sudut rumah ini, aku baru paham satu hal kalau semuanya memang baru dan perlu di isi olehku.Tembok yang kosong tidak ada bingkai foto sedikitpun, bahkan dapur pun tidak ada alat-alat masak yang bisa aku gunakan. Sepertinya memang mas Abi terlalu terburu-buru membelinya, atau rumah ini salah satu dari sekian properti miliknya.Entahlah, semakin lama, aku semakin tidak merasa enak menerima pemberian rumah ini, meski ia memaksaku dengan dalih bahwa kita sudah menikah. Meski hanya menikah siri, hanya saja aku tak pantas mendapatkannya."Aku harus minta persetujuan mas Abi besok agar mau memberiku izin mengisi rumah ini. Setidaknya ada peralatan dapur yang bisa aku pakai memasak. Lumayan kalau beli makanan terus setiap hari, mending masak sendiri." Gumamku, kemudian masuk ke kamar.Sebenarnya, aku juga tidak tahu kamar ku akan
"Mas, aku boleh tanya?" Izinku. Takutnya nanti mas Abi malah meledak-ledak dan enggan menjawabku sebab apa yang aku tanyakan ini sangatlah sensitif baginya. Tapi, sejauh aku mengenalnya, dia tak pernah sampai segitunya padaku. Atau mungkin aku tidak mengenal dirinya yang sebenarnya."Boleh." Ujarnya.Dia mengunci mobil dan mengajakku untuk masuk ke mall. Sebab katanya, nanti kita sarapan dulu di dalam dan setelahnya membeli perlengkapan rumah.Iya, khusus hari ini, mas Abi mengatakan kalau kita tidak masuk kerja. Lagipula, ini hari Jumat dan biasanya tidak ada laporan yang masuk ke emailku. Kalaupun ada, aku akan jadwalkan ke hari Senin sebab hari Jumat memiliki jam kerja yang cukup singkat."Hmm.... Kalau tidak keberatan, aku boleh tahu alasan mas kenapa pulang dalam keadaan mabuk?. Jujur saja, itu pertama kalinya aku melihat mas seperti itu." Tanyaku sedikit ragu. Apalagi saat aku bertanya hal demikian, dia malah mendelik menatap
Setelah cukup lama berjimbaku dengan barang-barang dapur beserta isinya, aku memutuskan untuk menyudahinya dan pulang ke kontrakan.Sepanjang perjalanan aku memikirkan bagaimana hubungan mas Abi dan Elisa yang sepertinya menjadi rumit karena aku. Tapi, aku juga tidak sepenuhnya salah sebab mas Abi tidak terbuka dengan apa yang ada. Seburuk apapun itu, setidaknya dalam hubungan tidak boleh ada yang disembunyikan. Aku bukan berarti memaksa mas Abi untuk mengakui kalau kita berdua sudah menikah, hanya saja setidaknya dalam pertengkaran mereka tidak boleh membawa-bawa namaku, apalagi sampai menyebutku dengan panggilan 'jalang' di tempat umum."Maaf, mbak. Sudah sampai di alamat tujuan."Suara sopir yang menginterupsi membuatku sadar. "Pak, boleh minta tunggu sebentar, gak? Saya cuman mau mengambil barang-barang saya saja, setelahnya saya mau naik taksi bapak lagi. Boleh, kan?" Tanyaku."Iya, boleh mbak. Saya tunggu." Katanya.Ak
Aku tidur membelakangi mas Abi yang terlelap di belakangku. Sebenarnya, aku tidak pernah sedikitpun bisa terlelap setelah apa yang sudah kami lakukan sebelumnya. Iya, aku tahu, dia sudah berhak melakukanya, hanya saja tidakkah dia melakukannya dengan lembut dan jangan menyebut nama perempuan lain?. Ia seakan-akan melakukannya dengan perempuan itu, dengan memanfaatkan tubuhku.Bahkan kini, air mataku tidak bisa diajak kompromi untuk berhenti menangis. Aku membungkam mulutku untuk tidak bersuara, membiarkan perasaan kecewa ini hanya aku saja yang boleh merasakannya."Eughh..."Ranjang terasa sedikit bergerak. Sepertinya mas Abi sedang mengubah posisi tidurnya. Entahlah, aku tidak berminat untuk memastikan apa yang sedang dia lakukan di belakangku. Entah dia masih terlelap ataupun terbangun, untuk saat ini aku hanya mau menenangkan pikiran dan hatiku."Jam berapa ini, Alesha?"Ternyata dia bangun. Segera aku menghapus air
"Kenapa bapak keras kepala sekali? Saya sudah mengatakan sebelumnya kalau uang itu bukanlah milik saya, tapi kenapa bapak malah semakin menambah uangnya?" Tanyaku keheranan.Aku tidak tahu kalau mas Abi akan sekeras kepala ini padaku. Aku memang sudah berhasil mengembalikan uang itu semuanya tanpa ada yang dikurang-kurangi, tapi lagi-lagi dia mengirimkan ku bahkan dengan nominal yang lebih besar dari sebelumnya."Alesha, aku kan sudah katakan padamu sebelumnya kalau kamu tidak perlu bekerja dan masalah uang belanja aku yang akan menanggungnya. Anggap saja kalau uang yang aku kirim itu uang belanjamu, dan mengganti uang bayaran untuk keperluan dapur.""Dan ya, mulai sekarang aku tidak mau lagi mendengar mu memanggilku dengan panggilan bapak. Alesha, kita sudah menikah, dan aku lebih nyaman dengan panggilan mas dibandingkan dengan panggilan bapak. Kamu mengerti?"Tanpa sadar aku menganggukkan kepala. Aku mengerti dengan apa yang ia
Hancur.Itu lah yang aku rasakan saat ini. Di saat aku belum siap menerima kenyataan bahwa aku hamil anak mas Abi, malah aku mendapatkan kabar kalau dia akan menikah dengan Elisa. Lalu aku mau dikemanakan?. Aku ini istrinya, meski belum diakui sah secara hukum.Semakin kacau pikiranku. Aku hanya terdiam, duduk menunggu taksi yang melewati depan kantor mas Abi. Mungkin hampir setengah jam aku melakukan ini tanpa hal yang pasti. Menunggu dan menunggu, hingga akhirnya aku memutuskan satu hal."Aku tidak bisa lagi dalam hubungan toxic ini. Kalau aku terus-menerus seperti ini, yang ada aku malah terjebak. Aku mau mengambil bajuku dari rumah itu dan tidak mau lagi tinggal di sana." Putusku.Aku segera mengangkat barang-barang kantor milikku, melambaikan tangan untuk menghentikan taksi yang lewat. Setelah mendapatkannya, langsung tanpa pikir panjang mengatakan tujuanku pada sopir taksi itu.Niko tadi sempat mengatakan kalau dia men
Egois.Jawaban dari mas Abi sangat lah egois. Bagaimana tidak, dengan jelas dia mengatakan kalau tidak mau memilih antara aku ataupun Elisa. Maruk sekali!."Tidak satupun. Aku tidak bisa memilih antara kamu ataupun Elisa. Sebab aku punya tanggungjawab yang cukup besar pada mendiang ayahmu, sedangkan aku punya perasaan yang tidak bisa aku tinggalkan pada Elisa." Katanya."Salah satu, mas. Pilihlah agar aku tahu apa yang harus aku lakukan setelah ini. Kalau mas menikah dengan Elisa, lalu bagaimana denganku?. Meski pernikahan kita belum sah secara agama, tapi kita tetap lah suami-istri. Mungkin aku terdengar terlalu mengatur, tapi apa yang akan mas lakukan nanti kalau semisalnya Elisa tahu pernikahan kita?. Dia pasti akan marah padaku. Apalagi sampai tahu aku hamil."Dan apa jawabannya?."Maka jangan biarkan dia tahu tentang pernikahan kita. Publik hanya tahu aku menikah dengan Elisa, tanpa tahu aku menikah denganmu. Kamu menginginka
"Keluar dari kamar itu!"Berdengung telingaku mendengar mas Abi yang berteriak dari telpon ini. Padahal aku sudah berulangkali menolak untuk menerima telponnya, tapi dia memaksa ku sehingga tak punya pilihan lain. Jika aku tidak menerima panggilan telpon darinya, dia akan masuk secara paksa ke kamar hotelku.Yang aku pikirkan adalah bagaimana kalau semua itu diketahui oleh Nadia? Bahkan Elisa?. Apa yang harus aku katakan untuk menjelaskannya.Aku lah yang salah dengan membawa-bawa kebohongan kalau aku datang dengan pacarku, padahal yang sebenarnya terjadi aku bersama sahabatku sendiri."Tidak bisa, mas." Jawabku."Keluar dari sana, Alesha. Atau aku akan dobrak pintu itu!" Kata mas Abi, semakin terdengar berapi-api.Aku terkekeh. "Kenapa mas melarangku sama pria lain sedangkan mas sendiri malah sekamar juga dengan perempuan lain. Aku tahu kalau Elisa pacarmu, mas. Begitu juga denganku. Dia adalah pacarku."Pacar