Aku Alesha Sahira.
Biasa dipanggil Eca.
Arti dari namaku adalah perempuan yang diharapkan akan mendapatkan keberuntungan yang melimpah ruah dan senantiasa kuat dalam menghadapi segala cobaan.
Umurku 25 tahun dan kini menjadi sekretaris dari seorang pemimpin perusahaan yang andal. Menjadi sekretaris nyatanya bukan suatu pekerjaan yang mudah. Aku harus meluangkan banyak waktu, meski itu di luar kontrak sekalipun. Misalnya, menemaninya keluar kota yang sifatnya meeting mendadak.
Saking sibuknya, aku bahkan tidak punya waktu untuk mengurus diriku sendiri. Jangankan mengurus diri, pria pun tidak ada yang mau mendekat denganku saking sibuknya. Sedangkan di umurku yang segitu, aku sudah ditekan oleh keluarga agar cepat-cepat menikah dan memberikan mereka momongan.
Sayangnya, mereka tidak tahu kalau mempunyai momongan tidak akan semudah mengatur jadwal mas Abian Darmawangsa.
Mas Abi, atasanku yang paling perhatian. Dia tampan, murah senyum, tidak pernah sombong, baik hati dan selalu membantuku setiap saat. Ia mapan dan tidak pernah pelit pada bawahanya. Ia menjadi pimpinan di perusahaan yang bergerak di bidang real estate dan properti.
Pernah satu waktu aku lupa membawa dompet, sedangkan kondisinya waktu itu aku sedang menemaninya membelikan tas untuk pacarnya—Elisa Sarasvati. Dengan baiknya dia membelikan ku tas dari brand merek ternama dan tidak mau menerima uang ganti dariku. Aku tahu kalau satu tas saja tidak akan menghabiskan yang miliknya, tapi tetap saja itu bukan termasuk ke dalam kontrak bayaranku. Dan masih banyak lagi pertolongan-pertolongan yang mas Abi berikan padaku hingga rasanya sekedar berterimakasih saja tidak cukup.
"Eca, cepatlah pulang dan bawa pasanganmu. Ini permintaan terakhir ayahmu yang sekarang sedang sakit kritis di rumah sakit. Ibu tunggu kedatanganku segera, nak."
Pesan terakhir dari ibu yang membuatku pusing tujuh keliling sampai saat ini. Aku tidak bisa fokus meski barang satu detik pun. Pikiranku masih berkelana entah kemana. Dimana aku bisa mencari pria yang bisa aku jadikan sebagai pacar?. Pertanyaan terbesarku hanya itu.
Drt... Drt...
Seketika, fokusku tersadar saat menyadari kalau handphone ku berbunyi. Panggilan dari ibu dan aku yakin pasti dia mau membahas masalah tentangku yang harus membawa pasangan ke hadapan mereka.
"Iya, Bu?"
"Eca, ayahmu sudah lelah sakit. Kapan kamu mau membawa pacarmu ke sini. Cepatlah datang dan menikah dengannya sebelum ayahmu pergi, nak. Ibu mohon, datanglah."
Mendengar suara tangis ibu membuatku tidak tahan. Aku ikut menangis di buatnya. Tapi, aku tidak bisa menolak mereka. Apalagi sekarang kondisinya ayah sedang sakit keras.
"Nggeh, Bu. Eca akan ke solo. Katakan pada ayah kalau Eca akan bawa calon suami secepatnya." Ucapku.
Aku semakin pusing. Kali ini aku tidak bisa berpikir dengan baik. Satu-satunya yang ada di pikiranku saat ini adalah mencari pria yang mau diajak kerja sama denganku. Setidaknya hanya menjadi pacar pura-pura untuk satu hari saja.
Kepada siapa aku harus meminta tolong?. Aku tidak punya banyak teman pria yang mau membantuku. Yang saat ini dekat denganku dan dengan mudahnya mau membantu hanyalah mas Abi.
"Iya. Mas Abi."
Entah darimana ide itu muncul di pikiranku sampai nama mas Abi yang muncul. Segera beranjak menuju ruangannya, bahkan tanpa mengetuknya. Kurang ajar sekali aku ini.
"Mas, kita boleh bicara sebentar, gak?" Tanyaku padanya yang masih sibuk berhadapan dengan laptop miliknya.
Aku lihat dia melepas kacamata miliknya dan menutup laptop di depannya. Tersenyum hangat padaku dengan dagu yang bertumpu dengan tangannya. "Ada apa, Alesha?. Kamu mau bicara apa?" Tanya mas Abi lembut.
"Sepertinya kita perlu duduk berdua di sofa, mas. Apa yang mau aku bicarakan ini sifatnya sedikit sensitif." Ujarku.
Dan tentunya mas Abi mau beranjak meninggalkan kursi kebesarannya dan menghampiriku untuk duduk di sofa. Dia mengambilkan kaleng minuman untuk ku juga.
"Sepertinya kamu gugup. Minumlah." Ujarnya, memberikanmu minuman yang sudah ia buka penutupnya.
Aku mengambil minuman itu dan tak lupa mengatakan, "terimakasih, mas."
Cukup lama, kita berdua hanya disibukkan dengan pikiran masing-masing sambil menyesap minuman dari kaleng yang packagingnya hampir sama. Tapi, tetap saja aku tidak mau menunda-nundanya.
"Mas..."
"Iya?"
"Aku boleh minta tolong, gak?" Tanyaku.
"Minta tolong apa, Alesha?. Katakan saja. Kalau aku bisa membantu, aku pasti akan melalukannya." Katanya.
"Mas mau gak jadi pacar pura-pura ku?. Satu hari aja." Kataku langsung tanpa kata pemanasan sebelumnya.
Byur!
Sontak, mas Abi langsung tersedak dan menyemburkan minumannya yang belum ditelan habis.
"Pacar pura-pura?"
***
"Terimakasih mas sudah mau membantuku. Aku janji hanya untuk hari ini saja." Ujarku lagi untuk kesekian kalinya hari ini.
Mas Abi bersedia membantuku, menjadikannya pacar pura-pura hanya di depan ayah dan ibu. Aku juga tidak tahu pasti alasannya mau melakukan itu. Tapi, aku sangat bersyukur dia masih bermurah hati mau membantuku.
"Tidak masalah, Alesha. Selama ini kamu selalu membantuku, mungkin ini giliranku untuk membantumu. Toh juga hanya berpura-pura." Katanya dan tersenyum manis padaku.
"Terimakasih, mas. Sekali lagi." Ujarku.
Ceklek!
Aku membuka pintu ruang rawat ayah dan melihatnya yang terbaring lemah di atas brankar. Seketika, aku tidak bisa menahan rasa tangisku. Langsung menghampiri mereka dan tak lupa salim pada keduanya.
"Ayah, tolong bertahanlah untuk Eca. Eca sudah bawa pacar Eca sesuai dengan permintaan ayah." Tangisku di dekatnya.
Namun sayang, ayah sama sekali tidak menggubris ku. Ia sangat lemah, bahkan untuk membuka matanya pun cukup terlibat kesusahan. Melihat ayah yang seperti ini membuatku sakit. Aku sangat tidak menginginkan hal ini terjadi padanya.
"Ibu, kenapa ayah tidak bisa bicara?. Eca datang kesini untuk melihat ayah sembuh, bukan untuk melihatnya seperti ini, Bu."
Ibu hanya bisa menunduk menangis. Beliau bahkan tidak menjawabku, meski barang satu kata pun. Sedangkan mas Abi di sana hanya menunduk, tidak tahu mau melakukan apa lagi.
"Sejak kemarin ayah sudah tidak bisa bicara lagi. Terakhir kali, ayah meminta agar kamu menikah di depannya, nak." Kata ibu.
"Ibu sangat memohon padamu dan pacarmu untuk mengabulkan permintaan ayahmu. Mungkin dengan begitu, ayahmu bisa kembali pada Tuhan dengan tenang. Ibu mohon."
Nikah siri.Siapa sangka kalau pada akhirnya aku dan mas Abi menikah siri di hadapan ayah yang sekarat dan mau berpulang ke hadapan Tuhan. Sesaat setelah aku dan mas Abi sah menikah, baru kemudian ayah menyerah. Ia benar-benar meninggalkanku dan ibu.Sakit mana lagi yang Engkau ciptakan, Tuhan?. HambaMu ini tak sanggup merasakannya. Bagaimana mungkin Engkau mengambil cinta pertama hamba dengan sangat cepat, sedangkan hamba sendiri belum mengabulkan semua permintaannya?.Mas Abi selalu menarikku ketika memberontak di pemakaman ayah. Tepat di depan mataku ayah dimakamkan untuk terakhir kalinya. Menangis darah pun percuma, sebab dengan tangisan tidak akan membuatnya bisa kembali seperti sedia kala."Mas, ayah sudah pergi ninggalin aku, mas." Ujarku pada mas Abi, mencoba melepaskan tanganku darinya."Iya, aku tahu Alesha. Tapi kamu tidak bisa membangunkan ayah
Rumah yang sangat luas dan terlalu mewah bagiku. Setelah hampir satu jam lebih aku berkeliling memahami setiap sudut rumah ini, aku baru paham satu hal kalau semuanya memang baru dan perlu di isi olehku.Tembok yang kosong tidak ada bingkai foto sedikitpun, bahkan dapur pun tidak ada alat-alat masak yang bisa aku gunakan. Sepertinya memang mas Abi terlalu terburu-buru membelinya, atau rumah ini salah satu dari sekian properti miliknya.Entahlah, semakin lama, aku semakin tidak merasa enak menerima pemberian rumah ini, meski ia memaksaku dengan dalih bahwa kita sudah menikah. Meski hanya menikah siri, hanya saja aku tak pantas mendapatkannya."Aku harus minta persetujuan mas Abi besok agar mau memberiku izin mengisi rumah ini. Setidaknya ada peralatan dapur yang bisa aku pakai memasak. Lumayan kalau beli makanan terus setiap hari, mending masak sendiri." Gumamku, kemudian masuk ke kamar.Sebenarnya, aku juga tidak tahu kamar ku akan
"Mas, aku boleh tanya?" Izinku. Takutnya nanti mas Abi malah meledak-ledak dan enggan menjawabku sebab apa yang aku tanyakan ini sangatlah sensitif baginya. Tapi, sejauh aku mengenalnya, dia tak pernah sampai segitunya padaku. Atau mungkin aku tidak mengenal dirinya yang sebenarnya."Boleh." Ujarnya.Dia mengunci mobil dan mengajakku untuk masuk ke mall. Sebab katanya, nanti kita sarapan dulu di dalam dan setelahnya membeli perlengkapan rumah.Iya, khusus hari ini, mas Abi mengatakan kalau kita tidak masuk kerja. Lagipula, ini hari Jumat dan biasanya tidak ada laporan yang masuk ke emailku. Kalaupun ada, aku akan jadwalkan ke hari Senin sebab hari Jumat memiliki jam kerja yang cukup singkat."Hmm.... Kalau tidak keberatan, aku boleh tahu alasan mas kenapa pulang dalam keadaan mabuk?. Jujur saja, itu pertama kalinya aku melihat mas seperti itu." Tanyaku sedikit ragu. Apalagi saat aku bertanya hal demikian, dia malah mendelik menatap
Setelah cukup lama berjimbaku dengan barang-barang dapur beserta isinya, aku memutuskan untuk menyudahinya dan pulang ke kontrakan.Sepanjang perjalanan aku memikirkan bagaimana hubungan mas Abi dan Elisa yang sepertinya menjadi rumit karena aku. Tapi, aku juga tidak sepenuhnya salah sebab mas Abi tidak terbuka dengan apa yang ada. Seburuk apapun itu, setidaknya dalam hubungan tidak boleh ada yang disembunyikan. Aku bukan berarti memaksa mas Abi untuk mengakui kalau kita berdua sudah menikah, hanya saja setidaknya dalam pertengkaran mereka tidak boleh membawa-bawa namaku, apalagi sampai menyebutku dengan panggilan 'jalang' di tempat umum."Maaf, mbak. Sudah sampai di alamat tujuan."Suara sopir yang menginterupsi membuatku sadar. "Pak, boleh minta tunggu sebentar, gak? Saya cuman mau mengambil barang-barang saya saja, setelahnya saya mau naik taksi bapak lagi. Boleh, kan?" Tanyaku."Iya, boleh mbak. Saya tunggu." Katanya.Ak
Aku tidur membelakangi mas Abi yang terlelap di belakangku. Sebenarnya, aku tidak pernah sedikitpun bisa terlelap setelah apa yang sudah kami lakukan sebelumnya. Iya, aku tahu, dia sudah berhak melakukanya, hanya saja tidakkah dia melakukannya dengan lembut dan jangan menyebut nama perempuan lain?. Ia seakan-akan melakukannya dengan perempuan itu, dengan memanfaatkan tubuhku.Bahkan kini, air mataku tidak bisa diajak kompromi untuk berhenti menangis. Aku membungkam mulutku untuk tidak bersuara, membiarkan perasaan kecewa ini hanya aku saja yang boleh merasakannya."Eughh..."Ranjang terasa sedikit bergerak. Sepertinya mas Abi sedang mengubah posisi tidurnya. Entahlah, aku tidak berminat untuk memastikan apa yang sedang dia lakukan di belakangku. Entah dia masih terlelap ataupun terbangun, untuk saat ini aku hanya mau menenangkan pikiran dan hatiku."Jam berapa ini, Alesha?"Ternyata dia bangun. Segera aku menghapus air
"Kenapa bapak keras kepala sekali? Saya sudah mengatakan sebelumnya kalau uang itu bukanlah milik saya, tapi kenapa bapak malah semakin menambah uangnya?" Tanyaku keheranan.Aku tidak tahu kalau mas Abi akan sekeras kepala ini padaku. Aku memang sudah berhasil mengembalikan uang itu semuanya tanpa ada yang dikurang-kurangi, tapi lagi-lagi dia mengirimkan ku bahkan dengan nominal yang lebih besar dari sebelumnya."Alesha, aku kan sudah katakan padamu sebelumnya kalau kamu tidak perlu bekerja dan masalah uang belanja aku yang akan menanggungnya. Anggap saja kalau uang yang aku kirim itu uang belanjamu, dan mengganti uang bayaran untuk keperluan dapur.""Dan ya, mulai sekarang aku tidak mau lagi mendengar mu memanggilku dengan panggilan bapak. Alesha, kita sudah menikah, dan aku lebih nyaman dengan panggilan mas dibandingkan dengan panggilan bapak. Kamu mengerti?"Tanpa sadar aku menganggukkan kepala. Aku mengerti dengan apa yang ia
Hancur.Itu lah yang aku rasakan saat ini. Di saat aku belum siap menerima kenyataan bahwa aku hamil anak mas Abi, malah aku mendapatkan kabar kalau dia akan menikah dengan Elisa. Lalu aku mau dikemanakan?. Aku ini istrinya, meski belum diakui sah secara hukum.Semakin kacau pikiranku. Aku hanya terdiam, duduk menunggu taksi yang melewati depan kantor mas Abi. Mungkin hampir setengah jam aku melakukan ini tanpa hal yang pasti. Menunggu dan menunggu, hingga akhirnya aku memutuskan satu hal."Aku tidak bisa lagi dalam hubungan toxic ini. Kalau aku terus-menerus seperti ini, yang ada aku malah terjebak. Aku mau mengambil bajuku dari rumah itu dan tidak mau lagi tinggal di sana." Putusku.Aku segera mengangkat barang-barang kantor milikku, melambaikan tangan untuk menghentikan taksi yang lewat. Setelah mendapatkannya, langsung tanpa pikir panjang mengatakan tujuanku pada sopir taksi itu.Niko tadi sempat mengatakan kalau dia men
Egois.Jawaban dari mas Abi sangat lah egois. Bagaimana tidak, dengan jelas dia mengatakan kalau tidak mau memilih antara aku ataupun Elisa. Maruk sekali!."Tidak satupun. Aku tidak bisa memilih antara kamu ataupun Elisa. Sebab aku punya tanggungjawab yang cukup besar pada mendiang ayahmu, sedangkan aku punya perasaan yang tidak bisa aku tinggalkan pada Elisa." Katanya."Salah satu, mas. Pilihlah agar aku tahu apa yang harus aku lakukan setelah ini. Kalau mas menikah dengan Elisa, lalu bagaimana denganku?. Meski pernikahan kita belum sah secara agama, tapi kita tetap lah suami-istri. Mungkin aku terdengar terlalu mengatur, tapi apa yang akan mas lakukan nanti kalau semisalnya Elisa tahu pernikahan kita?. Dia pasti akan marah padaku. Apalagi sampai tahu aku hamil."Dan apa jawabannya?."Maka jangan biarkan dia tahu tentang pernikahan kita. Publik hanya tahu aku menikah dengan Elisa, tanpa tahu aku menikah denganmu. Kamu menginginka