Usai hari kerja yang super melelahkan, malam ini tim konten berada di sebuah resto yang telah secara khusus disewa Alana untuk makan malam tim mereka. Wanita tiga puluh tahun itu bilang, dia hanya ingin merayakan beberapa pencapaian tim dengan sebuah jamuan makan malam. Sebenarnya, ini bukan kali pertama karena ketua tim yang baik itu memang sudah beberapa kali memboyong timnya untuk acara serupa. Semuanya dengan riang hadir, makan malam gratis siapa yang hendak menolak, coba?Hanya Dinara yang jelas tahu apa maksud utama pertemuan malam ini. Mungkin setelah Alana menjelaskan tujuannya, dia pikir suasana tim akan sedikit campur aduk. Dinara yakin mereka bahagia akan kabar pernikahan Alana, tapi bagaimana respon mereka saat tahu bahwa Alana akan segera meninggalkan tim?Alana bisa dibilang merupakan leader idaman. Bahkan banyak tim lainnya yang iri dengan kekompakan dan sinergi divisi mereka berkat leadership Alana. Wanita itu bukan sekedar perfeksionis, dia adalah sosok yang menguatk
“Mimpi apa gue semalem? Ini mah double kill!” Stecia mencubit kecil pinggang Dinara yang duduk disampingnya. Dihadapan mereka sekarang ini duduk berjejer sang penguasa muda Arkasa Pradipta dan Sandi Arsena. Makhluk-makhluk luar biasa tampan yang tiba-tiba ikut hadir memenuhi undangan Alana. Kalila juga sama tak berkedip. Dia tahu Sandi adalah lelaki yang tengah mendekati Dinara, juga Arkasa calon suami bosnya sendiri. Tapi tak pernah tahu bahwa dua manusia kelewat tampan itu masih satu keluarga besar. Apalagi duduk bersebelahan dengan aura bersinar seperti itu. “Saya minta maaf karena terlambat,” ujar Arkasa sopan. Dia dan Sandi memang datang sedikit terlambat setelah hampir sepuluh menit tim itu makan duluan. “Nggak apa, pak. Toh kita kan santai saja ya disini,” ujar Stecia tanpa berkedip. Mas Alam diujung meja sudah hampir tertawa melihat wajah cengo rekan kerjanya itu. Mereka melanjutkan makan malam santai sembari sesekali tertawa. Sandi awalnya sedikit kikuk karena tiba-tiba
“Astaga!”Dinara kaget bukan main saat menemukan presensi manusia tinggi yang kini tengah tiduran santai diatas ranjangnya. Gadis itu baru saja keluar dari kamar mandi. Untung saja kali ini dia tidak lupa membawa dan mengenakan pakaiannya saat masih berada di dalam kamar mandi. Jadi tidak akan ada adegan keluar hanya mengenakan handuk. Melirik jam dinding, ini benar-benar masih pukul sepuluh pagi. Janji temu mereka masih pukul tiga sore. Bukankah Sandi berada di rumahnya terlalu dini? Tapi melihat wajah lelah yang tergambar meskipun dalam tidur, Dinara menekan protesnya. Termasuk pasal Sandi yang tiba-tiba saja masuk ke dalam kamarnya tanpa dia ketahui. Dia hendak membangunkan kekasihnya, namun disaat bersamaan suara ketukan di pintunya terdengar. Tanpa repot membuka pintu, Dinara dapat mendengar bagaimana sibuknya sang adik hingga bicara amat buru-buru. “Kak Nara aku berangkat acara pelantikan dulu, ya! Dianter supir terus nanti balik jam 5 sore!” Selebihnya hanya ada gedebuk-ge
Tidur siang mungkin hanya mitos. Pada kenyataannya, sepasang insan itu pada akhirnya menghabiskan waktu dengan cuddle manja sembari berbincang kecil pasal aneka hal random. Dinara cukup sadar bahwa detak jantungnya sejak tadi masih berpacu cepat. Dia hanya berharap bahwa Sandi tak sampai mendengarnya. Meskipun faktanya, detak jantung Sandi pun sama berisiknya. Akan selalu sama seperti itu. Mereka seolah tak akan pernah merasa cukup terbiasa mendapatkan afeksi menyenangkan dan berdegup kencang berkat satu sama lain. Sentuhan kecil dengan bumbu senyum malu- malu kucing ataupun tautan dengan tatapan dalam, semua itu masih sama mengirimkan sengatan menyenangkan. Mungkin inilah yang namanya sedang kasmaran. Apapun terasa indah saat berdua. Jemari keduanya saling bertautan, sesekali Sandi mencuri kecupan kecil dan menggelitiki kekasihnya hingga mereka berdua saling bertukar tawa. Dinara sama sekali tak pernah menyangka bahwa dirinya juga akan merasakan hal- hal manis semacam ini. Dia ta
Keduanya tiba di Kafe Kelana sekitar pukul enam sore. Parkiran sudah cukup penuh dipadati pengunjung yang lalu lalang di areal kafe. Sandi mengamit pelan lengan kekasihnya, menembus keramaian sekaligus banyak pasang mata yang terang-terangan memandang mereka. Keduanya tidak tuli, sama-sama bisa menangkap nama mereka disebut-sebut disana. Dinara tahu kedai ini memang katanya sarang dari fans-fansnya Sandi sebelumnya. Didominasi oleh kaula muda yang mungkin nongkrong malam minggu, Dinara rasa ada banyak wajah familiar yang dia temui disana. Sebut saja beberapa teman Sandi yang sempat beberapa kali bertandang ke rumah Sandi. Juga beberapa adik kelas semasa SMA atau anak-anak lain yang dia pernah dia lihat tapi tak tahu namanya. Sandi begerak luwes, tersenyum menyambut ramah banyak sapaan disana. Terlihat bahwa dirinya memang pelanggan setia yang sering mampir tanpa mampu dihitung berapa banyak lagi kuantitinya.Keduanya berhasil menembus areal outdoor yang cukup ramai dan masuk kedala
Indra pengecap Dinara berfungsi dengan baik, terutama kala dia merasakan langsung bagaimana pasta seafood yang Sandi pesankan untuknya ternyata amat memenuhi seleranya. Gadis itu bukan seseorang yang picky terhadap makanan, tapi ketika ada sesuatu yang terasa luar biasa seperti ini bagaimana mungkin dia tidak menyukainya? Apapun yang terjadi, Dinara memastikan akan kembali lagi kesini untuk memilih menu yang sama seperti yang dia pilih hari ini. Mutlak! Disebelahnya, Sandi juga tengah menikmati makanannya sembari berbincang serius dengan Adrian dan Bian. Saat Bian baru datang tadi, dia telah sempat berkenalan juga dengan Dinara. Pria itu rupanya salah satu kakak tingkat Sandi di kampus dan sudah lebih dulu berkecimpung di bidang properti. Sependengaran Dinara, ketiga pria itu hendak memulai usaha joinan juga, entah akan seperti apa formatnya nanti. Mungkin karena terlalu tersihir oleh makannnya, Dinara sampai tak menyadari bahwa tiga manusia dihadapannya sangat terhibur oleh kefoku
Pagi yang cerah untuk jiwa mageran. Dinara membuka matanya dengan malas saat mendapati cahaya sang surya menyelinap masuk melalui celah jendela kamarnya. Ini pukul tujuh pagi di hari minggu. Biasanya dia akan memilih untuk lanjut tiduran, tapi dia rasa harus mulai kembali membiasakan tubuhnya untuk bangun pagi lebih rajin.Ingat! Semua terbentuk karena kebiasaan!Setelah mencuci wajah, otaknya mungkin baru mulai berfungsi lebih baik. Berhenti di depan standing mirror untuk menyadari bahwa dia masih menggunakan baju semalam. Diatas meja juga terdapat beberapa kapas berisi bekas makeup yang sepertinya miliknya. Seingatnya semalam dia tertidur di dalam mobil Sandi. Namun sama sekali tak punya ingatan tentang bagaimana dia masuk ke dalam rumah dan membersihkan wajah. Apa ini semua ulah kekasihnya?Dia meraih ponsel disebelah slingbag nya kemarin, tak menemukan pesan apapun dari Sandi. Tapi karena Dinara juga tipikal yang gengsi chat duluan, jadilah Dinara melempar kembali ponselnya dan
Tidak semua isi lemari dia boyong masuk ke dalam tas besar. Hanya ada beberapa setel kemeja, celana kain, jeans, pakaian kasual serta pakaian rumahan yang dia masukkan. Begitu juga beberapa sepatu mahal untuk beragam ocassion. Sementara perintilan kecil dan peralatan kerja secara lengkap dia masukkan kedalam ransel. Suara ketukan pintu terdengar, Sandi menoleh setelah membiarkan seseorang masuk dan menutup kembali pintunya. Alisnya mengernyit, bukan berarti tak suka—hanya saja ini kali pertama melihat Danilla berani masuk ke dalam kamarnya.Gadis pucat itu menunduk setelah melihat barang-barang yang Sandi packing rapi. Sandi dengan jelas melihat kegugupan Danilla dari jemarinya yang saling tertaut.“Kenapa?” tanya Sandi pada akhirnya. Dia tidak terlalu nyaman berada bersama Danilla dalam satu ruang untuk waktu yang lama. Danilla mengangkat wajahnya—jelas menahan diri sebelum akhirnya berani membuka mulutnya. “A-ada yang bisa aku bantu nggak?” Sandi mengerutkan keningnya bingung,