“Udah nikah lima tahun, tapi masih belum bisa kasih anak. Ibu rasa sudah cukup, Sakti! lebih baik kalian bercerai saja!”
Nawa baru saja akan menyambut kepulangan suaminya, Sakti, karena hari ini adalah hari jadi kelima pernikahan mereka. Wanita itu sudah menyiapkan Kue tart juga kado spesial untuk sang suami. Namun, mendengar suara Sulasmi, Ibu mertuanya, membuat Nawa diam terpaku. Ia urung melangkah menuju ke teras rumah. “Tadi Ibu baru saja ketemu Bu Intan dan Bu Atik di warung. Mereka menghina Ibu, karena punya menantu mandul! Ibu malu, Sakti” Nawa mengepalkan jemarinya, mencoba menahan kesedihan karena disebut mandul oleh Ibu mertuanya sendiri. “Udahlah, Sakti. Ceraikan saja istri kamu itu. Biar Ibu kenalkan dengan wanita lain yang bisa kamu nikahi, dan tentunya bisa memberikan keturunan untuk kamu” Apa?! Ibu mertuanya, menyuruh sang suami untuk menikah lagi?! ‘Nggak, Mas Sakti nggak mungkin memenuhi permintan ibunya…’ batin Nawa, berusaha menghibur dirinya sendiri. Mengingat mereka menikah lima tahun yang lalu karena saling mencintai satu sama lain. “Terserah Ibu saja. Kalau Ibu maunya begitu, ya sudah..” DEG! Nawa membelalak tak percaya, mendengar jawaban Suaminya. Bukannya menolak, namun sang suami justru berkata semua terserah Ibunya. Apakah itu artinya Sakti setuju untuk bercerai dengannya dan menikah lagi dengan wanita lain? Mata Nawa memanas, menahan air mata yang sudah siap tertumpah. Namun ia berusaha untuk menguatkan dirinya sendiri. Tak lama, kembali terdengar suara Sakti, suaminya, “Hubunganku dengan Nawa juga sudah terasa hambar Bu. Dia tak lagi bisa menjaga penampilannya. Tidak seperti dulu, Nawa suka berdandan, dan selalu berusaha tampil cantik. Tapi sekarang.. “ Nadanya terdengar begitu merendahkan. Sulasmi tertawa mengejek. Ia justru terlihat senang, mendengar Sakti berkata seperti itu. Artinya, jalannya akan semakin mulus untuk menikahkan Sakti dengan wanita pilihannya. “Kamu benar Sakti. Nawa sudah tidak cocok lagi bersanding dengan kamu.Kamu semain hari, semakin terlihat gagah. Sementara Nawa, semakin lusuh saja” Hati Nawa hancur berkeping-keping saat mendengar percakapan yang sangat merendahkan dari orang yang selama ini dianggapnya sebagai keluarga. Padahal selama ini, ia selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk suami dan Ibu mertuanya. Nawa bahkan rela mengurus rumah dari pagi hingga malam, menyiapkan makanan, bahkan menghemat untuk tidak membeli pakaian ataupun perlengkapan make up, agar tidak memboroskan uang suaminya. Namun sebaliknya, semua yang ia lakukan sama sekali tidak dihargai. “Na-Nawa? Sejak kapan kamu berdiri di situ?” Sakti terkejut ketika menyadari keberadaan Nawa di depan pintu. Dia tidak menyangka, sang istri telah mendengar semuanya. Namun, raut wajahnya tak nampak bersalah atas apa yang telah ia ucapkan tentang istrinya. Sakti melangkah memasuki rumah, diikuti oleh sang ibu dari arah belakang. Sulasmi langsung menutup pintu, agar para tetangga tak mendengar kericuhan yang terjadi. “Apa maksudnya semua ini, Mas?!” Nawa berucap dengan lemah. Matanya yang berkaca-kaca memancarkan kekecewaan. “Kamu mau bercerai denganku dan menikah lagi!?” Mendengar pertanyaan itu, Sulasmi justru menatap angkuh Nawa, “Sakti akan menikah lagi sama perempuan yang lebih cantik dan pintar. Kenapa? Kalau kamu tidak setuju, ya sudah bercerai saja." Nawa terperangah mendengar ucapan Sulasmi. Ia menatap nanar ke arah sang suami. Nada suaranya pun sedikit meninggi. “Benar itu, Mas? tolong jawab pertanyaan aku!” “Kenapa kamu masih menanyakan hal itu lagi? kamu kan sudah mendengar semuanya Nawa!” Sulasmi menyahuti pertanyaan sang menantu. Nawa mengisyaratkan, agar sang Ibu mertua tidak ikut campur urusan rumah tangganya. “Saya hanya ingin mendengar semuanya dari mulut suami saya sendiri Bu. Tolong,Ibu jangan ikutan berbicara!” “Eeeh.. lancang kamu ya, berbicara begitu kepada saya! kamu sadar kan Nawa, pernikahan kalian sudah lima tahun. Tetapi tidak ada tanda-tanda kamu akan memberikan saya cucu! Sakti itu anak saya satu-satunya. Kalau dia tidak memiliki keturunan, siapa yang akan meneruskan garis keturunan keluarga kami?” Nawa melirik ke arah sang suami. Berharap, Sakti akan membelanya atau mengucapkan Sesuatu yang mungkin bisa menenangkan hatinya. Tapi nyatanya, sang suami hanya bungkam, seolah mendukung perkataan ibunya. “Saya yang menanggung malu,Nawa! Saya yang menjadi bahan gunjingan tetangga, karena memiliki menantu yang mandul!” Lagi-lagi, kata menyakitkan itu yang terdengar,membuat Nawa semakin merasa tertekan. Padahal mereka sama sekali belum pernah melakukan pemeriksaan ke Dokter. Jadi belum bisa dipastikan, apa yang menyebabkan Nawa tak kunjung mengandung hingga saat ini. “Mas...” Tanpa basa-basi,Nawa menarik lengan Suaminya, menjauh dari Ibu mertuanya. Ia masih merasa shock atas apa yang baru saja ia dengar. “Jadi kamu mau menceraikan aku? kamu mau menceraikan aku, dan menikah dengan wanita lain? Benar begitu Mas?” Sakti menatap angkuh sang istri. Karena memang, ia sudah tak lagi tertarik meneruskan pernikahan ini. Semakin hari, Nawa semakin terlihat lusuh di matanya. Berbeda dengan dirinya, yang sering mendapatkan pujian dari orang-orang di luaran sana, tentang ketampanannya. “Semuanya terserah Ibu” Jawab Sakti, datar. “Maksud kamu? yang menikah itu kita, Mas. Masa harus tergantung ibu kamu? kamu ingat kan, bagaimana pengorbanan aku dulu, agar bisa menjadi istri kamu? aku rela meninggalkan keluargaku! Tapi apa yang aku dapatkan sekarang? kamu malah membuang aku gitu aja, hanya demi memenuhi keinginan Ibu kamu!” “Cukup Nawa! Jangan ungkit masa lalu lagi. Bukan hanya Ibu yang menginginkan cucu. Tapi aku juga ingin sekali memiliki keturunan!” Sergah Sang Suami. “Jadi kamu ingin, kita bercerai saja?” Sakti tak mnjawab apa-apa Tetapi Nawa menyimpulkan seperti itu. Suara ketukan di pintu, menghentikan perdebatan yang terjadi. Sulasmi bergegas membukakan pintu, dan seorang wanita cantik berambut panjang dan berdandan cukup seksi, telah berdiri di depan pintu. “Elena?” “Tante Sulasmi..” Wanita itu menyalami, lalu memeluk erat Sulasmi. Nawa mulai merasa curiga, siapa wanita ini sebenarnya. “Ternyata kamu datangnya sekarang ya El, kenapa nggak bilang-bilang Tante dulu sih, biar Tante bisa masakin sesuatu untuk kamu” ‘Hah? Sulasmi ingin memasak untuk wanita itu?’ Nawa mencebikkan bibirnya. Karena selama ini, dirinyalah yang selalu menyiapkan masakan, ataupun membersihkan rumah itu. Sampai-sampai, ia sering dikira pembantu oleh orang-orang yang datang bertamu. “Mari masuk El. Ngapain masih berdiri di depan pintu sih?” Sulasmi menggandeng lengan Elena menuju ke ruangan tamu. Tempat di mana Sakti dan Nawa berada saat ini. “Sakti, perkenalkan, ini Elena, anak teman Ibu. Dia ini.. calon istri kamu” Nawa tersentak medengar perkataan ibu mertuanya. Bahkan Sualsmi tak lagi menganggapnya ada di tempat itu. Tega-teganya sang Ibu mertua memperkenalkan Elena sebagai calon istri suaminya, tepat di hari ulang tahun pernikahannya. Tentunya, ini bukanlah hadiah yang ia harapkan.Nawa meninggalkan ruangan tamu, ketika sang Ibu mertua bersama Elena dan juga Sakti, masih berbincang. Ia memasuki kamar, lalu menangis sejadi-jadinya. Hatinya semakin sakit, saat membuka lemari, lalu melihat kue tart dan juga kado ulang tahun pernikahan yang sengaja ia simpan di situ, untuk diberikan kepada suaminya. Tangisan Nawa pun semakin pilu. Sayup terdengar olehnya, suara perbincangan akrab dari arah ruangan tamu. Sakti gampang sekali dekat dengan wanita itu, bahkan mereka kini tertawa bersama. Nawa tak habis pikir, mengapa Ibu mertuanya dan juga sang Suami tega melakukan hal ini kepadanya.Padahal Nawa selalu berusaha untuk menjadi istri yang terbaik untuk Sakti. ‘Aku nggak boleh cengeng. Aku nggak boleh lemah’ kalimat itu ia ucapkan berulang-ulang di dalam hati. Tetapi semakin berusaha kuat, ia justru semakin merasa lemah. Wanita mana yang bisa menerima dengan lapang dada,jika dirinya dimadu? apapun alasannya, Nawa tidak rela jika diduakan. *** “Sakti, Elena ini
“Nawa?” Tak tahu lagi hendak ke mana, Nawa memutuskan untuk mendatangi tempat kos Airin, sahabat karibnya saat SMA dulu. Gadis itu tentunya terkejut melihat Nawa yang basah kuyup malam ini, dan kedua mata sang sahabat membengkak, akibat terlalu banyak menangis. “Rin, aku boleh numpang di sini dulu nggak, untuk sementara?” “Loh, kenapa? kamu lagi ada masalah dengan Sakti?” Tentunya, Airin sangat mengenal Sakti, laki-laki yang dulu satu SMA dengannya dan juga Nawa. Ia yang paling tahu bagaiamana perjalanan cinta Sakti dan Nawa, hingga keduanya bisa menikah, walaupun tanpa restu kedua orang tua Nawa. Melihat Nawa yang sepertinya enggan untuk menceritakan persoalan pribadinya, maka Airin pun tak ingin memaksa. “Masuk aja dulu, yuk. Kamu udah basah banget. Mandi ya, kamar mandinya ada di sebelah sana” Airin menunjukkan kamar mandi yang tak terlalu lebar ukurannya, terdapat di sudut kamar. Nawa pun melangkah masuk, lalu meletakkan koper miliknya, di samping ranjang. Cukup
“Sah!” Suara para pria yang menjadi saksi pernikahan Sakti dan Elena, bergemuruh di rungan tamu kediaman Sualsmi. Senyuman wanita itu merekah, saat menyaksikan putra semata wayangnya yang kini bersanding dengan wanita pilihannya. Tanpa menceraikan Nawa terlebih dahulu, dengan alasan tak tahu wanita itu kini berada di mana, Sakti nekat menikahi Elena. Yang lebih lucunya lagi, Elena bersedia menjadi istri kedua dari Sakti. “Ibu senang sekali, akhirnya kalian menikah juga” Sulasmi memeluk erat menantu barunya. Ia menaruh harapan besar, kalau Elena bisa memberikan cucu untuknya. “Tadi tetangga-tetangga banyak yang memuji Istri kamu loh, Sakti. Katanya, Elena cantik, cocok jadi Istri kamu” “Ah, Ibu bisa aja” Elena tersenyum malu-malu. Bangga, atas segala pujian yang dilontarkan oleh Ibu mertuanya. “Abis ini, langsung ke kamar aja ya. Biar cepat jadinya” Sulasmi menyenggol bahu putranya. Ia sangat yakin, Elena bisa memberikan cucu untuknya. Yang pasti, ia kini akan dipui-
“Agak aneh nggak sih, Rin?” Nawa mematut dirinya di depan cermin. Airin baru saja menggunting rambutnya, membuatnya merasa asing dengan penampilannya sendiri. Apalagi, dengan Riasan make up yang menempel di wajahnya. Membuat Nawa seperti tak mengenali dirinya lagi. Airin menatap takjub ke arah sang sahabat.Ia juga tak menyangka, hasil riasannya akan sesempurna ini. “Rin, kenapa? kamu pasti juga ngerasa aku aneh kan?” Selidik Nawa. “Wa, kamu tuh cantik bangeeet” Airin mengatakan hal itu sambil melompat kegirangan. Membuat Nawa bingung melihat tingkah gadis ini. “Kamu tuh nyaris sempurna, Nawa. Model ternama sekalipun, lewat deh. Andaikan aja, si Sakti ngelihat kamu kaya gini, pasti dia udah bersujud minta balikan!” Airin kesal saat mengatakan hal itu. Ia sudah mendengar dari Nawa, apa yang menyebabkan sang sahabat meninggalkan kediaman mertuanya. Mendengar nama Sakti disebut, Nawa sontak terdiam. Statusnya masih istri dari Sakti sekarang. Ia tak tahu bagaimana caranya
Entah dorongan dari mana, Sakti berlarian ke luar, hendak mengejar wanita tersebut. Tetapi sayangnya, wanita yang ia yakini adalah Nawa, tak lagi terlihat di sekitaran halaman Café.Sakti meraih ponsel dari saku celana, hendak menghubungi nomor sang istri. Tapi ternyata, ponsel Nawa sedang tidak aktif. Atau mungkin saja. ia sengaja mengganti nomonya, agar Sakti tak bisa menghubunginya lagi. Karena memang, sejak Nawa meninggalkannya, Sakti tak pernah berusaha untuk mencari tahu kabarnya, hingga hari ini mereka dipertemukan secara tidak sengaja.Berbagai pemikiran buruk melintas di benaknya. Apa mungkin, Nawa kini menemukan pria lain pengganti dirinya, hingga wanita yang masih berstatus istrinya itu merubah penampilannya? entah mengapa, Sakti merasa cukup terganggu dengan pemikirannya sendiri.Sakti tersentak dari lamunan panjang, saat mendengar suara panggilan masuk dari nomor Elena, istri keduanya. Ia pun langsung menjawab panggilan tersebut.“Hallo”“Hallo, Mas, kamu lagi ada di mana
Seperti pagi sebelumnya, Sakti kembali bangun terlambat. Jam sudah menunjukkan pukul 07.15. Itu artinya, ia hanya memiliki waktu lima belas menit saja, untuk bersiap-siap berangkat ke kantor.Ia menatap ke arah Elena, yang kini masih tertidur lelap. Sepertinya, sang istri memang tak berniat untuk mengurusi segala keperluannya,seperti yang biasa dilakukan oleh Nawa.“Sakti.. Elena, nggak pada berangkat ke kantor?”Suara seruan Sulasmi, terdengar di depan pintu. Elena membuka matanya, dan ia langsung terkejut saat melihat jam di dinding.“Mas, kamu kenapa nggak bangunin aku, sih? kan aku harus ngantor pagi ini!”Elena bangkit dari tempat tidurnya, lalu bergegas menuju ke kamar mandi. Dan Sakti terdiam, mendengar perkataan sang istri.“Bukannya harusnya kamu, yang bangunin aku?”Perkataan Sakti memang tak mendapatkan tanggapan apapun.Karena Elena kini sudah memasuki kamar mandi.Sakti meraih handuk, lalu beranjak menuju ke kamar mandi yang terletak paling belakang, di dekat dapur. Tentu
“Berarti, kamu jadi pindah dari kosan aku,Wa?”Airin menanyakan hal itu kepada sang sahabat, melalui panggilan suara. Nawa memang sengaja mencari tempat tinggal untuknya, agar tidak menjadi beban dalam hidup Airin.“Iya Rin, ini aku lagi ada di Gang Jambu, deket banget dari Slay Café. Lagi survey kamar kos-kosan yang disewakan di sini” “Padahal kamu nggak usah buang-buang duit,Wa. Tinggal bareng aku aja, kenapa sih?” Airin tulus mengatakan hal itu.Karena ia memang merasa nyaman tinggal bersama Nawa.“Nggak apa-apa, Rin. Kita kan masih bisa ketemuan di Cafe, atau kamu main ke sini. Yang pasti, kita akan selalu menjadi sahabat, walaupun udah nggak tinggal bareng lagi”Nawa bersama sang pemilik kos, kini sedang berada di salah satu kamar yang tak terlalu luas. Tapi tampaknya cukup nyaman, karena dilengkapi dengan kamar mandi di dalam, juga kompor untuk memasak.“Rin, udahan dulu, ya.Nanti aku hubungi kamu lagi”Nawa mengakhiri panggilan suara, agar bisa menanyakan lebih banyak tentang