“Sah!”
Suara para pria yang menjadi saksi pernikahan Sakti dan Elena, bergemuruh di rungan tamu kediaman Sualsmi. Senyuman wanita itu merekah, saat menyaksikan putra semata wayangnya yang kini bersanding dengan wanita pilihannya. Tanpa menceraikan Nawa terlebih dahulu, dengan alasan tak tahu wanita itu kini berada di mana, Sakti nekat menikahi Elena. Yang lebih lucunya lagi, Elena bersedia menjadi istri kedua dari Sakti. “Ibu senang sekali, akhirnya kalian menikah juga” Sulasmi memeluk erat menantu barunya. Ia menaruh harapan besar, kalau Elena bisa memberikan cucu untuknya. “Tadi tetangga-tetangga banyak yang memuji Istri kamu loh, Sakti. Katanya, Elena cantik, cocok jadi Istri kamu” “Ah, Ibu bisa aja” Elena tersenyum malu-malu. Bangga, atas segala pujian yang dilontarkan oleh Ibu mertuanya. “Abis ini, langsung ke kamar aja ya. Biar cepat jadinya” Sulasmi menyenggol bahu putranya. Ia sangat yakin, Elena bisa memberikan cucu untuknya. Yang pasti, ia kini akan dipui-puji oleh para tetangga. Karena memiliki menantu yang sangat cantik, dan memiliki pekerjaan yang bagus. *** “Mas, ini kayaknya kamar kita agak kusam ya, warna dindingnya. Bisa nggak sih, di cat ulang aja?” Elena yang baru saja memasuki kamar, mengamati sekeliling. Sepertinya, ia wanita yang perfeksionis, yang menginginkan segala sesuatu harus sesuai dengan keinginannya. “Emang sih, udah lama nggak dicat ulang. Nanti aku usahain deh” Sakti mulai merasa, Elena berbeda dengan Nawa. Jika Nawa adalah wanita yang sangat penurut dan jarang menuntut sesuatu, sepertinya, Elena malah sebaliknya. Wanita yang masih memakai pakaian akad nikah itu, melangkah pelan menuju ke meja rias yang terdapat di kamar itu. Ia menatap remeh, barang-barang peninggalan Nawa yang masih tersisa di atas meja. “Mas, ini punya Nawa semua? masih ada ya, zaman sekarang, cewek yang pake bedak tabur kayak gini? Emangnya bayi?” Elena mengangkat benda tersebut dengan sebelah tangannya. Seolah ia merasa jijik untuk menyentuhnya. “Aku buang aja ya, semuanya. Aku nggak suka aja ada sisa-sisa peninggalan wanita itu” Sakti menghela napasnya, lalu memeluk sang istri dari belakang. Bibir hangatnya, mulai menjelajahi ceruk leher sang istri. “Terserah kamu aja. Kamar ini milik kamu sekarang..” Elena mulai terbuai akan sentuhan hangat laki-laki itu. Sakti cukup romantis menurutnya. Ditambah lagi, wajahnya yang tampan, membuat Elena sangat tergoda ingin menikmati malam panjang ini bersamanya. Selayaknya pengantin baru, pasangan itu mulai saling meluapkan hasrat masing-masing. Setelahnya, hanya desahan napas dan erangan kenikmatan, yang terdengar di dalam kamar itu. *** “Hei, Wa, belum tidur kamu?” Nawa membukakan pintu untuk Airin yang baru saja pulang dari bekerja. Ia mendapatkan shift malam, dan tiba di kamar kos sekitar pukul 12 malam. “Aku udah nyiapin teh jahe buat kamu, Rin. Diminum ya, biar badannya seger” Ucap Nawa, sembari menunjuk ke arah meja. Airin langsung tersenyum akan perhatiannya. “Makasih ya Wa. Kamu emang baik banget.Semenjak kamu ada di sini, kamar kos ini jadi terawat. Nggak berantakan kayak biasanya. Nawa senang mendengar perkataan sang sahabat. Setelah seminggu ia tinggal di tempat ini, tak ada lagi yang bisa ia lakukan, selain bersih-bersih, dan membantu Airin memasak. “Wa, Minggu depan, Café yang baru itu udah mau dibuka, loh. Aku udah kasih surat lamaran kerja kamu, ke bos aku. Katanya, besok kamu bisa datang ke Café, buat interview..” “Beneran?” Nawa tampak sangat bersemangat. Kedua matanya membola saat ini. “Beneran doong, kamu ikut aku besok ya. Tapi sebelumnya, aku mau make over kamu dulu, boleh nggak?” “Maksudnya gimana?” Tanya Nawa, polos. Airin tersenyum, lalu merapikan rambut sang sahabat. “Jadi gini Wa, kamu jangan tersinggung tapi ya" Nawa mengangguk singkat. Karena tak mungkin ia akan berkecil hati, apapun yang akan dikatakan oleh Airin nantinya. “Kalo kerja di Café tuh, kita kan bakalan ketemu banyak orang. Jadi setidaknya, penampilan harus dijaga. Aku nggak bilang kamu jelek, sih.Kamu cantik kok. Cantik banget malahan. Tapi, harus dipoles dikit lagi aja, supaya jadi makin cantik” “Caranya?” Airin sempat memperhatikan Nawa sebentar, sebelum ia memikirkan sesuatu. “Rambut kamu dipotong dikit, boleh nggak? kasih poni juga, biar tambah imut. Abis itu, aku bakal dandanin kamu pake make up punya aku. Gimana?mau?” Nawa lagi-lagi menganggukkan kepalanya. Apapun itu, pasti Airin hendak melakukan yang terbaik untuknya. “Oke.. besok sebelum berangkat, aku bakalan dandanin kamu. Sekarang tidur ya.Doain, supaya interviewnya lancar” “Aaamiinn..” Nawa tentunya sangat berharap, ia bisa mendapatkan pekerjaan ini.Wanita itu lalu beranjak menuju ke tempat tidur, sebelum merasakan sesuatu yang aneh di perutnya. “Wa, kamu kenapa?” Nawa menggelengkan kepala, sambil menutupi mulutnya dengan sebelah tangan. Tiba-tiba saja, ia merasa mual saat ini. Hoeekk.. Nawa mengeluarkan isi perutnya di dalam kamar mandi. Airin sempat terdiam sejenak, sebelum menyusul sang sahabat ke kamar mandi. *** Tidididit… tididididit.. Bunyi alarm terdengar bersahut-sahutan. Namun pasangan itu belum juga terjaga dari tidurnya. Sulasmi menggedor-gedor kamar Putranya. Wanita itu teringat, Sakti mengatakan, kalau dia harus mengikuti meeting pagi ini. Tapi mengapa, Sakti belum ke luar dari kamar? “Saktii.. Elenaa..apa kalian sudah bangun?” Seru Sulasmi dari balik pintu. Tapi tak terdengar sahutan apa-apa. “El, sudah jam berapa ini?” Sakti tiba-tiba tersentak, setelah suara ketukan di pintu terdengar semakin kencang. Ia langsung panik, saat melihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. “Ya ampun El, kamu kenapa nggak bangunin aku sih, aku harus rapat pagi ini!” Sakti bergegas menuruni ranjang. Elena pun perlahan membuka kedua matanya. “Loh, kita kan barusan menikah kemarin, Mas. Kenapa kamu udah masuk kerja sih? aku aja ngambil cuti” “Aku nggak bsia cuti, El. Kerjaan di kantor banyak banget sekarang..” Sakti memasuki kamar mandi dengan cepat. Selang lima menit kemudian, ia pun ke luar dengan memakai selembar handuk di tubuhnya. “Pakaian kerja aku mana, El?” Sakti bingung, mengapa Elena malah menyalakan Televisi, bukannya menyiapkan keperluannya. “Loh, mana aku tahu, biasanya di mana?” Sakti menghela napas dalam-dalam. Ia lalu membuka lemari, dan meraih stelan kerjanya. Elena memang sangat cantik dan memiliki segala yang diinginkan oleh Pria. Tapi tampaknya, ia tak mahir dalam mengurusi Suami seperti Nawa. “Mas, Ibu kamu udah masak belum sih, aku laper deh” Elena menegakkan tubuhnya,lalu merapikan rambut panjangnya. Tak ada keinginan di dalam hatinya untuk membantu Sakti, yang kini kerepotan memasang dasi di lehernya. “Kalau kamu laper, bantuin Ibu sana. Kasihan Ibu kerja sendirian di dapur” Elena menunjukkan tampang keberatan, Karena memang, ia jarang melakukan pekerjaan rumah berjenis apapun. “Kenapa nggak pake pembantu aja sih? biar nggak repot. Akunya juga kerja. Jadi mana bisa bantuin ibu ngerjain kerjaan rumah. Ibu kamu juga pernah bilang kan, kalau aku nggak usah ngerjaian apa-apa di rumah ini? bukannya kata ibu, posisi kamu udah jadi Supervisor sekarang? gajinya lebih gede dong ya. Pasti cukuplah buat bayar pembantu” Elena menguap, lalu kembali merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Sakti masih berpikiran positif, mungkin Elena kelelahan, akibat ‘pertempuran’ tadi Malam. Tapi sulit rasanya untuk tidak membandingkan Elena dengan Nawa. Karena ternyata, sikap keduanya memang sangat jauh berbeda.“Agak aneh nggak sih, Rin?” Nawa mematut dirinya di depan cermin. Airin baru saja menggunting rambutnya, membuatnya merasa asing dengan penampilannya sendiri. Apalagi, dengan Riasan make up yang menempel di wajahnya. Membuat Nawa seperti tak mengenali dirinya lagi. Airin menatap takjub ke arah sang sahabat.Ia juga tak menyangka, hasil riasannya akan sesempurna ini. “Rin, kenapa? kamu pasti juga ngerasa aku aneh kan?” Selidik Nawa. “Wa, kamu tuh cantik bangeeet” Airin mengatakan hal itu sambil melompat kegirangan. Membuat Nawa bingung melihat tingkah gadis ini. “Kamu tuh nyaris sempurna, Nawa. Model ternama sekalipun, lewat deh. Andaikan aja, si Sakti ngelihat kamu kaya gini, pasti dia udah bersujud minta balikan!” Airin kesal saat mengatakan hal itu. Ia sudah mendengar dari Nawa, apa yang menyebabkan sang sahabat meninggalkan kediaman mertuanya. Mendengar nama Sakti disebut, Nawa sontak terdiam. Statusnya masih istri dari Sakti sekarang. Ia tak tahu bagaimana caranya
Entah dorongan dari mana, Sakti berlarian ke luar, hendak mengejar wanita tersebut. Tetapi sayangnya, wanita yang ia yakini adalah Nawa, tak lagi terlihat di sekitaran halaman Café.Sakti meraih ponsel dari saku celana, hendak menghubungi nomor sang istri. Tapi ternyata, ponsel Nawa sedang tidak aktif. Atau mungkin saja. ia sengaja mengganti nomonya, agar Sakti tak bisa menghubunginya lagi. Karena memang, sejak Nawa meninggalkannya, Sakti tak pernah berusaha untuk mencari tahu kabarnya, hingga hari ini mereka dipertemukan secara tidak sengaja.Berbagai pemikiran buruk melintas di benaknya. Apa mungkin, Nawa kini menemukan pria lain pengganti dirinya, hingga wanita yang masih berstatus istrinya itu merubah penampilannya? entah mengapa, Sakti merasa cukup terganggu dengan pemikirannya sendiri.Sakti tersentak dari lamunan panjang, saat mendengar suara panggilan masuk dari nomor Elena, istri keduanya. Ia pun langsung menjawab panggilan tersebut.“Hallo”“Hallo, Mas, kamu lagi ada di mana
Seperti pagi sebelumnya, Sakti kembali bangun terlambat. Jam sudah menunjukkan pukul 07.15. Itu artinya, ia hanya memiliki waktu lima belas menit saja, untuk bersiap-siap berangkat ke kantor.Ia menatap ke arah Elena, yang kini masih tertidur lelap. Sepertinya, sang istri memang tak berniat untuk mengurusi segala keperluannya,seperti yang biasa dilakukan oleh Nawa.“Sakti.. Elena, nggak pada berangkat ke kantor?”Suara seruan Sulasmi, terdengar di depan pintu. Elena membuka matanya, dan ia langsung terkejut saat melihat jam di dinding.“Mas, kamu kenapa nggak bangunin aku, sih? kan aku harus ngantor pagi ini!”Elena bangkit dari tempat tidurnya, lalu bergegas menuju ke kamar mandi. Dan Sakti terdiam, mendengar perkataan sang istri.“Bukannya harusnya kamu, yang bangunin aku?”Perkataan Sakti memang tak mendapatkan tanggapan apapun.Karena Elena kini sudah memasuki kamar mandi.Sakti meraih handuk, lalu beranjak menuju ke kamar mandi yang terletak paling belakang, di dekat dapur. Tentu
“Berarti, kamu jadi pindah dari kosan aku,Wa?”Airin menanyakan hal itu kepada sang sahabat, melalui panggilan suara. Nawa memang sengaja mencari tempat tinggal untuknya, agar tidak menjadi beban dalam hidup Airin.“Iya Rin, ini aku lagi ada di Gang Jambu, deket banget dari Slay Café. Lagi survey kamar kos-kosan yang disewakan di sini” “Padahal kamu nggak usah buang-buang duit,Wa. Tinggal bareng aku aja, kenapa sih?” Airin tulus mengatakan hal itu.Karena ia memang merasa nyaman tinggal bersama Nawa.“Nggak apa-apa, Rin. Kita kan masih bisa ketemuan di Cafe, atau kamu main ke sini. Yang pasti, kita akan selalu menjadi sahabat, walaupun udah nggak tinggal bareng lagi”Nawa bersama sang pemilik kos, kini sedang berada di salah satu kamar yang tak terlalu luas. Tapi tampaknya cukup nyaman, karena dilengkapi dengan kamar mandi di dalam, juga kompor untuk memasak.“Rin, udahan dulu, ya.Nanti aku hubungi kamu lagi”Nawa mengakhiri panggilan suara, agar bisa menanyakan lebih banyak tentang
“Udah nikah lima tahun, tapi masih belum bisa kasih anak. Ibu rasa sudah cukup, Sakti! lebih baik kalian bercerai saja!” Nawa baru saja akan menyambut kepulangan suaminya, Sakti, karena hari ini adalah hari jadi kelima pernikahan mereka. Wanita itu sudah menyiapkan Kue tart juga kado spesial untuk sang suami. Namun, mendengar suara Sulasmi, Ibu mertuanya, membuat Nawa diam terpaku. Ia urung melangkah menuju ke teras rumah. “Tadi Ibu baru saja ketemu Bu Intan dan Bu Atik di warung. Mereka menghina Ibu, karena punya menantu mandul! Ibu malu, Sakti” Nawa mengepalkan jemarinya, mencoba menahan kesedihan karena disebut mandul oleh Ibu mertuanya sendiri. “Udahlah, Sakti. Ceraikan saja istri kamu itu. Biar Ibu kenalkan dengan wanita lain yang bisa kamu nikahi, dan tentunya bisa memberikan keturunan untuk kamu” Apa?! Ibu mertuanya, menyuruh sang suami untuk menikah lagi?! ‘Nggak, Mas Sakti nggak mungkin memenuhi permintan ibunya…’ batin Nawa, berusaha menghibur dirinya sendiri
Nawa meninggalkan ruangan tamu, ketika sang Ibu mertua bersama Elena dan juga Sakti, masih berbincang. Ia memasuki kamar, lalu menangis sejadi-jadinya. Hatinya semakin sakit, saat membuka lemari, lalu melihat kue tart dan juga kado ulang tahun pernikahan yang sengaja ia simpan di situ, untuk diberikan kepada suaminya. Tangisan Nawa pun semakin pilu. Sayup terdengar olehnya, suara perbincangan akrab dari arah ruangan tamu. Sakti gampang sekali dekat dengan wanita itu, bahkan mereka kini tertawa bersama. Nawa tak habis pikir, mengapa Ibu mertuanya dan juga sang Suami tega melakukan hal ini kepadanya.Padahal Nawa selalu berusaha untuk menjadi istri yang terbaik untuk Sakti. ‘Aku nggak boleh cengeng. Aku nggak boleh lemah’ kalimat itu ia ucapkan berulang-ulang di dalam hati. Tetapi semakin berusaha kuat, ia justru semakin merasa lemah. Wanita mana yang bisa menerima dengan lapang dada,jika dirinya dimadu? apapun alasannya, Nawa tidak rela jika diduakan. *** “Sakti, Elena ini
“Nawa?” Tak tahu lagi hendak ke mana, Nawa memutuskan untuk mendatangi tempat kos Airin, sahabat karibnya saat SMA dulu. Gadis itu tentunya terkejut melihat Nawa yang basah kuyup malam ini, dan kedua mata sang sahabat membengkak, akibat terlalu banyak menangis. “Rin, aku boleh numpang di sini dulu nggak, untuk sementara?” “Loh, kenapa? kamu lagi ada masalah dengan Sakti?” Tentunya, Airin sangat mengenal Sakti, laki-laki yang dulu satu SMA dengannya dan juga Nawa. Ia yang paling tahu bagaiamana perjalanan cinta Sakti dan Nawa, hingga keduanya bisa menikah, walaupun tanpa restu kedua orang tua Nawa. Melihat Nawa yang sepertinya enggan untuk menceritakan persoalan pribadinya, maka Airin pun tak ingin memaksa. “Masuk aja dulu, yuk. Kamu udah basah banget. Mandi ya, kamar mandinya ada di sebelah sana” Airin menunjukkan kamar mandi yang tak terlalu lebar ukurannya, terdapat di sudut kamar. Nawa pun melangkah masuk, lalu meletakkan koper miliknya, di samping ranjang. Cukup