“Nawa?”
Tak tahu lagi hendak ke mana, Nawa memutuskan untuk mendatangi tempat kos Airin, sahabat karibnya saat SMA dulu. Gadis itu tentunya terkejut melihat Nawa yang basah kuyup malam ini, dan kedua mata sang sahabat membengkak, akibat terlalu banyak menangis. “Rin, aku boleh numpang di sini dulu nggak, untuk sementara?” “Loh, kenapa? kamu lagi ada masalah dengan Sakti?” Tentunya, Airin sangat mengenal Sakti, laki-laki yang dulu satu SMA dengannya dan juga Nawa. Ia yang paling tahu bagaiamana perjalanan cinta Sakti dan Nawa, hingga keduanya bisa menikah, walaupun tanpa restu kedua orang tua Nawa. Melihat Nawa yang sepertinya enggan untuk menceritakan persoalan pribadinya, maka Airin pun tak ingin memaksa. “Masuk aja dulu, yuk. Kamu udah basah banget. Mandi ya, kamar mandinya ada di sebelah sana” Airin menunjukkan kamar mandi yang tak terlalu lebar ukurannya, terdapat di sudut kamar. Nawa pun melangkah masuk, lalu meletakkan koper miliknya, di samping ranjang. Cukup lama ia berada di kamar mandi, hingga akhirnya, Nawa ke luar dengan penampilan yang lebih segar dibandingkan sebelumnya. “Wa, aku cuma punya roti dan teh manis anget aja. Kamu minum dulu ya.Biar enakan” “Makasih ya Rin” Nawa menyeduh teh hangat tersebut, dengan tangan yang bergetar. Airin sangat yakin, jika sang sahabat memiliki persoalan pelik di dalam rumah tangganya. “Rin, maaf, kalau aku merepotkan kamu. Tapi aku benar-benar tidak punya tempat tinggal lagi sekarang.Aku dan Sakti..” Nawa tak sanggup melanjutkan perkataannya. Airin langsung membelai lembut kepala sang sahabat, yang membuat Nawa kembali meneteskan air matanya. “Wa, kamu boleh tinggal di sini, selama yang kamu mau. Tapi yaa.. keadaannya seperti ini. Kamar aku sempit. Tempat tidurnya juga kecil. Kalau kamu bersedia sih, aku nggak masalah” “Aku bersedia tidur di manapun Rin. Nggak ada masalah sama sekali. Karena aku bingung, sekarang harus ke mana” Jawab Nawa, memelas. Airin mengangguk tanda mengerti. Walaupun ia belum menikah, tapi ia paham, jika dalam sebuah rumah tangga, pasti banyak problematika yang harus dihadapi. “Rin, kamu masih bekerja di Café yang kamu ceritakan tempo hari nggak?” Nawa tiba-tiba saja teringat akan hal itu. Airin mengangguk, membenarkan perkataannya. “Masih, aku lumayan betah kerja di situ, walaupun gajinya pas-pasan sih” Jawabnya. “Apa masih ada lowongan, Rin?” Airin menatap lekat wanita tersebut. Sepertinya, Nawa berniat hendak mencari pekerjaan. “Aku nggak tahu pasti sih Wa, tapi denger-denger, si pemilik Café mau buka cabang baru. Nah, kayaknya di situ tuh bakalan ada penerimaan karyawan besar-besaran” “Aku boleh ngelamar nggak, Rin?” Nawa menatap penuh harap. Tentunya, Airin merasa iba, melihat Nawa yang seperti ini. Padahal, ia terlahir dari keluarga yang terpandang. Kedua orang tua Nawa, mapan dari segi financial. Nawa dulunya juga seorang gadis cantik dan juga pintar, yang sempat menjadi idola di Sekolahnya. Tetapi setelah berpacaran dengan Sakti, dan memutuskan untuk menikah muda, Nawa sudah mulai berubah. Bahkan kini, penampilannya sangat lusuh, tidak secantik yang dulu lagi. “Boleh sih, Wa. Tapi apa suami kamu akan mengizinkan kamu bekerja?” Nawa tersenyum miris. Tentunya, Sakti tidak akan melarangnya melakukan apa pun saat ini, karena laki-laki itu sudah mencampakkannya. “Hubungan pernikahan aku dan Sakti, sepertinya udah nggak bisa diselamatkan lagi, Rin, Makanya, aku ingin hidup mandiri. Aku berharap, kamu bisa membantu. Karena hanya kamu harapan aku satu-satunya, Rin” Tentu saja, Airin sudah menduga hal ini yang terjadi. Karena tidak mungkin Nawa meninggalkan rumah, kalau hubungannya dengan Sakti masih baik-baik saja. “Ya udah, besok aku tanyain ke bos ya. Sekarang mendingan kamunya istirahat dulu. Jangan mikir yang macem-macem lagi, okey?” Nawa mengangguk singkat. Ia kembali menyeruput teh hangat yang berada di genggamannya. Hatinya mulai merasa tenang. Setidaknya, ada setitik jalan, untuknya bisa mempertahankan hidup. *** Pagi hari setelah kepergian Nawa, Sulasmi merasa sedikit kerepotan mengurus rumah sendirian. Biasanya, Nawa yang ia andalkan dalam mengerjakan pekerjaaan rumah, dan ia hanya berleha-leha saja di rumah peninggalan almarhum Suaminya itu. “Bu, kemeja kerja aku mana ya? kok belum Ibu siapin? Aku udah terlambat ini..” Sakti menghampiri ibunya yang kini sedang memasak di Dapur.Ia hanya memakai selembar handuk saja di tubuhnya, karena pakaiannya belum tersedia di atas tempat tidur. Biasanya, Nawa yan menyiapkan semua itu. Sakti tak pernah merasakan kesulitan apapun, karena sang Istri selalu menyediakan semua yang ia butuhkan. “Sebentar dulu, Sakti. Ibu lagi repot nih, bikin sarapan. Coba lihat di lemari aja deh. Barangkali si Nawa udah nyiapin di situ. Biasanya kan dia setrikain baju kamu, terus simpen di lemari” “Aaah.. kenapa nggak Ibu siapin sih? Letakkin di atas Kasur dong, Bu. Biasanya kan Nawa begitu!” Sakti berdecak kesal.Ia lalu membuka lemari cukup kasar, demi meraih kemeja miliknya. Namun ia sempat terpaku, ketika melihat sesuatu di dalam lemari. Sebuah kue tart yang sudah basi dan sekotak hadiah ulang tahun pernikahan, yang pastinya disiapkan oleh Nawa untuknya. Sakti sempat merasakan Sesuatu yang menganggu pikirannya. Tapi rasa ego, melenyapkan semua akal sehatnya. Ia sama sekali tak menyentuh dua benda itu. Sakti memakai stelan kerjanya, lalu merapikan rambutnya, agar bisa segera berangkat ke kantor. “Sakti, makanya, kamu buru-buru nikahi Elena, ya. Supaya kamu ada yang ngurusin. Nggak usah ditunda-tunda lagi. Ceraikan saja Nawa, lalu segera nikahi Elena. Supaya kamu bisa cepat memiliki keturunan!” Sakti tak menjawab apa-apa. Ia lalu meraih sebuah gelas, dan meneguk air mineral dengan cepat. “Saya berangkat dulu, Bu..” “Eh, kamu kan belum sarapan..” Sakti tak mempedulikan seruan sang Ibu. Ia lalu melangkah menuju ke garasi, menyalakan mesin mobinya dengan cepat. “Sakti.. sarapan dulu. Nanti kamu sakit perut!” Seru sang ibu, yang mengikuti langkah putranya hingga ke garasi. “Udah telat Bu, mana saya ada meeting pagi ini dengan bos besar” Sakti memundurkan mobilnya, ke luar dari garasi. “Saktii!” Suara Sulasmi terdengar menggelegar. Membuat para tetangga, langsung merasa penasaran apa yang sebenarnya telah terjadi. Sakti melajukan kendaraannya dengan kecepatan yang cukup tinnggi. Namun di tengah perjalanan, ia langsung menghentikan Mobilnya, saat menyadari, jika ia belum mengenakan sepatu. “Ah, sial banget sih pagi ini!” Sakti tak henti-hentinya mengumpat. Memang biasanya, Nawa yang menyiapkan segala sesuatu untuknya, termasuk memasangkan sepatu suaminya setiap pagi.Tapi wanita itu sudah pergi meninggalkannya. Sakti terpaksa harus kembali lagi ke rumah, karena tak mungkin berangkat ke kantor tanpa memakai alas kaki. Tetapi ia masih gengsi mengakui, kalau ia membutuhkan Nawa. Karena bayangan Elena yang sangat cantik dan seksi, cukup mengganggu pikiran liarnya. Ia ingin segera menikahi wanita itu, dan memberikan keturunan seperti yang diinginkan oleh ibunya.“Sah!” Suara para pria yang menjadi saksi pernikahan Sakti dan Elena, bergemuruh di rungan tamu kediaman Sualsmi. Senyuman wanita itu merekah, saat menyaksikan putra semata wayangnya yang kini bersanding dengan wanita pilihannya. Tanpa menceraikan Nawa terlebih dahulu, dengan alasan tak tahu wanita itu kini berada di mana, Sakti nekat menikahi Elena. Yang lebih lucunya lagi, Elena bersedia menjadi istri kedua dari Sakti. “Ibu senang sekali, akhirnya kalian menikah juga” Sulasmi memeluk erat menantu barunya. Ia menaruh harapan besar, kalau Elena bisa memberikan cucu untuknya. “Tadi tetangga-tetangga banyak yang memuji Istri kamu loh, Sakti. Katanya, Elena cantik, cocok jadi Istri kamu” “Ah, Ibu bisa aja” Elena tersenyum malu-malu. Bangga, atas segala pujian yang dilontarkan oleh Ibu mertuanya. “Abis ini, langsung ke kamar aja ya. Biar cepat jadinya” Sulasmi menyenggol bahu putranya. Ia sangat yakin, Elena bisa memberikan cucu untuknya. Yang pasti, ia kini akan dipui-
“Agak aneh nggak sih, Rin?” Nawa mematut dirinya di depan cermin. Airin baru saja menggunting rambutnya, membuatnya merasa asing dengan penampilannya sendiri. Apalagi, dengan Riasan make up yang menempel di wajahnya. Membuat Nawa seperti tak mengenali dirinya lagi. Airin menatap takjub ke arah sang sahabat.Ia juga tak menyangka, hasil riasannya akan sesempurna ini. “Rin, kenapa? kamu pasti juga ngerasa aku aneh kan?” Selidik Nawa. “Wa, kamu tuh cantik bangeeet” Airin mengatakan hal itu sambil melompat kegirangan. Membuat Nawa bingung melihat tingkah gadis ini. “Kamu tuh nyaris sempurna, Nawa. Model ternama sekalipun, lewat deh. Andaikan aja, si Sakti ngelihat kamu kaya gini, pasti dia udah bersujud minta balikan!” Airin kesal saat mengatakan hal itu. Ia sudah mendengar dari Nawa, apa yang menyebabkan sang sahabat meninggalkan kediaman mertuanya. Mendengar nama Sakti disebut, Nawa sontak terdiam. Statusnya masih istri dari Sakti sekarang. Ia tak tahu bagaimana caranya
Entah dorongan dari mana, Sakti berlarian ke luar, hendak mengejar wanita tersebut. Tetapi sayangnya, wanita yang ia yakini adalah Nawa, tak lagi terlihat di sekitaran halaman Café.Sakti meraih ponsel dari saku celana, hendak menghubungi nomor sang istri. Tapi ternyata, ponsel Nawa sedang tidak aktif. Atau mungkin saja. ia sengaja mengganti nomonya, agar Sakti tak bisa menghubunginya lagi. Karena memang, sejak Nawa meninggalkannya, Sakti tak pernah berusaha untuk mencari tahu kabarnya, hingga hari ini mereka dipertemukan secara tidak sengaja.Berbagai pemikiran buruk melintas di benaknya. Apa mungkin, Nawa kini menemukan pria lain pengganti dirinya, hingga wanita yang masih berstatus istrinya itu merubah penampilannya? entah mengapa, Sakti merasa cukup terganggu dengan pemikirannya sendiri.Sakti tersentak dari lamunan panjang, saat mendengar suara panggilan masuk dari nomor Elena, istri keduanya. Ia pun langsung menjawab panggilan tersebut.“Hallo”“Hallo, Mas, kamu lagi ada di mana
Seperti pagi sebelumnya, Sakti kembali bangun terlambat. Jam sudah menunjukkan pukul 07.15. Itu artinya, ia hanya memiliki waktu lima belas menit saja, untuk bersiap-siap berangkat ke kantor.Ia menatap ke arah Elena, yang kini masih tertidur lelap. Sepertinya, sang istri memang tak berniat untuk mengurusi segala keperluannya,seperti yang biasa dilakukan oleh Nawa.“Sakti.. Elena, nggak pada berangkat ke kantor?”Suara seruan Sulasmi, terdengar di depan pintu. Elena membuka matanya, dan ia langsung terkejut saat melihat jam di dinding.“Mas, kamu kenapa nggak bangunin aku, sih? kan aku harus ngantor pagi ini!”Elena bangkit dari tempat tidurnya, lalu bergegas menuju ke kamar mandi. Dan Sakti terdiam, mendengar perkataan sang istri.“Bukannya harusnya kamu, yang bangunin aku?”Perkataan Sakti memang tak mendapatkan tanggapan apapun.Karena Elena kini sudah memasuki kamar mandi.Sakti meraih handuk, lalu beranjak menuju ke kamar mandi yang terletak paling belakang, di dekat dapur. Tentu
“Berarti, kamu jadi pindah dari kosan aku,Wa?”Airin menanyakan hal itu kepada sang sahabat, melalui panggilan suara. Nawa memang sengaja mencari tempat tinggal untuknya, agar tidak menjadi beban dalam hidup Airin.“Iya Rin, ini aku lagi ada di Gang Jambu, deket banget dari Slay Café. Lagi survey kamar kos-kosan yang disewakan di sini” “Padahal kamu nggak usah buang-buang duit,Wa. Tinggal bareng aku aja, kenapa sih?” Airin tulus mengatakan hal itu.Karena ia memang merasa nyaman tinggal bersama Nawa.“Nggak apa-apa, Rin. Kita kan masih bisa ketemuan di Cafe, atau kamu main ke sini. Yang pasti, kita akan selalu menjadi sahabat, walaupun udah nggak tinggal bareng lagi”Nawa bersama sang pemilik kos, kini sedang berada di salah satu kamar yang tak terlalu luas. Tapi tampaknya cukup nyaman, karena dilengkapi dengan kamar mandi di dalam, juga kompor untuk memasak.“Rin, udahan dulu, ya.Nanti aku hubungi kamu lagi”Nawa mengakhiri panggilan suara, agar bisa menanyakan lebih banyak tentang
“Udah nikah lima tahun, tapi masih belum bisa kasih anak. Ibu rasa sudah cukup, Sakti! lebih baik kalian bercerai saja!” Nawa baru saja akan menyambut kepulangan suaminya, Sakti, karena hari ini adalah hari jadi kelima pernikahan mereka. Wanita itu sudah menyiapkan Kue tart juga kado spesial untuk sang suami. Namun, mendengar suara Sulasmi, Ibu mertuanya, membuat Nawa diam terpaku. Ia urung melangkah menuju ke teras rumah. “Tadi Ibu baru saja ketemu Bu Intan dan Bu Atik di warung. Mereka menghina Ibu, karena punya menantu mandul! Ibu malu, Sakti” Nawa mengepalkan jemarinya, mencoba menahan kesedihan karena disebut mandul oleh Ibu mertuanya sendiri. “Udahlah, Sakti. Ceraikan saja istri kamu itu. Biar Ibu kenalkan dengan wanita lain yang bisa kamu nikahi, dan tentunya bisa memberikan keturunan untuk kamu” Apa?! Ibu mertuanya, menyuruh sang suami untuk menikah lagi?! ‘Nggak, Mas Sakti nggak mungkin memenuhi permintan ibunya…’ batin Nawa, berusaha menghibur dirinya sendiri
Nawa meninggalkan ruangan tamu, ketika sang Ibu mertua bersama Elena dan juga Sakti, masih berbincang. Ia memasuki kamar, lalu menangis sejadi-jadinya. Hatinya semakin sakit, saat membuka lemari, lalu melihat kue tart dan juga kado ulang tahun pernikahan yang sengaja ia simpan di situ, untuk diberikan kepada suaminya. Tangisan Nawa pun semakin pilu. Sayup terdengar olehnya, suara perbincangan akrab dari arah ruangan tamu. Sakti gampang sekali dekat dengan wanita itu, bahkan mereka kini tertawa bersama. Nawa tak habis pikir, mengapa Ibu mertuanya dan juga sang Suami tega melakukan hal ini kepadanya.Padahal Nawa selalu berusaha untuk menjadi istri yang terbaik untuk Sakti. ‘Aku nggak boleh cengeng. Aku nggak boleh lemah’ kalimat itu ia ucapkan berulang-ulang di dalam hati. Tetapi semakin berusaha kuat, ia justru semakin merasa lemah. Wanita mana yang bisa menerima dengan lapang dada,jika dirinya dimadu? apapun alasannya, Nawa tidak rela jika diduakan. *** “Sakti, Elena ini