Entah dorongan dari mana, Sakti berlarian ke luar, hendak mengejar wanita tersebut. Tetapi sayangnya, wanita yang ia yakini adalah Nawa, tak lagi terlihat di sekitaran halaman Café.
Sakti meraih ponsel dari saku celana, hendak menghubungi nomor sang istri. Tapi ternyata, ponsel Nawa sedang tidak aktif. Atau mungkin saja. ia sengaja mengganti nomonya, agar Sakti tak bisa menghubunginya lagi. Karena memang, sejak Nawa meninggalkannya, Sakti tak pernah berusaha untuk mencari tahu kabarnya, hingga hari ini mereka dipertemukan secara tidak sengaja. Berbagai pemikiran buruk melintas di benaknya. Apa mungkin, Nawa kini menemukan pria lain pengganti dirinya, hingga wanita yang masih berstatus istrinya itu merubah penampilannya? entah mengapa, Sakti merasa cukup terganggu dengan pemikirannya sendiri. Sakti tersentak dari lamunan panjang, saat mendengar suara panggilan masuk dari nomor Elena, istri keduanya. Ia pun langsung menjawab panggilan tersebut. “Hallo” “Hallo, Mas, kamu lagi ada di mana sekarang?” “Di Slay Café, bareng anak-anak kantor. Kenapa, El?” Terdengar helaan napas panjang dari seberang sana. Entah apa kini yang terjadi, dengan wanita yang baru saja ia nikahi itu. “Aku laper..” Sakti sedikit terkejut, mengapa hal sepele seperti itu, Elena harus mengadukan kepadanya. “Ya sudah, makan sana. Ibu masak kan?” Lagi-lagi, terdengar embusan napas kasar dari seberang sana. Sakti yakin, ada sesuatu yang hendak dikeluhkan oleh sang istri. “Kenapa lagi?” Tanya sang suami, dengan nada datar. Dan Elena langsung mengungkapkan apa yang tersimpan di hatinya saat ini. “Mas, bukannya aku nggak bersyukur loh, Ibu kamu udah masakin makan siang buat aku. Tapi jujur ya, masakan Ibu kamu itu nggak enak, nggak sesuai sama selera aku. Kamu jangan tersinggung loh, ya. Kamu kan suami aku, jadi nggak ada salahnya kalau aku curhat ke kamu” Sakti terkejut mendengar perkataan Elena barusan. Tega-teganya ia mengatakan, kalau masakan Ibunya tidak enak. Padahal ia tahu, kalau sang Ibu sudah bersusah payah memasakkan menu untuk menantu barunya. “Maksudnya nggak enak gimana, sih? kamu kok tega ngomong begitu tentang Ibu aku?” Sakti tentunya menunjukkan sikap keberatan atas pernyataan sang istri. “Mas, tadi kan udah aku bilang, jangan tersinggung. Coba kamu cicipi sendiri aja deh. Kebanyakan gula tahu, nggak? jadinya aku eneg makannya. Kan kita lagi proram mau dapetin anak, Mas. Aku harus makan makanan yang sehat setiap hari. Kalo banyak gula begitu, gimana bisa sehat, coba?” Sakti merasakan kepalanya semakin berdenyut hebat. Belum beres urusan Nawa yang baru saja ia lihat tadi, sekarang malah Elena yang berbuat ulah, dengan mengomentari hal yang buruk tentang Ibunya. “Kalau kamu nggak suka, kenapa nggak kamu masak sendiri aja, El.Biar sesuai dengan selera kamu?” Sakti masih mencoba untuk bersabar.Karena sikap Elena, memang jauh berbeda dengan Nawa. Selama menikah dengan Nawa, tak pernah sang istri mengeluhkan apa pun. Ia selalu menerima segala kekurangan Sakti, dan tak pernah menuntut banyak, jika Sakti belum bisa memenuhi keinginannya. “Mas, aku udah pernah bilang ke Ibu kamu, kalau aku nggak bisa masak. Ibu kamu juga nggak mempermasalahkan hal itu, kok. Katanya aku fokus aja pada program kehamilan yang sedang kita jalani. Aku sekarang lagi laper banget nih, Mas. Jadi bisa pesenin makanan nggak? apa aja deh, yang penting cepet nyampenya. Kamu nggak tega kan, ngelihat aku kelaperan gini?” Sakti terpaksa mengalah, agar tidak terjadi keributan dalam rumah tangganya bersama Elena. “Ya udah, nanti aku pesankan, kamu tunggu aja” Pria itu mengakhiri panggilan suara. Ia baru menyadari, ternyata selain wajah yang cantik dan lekuk tubuh yang seksi, Elena tak memiliki kelebihan yang lain. Apa ini yang menyebabkan Elena berpisah dengan suaminya dulu? Sakti mulai kehilangan selera makannya. Di saat rekan-rekan kerjanya tengah asyik menikmati menu makan siang, ia hanya memesan segelas kopi pahit saja. Bayangan Nawa kembali melintas di benaknya. Hingga ia berpikir, apakah ini adalah keputusan yang salah dengan membiarkan Nawa pergi, dan menikahi Elena. Karena Sakti gampang sekali tergoda dengan paras rupa, hingga ia tak berpikir panjang dalam mengambil keputusan. Di tengah kegundahan hatinya, tapa sengaja, manik matanya menatap sesosok gadis yang tentunya cukup ia kenal. Walupun dari kejuauhan, ia tetap bisa mengenali gadis yang kini sedang melayani pelanggan Café yang semakin ramai siang ini. ‘Airin?’ Sakti mengangkat tubuhnya, lalu mengikuti langkah gadis yang hendak menuju ke dapur itu.Merasa sedang dibuntuti, Airin pun langsung menghentikan langkah, lalu menoleh ke belakang. “Ternyata kamu?” Airin tak bisa lagi mengontrol mimik wajahnya, yang tak suka melihat keberadaan Sakti di tempat itu. “Rin, tadi aku melihat Nawa. Apa dia kerja di sini, bareng kamu?” Airin mencebikkan bibirnya, mendengar pertanyaan laki-laki di hadapannya. Karena ia merasa, Sakti tak pantas lagi menanyakan tentang sahabatnya. “Masih peduli juga sama mantan istri?” Sindirnya, yang membuat Sakti merasa sedikit kesal. “Rin, Nawa itu masih istri aku, ya. Belum menjadi mantan!”Tegasnya. “Oh ya? aku dengar dari Nawa, kalau kamu sudah menikah lagi dengan wanita pilihan Ibu kamu. Jadi untuk apa kamu nanyain Nawa? biarlah Nawa mencari kebahagiaannya sendiri. Mungkin nanti dia bisa menemukan laki-laki baik, yang akan..” “Stop!” Sergah Sakti, sebelum Airin melanjutkan ucapannya.”Nawa tidak akan bertemu dengan pria manapun! Tolong kasih tahu, di mana istri aku tinggal sekarang. Aku yakin, kamu pasti tahu” Airin tersenyum sinis, menanggapi perkatannya. “Aku nggak tahu! kalau kamu masih merasa menjadi suaminya, silahkan cari sendiri! tapi kalau Nawa tidak sudi bertemu kamu lagi, tolong tahu diri!” Airin beranjak dari hadapan pria itu. Tetapi Sakti, langsung menarik tangannya. “Aku yakin, kamu yang menyembunyikan Nawa. Nggak mungkin kan, tadi dia tiba-tiba aja ada di sini? kasih tahu, di mana dia!” Desak Sakti. “Lepasin!” Arin melepas paksa tangannya dari cekalan Sakti, bertepatan dengan kehadiran Felix sang pemilik Café, yang baru saja ke luar dari ruangannya. Ia bingung, melihat Airin yang kini memegangi lengannya sendiri. “Rin, ada masalah?” Selidik pria itu. Ia memandangi Sakti, yang kini masih berharap Airin memberikan informasi tentang keberadaan Nawa. “Nggak Pak, dia ini teman SMA saya” Jawab Airin. Sakti langsung membalikkan badannya, beranjak dari hadapan Airin. Tentunya, ia tak ingin bermasalah dengan sang pemilik Café, karena sikap kasarnya tadi.. Pria itu kembali ke meja yang ia tempati sebelumnya, lalu meneguk kopi pahit yang tak lagi terasa pahit di tenggorokannya. *** “Permisi Bu, pesanan atas nama Bu Elena?” “Iya, saya” Elena merasa senang, karena sang suami menepati ucapannya untuk memesankan makan siang. Walaupun makanan yang Sakti pesankan bukanlah jenis makanan yang tergolong mahal, tapi berhubung sudah sangat lapar, wanita itu meraih kotak makanan dari tangan sang kurir dengan gerakan cepat. “El, ada siapa di luar?” Elena langsung menyembunyikan kotak makanan tersebut dibalik sofa, ketika sang Ibu mertua melangkah mendekat. “Nggak ada siapa-siapa, Bu.Tadi ada yang, ngg.. minta sumbangan. Tapi saya bilang,kalau Ibu lagi sibuk di dapur” Tentu saja, Elena berbohong tentang itu. “Ooh,ya sudah, gimana tadi masakan Ibu, El? enak tidak?” Sulasmi tiba-tiba teringat, jika sang menantu belum mengomentari tentang masakannya. “Enak, enak kok, saya tadi sampe lahap makannya, Bu. Nggak ada sisanya” Elena lagi-lagi berbohong. Karena sebenarnya , ia membuang makanan yang ada di piringnya, ke dalam tong sampah. Karena ia tidak suka dengan rasa masakan yang disuguhkan oleh sang Ibu mertua. “Ibu senang mendengar pujian kamu. Nggak kayak si Nawa tuh, nggak pernah sekalipun memuji Ibu mertuanya. Kalau Ibu yang masak, dia cuma makan sedikit aja. Kesannya kayak nggak suka sama masakan Ibu” “Saya nggak mungkin begitu, Bu” Elena kembali berakting di depan sang Ibu mertua “Ibu kan udah capek masak.Masa saya nggak mau makan? saya beda dong, sama Nawa, yang nggak pernah bisa menghargai mertua” Sulasmi tersenyum lebar. Sepertinya, ia semakin menyukai menantu barunya ini. Walaupun Elena sama sekali tak mau membantu pekerjaan di dapur, tetap saja, Sulasmi menyanjung-nyanjungnya di dalam hati. “Ya sudah, Ibu mau ke belakang dulu, ya El. Mau nyuci pakaian” “Oh ya Bu, sekalian pakaian kotor saya, dicuci ya, Bu. Tadi saya simpen di ember warna Hijau di belakang” Sulasmi tersentak, saat menyadari,sepertinya Elena sedang memerintahkan kepadanya, untuk mencucikan pakaiannya. Tapi ia masih berpikiran positif, kalau sang menantu sedang kelelahan. Sulasmi pun mengangguk singkat saja, sebelum beranjak menuju ke belakang. Elena tentunya merasa senang, karena ia sudah bisa bebas untuk makan. Ia meraih kotak makanan yang sempat ia sembunyikan dibalik sofa,lalu bergegas menuju ke kamar. Tak lupa pula, Elena mengunci kamar itu, agar Sulasmi tak sembarangan masuk. Ia sama sekali tidak peduli, bagaimana tanggapan Sulasmi terhadapanya.Yang terpenting baginya, Sulasmi mempercayainya, dan menganggap dirinya jauh lebih baik dibandingkan Nawa. *** Sementara itu, Nawa yang sudah tiba di kamar kos Airin, merasa cukup gelisah. Pertemuan dengan Sakti tadi, masih mengganggu pikirannya. Ia berharap, tak akan pernah bertemu dengan laki-laki itu lagi selamanya. Tapi ternyata, takdir masih mempertemukan mereka. Yang ia inginkan saat ini hanyalah, bercerai dari Sakti. Nawa tak sudi berbagi suami dengan orang lain. Jika memang Sakti setuju menikahi perempuan lain, itu artinya, dia bukanlah laki-laki yang layak dipertahankan. Tapi hingga kini, Nawa merasa bingung, mengapa Sakti belum juga menceraikan dirinya, agar status pernikahannya dengan Elena, sah di mata negara. ‘Moga-moga aja dia nggak tahu, kalau aku tinggal bersama Airin’ Hanya do’a itu yang Nawa panjatkan saat ini, sebelum ia merasakan pusing dan mual seperti tadi malam.Nawa mulai mencurigai sesuatu. Tapi ia berusaha untuk menepis segala kecurigaaan itu. “Aku terakhir kali datang bulan, kapan ya?” Nawa mencoba mengingat-ingat,kapan terakhir kali ia mendapatkan menstruasi. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Apa mungkin, mual dan muntah ini pertanda kehamilan? entah mengapa, ia merasa ngeri membayangkan hal yang dulunya sangat ia idam-idamkan. Mengingat hubungannya dengan Sakti, kini sudah diambang perceraian.Seperti pagi sebelumnya, Sakti kembali bangun terlambat. Jam sudah menunjukkan pukul 07.15. Itu artinya, ia hanya memiliki waktu lima belas menit saja, untuk bersiap-siap berangkat ke kantor.Ia menatap ke arah Elena, yang kini masih tertidur lelap. Sepertinya, sang istri memang tak berniat untuk mengurusi segala keperluannya,seperti yang biasa dilakukan oleh Nawa.“Sakti.. Elena, nggak pada berangkat ke kantor?”Suara seruan Sulasmi, terdengar di depan pintu. Elena membuka matanya, dan ia langsung terkejut saat melihat jam di dinding.“Mas, kamu kenapa nggak bangunin aku, sih? kan aku harus ngantor pagi ini!”Elena bangkit dari tempat tidurnya, lalu bergegas menuju ke kamar mandi. Dan Sakti terdiam, mendengar perkataan sang istri.“Bukannya harusnya kamu, yang bangunin aku?”Perkataan Sakti memang tak mendapatkan tanggapan apapun.Karena Elena kini sudah memasuki kamar mandi.Sakti meraih handuk, lalu beranjak menuju ke kamar mandi yang terletak paling belakang, di dekat dapur. Tentu
“Berarti, kamu jadi pindah dari kosan aku,Wa?”Airin menanyakan hal itu kepada sang sahabat, melalui panggilan suara. Nawa memang sengaja mencari tempat tinggal untuknya, agar tidak menjadi beban dalam hidup Airin.“Iya Rin, ini aku lagi ada di Gang Jambu, deket banget dari Slay Café. Lagi survey kamar kos-kosan yang disewakan di sini” “Padahal kamu nggak usah buang-buang duit,Wa. Tinggal bareng aku aja, kenapa sih?” Airin tulus mengatakan hal itu.Karena ia memang merasa nyaman tinggal bersama Nawa.“Nggak apa-apa, Rin. Kita kan masih bisa ketemuan di Cafe, atau kamu main ke sini. Yang pasti, kita akan selalu menjadi sahabat, walaupun udah nggak tinggal bareng lagi”Nawa bersama sang pemilik kos, kini sedang berada di salah satu kamar yang tak terlalu luas. Tapi tampaknya cukup nyaman, karena dilengkapi dengan kamar mandi di dalam, juga kompor untuk memasak.“Rin, udahan dulu, ya.Nanti aku hubungi kamu lagi”Nawa mengakhiri panggilan suara, agar bisa menanyakan lebih banyak tentang
“Udah nikah lima tahun, tapi masih belum bisa kasih anak. Ibu rasa sudah cukup, Sakti! lebih baik kalian bercerai saja!” Nawa baru saja akan menyambut kepulangan suaminya, Sakti, karena hari ini adalah hari jadi kelima pernikahan mereka. Wanita itu sudah menyiapkan Kue tart juga kado spesial untuk sang suami. Namun, mendengar suara Sulasmi, Ibu mertuanya, membuat Nawa diam terpaku. Ia urung melangkah menuju ke teras rumah. “Tadi Ibu baru saja ketemu Bu Intan dan Bu Atik di warung. Mereka menghina Ibu, karena punya menantu mandul! Ibu malu, Sakti” Nawa mengepalkan jemarinya, mencoba menahan kesedihan karena disebut mandul oleh Ibu mertuanya sendiri. “Udahlah, Sakti. Ceraikan saja istri kamu itu. Biar Ibu kenalkan dengan wanita lain yang bisa kamu nikahi, dan tentunya bisa memberikan keturunan untuk kamu” Apa?! Ibu mertuanya, menyuruh sang suami untuk menikah lagi?! ‘Nggak, Mas Sakti nggak mungkin memenuhi permintan ibunya…’ batin Nawa, berusaha menghibur dirinya sendiri
Nawa meninggalkan ruangan tamu, ketika sang Ibu mertua bersama Elena dan juga Sakti, masih berbincang. Ia memasuki kamar, lalu menangis sejadi-jadinya. Hatinya semakin sakit, saat membuka lemari, lalu melihat kue tart dan juga kado ulang tahun pernikahan yang sengaja ia simpan di situ, untuk diberikan kepada suaminya. Tangisan Nawa pun semakin pilu. Sayup terdengar olehnya, suara perbincangan akrab dari arah ruangan tamu. Sakti gampang sekali dekat dengan wanita itu, bahkan mereka kini tertawa bersama. Nawa tak habis pikir, mengapa Ibu mertuanya dan juga sang Suami tega melakukan hal ini kepadanya.Padahal Nawa selalu berusaha untuk menjadi istri yang terbaik untuk Sakti. ‘Aku nggak boleh cengeng. Aku nggak boleh lemah’ kalimat itu ia ucapkan berulang-ulang di dalam hati. Tetapi semakin berusaha kuat, ia justru semakin merasa lemah. Wanita mana yang bisa menerima dengan lapang dada,jika dirinya dimadu? apapun alasannya, Nawa tidak rela jika diduakan. *** “Sakti, Elena ini
“Nawa?” Tak tahu lagi hendak ke mana, Nawa memutuskan untuk mendatangi tempat kos Airin, sahabat karibnya saat SMA dulu. Gadis itu tentunya terkejut melihat Nawa yang basah kuyup malam ini, dan kedua mata sang sahabat membengkak, akibat terlalu banyak menangis. “Rin, aku boleh numpang di sini dulu nggak, untuk sementara?” “Loh, kenapa? kamu lagi ada masalah dengan Sakti?” Tentunya, Airin sangat mengenal Sakti, laki-laki yang dulu satu SMA dengannya dan juga Nawa. Ia yang paling tahu bagaiamana perjalanan cinta Sakti dan Nawa, hingga keduanya bisa menikah, walaupun tanpa restu kedua orang tua Nawa. Melihat Nawa yang sepertinya enggan untuk menceritakan persoalan pribadinya, maka Airin pun tak ingin memaksa. “Masuk aja dulu, yuk. Kamu udah basah banget. Mandi ya, kamar mandinya ada di sebelah sana” Airin menunjukkan kamar mandi yang tak terlalu lebar ukurannya, terdapat di sudut kamar. Nawa pun melangkah masuk, lalu meletakkan koper miliknya, di samping ranjang. Cukup
“Sah!” Suara para pria yang menjadi saksi pernikahan Sakti dan Elena, bergemuruh di rungan tamu kediaman Sualsmi. Senyuman wanita itu merekah, saat menyaksikan putra semata wayangnya yang kini bersanding dengan wanita pilihannya. Tanpa menceraikan Nawa terlebih dahulu, dengan alasan tak tahu wanita itu kini berada di mana, Sakti nekat menikahi Elena. Yang lebih lucunya lagi, Elena bersedia menjadi istri kedua dari Sakti. “Ibu senang sekali, akhirnya kalian menikah juga” Sulasmi memeluk erat menantu barunya. Ia menaruh harapan besar, kalau Elena bisa memberikan cucu untuknya. “Tadi tetangga-tetangga banyak yang memuji Istri kamu loh, Sakti. Katanya, Elena cantik, cocok jadi Istri kamu” “Ah, Ibu bisa aja” Elena tersenyum malu-malu. Bangga, atas segala pujian yang dilontarkan oleh Ibu mertuanya. “Abis ini, langsung ke kamar aja ya. Biar cepat jadinya” Sulasmi menyenggol bahu putranya. Ia sangat yakin, Elena bisa memberikan cucu untuknya. Yang pasti, ia kini akan dipui-
“Agak aneh nggak sih, Rin?” Nawa mematut dirinya di depan cermin. Airin baru saja menggunting rambutnya, membuatnya merasa asing dengan penampilannya sendiri. Apalagi, dengan Riasan make up yang menempel di wajahnya. Membuat Nawa seperti tak mengenali dirinya lagi. Airin menatap takjub ke arah sang sahabat.Ia juga tak menyangka, hasil riasannya akan sesempurna ini. “Rin, kenapa? kamu pasti juga ngerasa aku aneh kan?” Selidik Nawa. “Wa, kamu tuh cantik bangeeet” Airin mengatakan hal itu sambil melompat kegirangan. Membuat Nawa bingung melihat tingkah gadis ini. “Kamu tuh nyaris sempurna, Nawa. Model ternama sekalipun, lewat deh. Andaikan aja, si Sakti ngelihat kamu kaya gini, pasti dia udah bersujud minta balikan!” Airin kesal saat mengatakan hal itu. Ia sudah mendengar dari Nawa, apa yang menyebabkan sang sahabat meninggalkan kediaman mertuanya. Mendengar nama Sakti disebut, Nawa sontak terdiam. Statusnya masih istri dari Sakti sekarang. Ia tak tahu bagaimana caranya