Entah dorongan dari mana, Sakti berlarian ke luar, hendak mengejar wanita tersebut. Tetapi sayangnya, wanita yang ia yakini adalah Nawa, tak lagi terlihat di sekitaran halaman Café.
Sakti meraih ponsel dari saku celana, hendak menghubungi nomor sang istri. Tapi ternyata, ponsel Nawa sedang tidak aktif. Atau mungkin saja. ia sengaja mengganti nomonya, agar Sakti tak bisa menghubunginya lagi. Karena memang, sejak Nawa meninggalkannya, Sakti tak pernah berusaha untuk mencari tahu kabarnya, hingga hari ini mereka dipertemukan secara tidak sengaja. Berbagai pemikiran buruk melintas di benaknya. Apa mungkin, Nawa kini menemukan pria lain pengganti dirinya, hingga wanita yang masih berstatus istrinya itu merubah penampilannya? entah mengapa, Sakti merasa cukup terganggu dengan pemikirannya sendiri. Sakti tersentak dari lamunan panjang, saat mendengar suara panggilan masuk dari nomor Elena, istri keduanya. Ia pun langsung menjawab panggilan tersebut. “Hallo” “Hallo, Mas, kamu lagi ada di mana sekarang?” “Di Slay Café, bareng anak-anak kantor. Kenapa, El?” Terdengar helaan napas panjang dari seberang sana. Entah apa kini yang terjadi, dengan wanita yang baru saja ia nikahi itu. “Aku laper..” Sakti sedikit terkejut, mengapa hal sepele seperti itu, Elena harus mengadukan kepadanya. “Ya sudah, makan sana. Ibu masak kan?” Lagi-lagi, terdengar embusan napas kasar dari seberang sana. Sakti yakin, ada sesuatu yang hendak dikeluhkan oleh sang istri. “Kenapa lagi?” Tanya sang suami, dengan nada datar. Dan Elena langsung mengungkapkan apa yang tersimpan di hatinya saat ini. “Mas, bukannya aku nggak bersyukur loh, Ibu kamu udah masakin makan siang buat aku. Tapi jujur ya, masakan Ibu kamu itu nggak enak, nggak sesuai sama selera aku. Kamu jangan tersinggung loh, ya. Kamu kan suami aku, jadi nggak ada salahnya kalau aku curhat ke kamu” Sakti terkejut mendengar perkataan Elena barusan. Tega-teganya ia mengatakan, kalau masakan Ibunya tidak enak. Padahal ia tahu, kalau sang Ibu sudah bersusah payah memasakkan menu untuk menantu barunya. “Maksudnya nggak enak gimana, sih? kamu kok tega ngomong begitu tentang Ibu aku?” Sakti tentunya menunjukkan sikap keberatan atas pernyataan sang istri. “Mas, tadi kan udah aku bilang, jangan tersinggung. Coba kamu cicipi sendiri aja deh. Kebanyakan gula tahu, nggak? jadinya aku eneg makannya. Kan kita lagi proram mau dapetin anak, Mas. Aku harus makan makanan yang sehat setiap hari. Kalo banyak gula begitu, gimana bisa sehat, coba?” Sakti merasakan kepalanya semakin berdenyut hebat. Belum beres urusan Nawa yang baru saja ia lihat tadi, sekarang malah Elena yang berbuat ulah, dengan mengomentari hal yang buruk tentang Ibunya. “Kalau kamu nggak suka, kenapa nggak kamu masak sendiri aja, El.Biar sesuai dengan selera kamu?” Sakti masih mencoba untuk bersabar.Karena sikap Elena, memang jauh berbeda dengan Nawa. Selama menikah dengan Nawa, tak pernah sang istri mengeluhkan apa pun. Ia selalu menerima segala kekurangan Sakti, dan tak pernah menuntut banyak, jika Sakti belum bisa memenuhi keinginannya. “Mas, aku udah pernah bilang ke Ibu kamu, kalau aku nggak bisa masak. Ibu kamu juga nggak mempermasalahkan hal itu, kok. Katanya aku fokus aja pada program kehamilan yang sedang kita jalani. Aku sekarang lagi laper banget nih, Mas. Jadi bisa pesenin makanan nggak? apa aja deh, yang penting cepet nyampenya. Kamu nggak tega kan, ngelihat aku kelaperan gini?” Sakti terpaksa mengalah, agar tidak terjadi keributan dalam rumah tangganya bersama Elena. “Ya udah, nanti aku pesankan, kamu tunggu aja” Pria itu mengakhiri panggilan suara. Ia baru menyadari, ternyata selain wajah yang cantik dan lekuk tubuh yang seksi, Elena tak memiliki kelebihan yang lain. Apa ini yang menyebabkan Elena berpisah dengan suaminya dulu? Sakti mulai kehilangan selera makannya. Di saat rekan-rekan kerjanya tengah asyik menikmati menu makan siang, ia hanya memesan segelas kopi pahit saja. Bayangan Nawa kembali melintas di benaknya. Hingga ia berpikir, apakah ini adalah keputusan yang salah dengan membiarkan Nawa pergi, dan menikahi Elena. Karena Sakti gampang sekali tergoda dengan paras rupa, hingga ia tak berpikir panjang dalam mengambil keputusan. Di tengah kegundahan hatinya, tapa sengaja, manik matanya menatap sesosok gadis yang tentunya cukup ia kenal. Walupun dari kejuauhan, ia tetap bisa mengenali gadis yang kini sedang melayani pelanggan Café yang semakin ramai siang ini. ‘Airin?’ Sakti mengangkat tubuhnya, lalu mengikuti langkah gadis yang hendak menuju ke dapur itu.Merasa sedang dibuntuti, Airin pun langsung menghentikan langkah, lalu menoleh ke belakang. “Ternyata kamu?” Airin tak bisa lagi mengontrol mimik wajahnya, yang tak suka melihat keberadaan Sakti di tempat itu. “Rin, tadi aku melihat Nawa. Apa dia kerja di sini, bareng kamu?” Airin mencebikkan bibirnya, mendengar pertanyaan laki-laki di hadapannya. Karena ia merasa, Sakti tak pantas lagi menanyakan tentang sahabatnya. “Masih peduli juga sama mantan istri?” Sindirnya, yang membuat Sakti merasa sedikit kesal. “Rin, Nawa itu masih istri aku, ya. Belum menjadi mantan!”Tegasnya. “Oh ya? aku dengar dari Nawa, kalau kamu sudah menikah lagi dengan wanita pilihan Ibu kamu. Jadi untuk apa kamu nanyain Nawa? biarlah Nawa mencari kebahagiaannya sendiri. Mungkin nanti dia bisa menemukan laki-laki baik, yang akan..” “Stop!” Sergah Sakti, sebelum Airin melanjutkan ucapannya.”Nawa tidak akan bertemu dengan pria manapun! Tolong kasih tahu, di mana istri aku tinggal sekarang. Aku yakin, kamu pasti tahu” Airin tersenyum sinis, menanggapi perkatannya. “Aku nggak tahu! kalau kamu masih merasa menjadi suaminya, silahkan cari sendiri! tapi kalau Nawa tidak sudi bertemu kamu lagi, tolong tahu diri!” Airin beranjak dari hadapan pria itu. Tetapi Sakti, langsung menarik tangannya. “Aku yakin, kamu yang menyembunyikan Nawa. Nggak mungkin kan, tadi dia tiba-tiba aja ada di sini? kasih tahu, di mana dia!” Desak Sakti. “Lepasin!” Arin melepas paksa tangannya dari cekalan Sakti, bertepatan dengan kehadiran Felix sang pemilik Café, yang baru saja ke luar dari ruangannya. Ia bingung, melihat Airin yang kini memegangi lengannya sendiri. “Rin, ada masalah?” Selidik pria itu. Ia memandangi Sakti, yang kini masih berharap Airin memberikan informasi tentang keberadaan Nawa. “Nggak Pak, dia ini teman SMA saya” Jawab Airin. Sakti langsung membalikkan badannya, beranjak dari hadapan Airin. Tentunya, ia tak ingin bermasalah dengan sang pemilik Café, karena sikap kasarnya tadi.. Pria itu kembali ke meja yang ia tempati sebelumnya, lalu meneguk kopi pahit yang tak lagi terasa pahit di tenggorokannya. *** “Permisi Bu, pesanan atas nama Bu Elena?” “Iya, saya” Elena merasa senang, karena sang suami menepati ucapannya untuk memesankan makan siang. Walaupun makanan yang Sakti pesankan bukanlah jenis makanan yang tergolong mahal, tapi berhubung sudah sangat lapar, wanita itu meraih kotak makanan dari tangan sang kurir dengan gerakan cepat. “El, ada siapa di luar?” Elena langsung menyembunyikan kotak makanan tersebut dibalik sofa, ketika sang Ibu mertua melangkah mendekat. “Nggak ada siapa-siapa, Bu.Tadi ada yang, ngg.. minta sumbangan. Tapi saya bilang,kalau Ibu lagi sibuk di dapur” Tentu saja, Elena berbohong tentang itu. “Ooh,ya sudah, gimana tadi masakan Ibu, El? enak tidak?” Sulasmi tiba-tiba teringat, jika sang menantu belum mengomentari tentang masakannya. “Enak, enak kok, saya tadi sampe lahap makannya, Bu. Nggak ada sisanya” Elena lagi-lagi berbohong. Karena sebenarnya , ia membuang makanan yang ada di piringnya, ke dalam tong sampah. Karena ia tidak suka dengan rasa masakan yang disuguhkan oleh sang Ibu mertua. “Ibu senang mendengar pujian kamu. Nggak kayak si Nawa tuh, nggak pernah sekalipun memuji Ibu mertuanya. Kalau Ibu yang masak, dia cuma makan sedikit aja. Kesannya kayak nggak suka sama masakan Ibu” “Saya nggak mungkin begitu, Bu” Elena kembali berakting di depan sang Ibu mertua “Ibu kan udah capek masak.Masa saya nggak mau makan? saya beda dong, sama Nawa, yang nggak pernah bisa menghargai mertua” Sulasmi tersenyum lebar. Sepertinya, ia semakin menyukai menantu barunya ini. Walaupun Elena sama sekali tak mau membantu pekerjaan di dapur, tetap saja, Sulasmi menyanjung-nyanjungnya di dalam hati. “Ya sudah, Ibu mau ke belakang dulu, ya El. Mau nyuci pakaian” “Oh ya Bu, sekalian pakaian kotor saya, dicuci ya, Bu. Tadi saya simpen di ember warna Hijau di belakang” Sulasmi tersentak, saat menyadari,sepertinya Elena sedang memerintahkan kepadanya, untuk mencucikan pakaiannya. Tapi ia masih berpikiran positif, kalau sang menantu sedang kelelahan. Sulasmi pun mengangguk singkat saja, sebelum beranjak menuju ke belakang. Elena tentunya merasa senang, karena ia sudah bisa bebas untuk makan. Ia meraih kotak makanan yang sempat ia sembunyikan dibalik sofa,lalu bergegas menuju ke kamar. Tak lupa pula, Elena mengunci kamar itu, agar Sulasmi tak sembarangan masuk. Ia sama sekali tidak peduli, bagaimana tanggapan Sulasmi terhadapanya.Yang terpenting baginya, Sulasmi mempercayainya, dan menganggap dirinya jauh lebih baik dibandingkan Nawa. *** Sementara itu, Nawa yang sudah tiba di kamar kos Airin, merasa cukup gelisah. Pertemuan dengan Sakti tadi, masih mengganggu pikirannya. Ia berharap, tak akan pernah bertemu dengan laki-laki itu lagi selamanya. Tapi ternyata, takdir masih mempertemukan mereka. Yang ia inginkan saat ini hanyalah, bercerai dari Sakti. Nawa tak sudi berbagi suami dengan orang lain. Jika memang Sakti setuju menikahi perempuan lain, itu artinya, dia bukanlah laki-laki yang layak dipertahankan. Tapi hingga kini, Nawa merasa bingung, mengapa Sakti belum juga menceraikan dirinya, agar status pernikahannya dengan Elena, sah di mata negara. ‘Moga-moga aja dia nggak tahu, kalau aku tinggal bersama Airin’ Hanya do’a itu yang Nawa panjatkan saat ini, sebelum ia merasakan pusing dan mual seperti tadi malam.Nawa mulai mencurigai sesuatu. Tapi ia berusaha untuk menepis segala kecurigaaan itu. “Aku terakhir kali datang bulan, kapan ya?” Nawa mencoba mengingat-ingat,kapan terakhir kali ia mendapatkan menstruasi. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Apa mungkin, mual dan muntah ini pertanda kehamilan? entah mengapa, ia merasa ngeri membayangkan hal yang dulunya sangat ia idam-idamkan. Mengingat hubungannya dengan Sakti, kini sudah diambang perceraian.Seperti pagi sebelumnya, Sakti kembali bangun terlambat. Jam sudah menunjukkan pukul 07.15. Itu artinya, ia hanya memiliki waktu lima belas menit saja, untuk bersiap-siap berangkat ke kantor.Ia menatap ke arah Elena, yang kini masih tertidur lelap. Sepertinya, sang istri memang tak berniat untuk mengurusi segala keperluannya,seperti yang biasa dilakukan oleh Nawa.“Sakti.. Elena, nggak pada berangkat ke kantor?”Suara seruan Sulasmi, terdengar di depan pintu. Elena membuka matanya, dan ia langsung terkejut saat melihat jam di dinding.“Mas, kamu kenapa nggak bangunin aku, sih? kan aku harus ngantor pagi ini!”Elena bangkit dari tempat tidurnya, lalu bergegas menuju ke kamar mandi. Dan Sakti terdiam, mendengar perkataan sang istri.“Bukannya harusnya kamu, yang bangunin aku?”Perkataan Sakti memang tak mendapatkan tanggapan apapun.Karena Elena kini sudah memasuki kamar mandi.Sakti meraih handuk, lalu beranjak menuju ke kamar mandi yang terletak paling belakang, di dekat dapur. Tentu
“Berarti, kamu jadi pindah dari kosan aku,Wa?”Airin menanyakan hal itu kepada sang sahabat, melalui panggilan suara. Nawa memang sengaja mencari tempat tinggal untuknya, agar tidak menjadi beban dalam hidup Airin.“Iya Rin, ini aku lagi ada di Gang Jambu, deket banget dari Slay Café. Lagi survey kamar kos-kosan yang disewakan di sini” “Padahal kamu nggak usah buang-buang duit,Wa. Tinggal bareng aku aja, kenapa sih?” Airin tulus mengatakan hal itu.Karena ia memang merasa nyaman tinggal bersama Nawa.“Nggak apa-apa, Rin. Kita kan masih bisa ketemuan di Cafe, atau kamu main ke sini. Yang pasti, kita akan selalu menjadi sahabat, walaupun udah nggak tinggal bareng lagi”Nawa bersama sang pemilik kos, kini sedang berada di salah satu kamar yang tak terlalu luas. Tapi tampaknya cukup nyaman, karena dilengkapi dengan kamar mandi di dalam, juga kompor untuk memasak.“Rin, udahan dulu, ya.Nanti aku hubungi kamu lagi”Nawa mengakhiri panggilan suara, agar bisa menanyakan lebih banyak tentang
Mau tak mau, suka ataupun tak suka, Airin harus merelakan Nawa pergi bersama Sakti malam ini. Ia memalingkan wajah, ketika Nawa berpamitan. Ingin menunjukkan sikap keberatannya.Airin sama sekali tak percaya, jika Sakti tak akan menyakiti Nawa lagi. Karena dengan ia menikahi wanita lain saja, sudah cukup menghancurkan perasaan sang sahabat.“Wa, kita udah sampai di kosan kamu”Sakti berkata lembut di Telinga istrinya, ketika tiba di halaman kos yang akan ditempati oleh Nawa. Nawa yang sempat tertidur di mobil, langsung membuka matanya. Ia tak sadar, sudah terlelap sepanjang perjalanan.Pria itu membawakan tas yang berisi pakaian milik istrinya. Ia lalu menunutun Nawa untuk masuk ke kamar kos yang telah ia sewakan untuk sang istri.“Wa, aku pulang dulu ke rumah ibu, ya. Besok,aku balik lagi ke sini.Tapi kalo kamu butuh apa-apa, tengah malam pun, hubungi saja aku”Nawa diam tak menjawab.Tak ada satupun kata-kata dari mulut Sakti yang ia percayai sejak tadi, karena ia trauma disakiti ole
“Kamu mau ke mana?”Nawa terkejut, ketika baru saja selesai berpakaian pagi ini. Sepertinya, ia lupa mengunci pintu kamar, hingga sang Suami bisa dengan bebas masuk ke kamar yang ia tempati saat ini.“Aku.. mau kerja”Sebelum Subuh, Nawa kembali menerima chat dari Felix,yang memintanya untuk menggantikan salah seorang karyawan yang tidak bisa hadir di shift pagi.Padahal seharusnya, Nawa hari ini mendapatkan shift malam.Ia melirik ke arah sang Suami, yang kini membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Sakti terlihat sangat lelah, dan ia yakin, tadi malam laki-laki itu telah melalui malam yang cukup panjang bersama Istri barunya. Ia juga merasa heran, mengapa Sakti tidak langsug ke kantor, tetapi malah menyambangi kamar kosnya sepagi ini.Nawa mendadak merasa jijik, saat melihat noda keunguan di leher sang Suami. Seolah ingin menunjukkan kepadanya, kalau tadi malam, laki-laki itu telah melewati malam yang ‘panas’ bersama madunya.Ya, walaupun Sakti tadi malam sempat bersikap dingin terha
“Nawa, apa kamu nggak keberatan, kalau kerja dua shift hari ini?”Felix sengaja memanggil Nawa ke ruangannya, untuk menanyakan hal itu. Nawa tentunya hanya menurut saja, karena tak mungkin menolak keinginan sang atasan untuk bekerja sampai malam.“Bisa, Pak”Jawaban singkat itu terucap dari bibirnya. Pria tersebut datang mendekat, lalu dudukdi atas meja, persis di hadapan Nawa. Posisi keduanya sangat dekat, membuat Nawa merasa sedikit risih.“Kalau kamu capek, kasih tahu aja, ya. Saya tak akan memaksa. Tapi kalau kamu sanggup kerja lembur sampai malam, saya akan berikan bonus untuk kamu”Nawa hanya menundukkan kepala saja. Tak berani, menatap wajah pria ini. Ia merasa, Felix sedang memandanginya, membuat Nawa mendadak gugup.Ia pernah mendengar cerita dari Airin, jika pria ini dijuluki Mr. Kul, karena bersikap dingin kepada wanita-wanita lain, selain istrinya sendiri. Tapi melihat sikap Felix kepadanya yang cukup ‘ramah’, sama sekali tak menunjukkan kesan dingin itu.“Apa saya sudah b
“Wa.. kamu kenapa, hei?”Airin terkejut, melihat Nawa yang menangis di pojokan Dapur sambil berjongkok. Ia tentunya penasaran, apa yang telah menyebabkan sang sahabat menangis seperti ini.“Kamu sakit, Wa? Kalo iya, aku anter ke kosan kamu, sekarang. Istirahat aja, ya”“Nggak Rin, aku mau tetap kerja. Hiks..hikss..”Nawa menangis terisak, membuat Airin iba melihatnya. “Ada apa, Wa? Cerita aja. Siapa tahu, aku bisa membantu kamu?”Lagi-lagi, Nawa menggelengkan kepalanya. Membuat sang sahabat bingung harus berbuat apa.“Heh, kalian berdua ngapain sih, nongkrong di situ? ini masih jam kerja loh,ayo, bubar!”Suara seruan itu terdengar dari mulut wanita bernama Fira, selaku SPV di Café itu. Selama ini, Fira berlaku cukup baik, kepada semua pelayan Café. Tapi entah mengapa,hari ini, ia bersikap sangat tegas.“Kamu kenapa Nawa? Ngak usah ada drama di jam kerja ya, pake acara nangis segala. Kamu pikir, ini acara pemakaman?”Entah mengapa, Fira tiba-tiba bersikap ketus begini. Apa mungkin, kar
Tok.. tok..tok.. Suara ketukan di pintu, menyelamatkan Nawa dari niat jahat pria itu. Felix tampak kesal, karena ada yang mengganggu kebersamannnya dengan Nawa malam ini. “Masuk” ucap pria itu, seraya merapikan kemeja yang ia pakai. Spontan, Nawa berlarian menuju ke pintu ke luar, sebelum Felix memberikan peringatan tegas “Jangan pernah kamu menceritakan kepada siapapun tentang apa yang terjadi tadi, kalau kamu masih ingin bekerja di sini” Nawa tak menjawab apa-apa. Ia membuka pintu, dan berpapasan dengan Luki, salah seorang karyawan yang juga bekerja di Café itu. Pria tersebut bingung, melihat Nawa yang tampak ketakutan. Tapi ia menepis segala pikiran buruk yang ada di kepalanya. Nawa memasuki toilet, lalu menumpahkan air mata. Tak menyangka, Felix berniat untuk memperdayanya. Padahal, pria ini dikenal sangat dingin, dan setia kepada istrinya, Tapi sama sekali, Nawa tak melihat kesan itu di dalam dirinya. Nawa merapikan semua perlengkapannya, lalu meninggalkan Café tersebut
“Mas, kamu ..ngapain?”Nawa yang bangun terlambat pagi ini, tiba-tiba mencium bau-bauan, yang berasal dari Dapur kecil di kamar kos yang ia tempati. Wanita itu lalu mencari tahu, siapa yang saat ini sedang memasak, dan menemukan Sakti berada di tempat itu.“Aku lagi nyiapin sarapan buat kita. Kamu kalo mau mandi, mandi duluan aja”Sudah lima tahun pernikahan mereka, baru kali ini Nawa melihat Sakti memasak di Dapur. Karena biasanya, selama ini, ia yang selalu menyiapkan segala sesuatunya untuk sang suami, bahkan untuk Sulasmi, Ibu mertuanya.“Emang, kamu bisa masak ya, Mas?”Sakti yang hanya memakai celana pendek dan tak memakai atasan apa-apa itu, menyunggingkan senyuman tipis di bibirnya. Tentu saja, ia bisa memasak, tetapi selama ini tak pernah menunjukkan kepada sang istri.“Aku mau masak nasi goreng, yang gampang-gampang aja. Tadi aku lihat, ada sisa nasi di dalam rice cooker”Nawa mendekati sang suami. Ia seolah tak mengenal Sakti lagi, karena sikapnya jauh berubah. Mengapa har
Ayahanda Nawa, tak bisa membendung emosinya, saat melihat pria yang kini berdiri di hadapannya.“Kamu..? kamu menikah lagi dengan Wanita lain, dan mencampakkan putri saya begitu saja?” tudingnya.Pria itu langsung menarik kemeja yang Sakti kenakan saat ini, lalu mendorong tubuhnya ke dinding Rumah Sakit. Wajah Sakti tampak pucat, seperti tak berdarah. Orang yang paling ia takuti di dunia ini, kini sudah berada di hadapannya.Teringat olehnya, kejadian lima tahun yang lalu, saat dr. Richard menghajarnya habis-habisan, karena ia membawa lari Nawa. Itulah sebabnya, dengan sangat terpaksa, pria ini mengizinkan Sakti menikahi putrinya. Tapi yang terjadi kini, sungguh sangat menyakiti perasaannya. Sakti ternyata menikahi wanita lain, dan ia mencampakkan Nawa begitu saja.Jika bukan sedang berada di Rumah Sakit, mungkin kejadian lima tahun yang lalu akan Kembali terulang. Untung saja para perawat laki-laki di Rumah Sakit itu segera datang melerai, mencegah dr. Richard, menyakiti pemuda itu.
“Aku tahu aku salah, Mas, dan aku meminta maaf untuk itu”Sebelum Sakti mengucapkan sesuatu yang mungkin saja bisa membuatnya semakin terpojok, Elena berinisiatif untuk meminta maaf terlebih dahulu. Ia yakin, sang suami nantinya akan luluh, pada kata-kata maaf yang ia ucapkan.Tapi Sakti masih memasang wajah datar saja, walaupun sang istri kini sudah meneneteskan air mata.“El, aku tahu, kalau pernikahan kita ini baru seumur Jagung. Tapi aku rasa..”“Cukup Mas, jangan diteruskan lagi. Aku tahu aku salah. Tolong, maafkan semua kesalahan aku, dan aku janji akan berubah”Sakti menggelengkan kepalanya. Karena ia tak terlalu yakin, kalau Elena bisa berubah secepat ini.“El, Ibu itu adalah satu-satunya orang tua yang aku punya saat ini! apapun akan aku lakukan, demi membuat Ibu bahagia. Termasuk menikahi kamu!”Dari kata-katanya, jelas terlihat, jika Sakti hanya terpaksa menikah dengannya. Dan Elena merasa sedikit tersinggung atas ucapannya.Tapi ia tak menunjukkan apa yang tersimpan di hat
“Mami…?”Nawa tak menyangka akan bertemu lagi dengan sang Ibu, setelah selama lima tahun belakangan ini, tak pernah mendengar kabar tentang Ibunya.Pernah ia mencoba mengunjungi wanita ini, tetapi selalu saja mendapatkan penolakan, dan tidak diperbolehkan untuk memasuki rumah.Nawa mengalihkan pandangan ke arah seorang pria, yang berdiri persis di samping Ibunya.Pria itu adalah Ayahnya, yang langsung mengalihkan pandangan, seolah tak melihat keberadaan Nawa di tempat itu.“Ayo Mi, kita pulang, kamu sudah selesai kan belanjanya..” Pria itu berkata kepada istrinya, dengan nada datar.“Pi, ini kan Nawa, anak kita, kenapa nggak kamu sapa?” bisik sang istri kepada suaminya. Tetapi Pria yang berprofesi sebagai seorang Dokter itu, sama sekali tak menggubris perkatannya.Ia sudah telanjur kecewa pada keputusan Nawa, yang tetap menikah dengan Sakti, walaupun mereka sudah melarangnya. Karena Ayahanda Nawa sangat yakin, Sakti bukanlah Pria yang baik untuk putrinya.Sejak Nawa menikah dengan Sak
“Boleh saya tahu, apa alasan kamu mengajukan pengunduran diri, Nawa?”Raya, istri dari Felix, menatap Nawa dalam-dalam, ketika wanita itu menemuinya di ruangan. Nawa baru saja mengatakan, kalau ia hendak mengundurkan diri dari Cafe tersebut.Tentunya Raya merasa heran, mengapa Nawa yang bahkan belum bekerja genap satu bulan di café tersebut, tiba-tiba berpikir untuk mengundurkan diri.“Saya, hanya ingin bersitirahat saja, Bu”Nawa sengaja menyembunyikan aib Felix, suami dari wanita itu, agar tak terjadi huru-hara. Ia juga heran,mengapa tak melihat keberadaan Felix di ruangan tersebut. Tapi tentunya ini lebih baik, agar Nawa bisa dengan cepat mengajukan pengunduran dirinya.“Nawa, jika ada masalah, katakan saja. Tentang apapun itu, tolong jangan sembunyikan dari saya”Raya mulai merasa curiga, jika semua ini berhubungan dengan Fekix, sang suami.Karena mereka sempat bertengkar hebat saat di Bali kemarin, yang mengakibatkan Felix langsung meninggalkannya, dan kedua anaknya begitu saja.R
“Pak.. dari mana Bapak tahu kalau saya tinggal di sini? bukannya bapak juga lagi ada di Bali?”Nawa tentunya tak menyangka, Felix bisa mendatangi kamar kos yang ia tempati. Apalagi, seingatnya, pria ini sedang berada di Bali bersama keluarganya. Apa mungkin, Felix tidak jadi berangkat?“Saya tahu tentang kamu semuanya, Wa.. semua..”Pria itu menampilkan seringaian di bibirnya. Nawa pun ngeri melihat hal itu. Apalagi, malam ini, ia memakai dress yang cukup seksi, yang mengekspos lekuk tubuhnya.Felix melangkah memasuki kamar. Tetapi Nawa memintanya untuk berhenti.“Tolong, saya tidak akan membiarkan Bapak memasuki kamar ini..”“Kenapa, Nawa? suami kamu udah nggak ada, kan? dia baru saja pergi. Mau mengunjungi istri keduanya pasti kan?Ternyata Felix benar, ia mengetahui semua tentang Nawa. Dan entah sejak kapan, pria ini mencari tahu semuanya.“Dari pada kamu malam ini sendirian, mendingan saya temenin, ya Wa..”Felix menutup pintu kamar kos itu. Dan Nawa tentunya terkejut melihat sika
Sakti kewalahan menghadapi kemarahan Elena siang ini. Wanita itu berteriak-teriak di lobi kantor, membuatnya merasa malu.Ia berkali-kali menuding Sakt telah berselingkuh. Dengan sekuat tenaga, Sakti mengangkat tubuh wanita itu, lalu membawanya menuju ke mobil.Tentu saja, teman-teman di kantornya merasa heran, siapa Elena sebenarnya. Karena Sakti memang tak memberitahukan tentang pernikahannya dengan wanita itu.“Apa itu istrinya Pak Sakti?”“Nggak tahu juga sih, sepertinya istrinya bukan yang itu deh”Banyak yang berpikiran yang bukan-bukan tentang Elena. Karena memang, Sakti termasuk tipe pria yang tertutup, dan jarang ada yang mengetahui tentang seluk beluk rumah tangganya.“Kamu udah bikin aku malu, El!” teriak Sakti, saat tiba di Mobil.“Kamu yang memuat aku begini, Mas! pernikahan kita masih seumur Jagung, tapi kamu sudah berani membohongi aku, dan tidur dengan perempuan lain!”“Jangan asal tuduh kamu!”Sakti langsung tersulut emosi. Rasanya ia sudah tak kuat lagi menghadapi k
“Mas, kamu ..ngapain?”Nawa yang bangun terlambat pagi ini, tiba-tiba mencium bau-bauan, yang berasal dari Dapur kecil di kamar kos yang ia tempati. Wanita itu lalu mencari tahu, siapa yang saat ini sedang memasak, dan menemukan Sakti berada di tempat itu.“Aku lagi nyiapin sarapan buat kita. Kamu kalo mau mandi, mandi duluan aja”Sudah lima tahun pernikahan mereka, baru kali ini Nawa melihat Sakti memasak di Dapur. Karena biasanya, selama ini, ia yang selalu menyiapkan segala sesuatunya untuk sang suami, bahkan untuk Sulasmi, Ibu mertuanya.“Emang, kamu bisa masak ya, Mas?”Sakti yang hanya memakai celana pendek dan tak memakai atasan apa-apa itu, menyunggingkan senyuman tipis di bibirnya. Tentu saja, ia bisa memasak, tetapi selama ini tak pernah menunjukkan kepada sang istri.“Aku mau masak nasi goreng, yang gampang-gampang aja. Tadi aku lihat, ada sisa nasi di dalam rice cooker”Nawa mendekati sang suami. Ia seolah tak mengenal Sakti lagi, karena sikapnya jauh berubah. Mengapa har
Tok.. tok..tok.. Suara ketukan di pintu, menyelamatkan Nawa dari niat jahat pria itu. Felix tampak kesal, karena ada yang mengganggu kebersamannnya dengan Nawa malam ini. “Masuk” ucap pria itu, seraya merapikan kemeja yang ia pakai. Spontan, Nawa berlarian menuju ke pintu ke luar, sebelum Felix memberikan peringatan tegas “Jangan pernah kamu menceritakan kepada siapapun tentang apa yang terjadi tadi, kalau kamu masih ingin bekerja di sini” Nawa tak menjawab apa-apa. Ia membuka pintu, dan berpapasan dengan Luki, salah seorang karyawan yang juga bekerja di Café itu. Pria tersebut bingung, melihat Nawa yang tampak ketakutan. Tapi ia menepis segala pikiran buruk yang ada di kepalanya. Nawa memasuki toilet, lalu menumpahkan air mata. Tak menyangka, Felix berniat untuk memperdayanya. Padahal, pria ini dikenal sangat dingin, dan setia kepada istrinya, Tapi sama sekali, Nawa tak melihat kesan itu di dalam dirinya. Nawa merapikan semua perlengkapannya, lalu meninggalkan Café tersebut
“Wa.. kamu kenapa, hei?”Airin terkejut, melihat Nawa yang menangis di pojokan Dapur sambil berjongkok. Ia tentunya penasaran, apa yang telah menyebabkan sang sahabat menangis seperti ini.“Kamu sakit, Wa? Kalo iya, aku anter ke kosan kamu, sekarang. Istirahat aja, ya”“Nggak Rin, aku mau tetap kerja. Hiks..hikss..”Nawa menangis terisak, membuat Airin iba melihatnya. “Ada apa, Wa? Cerita aja. Siapa tahu, aku bisa membantu kamu?”Lagi-lagi, Nawa menggelengkan kepalanya. Membuat sang sahabat bingung harus berbuat apa.“Heh, kalian berdua ngapain sih, nongkrong di situ? ini masih jam kerja loh,ayo, bubar!”Suara seruan itu terdengar dari mulut wanita bernama Fira, selaku SPV di Café itu. Selama ini, Fira berlaku cukup baik, kepada semua pelayan Café. Tapi entah mengapa,hari ini, ia bersikap sangat tegas.“Kamu kenapa Nawa? Ngak usah ada drama di jam kerja ya, pake acara nangis segala. Kamu pikir, ini acara pemakaman?”Entah mengapa, Fira tiba-tiba bersikap ketus begini. Apa mungkin, kar