Share

Bab 06 Curiga

Entah dorongan dari mana, Sakti berlarian ke luar, hendak mengejar wanita tersebut. Tetapi sayangnya, wanita yang ia yakini adalah Nawa, tak lagi terlihat di sekitaran halaman Café.

Sakti meraih ponsel dari saku celana, hendak menghubungi nomor sang istri. Tapi ternyata, ponsel Nawa sedang tidak aktif. Atau mungkin saja. ia sengaja mengganti nomonya, agar Sakti tak bisa menghubunginya lagi. Karena memang, sejak Nawa meninggalkannya, Sakti tak pernah berusaha untuk mencari tahu kabarnya, hingga hari ini mereka dipertemukan secara tidak sengaja.

Berbagai pemikiran buruk melintas di benaknya. Apa mungkin, Nawa kini menemukan pria lain pengganti dirinya, hingga wanita yang masih berstatus istrinya itu merubah penampilannya? entah mengapa, Sakti merasa cukup terganggu dengan pemikirannya sendiri.

Sakti tersentak dari lamunan panjang, saat mendengar suara panggilan masuk dari nomor Elena, istri keduanya. Ia pun langsung menjawab panggilan tersebut.

“Hallo”

“Hallo, Mas, kamu lagi ada di mana sekarang?”

“Di Slay Café, bareng anak-anak kantor. Kenapa, El?”

Terdengar helaan napas panjang dari seberang sana. Entah apa kini yang terjadi, dengan wanita yang baru saja ia nikahi itu.

“Aku laper..”

Sakti sedikit terkejut, mengapa hal sepele seperti itu, Elena harus mengadukan kepadanya.

“Ya sudah, makan sana. Ibu masak kan?”

Lagi-lagi, terdengar embusan napas kasar dari seberang sana. Sakti yakin, ada sesuatu yang hendak dikeluhkan oleh sang istri.

“Kenapa lagi?” Tanya sang suami, dengan nada datar. Dan Elena langsung mengungkapkan apa yang tersimpan di hatinya saat ini.

“Mas, bukannya aku nggak bersyukur loh, Ibu kamu udah masakin makan siang buat aku. Tapi jujur ya, masakan Ibu kamu itu nggak enak, nggak sesuai sama selera aku. Kamu jangan tersinggung loh, ya. Kamu kan suami aku, jadi nggak ada salahnya kalau aku curhat ke kamu”

Sakti terkejut mendengar perkataan Elena barusan. Tega-teganya ia mengatakan, kalau masakan Ibunya tidak enak. Padahal ia tahu, kalau sang Ibu sudah bersusah payah memasakkan menu untuk menantu barunya.

“Maksudnya nggak enak gimana, sih? kamu kok tega ngomong begitu tentang Ibu aku?” Sakti tentunya menunjukkan sikap keberatan atas pernyataan sang istri.

“Mas, tadi kan udah aku bilang, jangan tersinggung. Coba kamu cicipi sendiri aja deh. Kebanyakan gula tahu, nggak? jadinya aku eneg makannya. Kan kita lagi proram mau dapetin anak, Mas. Aku harus makan makanan yang sehat setiap hari. Kalo banyak gula begitu, gimana bisa sehat, coba?”

Sakti merasakan kepalanya semakin berdenyut hebat. Belum beres urusan Nawa yang baru saja ia lihat tadi, sekarang malah Elena yang berbuat ulah, dengan mengomentari hal yang buruk tentang Ibunya.

“Kalau kamu nggak suka, kenapa nggak kamu masak sendiri aja, El.Biar sesuai dengan selera kamu?”

Sakti masih mencoba untuk bersabar.Karena sikap Elena, memang jauh berbeda dengan Nawa. Selama menikah dengan Nawa, tak pernah sang istri mengeluhkan apa pun. Ia selalu menerima segala kekurangan Sakti, dan tak pernah menuntut banyak, jika Sakti belum bisa memenuhi keinginannya.

“Mas, aku udah pernah bilang ke Ibu kamu, kalau aku nggak bisa masak. Ibu kamu juga nggak mempermasalahkan hal itu, kok. Katanya aku fokus aja pada program kehamilan yang sedang kita jalani. Aku sekarang lagi laper banget nih, Mas. Jadi bisa pesenin makanan nggak? apa aja deh, yang penting cepet nyampenya. Kamu nggak tega kan, ngelihat aku kelaperan gini?”

Sakti terpaksa mengalah, agar tidak terjadi keributan dalam rumah tangganya bersama Elena.

“Ya udah, nanti aku pesankan, kamu tunggu aja”

Pria itu mengakhiri panggilan suara. Ia baru menyadari, ternyata selain wajah yang cantik dan lekuk tubuh yang seksi, Elena tak memiliki kelebihan yang lain. Apa ini yang menyebabkan Elena berpisah dengan suaminya dulu?

Sakti mulai kehilangan selera makannya. Di saat rekan-rekan kerjanya tengah asyik menikmati menu makan siang, ia hanya memesan segelas kopi pahit saja. Bayangan Nawa kembali melintas di benaknya. Hingga ia berpikir, apakah ini adalah keputusan yang salah dengan membiarkan Nawa pergi, dan menikahi Elena. Karena Sakti gampang sekali tergoda dengan paras rupa, hingga ia tak berpikir panjang dalam mengambil keputusan.

Di tengah kegundahan hatinya, tapa sengaja, manik matanya menatap sesosok gadis yang tentunya cukup ia kenal. Walupun dari kejuauhan, ia tetap bisa mengenali gadis yang kini sedang melayani pelanggan Café yang semakin ramai siang ini.

‘Airin?’

Sakti mengangkat tubuhnya, lalu mengikuti langkah gadis yang hendak menuju ke dapur itu.Merasa sedang dibuntuti, Airin pun langsung menghentikan langkah, lalu menoleh ke belakang.

“Ternyata kamu?”

Airin tak bisa lagi mengontrol mimik wajahnya, yang tak suka melihat keberadaan Sakti di tempat itu.

“Rin, tadi aku melihat Nawa. Apa dia kerja di sini, bareng kamu?”

Airin mencebikkan bibirnya, mendengar pertanyaan laki-laki di hadapannya. Karena ia merasa, Sakti tak pantas lagi menanyakan tentang sahabatnya. “Masih peduli juga sama mantan istri?” Sindirnya, yang membuat Sakti merasa sedikit kesal.

“Rin, Nawa itu masih istri aku, ya. Belum menjadi mantan!”Tegasnya.

“Oh ya? aku dengar dari Nawa, kalau kamu sudah menikah lagi dengan wanita pilihan Ibu kamu. Jadi untuk apa kamu nanyain Nawa? biarlah Nawa mencari kebahagiaannya sendiri. Mungkin nanti dia bisa menemukan laki-laki baik, yang akan..”

“Stop!” Sergah Sakti, sebelum Airin melanjutkan ucapannya.”Nawa tidak akan bertemu dengan pria manapun! Tolong kasih tahu, di mana istri aku tinggal sekarang. Aku yakin, kamu pasti tahu”

Airin tersenyum sinis, menanggapi perkatannya. “Aku nggak tahu! kalau kamu masih merasa menjadi suaminya, silahkan cari sendiri! tapi kalau Nawa tidak sudi bertemu kamu lagi, tolong tahu diri!”

Airin beranjak dari hadapan pria itu. Tetapi Sakti, langsung menarik tangannya.

“Aku yakin, kamu yang menyembunyikan Nawa. Nggak mungkin kan, tadi dia tiba-tiba aja ada di sini? kasih tahu, di mana dia!” Desak Sakti.

“Lepasin!”

Arin melepas paksa tangannya dari cekalan Sakti, bertepatan dengan kehadiran Felix sang pemilik Café, yang baru saja ke luar dari ruangannya. Ia bingung, melihat Airin yang kini memegangi lengannya sendiri.

“Rin, ada masalah?” Selidik pria itu. Ia memandangi Sakti, yang kini masih berharap Airin memberikan informasi tentang keberadaan Nawa.

“Nggak Pak, dia ini teman SMA saya” Jawab Airin.

Sakti langsung membalikkan badannya, beranjak dari hadapan Airin. Tentunya, ia tak ingin bermasalah dengan sang pemilik Café, karena sikap kasarnya tadi.. Pria itu kembali ke meja yang ia tempati sebelumnya, lalu meneguk kopi pahit yang tak lagi terasa pahit di tenggorokannya.

***

“Permisi Bu, pesanan atas nama Bu Elena?”

“Iya, saya”

Elena merasa senang, karena sang suami menepati ucapannya untuk memesankan makan siang.

Walaupun makanan yang Sakti pesankan bukanlah jenis makanan yang tergolong mahal, tapi berhubung sudah sangat lapar, wanita itu meraih kotak makanan dari tangan sang kurir dengan gerakan cepat.

“El, ada siapa di luar?”

Elena langsung menyembunyikan kotak makanan tersebut dibalik sofa, ketika sang Ibu mertua melangkah mendekat.

“Nggak ada siapa-siapa, Bu.Tadi ada yang, ngg.. minta sumbangan. Tapi saya bilang,kalau Ibu lagi sibuk di dapur” Tentu saja, Elena berbohong tentang itu.

“Ooh,ya sudah, gimana tadi masakan Ibu, El? enak tidak?”

Sulasmi tiba-tiba teringat, jika sang menantu belum mengomentari tentang masakannya.

“Enak, enak kok, saya tadi sampe lahap makannya, Bu. Nggak ada sisanya”

Elena lagi-lagi berbohong. Karena sebenarnya , ia membuang makanan yang ada di piringnya, ke dalam tong sampah. Karena ia tidak suka dengan rasa masakan yang disuguhkan oleh sang Ibu mertua.

“Ibu senang mendengar pujian kamu. Nggak kayak si Nawa tuh, nggak pernah sekalipun memuji Ibu mertuanya. Kalau Ibu yang masak, dia cuma makan sedikit aja. Kesannya kayak nggak suka sama masakan Ibu”

“Saya nggak mungkin begitu, Bu” Elena kembali berakting di depan sang Ibu mertua “Ibu kan udah capek masak.Masa saya nggak mau makan? saya beda dong, sama Nawa, yang nggak pernah bisa menghargai mertua”

Sulasmi tersenyum lebar. Sepertinya, ia semakin menyukai menantu barunya ini. Walaupun Elena sama sekali tak mau membantu pekerjaan di dapur, tetap saja, Sulasmi menyanjung-nyanjungnya di dalam hati.

“Ya sudah, Ibu mau ke belakang dulu, ya El. Mau nyuci pakaian”

“Oh ya Bu, sekalian pakaian kotor saya, dicuci ya, Bu. Tadi saya simpen di ember warna Hijau di belakang”

Sulasmi tersentak, saat menyadari,sepertinya Elena sedang memerintahkan kepadanya, untuk mencucikan pakaiannya. Tapi ia masih berpikiran positif, kalau sang menantu sedang kelelahan. Sulasmi pun mengangguk singkat saja, sebelum beranjak menuju ke belakang.

Elena tentunya merasa senang, karena ia sudah bisa bebas untuk makan. Ia meraih kotak makanan yang sempat ia sembunyikan dibalik sofa,lalu bergegas menuju ke kamar.

Tak lupa pula, Elena mengunci kamar itu, agar Sulasmi tak sembarangan masuk. Ia sama sekali tidak peduli, bagaimana tanggapan Sulasmi terhadapanya.Yang terpenting baginya, Sulasmi mempercayainya, dan menganggap dirinya jauh lebih baik dibandingkan Nawa.

***

Sementara itu, Nawa yang sudah tiba di kamar kos Airin, merasa cukup gelisah. Pertemuan dengan Sakti tadi, masih mengganggu pikirannya.

Ia berharap, tak akan pernah bertemu dengan laki-laki itu lagi selamanya. Tapi ternyata, takdir masih mempertemukan mereka.

Yang ia inginkan saat ini hanyalah, bercerai dari Sakti. Nawa tak sudi berbagi suami dengan orang lain. Jika memang Sakti setuju menikahi perempuan lain, itu artinya, dia bukanlah laki-laki yang layak dipertahankan. Tapi hingga kini, Nawa merasa bingung, mengapa Sakti belum juga menceraikan dirinya, agar status pernikahannya dengan Elena, sah di mata negara.

‘Moga-moga aja dia nggak tahu, kalau aku tinggal bersama Airin’

Hanya do’a itu yang Nawa panjatkan saat ini, sebelum ia merasakan pusing dan mual seperti tadi malam.Nawa mulai mencurigai sesuatu. Tapi ia berusaha untuk menepis segala kecurigaaan itu.

“Aku terakhir kali datang bulan, kapan ya?”

Nawa mencoba mengingat-ingat,kapan terakhir kali ia mendapatkan menstruasi. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Apa mungkin, mual dan muntah ini pertanda kehamilan? entah mengapa, ia merasa ngeri membayangkan hal yang dulunya sangat ia idam-idamkan. Mengingat hubungannya dengan Sakti, kini sudah diambang perceraian.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status