Karina berdiri tempat di samping Herdinan hanya karena ingin menatap sang duda tampan dari jarak dekat. Jantung Karina berdegup kencang ketika dirinya saling bertatapan dengan sang duda yang akan menikahinya tersebut.
“Hai, aku Karina!” tanpa segan kepada sang ayah, Karina langsung mengulurkan tangan kanannya untuk berkenalan dengan sang duda tampan.
Herdinan kaget melihat sikap putri bungsunya bahkan dirinya merasa malu kepada lelaki yang sebentar lagi akan menjadi menantunya itu.
“Satria…” suara berat sang duda langsung menggetarkan hati Karina.
“Oh my gosh! Tidak hanya tampangnya saja yang keren, tapi suaranya juga… bikin aku jadi tambah klepek-klepek deh!” seru Karina dalam hatinya sembari terus menatap Satria.
“Eeheerrmm!!!” Herdinan sengaja mendehem agak keras untuk menyadarkan Karina, namun ternyata tidak berhasil hingga dengan terpaksa ia mencubit lengan putrinya tersebut.
“Aaww!” pekik Karina saat Herdinan mencubit lengannya.
Herdinan melotot kesal pada Karina agar Karina tidak membuatnya malu di depan Satria, sementara Ratih dan Livia hanya bisa bergeleng kepala melihat tingkah Karina disana.
Satria pun mempersilahkan Herdinan serta keluarganya untuk masuk ke dalam rumah dan membawa mereka keruang tamu. Ketika hendak duduk Karina cepat-cepat memilih tempat duduk yang berdekatan dengan Satria agar dirinya dapat memandangi ketampanan Satria dari jarak yang dekat. Herdinan yang duduk berdampingan dengan Ratih lantas berbisik kepada istrinya tersebut sembari melirik Karina.
“Bagaimana bisa kamu melahirkan anak yang tidak tau malu seperti Karina itu!” perasaan kesal bercampur malu menjadi satu di dalam diri Herdinan saat itu tatkala melihat sikap Karina yang ingin berdekatan dengan Satria.
“Dia wujud dari kecebongmu!” balas Ratih dengan suara pelan kepada Herdinan.
Ketika hendak membuka perbincangan Satria melirik sejenak kepada Karina yang terus saja menatapnya. Satria merasa sedikit risih dengan sikap yang Karina tunjukkan kepadanya.
“Assalamualaikum!” salam yang diucapkan seorang bocah perempuan pun terdengar dari pintu utama, lalu muncullah sosok bocah perempuan tersebut yang tampak ceria saat berlari menghampiri Satria diruang tamu.
“Om Satria, Lintang pulang!” serunya lantas memeluk Satria dengan manja.
“Waalaikumsalam.” semuanya membalas salam yang diucapkan Lintang.
Herdinan, Ratih dan Livia bingung ketika mendengar Lintang memanggil Satria dengan sebutan om bukan ayah, kecuali Karina yang tidak perduli apapun selain menatap wajah tampan yang dimiliki calon suaminya tersebut.
“Bukannya Lintang itu anak kamu?” tanya Herdinan kepada Satria.
“Sebenarnya Lintang ini anak dari saudari saya, Pak… semenjak saudari saya dan suaminya meninggal karena bencana alam beberapa tahun lalu di desa ini, saya yang menjadi pengganti sosok ayah untuk Lintang.” jawab Satria menjelaskan status Lintang yang sebenarnya.
“Dan aku akan menjadi sosok ibu untuk Lintang setelah menikah dengan Mas Satria!” sahut Karina membuat Satria terperanjat sementara Herdinan dan Ratih hilang muka, Livia hanya bisa tepok jidat mendengar kalimat yang lolos begitu saja dari mulut adiknya itu.
Lintang yang duduk diatas pangkuan Satria tampak terkekeh geli dan mulai memperhatikan sosok Karina yang masih saja menatap Satria.
“Kakak cantik itu menatap Om Satria terus, hihihi…” Lintang terkekeh geli sembari menunjuk Karina, sementara Herdinan dan Ratih mati-matian menahan rasa malu mereka.
“Berhentilah menatap Mas Satria, Karin!” Livia terpaksa menarik rambut adiknya itu.
“Ck, nyebelin banget sih!” Karina menggerutu kesal pada Livia dan akhirnya berhenti menatap Satria.
Setelah disuguhi minuman hangat dan makan siang bersama, Satria mempersilahkan Herdinan beserta keluarganya untuk beristirahat di kamar yang sudah disiapkan untuk mereka.
Di dalam kamar Livia menuntut Karina untuk mengaku kepada kedua orang tua mereka bahwa Karina tidak hamil.
“Kapan kamu akan mengatakan pada ayah dan ibu kalau kau tidak hamil?” tanya Livia pada Karina yang baru saja selesai mandi sementara dirinya sedang berbaring diatas ranjang.
“Aku berubah pikiran, jadi aku tidak akan mengatakan yang sebenarnya!” sahut Karina membuat Livia bingung.
“Kamu tuh maunya apa sih, Karin? Jangan bikin masalah lagi dong!” Livia seakan kesal pada adiknya.
“Aku ingin menikah dengan mas duda tampan dan tinggal di desa yang asri ini!” sahut Karina lagi membuat Livia tercengang.
“Kamu sudah gila ya?!” seru Livia segera menghampiri adiknya yang sedang berdandan di depan cermin.
“Iya, aku memang sudah gila… tergila-gila dengan Mas Satria!” Karina tak perduli dengan raut wajah sang kakak yang tampak tidak setuju dengan keputusannya itu.
“Usia kamu masih 19 tahun, Karin sementara usia Mas Satria sudah 32 tahun! Apa kamu yakin dengan keputusanmu? Lagian kamu kan masih sekolah… aku saja belum kepikiran untuk menikah!” ujar Livia sembari mendorong-dorong kepala Karina karena kesal.
“Aku tidak suka sekolah tuh!” celetuk Karina menunjukkan wajahnya yang sewot.
“Aku akan bilang ke ayah dan ibu yang sebenarnya supaya pernikahanmu dan Mas Satria tidak perlu dilakukan dan kamu harus melanjutkan pendidikanmu!” ucap Livia dengan tegas dan hendak beranjak keluar dari kamar.
“Kalau kakak melakukannya, aku tidak mau bicara dengan kakak lagi dan aku akan terus kembali mengejar si brengsek Robi setelah kita kembali ke kota nanti!” Karina mengancam Livia yang lantas menghentikan langkah kakinya.
“Karin, kamu-”
“Kakak pilih mana, aku menikah dengan Mas Satria atau menjadi cewek bodoh yang terus mengejar Robi?” Karina mengancam Livia lagi.
Livia terduduk disisi ranjang menatap Karina dengan raut wajahnya yang tampak kecewa. Mengetahui sang kakak kecewa, Karina pun mendekati kakaknya itu, lalu gelendotan dengan manja.
“Mas Satria itu tampan dan kaya… dia memiliki kebun teh yang luas dan peternakan sapi, jadi menurutku masa depanku ada di desa ini, Kak!” Karina merayu Livia agar semua rencananya berhasil.
“Terserah kamu saja, tapi suatu saat nanti jangan bilang aku tidak memperingatkanmu dalam hal ini!” ujar Livia akhirnya membiarkan Karina mengambil keputusan.
“Kakak memang yang terbaik!” ucap Karina sembari tersenyum lebar dan memeluk Livia.
Usai berdandan dengan cantik Karina pun segera keluar dari kamar dan mencari keberadaan Satria, ia ingin mendekati Satria yang akan segera menjadi suaminya.“Kakak cantik cari siapa?” Lintang tiba-tiba muncul dari belakang saat Karina mencari keberadaan Satria diruang tengah.Karina berbalik kemudian tersenyum kepada Lintang yang tampak manis dan menggemaskan.“Aku sedang mencari calon suamiku yang tampan itu! Apa kau tau dimana dia?” tanya Karina sembari berjongkok dihadapan Lintang.“Om Satria sedang pergi, tapi Lintang tidak tau Om Satria perginya kemana…” jawab Lintang.“Kakak cantik, rambutnya panjang… Lintang suka!” sambung Lintang ingin sekali memiliki rambut panjang sepunggung seperti Karina.“Rambut Lintang juga bagus!” balas Karina mengelus rambut ikal Lintang.Tak lama kemudian sebuah mobil sampai di halaman depan, Lintang berlari ke pintu utama untuk melihat siapa yang datang.“Itu Om Satria!” seru Lintang membuat Karina bersemangat saat mengetahui bahwa pujaan hatinya tel
Setelah akad nikah Karina, Ratih dan Livia duduk bersama warga desa yang menjadi saksi pernikahan, mereka berbincang ringan untuk saling mengenal lantaran Karina akan menetap di desa itu saat menjadi istri Satria.Sementara itu Herdinan dan Satria berada di sebuah ruangan lain untuk membicarakan perihal penting mengenai Karina secara empat mata. Saat itu Herdinan seakan kehilangan muka di depan Satria mengingat kondisi putrinya yang terpaksa dinikahkan karena hamil tanpa dirinya mengetahui bahwa putri bungsunya tersebut telah berbohong kepadanya.“Satria, sebenarnya saya malu dengan pernikahan ini, tapi saya tidak tau lagi harus berbuat apa dengan kondisi Karina sekarang.” ucap Herdinan yang telah kehilangan muka dihadapan Satria.“Apa yang saya lakukan hari ini belum bisa menebus utang budi keluarga saya kepada Bapak…” ucap Satria mengingatkan kejadian di masa lalu ketika dirinya membantu keluarga Satria.“Saya cukup menyesal karena tidak bisa hadir saat pemakaman kedua orang tuamu w
Langit sudah gelap dan suara hewan malam pun terdengar di telinga Karina yang sedang berbaring diatas ranjang, namun ia sendirian. Sudah sedari tadi Karina menunggu kedatangan Satria di kamar itu, tapi Satria tak juga menampakkan batang hidungnya.“Hhuuuhh!!!” Karina mendengus kesal seraya turun dari ranjang.“Kenapa Mas Satria belum masuk juga ke kamar ini, padahal aku sudah berdandan cantik dan menunggunya dari tadi…” Karina menggerutu sendirian di dalam kamar itu.Karina masih ingin menahan dirinya untuk menunggu Satria di kamar itu, namun ia hanya bisa bertahan dalam beberapa menit saja.“Aku harus mencari Mas Satria!” Karina segera melangkah keluar dari kamar.Ketika baru saja melangkah keluar dari kamarnya tanpa sengaja Karina mengarahkan pandangannya ke jendela kaca yang belum tirainya belum tertutup. Dari sana Karina melihat sosok perempuan cantik yang sedang berdiri tak jauh dari halaman rumah.“Siapa perempuan itu? Ngapain dia berdiri sendirian disana malam-malam begini?” ta
Pagi hari Karina keluar dari kamar setelah mandi dan berpakaian rapi, namun kelopak matanya tampak sedikit menghitam lantaran dirinya tidak bisa semalaman karena memikirkan sikap Satria yang memilih tidur di kamar lain padahal mereka sudah resmi menjadi pasangan suami istri.Karina bertemu dengan Mbak Yati yang sedang melakukan pekerjaan yakni membersihkan rumah. Karina yang menyadari bahwa rumah sebesar itu tampak sepi lantas menghampiri Mbak Yati.“Mbak, kenapa rumah sepi sekali? Dimana Mas Satria dan Lintang?” tanya Karina pada Mbak Yati.“Non Lintang baru saja berangkat ke sekolah, kalau Den Satria sudah pergi pagi-pagi sekali ke kandang sapi katanya ada orang yang mau membeli sapi hari ini!” jawab Mbak Yati menjelaskan.“Non Karin sarapan dulu biar Mbak siapkan… ayo!” sambung Mbak Yati mengajak Karina keruang makan.“Mbak Yati lanjutkan saja pekerjaannya, saya bisa sendiri!” Karina pun melangkah pergi keruang makan sendirian lantaran tak ingin merepotkan Mbak Yati yang sedang bek
Satria merasa jengkel karena Karina tidak mau menurut kepadanya apalagi saat itu masih banyak pekerja disana yang sedang memperhatikan raut wajah Karina yang cemburut semantara Raka menjadi tidak enak hati karena berdiri di tengah-tengah kedua majikannya tersebut.Rasa serba salah yang sedang dirasakan Raka saat itu tiba-tiba saja menghilang ketika kedua matanya tanpa sengaja melirik seorang gadis yang berada tak jauh dari peternakan sapi milik Satria. Kebetulan saat itu Satria sedang melirik kearah Raka, lalu secepatnya Raka memberikan kode pada majikannya tersebut.“Raka, tolong lanjutkan pekerjaanku… awasi pekerjaan mereka!” titah Satria pada orang kepercayaannya itu.“Siap, Den!” sahut Raka menggantikan posisi Satria disana.“Ayo ikut aku!” Satria meraih tangan Karina bahkan menggenggamnya dengan erat kemudian mengajak Karina masuk ke dalam sebuah tempat yang menjadi ruang istirahatnya di peternakan itu.Sambil mengawasi para pekerja disana, Raka kembali melirik gadis yang baru sa
Setelah menyantap sebagian bekal makanannya, Satria hendak keluar untuk kembali melihat para pekerjanya yang sedang menaikkan sapi-sapi ke dalam truk untuk dijual ke kota.“Mas Satria mau kemana?” tanya Karina hendak berdiri dari kursi yang di dudukinya.“Kamu disini saja, aku mau lihat pekerja diluar,” sahut Satria sembari melangkah keluar dari ruangan itu.Karina berdecak kesal namun dirinya tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti perintah Satria karena bagaimana pun juga Karina tak mau membuat Satria semakin jengkel padanya dan akan mengusirnya dari peternakan itu.Karina menghela nafas lantaran merasa bosan menunggu Satria selesai bekerja kemudian kedua matanya tertuju pada wadah yang berisi sebagian nasi serta lauk pauk yang diberikan Satria untuknya.“Aaahh, aku lapar… lebih baik aku makan saja!” Karina pun menyantap makanan itu hingga habis.Hampir dua jam Karina menunggu Satria diruangan itu, namun Satria tak kunjung kembali. Karena bosan rasa kantuk pun menghampiri gadis m
Semua pekerja di peternakan itu menyoroti Satria yang sedang menggendong seorang gadis yang telah mengubah status dudanya. Satria menahan rasa malu saat itu, namun berbeda dengan Karina yang justru merasa sangat bahagia bahkan jantungnya berdegup kencang.Perlahan Satria memasukkan Karina ke dalam mobil tuanya yang sering ia gunakan. Ketika hendak menyalakan mesin mobilnya, Satria melirik Karina yang tampak memperhatikan mobilnya dengan raut wajah yang bingung.“Warga di desa ini tidak ada yang mempunyai mobil bagus seperti di orang-orang di kota… jangankan mobil bagus memiliki sepeda ontel saja mereka sudah bersyukur!” ucap Satria sengaja menyindir Karina yang terbiasa hidup mewah bersama orang tuanya di kota.“Aku juga bersyukur…” sahut Karina membuat Satria menoleh padanya.“Bersyukur karena memiliki suami yang tampan seperti Mas Satria!” sambung Karina sembari tersenyum lebar sementara Satria hanya bisa menggelengkan kepalanya sambil menghela nafas panjang.Satria menjalankan mobi
Sepanjang perjalanan pulang kerumah Satria tampak diam dan hanya fokus menyetir mobil tuanya sementara Karina sedang sibuk berpikir untuk mencari topik agar dirinya bisa ngobrol dan akrab dengan Satria. Tak lama kemudian Karina teringat dengan sikap Sekar yang enggan membalas senyuman darinya.“Mas, cewek pemetik teh tadi siapa namanya?” tanya Karina pada Satria.“Cewek yang mana?” sebenarnya Satria tau siapa yang di tanya Karina saat itu padanya, namun ia pura-pura tidak tau.“Yang menemani si ibu yang sakit tadi!” ucap Karina menjelaskan.Satria diam dan kedua matanya tetap fokus ke depan seolah ingin mengabaikan pertanyaan dari istrinya itu.“Mas?!” tegur Karina sembari menepuk pundak Satria pelan.Satria menoleh sejenak pada Karina yang sedang menanti jawaban darinya.“Perkebunan teh itu memang milik keluargaku, tapi bukan berarti aku mengenal dan tau nama-nama dari setiap pekerja disana!” jawab Satria memilih untuk berbohong pada Karina, namun dirinya merasa penasaran mengapa Kar