Setelah akad nikah Karina, Ratih dan Livia duduk bersama warga desa yang menjadi saksi pernikahan, mereka berbincang ringan untuk saling mengenal lantaran Karina akan menetap di desa itu saat menjadi istri Satria.
Sementara itu Herdinan dan Satria berada di sebuah ruangan lain untuk membicarakan perihal penting mengenai Karina secara empat mata. Saat itu Herdinan seakan kehilangan muka di depan Satria mengingat kondisi putrinya yang terpaksa dinikahkan karena hamil tanpa dirinya mengetahui bahwa putri bungsunya tersebut telah berbohong kepadanya.
“Satria, sebenarnya saya malu dengan pernikahan ini, tapi saya tidak tau lagi harus berbuat apa dengan kondisi Karina sekarang.” ucap Herdinan yang telah kehilangan muka dihadapan Satria.
“Apa yang saya lakukan hari ini belum bisa menebus utang budi keluarga saya kepada Bapak…” ucap Satria mengingatkan kejadian di masa lalu ketika dirinya membantu keluarga Satria.
“Saya cukup menyesal karena tidak bisa hadir saat pemakaman kedua orang tuamu waktu itu.” kata Herdinan menunjukkan raut wajahnya yang sedih mengingat kedua orang tua Satria yang meninggal akibat bencana alam yang terjadi di desa itu.
“Tidak apa-apa, Pak… saya mengerti Bapak sibuk di kota.” sahut Satria.
“Satria, ada hal penting yang ingin saya bicarakan dengan kamu…” Herdinan pun memberikan secarik kertas kepada Satria.
Satria membaca dengan seksama isi dari secarik kertas yang Herdinan berikan kepadanya. Kening Satria sedikit berkerut disertai dengan dua alis matanya yang tebal seakan hendak menyatu ketika mengetahui maksud dari setiap tulisan yang tertera disana.
“Surat perjanjian?!” gumam Satria lantas mengangkat pandangan matanya kearah Herdinan yang duduk berhadapan dengannya.
“Saya tidak mungkin memaksa kamu untuk menerima Karina dan bayi yang ada di dalam kandungannya… saya juga tidak mungkin membiarkan Karina menyia-nyiakan masa depannya begitu saja, jadi saya pikir setelah Karina melahirkan bayinya, kalian bisa bercerai dan Karina akan melanjutkan pendidikannya diluar negeri!” Herdinan pun menjelaskan alasannya memberikan surat perjanjian itu pada Satria.
“Saya minta maaf sudah merugikanmu, Satria!” sambung Herdinan lagi merasa tidak enak karena telah memanfaatkan Satria untuk menyelamatkan kehormatan keluarganya sendiri.
Satria mengukir senyuman tipis dibibirnya dan meletakkan secarik kertas itu diatas meja.
“Apapun akan saya lakukan untuk membantu Bapak,” ucap Satria tampak tulus membantu Herdinan meskipun sebenarnya ia sama sekali tidak nyaman dengan kehadiran Karina di dalam hidupnya.
“Apa Karina mengetahui perjanjian ini?” tanya Satria pada Herdinan sebelum menandatangani surat perjanjian itu.
“Kalau dia tau mengenai perjanjian pernikahan itu dia pasti tidak mau menikah hari ini!” jawab Herdinan sangat mengerti sifat Karina apalagi dia mengetahui bahwa Karina telah jatuh hati kepada Satria sejak awal mereka bertemu.
Satria pun menandatangani surat perjanjian itu dan memberikannya kembali kepada Herdinan.
“Satria, tolong jaga Karina selama dua tahun sesuai dengan surat perjanjian kita…” pinta Herdinan begitu berharap dan percaya bahwa Satria mampu menjaga putri bungsunya tersebut.
“Karina masih sangat muda dan terkadang sifatnya masih kekanak-kanakan, jadi saya harap kamu mau mengerti!” sambung Herdinan lagi.
“Baiklah, Pak,” ucap Satria berjanji kepada Herdinan.
Sebelum malam tiba Herdinan, Ratih dan Livia pamit untuk kembali ke kota, mereka terpaksa meninggalkan Karina yang kini sudah menyandang status sebagai istri dari Satria.
“Jaga dirimu dan hati-hati dengan kandunganmu ya.” ucap Ratih kepada Karina sebelum masuk ke dalam mobil.
“Iya, Ibu tenang saja,” jawab Karina dengan raut wajahnya yang tampak sedih.
Karina memandangi wajah orang tuanya yang tampak lesu di hari pernikahannya.
“Melihat wajah ayah dan ibu, aku jadi sedih dan merasa bersalah karena sudah memohongi mereka!” gumam Karina dalam hatinya dan merasa menyesal.
Karina pun melirik Satria yang berdiri di sebelahnya. Rasa penyesalan yang baru saja ia rasakan tiba-tiba saja menghilang setelah melihat ketampanan yang dimiliki oleh suaminya tersebut.
“Entahlah, saat melihatnya hati ini terus saja meleleh!” gumam Karina lagi dalam hatinya sembari tersenyum lebar dan menatap Satria.
Pleettaakk!!!
Livia sengaja menggeplak bahu Karina untuk menyadarkannya.
“Apa yang ada di otakmu saat menatap Mas Satria?” tanya Livia sembari berbisik kepada Karina.
“Aku yakin dia pasti gagah sekali nanti malam, hehehe!” sahut Karina dengan semua khayalannya.
“Pikiranmu jorok!” seru Livia kesal sembari mendorong kepala Karina yang masih terkekeh.
“Ah, aku lupa!!!” pekik Karina membuat semua mata tertuju kepadanya termasuk Satria.
“Ada apa, Sayang?” tanya Ratih kepada Karina.
“Hahaha, tidak… bukan apa-apa!” sahut Karina tak ingin mengatakannya kepada Ratih apalagi di depan Satria dan Herdinan.
Livia penasaran dengan adiknya dan kembali berbisik.
“Ada apa?” tanya Livia pada Karina.
“Aku lupa beli pakaian tidur yang bagus untuk malam pertamaku bersama Mas Satria!” jawab Karina malu-malu sembari melirik Satria.
“Oh Gosh!!!” Livia kesal dengan kegilaan adiknya dan segera masuk ke dalam mobil.
Karina masih menatap mobil keluarganya yang baru saja melaju untuk meninggalkan dirinya di desa itu. Sebahagia apapun dirinya saat itu, ia tetap saja menitikkan air mata.
“Aku pasti akan sangat merindukan mereka nanti,” gumam Karina dalam hatinya.
“Ayo masuk, sepertinya sebentar lagi mau hujan!” Satria mengajak Karina masuk ke dalam rumah dengan suaranya yang berat dan terkesan dingin.
Dengan senang hati Karina mengikuti Satria yang lebih dulu melangkah masuk ke dalam rumah.
“Kakak cantik!!!” seru Lintang mengejar Karina, keduanya semakin akrab karena Karina pintar mengambil hati bocah perempuan itu.
“Lintang, mulai sekarang jangan memanggilnya Kakak, tapi-”
“Lintang boleh memanggilku Mama!” seru Karina membuat Satria kaget sampai menghentikan ucapannya.
“Mama Karin!” seru Lintang tampak senang dengan sebutan barunya kepada Karina.
Satria tidak bisa berkata-kata apalagi melarang keponakannya memanggil Karina dengan sebutan Mama. Melihat kebahagiaan terpancar sangat jelas di wajah Lintang cukup membuat hati Satria merasa tentram.
Satria menatap Karina yang sedang memeluk Lintang dengan manja, ia tak menyangka Karina mampu mengambil hati Lintang dengan begitu mudah dalam waktu yang singkat. Di saat yang bersamaan Karina menoleh kearah Satria, lalu tersenyum manis untuknya. Merasa seperti dipergoki Satria pun memalingkan wajahnya yang memerah dari Karina, lalu melangkah pergi dengan cepat.
“Mas Satria mau kemana?” tanya Karina pada suaminya itu.
“Aku ingin bersih-bersih!” sahut Satria berlalu masuk ke dalam kamar.
Karina bingung melihat Satria masuk ke kamar lain.
“Kamar pengantinnya ada di sebelah sana, tapi kenapa Mas Satria masuk ke kamar itu?!” gumam Karina dalam hatinya.
“Ah, ya sudahlah… mungkin nanti malam Mas Satria akan mendatangiku ke kamar pengantin kami!” lagi-lagi pikiran kotor kembali menyeruak di dalam otak Karina karena penasaran dengan malam pertamanya bersama Satria.
Langit sudah gelap dan suara hewan malam pun terdengar di telinga Karina yang sedang berbaring diatas ranjang, namun ia sendirian. Sudah sedari tadi Karina menunggu kedatangan Satria di kamar itu, tapi Satria tak juga menampakkan batang hidungnya.“Hhuuuhh!!!” Karina mendengus kesal seraya turun dari ranjang.“Kenapa Mas Satria belum masuk juga ke kamar ini, padahal aku sudah berdandan cantik dan menunggunya dari tadi…” Karina menggerutu sendirian di dalam kamar itu.Karina masih ingin menahan dirinya untuk menunggu Satria di kamar itu, namun ia hanya bisa bertahan dalam beberapa menit saja.“Aku harus mencari Mas Satria!” Karina segera melangkah keluar dari kamar.Ketika baru saja melangkah keluar dari kamarnya tanpa sengaja Karina mengarahkan pandangannya ke jendela kaca yang belum tirainya belum tertutup. Dari sana Karina melihat sosok perempuan cantik yang sedang berdiri tak jauh dari halaman rumah.“Siapa perempuan itu? Ngapain dia berdiri sendirian disana malam-malam begini?” ta
Pagi hari Karina keluar dari kamar setelah mandi dan berpakaian rapi, namun kelopak matanya tampak sedikit menghitam lantaran dirinya tidak bisa semalaman karena memikirkan sikap Satria yang memilih tidur di kamar lain padahal mereka sudah resmi menjadi pasangan suami istri.Karina bertemu dengan Mbak Yati yang sedang melakukan pekerjaan yakni membersihkan rumah. Karina yang menyadari bahwa rumah sebesar itu tampak sepi lantas menghampiri Mbak Yati.“Mbak, kenapa rumah sepi sekali? Dimana Mas Satria dan Lintang?” tanya Karina pada Mbak Yati.“Non Lintang baru saja berangkat ke sekolah, kalau Den Satria sudah pergi pagi-pagi sekali ke kandang sapi katanya ada orang yang mau membeli sapi hari ini!” jawab Mbak Yati menjelaskan.“Non Karin sarapan dulu biar Mbak siapkan… ayo!” sambung Mbak Yati mengajak Karina keruang makan.“Mbak Yati lanjutkan saja pekerjaannya, saya bisa sendiri!” Karina pun melangkah pergi keruang makan sendirian lantaran tak ingin merepotkan Mbak Yati yang sedang bek
Satria merasa jengkel karena Karina tidak mau menurut kepadanya apalagi saat itu masih banyak pekerja disana yang sedang memperhatikan raut wajah Karina yang cemburut semantara Raka menjadi tidak enak hati karena berdiri di tengah-tengah kedua majikannya tersebut.Rasa serba salah yang sedang dirasakan Raka saat itu tiba-tiba saja menghilang ketika kedua matanya tanpa sengaja melirik seorang gadis yang berada tak jauh dari peternakan sapi milik Satria. Kebetulan saat itu Satria sedang melirik kearah Raka, lalu secepatnya Raka memberikan kode pada majikannya tersebut.“Raka, tolong lanjutkan pekerjaanku… awasi pekerjaan mereka!” titah Satria pada orang kepercayaannya itu.“Siap, Den!” sahut Raka menggantikan posisi Satria disana.“Ayo ikut aku!” Satria meraih tangan Karina bahkan menggenggamnya dengan erat kemudian mengajak Karina masuk ke dalam sebuah tempat yang menjadi ruang istirahatnya di peternakan itu.Sambil mengawasi para pekerja disana, Raka kembali melirik gadis yang baru sa
Setelah menyantap sebagian bekal makanannya, Satria hendak keluar untuk kembali melihat para pekerjanya yang sedang menaikkan sapi-sapi ke dalam truk untuk dijual ke kota.“Mas Satria mau kemana?” tanya Karina hendak berdiri dari kursi yang di dudukinya.“Kamu disini saja, aku mau lihat pekerja diluar,” sahut Satria sembari melangkah keluar dari ruangan itu.Karina berdecak kesal namun dirinya tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti perintah Satria karena bagaimana pun juga Karina tak mau membuat Satria semakin jengkel padanya dan akan mengusirnya dari peternakan itu.Karina menghela nafas lantaran merasa bosan menunggu Satria selesai bekerja kemudian kedua matanya tertuju pada wadah yang berisi sebagian nasi serta lauk pauk yang diberikan Satria untuknya.“Aaahh, aku lapar… lebih baik aku makan saja!” Karina pun menyantap makanan itu hingga habis.Hampir dua jam Karina menunggu Satria diruangan itu, namun Satria tak kunjung kembali. Karena bosan rasa kantuk pun menghampiri gadis m
Semua pekerja di peternakan itu menyoroti Satria yang sedang menggendong seorang gadis yang telah mengubah status dudanya. Satria menahan rasa malu saat itu, namun berbeda dengan Karina yang justru merasa sangat bahagia bahkan jantungnya berdegup kencang.Perlahan Satria memasukkan Karina ke dalam mobil tuanya yang sering ia gunakan. Ketika hendak menyalakan mesin mobilnya, Satria melirik Karina yang tampak memperhatikan mobilnya dengan raut wajah yang bingung.“Warga di desa ini tidak ada yang mempunyai mobil bagus seperti di orang-orang di kota… jangankan mobil bagus memiliki sepeda ontel saja mereka sudah bersyukur!” ucap Satria sengaja menyindir Karina yang terbiasa hidup mewah bersama orang tuanya di kota.“Aku juga bersyukur…” sahut Karina membuat Satria menoleh padanya.“Bersyukur karena memiliki suami yang tampan seperti Mas Satria!” sambung Karina sembari tersenyum lebar sementara Satria hanya bisa menggelengkan kepalanya sambil menghela nafas panjang.Satria menjalankan mobi
Sepanjang perjalanan pulang kerumah Satria tampak diam dan hanya fokus menyetir mobil tuanya sementara Karina sedang sibuk berpikir untuk mencari topik agar dirinya bisa ngobrol dan akrab dengan Satria. Tak lama kemudian Karina teringat dengan sikap Sekar yang enggan membalas senyuman darinya.“Mas, cewek pemetik teh tadi siapa namanya?” tanya Karina pada Satria.“Cewek yang mana?” sebenarnya Satria tau siapa yang di tanya Karina saat itu padanya, namun ia pura-pura tidak tau.“Yang menemani si ibu yang sakit tadi!” ucap Karina menjelaskan.Satria diam dan kedua matanya tetap fokus ke depan seolah ingin mengabaikan pertanyaan dari istrinya itu.“Mas?!” tegur Karina sembari menepuk pundak Satria pelan.Satria menoleh sejenak pada Karina yang sedang menanti jawaban darinya.“Perkebunan teh itu memang milik keluargaku, tapi bukan berarti aku mengenal dan tau nama-nama dari setiap pekerja disana!” jawab Satria memilih untuk berbohong pada Karina, namun dirinya merasa penasaran mengapa Kar
“Dari mana kamu?” langkah kaki seorang gadis bernama Karina mendadak berhenti ketika mendengar suara sang ayah yang sedang memergokinya pulang di pagi hari, namun saat itu Karina bungkam dengan wajahnya yang tertunduk karena ketakutan.“Jawab Karin!!!” teriak Herdinan membuat Karina terkejut setengah mati dan rasa takut pun semakin menjadi-jadi.Ratih yang sejak semalam sangat khawatir pada putri bungsunya itu segera turun dari lantai atas setelah mendengar suara teriakan suaminya yang berasa dari arah dapur, begitu pula dengan Livia yang tidak tidur semalaman karena turut mengkhawatirkan adiknya.“Karin, dari mana kamu jam segini baru pulang? Kamu juga tidak pamit saat pergi semalam!” tanya Ratih yang akhirnya dapat bernafas lega setelah melihat putri bungsunya kembali dalam keadaan baik-baik saja.Karina melirik Livia yang berdiri di samping Ratih saat itu, ia berharap sang kakak mau membantunya agar terhindar dari amukan sang ayah, namun sayang Livia pun tak bisa berbuat apa-apa kar
Di dalam kamarnya Karina gemetar ketakutan karena mendengar suara ayahnya yang sangat marah dengannya sampai dirinya pun tersentak kaget ketika mendengar suara pintu terbuka lantaran mengira bahwa yang masuk ke dalam kamar adalah ayahnya, namun ternyata Livia.Livia kembali mengunci pintu kamar itu, lalu menghampiri Karina yang duduk di tepi ranjang. Saat itu wajah Karina memang tampak pucat setelah muntah-muntah.“Karin, apa benar kamu hamil dengan Robi?” tanya Livia pada adiknya itu.Karina bungkam dan tak berani membalas tatapan mata kakaknya.“Jawab Kakak, Karin!” seru Livia memaksa.“Iya!” sahut Karina kemudian memalingkan wajahnya dari tatapan sang kakak.“Astaga, Karin….” Livia pun terduduk lemas mendengar pengakuan dari Karina barusan yang membuatnya benar-benar kecewa.Karina merebahkan tubuhnya diatas ranjang, lalu menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya.“Kakak keluar saja, aku ingin sendiri!” ucap Karina mengusir Livia keluar dari kamarnya.Sebenarnya Livia merasa