“Dari mana kamu?” langkah kaki seorang gadis bernama Karina mendadak berhenti ketika mendengar suara sang ayah yang sedang memergokinya pulang di pagi hari, namun saat itu Karina bungkam dengan wajahnya yang tertunduk karena ketakutan.
“Jawab Karin!!!” teriak Herdinan membuat Karina terkejut setengah mati dan rasa takut pun semakin menjadi-jadi.
Ratih yang sejak semalam sangat khawatir pada putri bungsunya itu segera turun dari lantai atas setelah mendengar suara teriakan suaminya yang berasa dari arah dapur, begitu pula dengan Livia yang tidak tidur semalaman karena turut mengkhawatirkan adiknya.
“Karin, dari mana kamu jam segini baru pulang? Kamu juga tidak pamit saat pergi semalam!” tanya Ratih yang akhirnya dapat bernafas lega setelah melihat putri bungsunya kembali dalam keadaan baik-baik saja.
Karina melirik Livia yang berdiri di samping Ratih saat itu, ia berharap sang kakak mau membantunya agar terhindar dari amukan sang ayah, namun sayang Livia pun tak bisa berbuat apa-apa karena juga takut pada ayah mereka.
“Jawab!!!” teriak Herdinan lagi membentak Karina.
“Dari rumah teman…” jawab Karina berbohong.
Herdinan semakin kesal dan segera menarik Karina keruang tengah, ia menghempaskan tubuh putri bungsunya itu diatas sofa. Apa yang dilakukan Herdinan pada Karina pagi itu cukup membuat Ratih dan Livia takut, mereka tak ingin Herdinan main tangan kepada Karina.
“Semenjak kamu mengenal laki-laki urakan itu, kamu jadi pintar berbohong bahkan kamu berani keluar tengah malam tanpa izin dan pulang pagi seperti ini!” kekesalan Herdinan semakin menjadi-jadi.
“Robi tidak seperti yang ayah-”
Pllaaakk!!!
Ratih dan Livia terkejut melihat Herdinan akhirnya main tangan kepada Karina.
“Mas!” Ratih memekik pada Herdinan untuk menyadarkan apa yang telah diperbuat oleh suaminya tersebut.
“Lihat! Dia semakin berani membela laki-laki urakan itu di depanku!” Herdinan benar-benar membenci Robi karena merasa Robi memberikan dampak buruk untuk Karina.
Karina yang merasa tak terima di tampar oleh sang ayah kemudian bangkit dari sofa, lalu pergi masuk ke kamarnya. Saat itu Karina tak perduli dengan omelan yang keluar dari mulut ayahnya.
Livia masuk ke dalam kamar dan melihat Karina menangis diatas ranjang tidur. Perlahan Livia mendekati Karina dan duduk disampingnya.
“Coba lihat pipimu!” pinta Livia pada Karina.
Karina pun lantas menunjukkan pipinya yang baru saja menerima tamparan dari Herdinan.
“Tidak merah… berarti ayah tidak bersungguh-sungguh menamparmu!” ujar Livia sembari tersenyum.
“Sakit tau!!!” celetuk Karina dengan wajahnya yang sembab.
“Kapan sih ayah akan merestui hubunganku dengan Robi?” Karina pun menggerutu.
“Sepertinya tidak akan pernah, karena Robi memang bukan lelaki yang baik!” sahut Livia yang begitu paham karakter sang ayah.
“Kakak sama saja seperti ayah!” celetuk Karina lagi.
“Ayo mandi sana, aku akan mengantarmu ke sekolah!” kata Livia pada adiknya itu.
“Tidak mau... aku ngantuk!” sahut Karina kembali merebahkan tubuhnya diatas ranjang.
“Kau ingin bolos sekolah? Nanti ayah marah lagi!” ujar Livia mengingatkan Karina.
“Biarkan saja!” sahut Karina seolah tak perduli.
“DIA TIDAK BOLEH KELUAR RUMAH SELAMA SEMINGGU, MENGERTI KALIAN!!!” suara teriakan Herdinan kembali terdengar dari ruang tengah.
Livia menatap Karina yang tidak bergeming diatas ranjang itu.
“Apa kamu dengar itu Karin?!” sambung Livia lagi.
“Huh, menyebalkan!” lagi-lagi Karina menyeletuk dengan kesal.
Siang harinya Livia yang baru saja pulang dari kampusnya melangkah ke ruang makan, lalu menyapa Herdinan yang sedang duduk untuk makan siang bersama seperti biasanya, namun ia tidak melihat sosok Karina disana. Dengan sikapnya yang sangat pengertian Livia pun pergi ke kamar Karina.
“Ayo turun, kita makan siang bersama!” Livia mengajak Karina.
“Tidak mau!” Karina masih mempertahankan egonya padahal saat itu ia sedang kelaparan.
“Ya sudah, kalau kau ingin mati kelaparan disini!” ujar Livia hendak beranjak pergi.
“Kak, aku lapar!” rengek Karina manja kepada Livia.
“Makanya ayo pergi keruang makan… ayah dan ibu sudah menunggu kita!” ajak Livia lagi.
“Aku takut sama ayah!” celetuk Karina.
Livia menyeret Karina ikut keruang makan bersamanya dan sesampainya disana ia melirik kepada Herdinan yang tampak acuh pada Karina. Diruangan itu mereka makan bersama, namun kali ini tidak dibarengi dengan obrolan santai seperti yang mereka lakukan seperti biasanya.
“Aduh, kenapa perutku rasanya tidak enak begini, ya?” gumam Karina dalam benaknya.
Lalu tiba-tiba….
“Hhooowweeekk!!!”
Semua orang terperanjat melihat Karina ingin muntah. Karina berlari ke kamar mandi, disana ia mengeluarkan makanan yang baru saja masuk ke dalam mulutnya. Ratih yang merasa khawatir lantas menghampiri putri bungsunya tersebut.
“Karin, kamu kenapa, Nak?” tanya Ratih pada Karina sembari memijat-mijat kuduknya.
“Entahlah, Bu… perutku rasanya tidak enak!” jawab Karina pun mengeluh.
Herdinan yang masih duduk diruang makan lantas melirik Karina yang baru saja keluar dari kamar mandi bersama Ratih.
“Ini akibatnya kalau keluar tengah malam dan pergi bersama laki-laki urakan itu!” ujar Herdinan menyindir Karina.
Karina merasa kesal karena sang ayah selalu menghina kekasihnya.
“Aku hamil!” ucap Karina dengan suaranya yang cukup lantang.
Sendok yang semula di dalam genggaman Herdinan pun lepas begitu saja diatas piring, ia benar-benar terkejut mendengar ucapan Karina begitupula dengan Ratih dan Livia.
“Aku hamil dengan Robi!” ucap Karina lagi ternyata membangkitkan amarah sang Ayah.
“Dasar anak kurang ajar!!!” teriak Herdinan hendak memukul Karina lagi, namun Livia berhasil menangkap tangannya.
“Ayah, jangan pukul Karin lagi!” pinta Livia pada Herdinan.
Tak ingin Karina dipukuli lagi oleh Herdinan, Ratih pun segera membawa Karina masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya.
“Anak kurang ajar itu harus di kasih pelajaran!!! Beraninya dia hamil dengan lelaki urakan itu!!!” teriak Herdinan mengejar hingga ke depan pintu kamar Karina.
Tanpa sepengetahuan Herdinan, Ratih memberikan kunci kamar Karina kepada Livia.
“Mas, kamu jangan teriak-teriak seperti itu, nanti tetangga kita bisa mendengar dan tau kalau Karina hamil!” Ratih berupaya untuk menenangkan Herdinan, lalu membawa suaminya itu pergi dari sana.
Di dalam kamarnya Karina gemetar ketakutan karena mendengar suara ayahnya yang sangat marah dengannya sampai dirinya pun tersentak kaget ketika mendengar suara pintu terbuka lantaran mengira bahwa yang masuk ke dalam kamar adalah ayahnya, namun ternyata Livia.Livia kembali mengunci pintu kamar itu, lalu menghampiri Karina yang duduk di tepi ranjang. Saat itu wajah Karina memang tampak pucat setelah muntah-muntah.“Karin, apa benar kamu hamil dengan Robi?” tanya Livia pada adiknya itu.Karina bungkam dan tak berani membalas tatapan mata kakaknya.“Jawab Kakak, Karin!” seru Livia memaksa.“Iya!” sahut Karina kemudian memalingkan wajahnya dari tatapan sang kakak.“Astaga, Karin….” Livia pun terduduk lemas mendengar pengakuan dari Karina barusan yang membuatnya benar-benar kecewa.Karina merebahkan tubuhnya diatas ranjang, lalu menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya.“Kakak keluar saja, aku ingin sendiri!” ucap Karina mengusir Livia keluar dari kamarnya.Sebenarnya Livia merasa
Karina yang sudah sampai di sekolah tampak menunggu kedatangan Robi di pintu gerbang sekolah dengan perasaan yang sangat gelisah, dirinya merasa begitu yakin bahwa Robi marah kepadanya karena ia tidak bisa menepati janjinya untuk melihat balapan motor yang dilakukan Robi semalam.“Robi pasti marah karena aku tidak datang untuk melihat balapan motornya semalam…” gumam Karina mondar-mandir saat menunggu kedatangan Robi di depan gerbang sekolah.“Ck, ini semua gara-gara kakak karena menghalangiku pergi semalam… dia juga mengurungku di dalam kamar, untung saja tadi pagi aku dengar si mbak lagi beberes diruangan dekat dengan kamarku, jadi aku bisa keluar lebih pagi untuk pergi ke sekolah sekalian menghindar menggunakan testpack yang kakak berikan semalam!” Karina terus bergumam sendirian disana.Ketika bel masuk sekolah sudah berbunyi Karina tak kunjung melihat kedatangan Robi disana, kegelisahannya pun semakin mencuat.“Apa mungkin dia bolos sekolah lagi?” tanya Karina dalam hatinya sembar
Karina hendak masuk ke dalam kamarnya, namun tiba-tiba ia mendengar suara jeritan salah satu pembantu dirumahnya, ia pun kembali untuk mengetahui apa yang sedang terjadi di lantai bawah.“Ibu!!!” Karina memekik kaget saat melihat tubuh ibunya tergeletak di lantai.Semua orang panik dengan kondisi Ratih yang tak sadarkan diri secara tiba-tiba, lalu dengan waktu yang bersamaan Herdinan baru saja pulang dari kantor untuk makan siang. Mendengar kondisi Ratih, ia segera pergi melihatnya di kamar.“Apa ini?” Herdinan tak sengaja melihat sesuatu yang masih berada di dalam genggaman Ratih.Betapa terkejutnya Herdinan ketika melihat testpack itu, lalu dengan cepat ia menoleh pada Karina.“Kurang ajar!!!” teriak Herdinan membuat semua orang terkejut begitupula dengan Karina.Pllaaakk!!!Telapak tangan Herdinan kembali mendarat di wajah Karina dan kali ini cukup keras sehingga meninggalkan bekas merah.“Ini pasti punyamu, kan!!!” teriak Herdinan lagi sembari melemparkan testpack itu pada Karina y
Karina pulang dengan mata sembab serta perasaannya yang begitu hancur setelah memergoki kekasihnya yang telah selingkuh darinya. Ratih dan Livia tentu saja bertanya kepada Karina, namun ia hanya diam saja dan memilih untuk mengunci dirinya di dalam kamar.“Kupikir Robi mencintaiku, tapi ternyata dia selingkuh!” Karina ngedumel sendirian setelah menyadari bahwa lelaki yang selama ini ia bela mati-matian ternyata tega mengkhianati dirinya.Tok! Tok! Tok!Suara ketukan pintu terdengar dari luar.“Karin, ini Ibu!” ucap Ratih dengan suaranya yang lembut.Karina membuka pintu kamarnya untuk Ratih, kedua matanya yang masih sembab tak bisa ia sembunyikan dari ibunya tersebut.“Besok pagi kita pergi untuk mengunjungi seseorang,” ucap Ratih pada Karina.“Mengunjungi siapa?” tanya Karina pada Ratih yang tampak sedikit bingung untuk menjawabnya.“Kamu akan menikah disana!” suara Herdinan membuat Ratih dan Karina menoleh kearah pintu.“Hah? Nikah?” Karina masih belum mengerti hal yang diucapkan sa
Karina berdiri tempat di samping Herdinan hanya karena ingin menatap sang duda tampan dari jarak dekat. Jantung Karina berdegup kencang ketika dirinya saling bertatapan dengan sang duda yang akan menikahinya tersebut.“Hai, aku Karina!” tanpa segan kepada sang ayah, Karina langsung mengulurkan tangan kanannya untuk berkenalan dengan sang duda tampan.Herdinan kaget melihat sikap putri bungsunya bahkan dirinya merasa malu kepada lelaki yang sebentar lagi akan menjadi menantunya itu.“Satria…” suara berat sang duda langsung menggetarkan hati Karina.“Oh my gosh! Tidak hanya tampangnya saja yang keren, tapi suaranya juga… bikin aku jadi tambah klepek-klepek deh!” seru Karina dalam hatinya sembari terus menatap Satria.“Eeheerrmm!!!” Herdinan sengaja mendehem agak keras untuk menyadarkan Karina, namun ternyata tidak berhasil hingga dengan terpaksa ia mencubit lengan putrinya tersebut.“Aaww!” pekik Karina saat Herdinan mencubit lengannya.Herdinan melotot kesal pada Karina agar Karina tid
Usai berdandan dengan cantik Karina pun segera keluar dari kamar dan mencari keberadaan Satria, ia ingin mendekati Satria yang akan segera menjadi suaminya.“Kakak cantik cari siapa?” Lintang tiba-tiba muncul dari belakang saat Karina mencari keberadaan Satria diruang tengah.Karina berbalik kemudian tersenyum kepada Lintang yang tampak manis dan menggemaskan.“Aku sedang mencari calon suamiku yang tampan itu! Apa kau tau dimana dia?” tanya Karina sembari berjongkok dihadapan Lintang.“Om Satria sedang pergi, tapi Lintang tidak tau Om Satria perginya kemana…” jawab Lintang.“Kakak cantik, rambutnya panjang… Lintang suka!” sambung Lintang ingin sekali memiliki rambut panjang sepunggung seperti Karina.“Rambut Lintang juga bagus!” balas Karina mengelus rambut ikal Lintang.Tak lama kemudian sebuah mobil sampai di halaman depan, Lintang berlari ke pintu utama untuk melihat siapa yang datang.“Itu Om Satria!” seru Lintang membuat Karina bersemangat saat mengetahui bahwa pujaan hatinya tel
Setelah akad nikah Karina, Ratih dan Livia duduk bersama warga desa yang menjadi saksi pernikahan, mereka berbincang ringan untuk saling mengenal lantaran Karina akan menetap di desa itu saat menjadi istri Satria.Sementara itu Herdinan dan Satria berada di sebuah ruangan lain untuk membicarakan perihal penting mengenai Karina secara empat mata. Saat itu Herdinan seakan kehilangan muka di depan Satria mengingat kondisi putrinya yang terpaksa dinikahkan karena hamil tanpa dirinya mengetahui bahwa putri bungsunya tersebut telah berbohong kepadanya.“Satria, sebenarnya saya malu dengan pernikahan ini, tapi saya tidak tau lagi harus berbuat apa dengan kondisi Karina sekarang.” ucap Herdinan yang telah kehilangan muka dihadapan Satria.“Apa yang saya lakukan hari ini belum bisa menebus utang budi keluarga saya kepada Bapak…” ucap Satria mengingatkan kejadian di masa lalu ketika dirinya membantu keluarga Satria.“Saya cukup menyesal karena tidak bisa hadir saat pemakaman kedua orang tuamu w
Langit sudah gelap dan suara hewan malam pun terdengar di telinga Karina yang sedang berbaring diatas ranjang, namun ia sendirian. Sudah sedari tadi Karina menunggu kedatangan Satria di kamar itu, tapi Satria tak juga menampakkan batang hidungnya.“Hhuuuhh!!!” Karina mendengus kesal seraya turun dari ranjang.“Kenapa Mas Satria belum masuk juga ke kamar ini, padahal aku sudah berdandan cantik dan menunggunya dari tadi…” Karina menggerutu sendirian di dalam kamar itu.Karina masih ingin menahan dirinya untuk menunggu Satria di kamar itu, namun ia hanya bisa bertahan dalam beberapa menit saja.“Aku harus mencari Mas Satria!” Karina segera melangkah keluar dari kamar.Ketika baru saja melangkah keluar dari kamarnya tanpa sengaja Karina mengarahkan pandangannya ke jendela kaca yang belum tirainya belum tertutup. Dari sana Karina melihat sosok perempuan cantik yang sedang berdiri tak jauh dari halaman rumah.“Siapa perempuan itu? Ngapain dia berdiri sendirian disana malam-malam begini?” ta