Home / Pernikahan / HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS / Bab 1. Meminta Izin Pulang Kampung

Share

HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS
HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS
Author: Trinagi

Bab 1. Meminta Izin Pulang Kampung

Author: Trinagi
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Mas, bapak sakit. Adek minta izin pulang, ya?" pintaku pada mas Rama sambil berjalan menghampiri mas Rama di tempat duduknya. Mas Rama sedang duduk santai di teras rumah ditemani ibu mertua dan Sinta sang adik.

"Ya, gak bisalah. Gak lama lagi Sinta pesta. Siapa yang bantu Ibu jika bukan kalian berdua? Bapakmu, sih. Sakit aja kerjanya. Makanan itu dipantang. Ini gak, lihat makanan semua dimakannya. Apa Bapakmu tidak pernah lihat makanan ya, Nes? Rakus sekali Ibu lihat." Ucapan mertua sungguh sangat menyakitkan. Ingin rasanya aku sumpahin beliau dengan kata-kata kasar tapi ya sudahlah. Aku tidak ingin doa buruk akan kembali kepada keluarga aku kelak.

'Semoga aja dia tidak pernah merasakan seperti yang Bapak aku rasakan,' batinku.

"Masa kamu minta pulang, sih. Aneh-aneh aja kamu, Dek. Tiga hari lagi di rumah akan diadakan pesta. Siapa nanti yang bantu-bantu di rumah? Kamu pikir kita ngadain pesta ini hanya main-main? Banyak orang-orang penting yang datang. Jangan sampai persiapan amburadul. Nanti keluarga kita juga yang malu." Mas Rama memberi pengertian kepadaku.

Bukan aku tidak mau mengerti kondisi di rumah mertua saat ini. Tetapi aku lebih mengutamakan orang sakit daripada orang yang berpesta. Karena pesta itu merayakan suatu hubungan. Nah, bapak aku sakit. Beliau butuh dukungan morel dan spiritual. Beliau menginginkan anak-anaknya berkumpul semua.

"Alah ... itu 'kan alasan Kakak ajanya biar terbebas dari tugas. Memang dasar Kakak aja yang pemalas. Sinta lihat Kakak sering sekali menghindar dari pekerjaan di rumah. Maunya makan saja." timpal Sinta menambah keruh keadaan. Akhirnya semua mata tertuju kepadaku. Tatapan Mas Rama seakan ingin menelan raga ini.

"Jangan suka menuduh orang sembarangan, Sin. Kalau gak tau masalah bagus kamu itu diam saja." jawabku kesal.

"Jangan-jangan benar juga apa yang dibilang Sinta. Kamu malas membantu keluarga Mas 'kan? Kamu lebih berpihak kepada keluarga kamu sendiri."bentak mas Rama dengan mata melotot.

"Bukan begitu maksud Adek, Mas. Kalo bukan karena bapak masuk rumah sakit, gak akan mungkin Adek mau meninggalkan hajatan besar seperti ini," ujarku.

"Aku heran dengan jalan pikiran kamu, Dek. Kamu lebih mementingkan keluargamu sendiri dibandingkan keluarga Mas. Aku kecewa dengan sikap kamu ... Egois." bentak Mas Rama dengan sangat marah.

Dan lebih menakutkan lagi tatapan mata ibu mertua yang seakan mau menelan aku hidup-hidup. Akan tetapi aku usir perasaan itu. Yang penting aku harus pulang untuk menjenguk bapak sakit. Kutebalkan juga muka ini untuk memohon ijin sehingga bisa pulang kampung.

"Bukan egois. Ini masalahnya bapak sakit loh, Mas. Bukannya Adek mau main-main. Adek mohon pengertiannya." Aku terus saja berusaha mendapat ijin untuk menjenguk bapakku yang sedang dirawat di rumah sakit.

"Gak bisa," bentaknya.

"Mas, Adek mohon. Tolonglah. Sekali ini aja ijinkan aku pulang menjenguk bapak." pintaku lagi sambil menahan air mata yang sudah menganak sungai di sudut mata ini.

"Emang Bapakmu sakit apa, sih?" tanya lelaki ganteng yang telah merajai hati ini dalam kurun waktu delapan tahun belakangan ini. 

Sedihnya hati ini. Aku menyayanginya sepenuh hati tapi tidak dengan dia. Jika menyangkut keluargaku, dia sangat dingin dan tidak ada sedikit pun senyum di wajahnya. Keluargaku bagaikan orang lain yang tidak pernah dikenalnya. Dengan wajah datar seakan tidak ada hal yang perlu dirisaukan  mengenai kedua orangtuaku.

"Mas ... Bapak dirawat di rumah sakit. Berarti sakitnya parah. Kalau sakit ringan gak mungkin juga beliau akan bersedia diopname," ujarku lagi.

Aku sangat tau sifat bapak yang tidak pernah ingin menyusahkan anak-anaknya. Jika masih bisa ditahan keluhannya pasti bapak sudah minta pulang. Beliau tidak akan mau dirawat di rumah sakit.

Bapakku mengidap penyakit jantung koroner, jadi wajarlah jika sering mengeluh sakit karena tidak bisa pantang makan.  

Terlalu dipantang pun, kasihan juga aku lihat bapak jadi lemas dan tidak bersemangat begitu. Seperti tidak bergairah. 

Mungkin juga beliau kesepian karena anak-anak pada berjauhan semua. Mereka mempunyai kehidupannya masing-masing.

"Dipikirlah secara matang-matang. Apa mungkin kamu akan meninggalkan pesta yang tidak berapa lama lagi akan kita adakan? Apa mungkin kita melepaskan tanggung jawab sebagai anak? Mas ini anak laki-laki ibu dan bertanggung jawab sepenuhnya kepada ibu dan adikku. Jangan kau pikir mentang-mentang adikku yang pesta kamu bisa seenak hati." ujar mas Rama.

"Aku tidak bermaksud begitu, Mas. Mas tahu sendiri 'kan, Bapakku itu udah tua dan sering sakit-sakitan. Wajarlah aku izin pulang. Bedalah Mas suasana hati kita jika menjenguk orang tua sakit dengan menghadiri pesta." jawabku lesu.

"Apa maksud, Kakak?" Tiba-tiba saja Sinta memotong pembicaraanku.

"Maksud Kakak gini. Pesta itu 'kan suasana hati kita penuh dengan kebahagiaan. Sementara menjenguk orang sakit, suasana hati sedih. Kalau Kakak disuruh memilih ya ... bagus memilih menjenguk orang sakit. Karena mereka itu yang butuh dukungan dan semangat dari kita." ucapku takut-takut dan hanya menunduk tanpa berani melihat kearah mereka bertiga.

"Tidak ... tidak boleh kau pulang hari ini. Kamu harus tetap disini membantu Ibu belanja dan lain sebagainya. Nanti sesudah siap pesta, baru boleh pulang. Nanti Mas antar, kita pulang sama-sama."

"Tapi Mas ...."

"Tidak ada tapi-tapian. Sekali aku bilang tidak boleh ya ... tidak. Lagian bapakmu sudah biasa sakit. Pasti akan sembuh juga dia nanti." ujar mas Rama seakan terlalu menyepelekan kondisi bapak yang sedang tidak berdaya di rumah sakit.

"Mas, Adek tidak minta biaya ongkos atau apa pun yang menyangkut uang sama kamu. Aku punya uangku sendiri, Mas. Aku hanya minta untuk di antar. Atau Mas antar saja Adek ke terminal. Biar saja Adek naik bus antar propinsi saja, Mas. Yang penting Adek bisa menjenguk bapak," ujarku.

"Lucu kau, Nes. Di rumah mau ada hajatan, kamu malah mengajak anakku pergi mengantarkan kamu pulang kampung. Siapa yang akan menghandle semua pekerjaan di rumah. Kau jadi istri kenapa pembangkang begitu sih, Nes. Tidak bisa dibanggakan sedikit pun. Kau pikir mentang-mentang kau seorang Pegawai Negeri Sipil dan bergaji jadi bisa seenak hatimu mengatur-ngatur Rama?" Sekarang giliran mertuaku yang ikut bersuara. Beliau selalu saja menyalahkan aku. Anak mana sih, yang tidak akan kepikiran mendengarkan kabar orang tuanya masuk rumah sakit?

Coba sekali saja mereka berada di posisi aku saat ini. Mungkin mereka tidak tahan sedikit pun. Atau seandainya Sinta berada dalam posisi aku saat ini, mungkin saja ibunya tidak terima dan akan menggugat cerai suaminya. Siapa yang tahan punya suami selalu di atur oleh orang tua? Seakan tidak mempunyai wibawa sedikit pun. Udah tua tapi masih di bawah ketiak ibu.

"Bu, bapak saya lagi diopname. Beliau sedang berjuang melawan penyakitnya. Tidak ada niat sedikitpun dalam hati ini untuk lari dari tugas yang sudah keluarga ini berikan kepada saya. Malah saya sangat bahagia dan bangga karena diberi kepercayaan sama keluarga Mas Rama dalam mengurus segala kebutuhan pesta nantinya,"  ujarku.

"Ya udah. Kamu kerjakan saja tugasmu. Siap pesta  nanti kita pulang menjenguk bapak di rumah sakit. Semoga saja beliau sudah sembuh,"  ujar Mas Rama lagi. Dan mereka seperti tidak pernah mau tau bagaimana perasaanku saat ini.

"Mas ... Bapak sakit keras loh!" ujarku tergugu.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ervina Chesika
sungguh keterlaluan suami sm mertua g ada hati nurani
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   BAB 2. Belum Mendapatkan Kabar Dari Kampung

    "Bapak sakit keras. Kasian Bapak gak ada yang menemani." ujarku mengiba mengharap mertua dan suamiku tersentuh dan mengijinkan aku untuk menjenguk bapak di rumah sakit. Rasanya air mata ini tidak sanggup lagi untuk aku tahan. Mereka hampir keluar dari sarangnya. "Kan, ada kakakmu, buat apa dia tinggal sama orang tuamu, jika orang tua sakit dia gak mau mengurusnya. Masak harus menunggu kamu yang jauh?" timpal ibu mertua, lagi-lagi beliau ikut campur dalam rumah tanggaku. "Kalau ada saya di sana, kami bisa gantian menjaga bapak, Bu." Aku berusaha menjelaskan pada mertuaku. "Ibumu juga ada 'kan? Jadi kenapa harus kamu yang jauh malah disuruh pulang? Mereka mau leha-leha saja dan kamu yang menjaga bapak di rumah sakit? Begitu mau mereka? Kok gak adil begitu sih orang tuamu, Nes?" Mertuaku seakan memanas-manasi. Aku tidak bisa dikompori karena diri ini tau bagaimana ibu dan kak Ayu. "Mereka gak begitu, Bu. Saya cukup tau bagaimana keluarga saya. Bagaimana ibu dan kak Ayu. Saya hanya in

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Bab 3. Mas Rama Pinjam Uang

    "Assalamualaikum, Kak. Bagaimana dengan keadaan bapak sekarang? Sudah mendingan atau bagaimana?" Kuberondong Kak Ayu dengan pertanyaan yang bertubi-tubi."Tadi Agnes telpon Kakak, tapi kenapa gak Kakak angkat, sih? Aku khawatir banget disini loh, Kak." Tanpa terasa air mata ku jatuh berderai membasahi pipi ini dan semakin terisak mengingat betapa kangennya aku dengan cinta pertamaku.Ya ... bapak adalah cinta pertama aku yang tidak akan pernah bisa ku ingkari. Beliau begitu menyayangi kami anak-anaknya. Seluruh perhatiannya tercurahkan kepada aku dan kak Ayu. "Maaf ya, ponsel Kakak ketinggalan. Kakak tadi masih dirumah sakit.""Bagaimana kondisi bapak sekarang, Kak. Apa sudah membaik?""Belum. Sekarang bapak masih dirawat dan beliau sangat lemas. Kamu gak pulang jenguk bapak, Dek? Kasian beliau sering pangil-panggil namamu. Mungkin bapak kangen sama kamu, Nes." Perkataan Kak Ayu membuat dada ini semakin sesak."Agnes, belum bisa pulang, Kak. Ipar aku mau mengadakan pesta penikahan,"

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Bab 4. Mas Rama Sakit

    "Kenapa emang kalau belum Adek tarik semua uangnya? Mau mas pinjam?""Iya. Buat menutupi kekurangan uang belanja aneka pernak pernik souvenir dan biaya makan calon suami Sinta selama seminggu kedepan, Dek.""Loh, biaya makan calon suami Sinta kenapa harus kita yang tanggung? Bukannya dia punya uang sendiri? Kata ibu, suami Sinta karyawan swasta yang duitnya berlimpah ruah? Kok aku semakin heran dengan cara berfikir keluarga Mas ini.""Coba Adek pikir. Apa mungkin suaminya baru datang udah kita mintai uang belanja? Ibu pun ada perasaan.""Adek tau, ibu memang orangnya sangat sensitif. Tapi jangan membebani aku juga dong, Mas. Aku juga ada keperluan. Mas tau sendiri, kan? Bapak sakit dan Adek harus pulang kampung segera untuk menjenguk bapak.""Uangnya Mas pake sebentar saja kok. Hanya beberapa hari saja. Nanti jika keluar bonus, Mas akan bayar deh.""Mas akan membayar utang sama Adek? Mimpi apa Mas mau membayar utang sama istri Mas ini? Hahaha. Mas ... Mas ... Lucu banget lawak kamu,

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Bab 5. Agnes Dituduh Memakai Pelet

    "Istri macam apa kamu ini, Nes? Suami sakit aja kau gak tau. Memang kamu ini istri yang gak becus ngurus suami. Heran aku lihat anak ini. Entah apa bisanya?""Manalah saya tau, Bu. Mas Rama saja tidurnya tadi malam entah dimana, entah sama siapa. Dia itu tidak pernah menganggap saya ini sebagai istri. Buat apa saya repot-repot ngurusin dia?" ujarku dan disambut dengan tatapan kesal dari mertua dan mata beliau melotot seakan bola mata akan keluar dari sarangnya.Punya suami marah dikit dengan istri langsung minggat tidur dengan ibunya. Suami masih di bawah ketiak mamaknya sih emang begitu."Kasian kali lah anakku Rama. Nasib buruk dia ber jodohkan wanita seperti kamu, Nes. Sudah gak pandai masak gak perhatian terhadap suami. Cantik juga enggaknya kamu itu. Apa sih yang bikin anakku menjadikan kamu sebagai istrinya?""Mungkin kak Agnes memakai pelet, Bu. Percaya deh sama aku. Kawan sekelas aku begitu juga. Kakak iparnya jelek banget tetapi abangnya yang ganteng itu sangat menyayangi dan

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Bab 6. Niat Untuk Mencari Kontrakan

    "Keluar kau dari kamar Aku, Dek! Aku gak bisa tidur kalau ada kamu disini. Istri apaan cuma bisa bikin emosi aja. Tidak bisa menjadi istri yang bisa menenangkan hati suami!" Bentak Mas Rama dan seketika saja membuat diri ini syok. Bagaimana tidak. Didepan ibu mertua dan adik ipar aku diperlakukan seperti ini. Sungguh hina rasanya diri ini di depan mereka. Rasanya harga diriku sudah diinjak-injak sama keluarga lelaki yang sudah menikahi aku selama delapan tahun belakangan ini. Banyak yang bertanya apa sih yang aku pertahankan tinggal disini. "Hanya karena memikirkan anak semata wayang kamu bertahan? Naif sekali kau, Nes," ujar Meisya sahabat kecilku. Saat itu kami sedang mengadakan reunian. Dan mereka menjemput aku di rumah mertua. Dan perlakuan mertua dan adik ipar sungguh tidak mengenakkan sedikitpun. Sehingga Meisya dan Putri sampai geleng-geleng kepala melihat ulah dua manusia tersebut. "Kenapa gak ngontrak aja kau, Nes," saran Meisya waktu itu. "Gak ada duit aku bu

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Bab 7. Menantu Rasa Babu

    "Kenapa kamu ngomong begitu, Nes? Aku heran dengan kelakuan kamu. Apa pantas seorang istri, seorang menantu atau seorang kakak ipar malah mencari rumah sewa disaat ada hajatan besar dalam keluarganya? Mas tanya sekali lagi sama kamu. Apa pantas, Nes?""Bagaimanapun marahnya kamu sama keluargaku janganlah kamu tunjukkan sama tetangga atau sanak saudara. Kamu tau sendiri, 'kan? Di rumah lagi rame. Jangan kau tunjukkan sekali lah kekurangan kita di depan orang. Keburukan kita cukup kita-kita saja yang tau. Jangan sampai isi perut keluarga ini menjadi bahan gosip para tetangga nantinya," nasehat Mas Rama.Aku hanya bisa tertegun dan secara tidak langsung aku juga meng-iyakan apa yang baru saja Mas Rama katakan. Seburuk apapun mereka itu masih berstatus mertua dan iparku. Aku harus menjaga harkat dan martabat mereka semua.Cukup lama kami saling diam dan aku sibuk mencerna setiap kata-kata yang keluar dari mulut Mas Rama dan menurut aku ada benarnya juga. Kalau aku tetap bersikeras keluar

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Bab 8. Aku Menantu Bukan Babu

    "Kamu jam segini belum masak, Nes? Ngapain aja dari tadi?" Tiba-tiba saja ibu Lastri datang dengan rambut macam rambut singa khasnya orang bangun tidur. Sedangkan untuk mencuci muka dan menggosok gigi saja beliau belum mengerjakannya. Pantas saja Sinta pemalas, ternyata nurun dari ibu Lastri. "Agnes mau berangkat kerja, Bu. Masalah sarapan pagi, saya heran. Apa tidak bisa Ibu atau Sinta sendiri yang memasaknya? Kok dikit-dikit Agnes yang kerjainnya. Kapan Sinta bisa mandiri. Nanti kalau dia tinggal di rumah mertua bagaimana? Kalau tidak belajar dari sekarang kapan lagi? Ibu selaku orang tua kandung ajarinlah Sinta masak dan berberes rumah." Tiba-tiba saja timbul keberanian aku untuk menasehati ibu mertua yang terlalu memanjakan anak gadisnya. Jangankan memasak untuk makan sekeluarga, kurasa memasak untuk makan sendiri aja dia gak pernah. "Lantam kali mulut kau, Nes." "Bukan lantam, Bu. Saya cuma menasehati aja. Kasian nanti di rumah mertua jika Sinta tidak bisa apa-apa." "

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Bab 9. Keluarga Benalu

    "Apa Mas bilang? Modal buat Romi? Apa saya gak salah dengar, Mas?" Tanyaku dengan kaget."Iya, Dek." Jawab mas Rama singkat."Setau saya, suami Sinta seorang pegusaha yang sukses dan juga kaya raya. Tajir melintir. Kekayaan dia tidak bakal habis sampai tujuh turunan. Kenapa malah minta modal sama kita? Aneh-aneh aja manusia sekarang." Kuberondong pertanyaan terhadap lelakiku, dia menatap nyalang seakan diri ini hendak di telan hidup-hidup.Masih teringat dalam ingatanku, dulu mertuaku begitu sombong, beliau sangat membanggakan Romi sebagai calon menantu yang kaya raya. Sampai-sampai harga diri anak juga di gadaikan, hanya untuk mendapatkan lelaki macam Romi. Tapi sekarang kenapa malah minta di modalin? Betul-betul tidak habis pikir dengan jalan pikiran mertua dan suamiku."Memang iya ... Romi seorang pengusaha kaya raya, Nes. Tetapi itu 'kan punya keluarga besar mereka. Mana mungkin Sinta akan merasakan uang dari suaminya sementara semua pembukuan, uang keluar dan uang masuk diatur sa

Latest chapter

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Kasihan Mas Rama

    Tiga tahun sudah berlalu sejak mas Rama meminta hak asuh Niken jatuh ke tangannya. Sekarang lelaki yang pernah menjadi suamiku itu tidak mempersoalkan lagi Niken tinggal sama dia atau ikut denganku. Baginya yang penting buah hati kami berdua bahagia dan tidak kurang kasih sayang sedikit pun dari kedua orang tuanya."Ma, besok Niken mau nginap di rumah papa!" ujar Gadis berusia tiga belas tahun itu seraya duduk disebelah aku yang sedang menonton drama korea."Dijemput kan?" tanyaku memastikan. Bukan aku tidak mempercayai kepada Niken, tetapi untuk memastikan keamanannya saja."Iya, Ma. Dijemput besok siang dari sekolah. Kayak biasalah, Ma. Papa menelpon Mama jika kami sudah berangkat," jelas Niken panjang lebar."Kalau di jemput, ya udah gak apa-apa," ujarku."Mama gak ngajar hari ini? Kok santai banget nonton drakor?" tanya gadis kecilku yang sudah menginjak remaja tersebut."Mama gak enak badan tadi, Nak." Ketika berbincang-bincang dan menyantap makanan yang di beli oleh Niken sepul

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Menyesal Tidak Ada Gunanya

    "Biar saja Niken bersama saya, Mas," ujarku disaat mas Rama meminta izin untuk membawa Niken tinggal bersamanya."Kenapa kamu keberatan Niken bersama aku, Nes? Niken kan anak aku juga. Apa kamu takut dia akan kelaparan jika tinggal bersama aku? Enggak, Nes. Apapun akan kulakukan untuk membahagiakan darah dagingku. Aku bukan lagi Rama yang dulu," tegas Mas Rama."Saya tau Mas juga sayang sama Niken. Bapak mana sih yang gak sayang sama darah dagingnya sendiri? Tapi Mas, kalau Niken bersama saya, saya pastikan Mas akan lebih leluasa mencari rejeki tanpa kepikiran Niken bakal tinggal sama siapa di rumah," ucapku mencoba meyakinkan mantan lelaki yang pernah sangat aku cintai waktu itu."Kamu tenang saja. Niken akan aku bawa kemana saja aku pergi, Nes." Nampaknya mas Rama sangat menginginkan Niken untuk tetap tinggal bersamanya. Dan aku bukan seorang ibu yang bisa hidup terpisah dengan anak yang masih butuh perlindungan kedua orang tuanya. Jangan tinggal terpisah, tidak berjumpa sehari saj

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Bermain Dengan Niken

    "Papa!" Niken berteriak kencang dan berlari ke arahku saat dia sudah keluar dari pintu gerbang sekolah. Hari ini aku menjemputnya dan akan menginap semalam dirumah sesuai janji kami kemarin sore."Niken!" Aku renggangkan kedua tangan seraya berjongkok, kemudian memeluk putri cantikku. Aku mengangkatnya tinggi dan membawa kepelukan. Niken tertawa serta menjerit kesenangan. Hanya inilah yang bisa aku lakukan untuk membuatnya bahagia. "Papa mau mengajak Niken menjumpai nenek, mau?" tanyaku sambil tetap menggendong bocah berusia sepuluh tahun itu."Mau ... mau," jawabnya antusias. Dia tidak tahu jika neneknya sekarang sedang dirawat di rumah sakit jiwa."Tadi udah bilang sama papa Raka dan mama kan bahwa Niken akan dijemput Papa?" tanyaku sekali lagi untuk memastikan."Udah, Pa!" seru Niken dengan mimik lucunya.Merasa tidak enak hati, akhirnya aku menelpon Agnes dan Raka untuk memastikan bahwa Niken sudah meminta izin kepada kedua orang tuanya menginap di rumahku."Gak apa-apa, Mas. Kas

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Agnes melahirkan

    Hari lahiranku, rasanya akan segera tiba. Saat hendak sarapan, aku merasakan ada cairan keluar dari jalan lahir. Cairan kental berwarna merah muda. Karena rasa sakit belum begitu terasa, aku masih menyempatkan mengantar Niken berangkat ke sekolah, setelahnya singgah ke klinik bersalin untuk menanyakan perihal yang aku rasakan saat ini. "Ini tanda-tanda mau melahirkan, Bu. Cuma masih lama karena masih pembukaan satu," ucap bu Bidan. "Kalau begitu, saya pulang dulu untuk menyiapkan keperluan bayi saya, Bu." pamitku pada wanita muda berusia lima tahun di atas aku. "Boleh, Bu. Hmmm ... Raka gak ikut, Bu?" tanya bu bidan. Beliau sangat mengenal keluarga kami, apalagi anaknya merupakan sahabat Niken di sekolah dan juga merupakan anak didikku juga. "Belum saya beritahu, Bu. Kasihan merepotkan," ucapku seraya beranjak dari tempat tidur kamar pasien. "Jangan gitu, bu Agnes. Suaminya harus diberitahu juga, kan buatnya bersama-sama. Masak lahiran sendirian," ucap bu bidan terdengar sedikit

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Bahagia Bersama Putriku

    Setelah salat subuh, aku memasak nasi goreng untuk sarapan. Hari ini, aku buat agak banyak karena ingin memberi sedekah sedikit untuk pekerja karena ibu sudah di temukan.Setelah membagikan sarapan, ku rebahkan tubuh ini di gubuk kecil dekat kolam ikan. Angin bertiup lembut menghadirkan rasa kantuk pada mata ini. Hingga tak sadar, diri ini terlelap. Sebuah dering telpon membuat ku terjaga. Nama Niken tertera disana. Aku segera mengangkat dan mengucapkan salam."Papa, jadi jemput Niken hari ini?" tanya gadis kecilku."Jadi dong! Anak Papa dimana sekarang?" Kubalik bertanya."Udah di dekat rumah Papa, nih," jawabnya."Ya udah. Papa jemput dimana ni? Atau langsung ke rumah aja ya, Nak?" titahku."Jemput di mini market sejahtera ya, Pa! Niken tunggu disitu." "Baik, tunggu Papa ya?" Aku menutup telpon dan bergegas pergi.Niken sedang menunggu di bangku di teras mini market tersebut. Dia nampak seperti kebingungan. Mungkin takut tidak jadi ku jemput."Niken!" "Papa!" Niken berteriak kenca

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Mantan Mertua Masuk Rumah Sakit Jiwa

    Aku sangat kaget melihat mantan mertua berjalan sepanjang rel kereta api. Beliau menghitung batu kerikil yang berada di rel tersebut. Aku mengikuti wanita yang telah menjadikan aku menjanda dari belakang, karena ku pandang bu Lastri bagaikan orang yang sedang linglung. "Bu, mau kemana?" tanyaku saat melihat wanita berkerudung coklat susu itu menuju ke arah pemakaman."Mau menemani anak saya. Kasian dia sendirian di dalam situ." Tunjuknya ke area tempat pemakaman. "Apa? Ah enggak-enggak saja ibu? Ibu pulang aja ya? Biar saya telpon mas Rama untuk menjemput Ibu ya?" "Apa hak kamu menyuruh aku pulang?" Karena tidak bisa di ajak bicara baik-baik akhirnya aku menelpon mas Rama, anaknya yang jelas-jelas lebih tahu apa yang terjadi pada bu Lastri."Mas, mantan mertua saya nampaknya sedang depresi. Dia mau masuk ke area pemakaman," ucapku pada mas Raka melalui sambungan telpon."Jadi bagaimana?""Mas, bisa bantu saya? Saya mau menelpon mas Rama untuk menjemput ibunya. Saya yakin dia gak t

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Rindu Yang Sangat Menyakitkan

    "Rama, kawanin Ibu ke toko ponsel sebentar. Ibu mau membeli ponsel tercanggih." titah ibu membuat aku bertanya-tanya. "Untuk apa, Bu? Kan ponsel Ibu masih bagus?" "Ibu mau menelpon Sinta, Nak. Ibu sudah sangat rindu sama permata hati Ibu." Suara ibu serak seakan ada tangisan yamg sedang ditahankan."Ibu berhentilah meratapi kepergian Sinta. Kasian dia tersiksa di sana," ucapku dengan air mata sudah menganak sungai tidak dapat lagi aku tahankan. Cobaan hidup terberat dalam hidupku adalah ditinggal pergi ayah untuk selamanya dan sekarang menyusul adik semata wayangku, Sinta."Ibu tidak meratapi Sinta. Hanya ingin menelpon dia aja, menanyakan kabar dia. Apa ada yang salah?" tanya wanita yang telah melahirkanku ke dunia ini dengan tatapan kosong."Ibu, Sinta sudah enggak ada lagi di dunia ini. Mana bisa di telpon sih, Bu. Kita sudah berbeda alam dengannya," ujarku seraya memijat lembut betis wanita yang sangat aku sayangi itu."Berbeda alam? Hahaha. Kita sudah berbeda alam, Nak. Jadi ba

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Hancur Duniaku

    "Bu, jenazah Sinta mau dimandikan," ungkap Rama membuyarkan lamunanku."Jenazah? Apa maksud kamu, Rama? Jangan sok tau kamu. Sinta belum mati. Dia hanya tidur saja. Pengaruh obat bius." Ku tepis tangan Rama yang berusaha memeluk bahu ini. "Bu, ikhlasin Sinta. Jangan beratin jalannya," ucap Romi, mantan suami Sinta. Air matanya berlinang. Pasti dia itu berpura-pura sedih. Aku tahu itu. Tidak mungkin dia menangisi anakku yanag sudah menjadi mantan di dalam hidupnya. Apalagi sekarang dia sudah memiliki pengganti Sinta."Ugh ... ini semua gara-gara kamu. Keluar kau dari rumahku." Seketika kudorong tubuh Romi hingga dia hampir terjatuh mengenai tubuh anakku yang masih terbaring diruang tamu."Bu, maafkan saya, tapi saya masih mencintai Sinta. Tidak ada yang bisa menyamainya." tutur Romi membuat aku semakin jijik melihatnya. Tidak perlu lagi ucapan itu keluar dari mulut sampahnya.Jika dia tidak menceraikan Sinta dan menikah dengan wanita lain, tidak mungkin Sinta akan menjajakan diri kepa

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Kehilangan

    Rasanya duniaku hampir runtuh. Siang ini ada seseorang datang ke rumah, memberi kabar bahwa Sinta anak yang sangat aku sayangi, jatuh pingsan dipasar waktu berbelanja keperluan warung.Sekarang dia sudah di bawa ke rumah sakit, menurut informasi yang aku terima Sinta belum sadar dan terpaksa di rawat di ruang ICCU.Dan yang membuat aku hampir berhenti bernafas saat dokter mengatakan penyakit yang diderita Sinta. Penyakit menular seksual yang sangat mematikan itu.Aku malu, anak yang selama ini selalu aku banggakan ternyata selama di kota bekerja sebagai penjaja seks komersial. Putri semata wayang yang kubanggakan, kusayangi dia sepenuh hati, dia sangat ku manja bahkan semua yang dia inginkan pasti aku penuhi, tak peduli dari mana uang itu aku peroleh, yang penting anakku bahagia. Tak kusangka nasib dia seburuk ini."Bu, bagaimana kondisi Sinta?" tanya Rama. Anak yang tidak pernah aku harapkan kehadirannya dimuka bumi ini menanyakan kabar adiknya."Masih belum sadarkan diri," jawabku

DMCA.com Protection Status