Home / Pernikahan / HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS / Bab 4. Mas Rama Sakit

Share

Bab 4. Mas Rama Sakit

Author: Trinagi
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Kenapa emang kalau belum Adek tarik semua uangnya? Mau mas pinjam?"

 

"Iya. Buat menutupi kekurangan uang belanja aneka pernak pernik souvenir dan biaya makan calon suami Sinta selama seminggu kedepan, Dek."

 

"Loh, biaya makan calon suami Sinta kenapa harus kita yang tanggung? Bukannya dia punya uang sendiri? Kata ibu, suami Sinta karyawan swasta yang duitnya berlimpah ruah? Kok aku semakin heran dengan cara berfikir keluarga Mas ini."

 

"Coba Adek pikir. Apa mungkin suaminya baru datang udah kita mintai uang belanja? Ibu pun ada perasaan."

 

"Adek tau, ibu memang orangnya sangat sensitif. Tapi jangan membebani aku juga dong, Mas. Aku juga ada keperluan. Mas tau sendiri, kan? Bapak sakit dan Adek harus pulang kampung segera untuk menjenguk bapak."

 

"Uangnya Mas pake sebentar saja kok. Hanya   beberapa hari saja. Nanti jika keluar bonus, Mas akan bayar deh."

 

"Mas akan membayar utang sama Adek? Mimpi apa Mas mau membayar utang sama istri Mas ini? Hahaha. Mas ... Mas ... Lucu banget lawak kamu, ya. Hahaha. Jangankan uang Adek yang notabene istri Mas. Uang Kak Ayu saja udah bertahun-tahun gak ada niat pun buat Mas bayarnya."

 

"Nanti sekalian Mas bayar uang Kak Ayu juga. Banyak kok bonus Mas menjelang ramadhan. Kamu tenang ajalah."

 

"Tenang bagaimana? Adek mau pulang kampung menjenguk orang tua malah Mas minta uang? Gak ... Gak mau Adek kasih. Nanti biaya hidup kami selama dikampung siapa yang biayai? Masak Adek mau membebani Ibu lagi? Kasian. Bukannya membantu malah membebani jadinya."

 

"Ya ampun, Dek. Minta pinjam aja susah sekali sama kamu. Sama suami aja pelitnya minta ampun."

 

"Dek, percayalah sama Mas. Mas janji uangnya nanti Mas bayar dua kali lipat. Ditambah uang kak Ayu juga."

 

"Kenapa dari dulu-dulu tidak pernah kepikiran buat bayarin uang kak Ayu. Padahal Mas sering mendapatkan bonus. Malah utang sama kak Ayu sampe bertahun-tahun tidak Mas bayar? Sekurang-kurangnya dicicil. Memang Adek lihat gak ada niat dari Mas untuk membayarnya."

 

"Ya gak gitu juga. Namanya kita banyak kebutuhan, Dek. Macam gak tau aja kebutuhan kita semakin hari semakin tinggi."

 

"Banyak kebutuhan Mas bilang? Kebutuhan yang mana? Belanja di rumah semua Adek yang tanggulangi. Kebutuhan yang mana lagi?"

 

"Adek perhitungan sekali, ya sama suami. Jangan terlalu pelit. Uang istri uang suami juga, begitu juga sebaliknya."

 

"Gak salah yang Mas katakan itu? Selama kita berumah tangga, Adek tidak pernah tau berapa gaji Mas. Dan Mas juga apa pernah memberikan Adek uang belanja? Enggak kan? Bukankah yang pantas dibilang pelit itu Mas? Kurang royal apalagi Adek terhadap keluarga Mas. Maunya Mas mungkin kalai saya kssih nyawa saya baru enggak pelit ya? Gitu maksud Mas?"

 

"Namanya juga gaji Mas cuma sedikit, Dek."

 

"Adek heran lihat Mas. Didepan Adek aja Mas menunjukkan seolah-olah Mas itu manusia paling susah. Seakan-akan aku ini mau meminta dan mengemis. Mas pikir Adek ini gila harta? Gak, Mas ... Aku gak mau meminta uang dari Mas sedikitpun. Tetapi Mas lepas dari tanggung jawab. Mas fikir dengan istri bekerja jadi Mas gak bertanggung jawab menafkahi? Mas salah besar."

 

"Adek mau minta pun gak apa-apa kok. Masalahnya Mas yang gak punya duit. Kalau duit Mas banyak pasti akan Mas kasih buat Adek selaku istri Mas."

 

"Tapi bonus yang setiap lebaran keluar itu kemana uang itu berlabuh, Mas? Apa pernah Mas kasihkan kepada Adek selaku istri Mas?"

 

"Alah Adek ... Masalah sepele begitu aja dipermasalahkan."

 

"Apa Mas bilang? Sepele?"

 

"Dan satu yang harus Mas ketahui, ya? Seorang istri itu juga punya hak terhadap gaji suaminya. Adek gak mengharapkan gaji kamu, Mas. Adek punya gaji sendiri. Adek hanya ingin Mas jujur sekali aja. Kemana Mas bawa uang Mas selama ini rupanya?" dengan berapi-api aku menanyakan pendapatan suamiku selama menikah. 

 

Menikah dengannya sudah menginjak di angka delapan tahun. Jangankan uang gaji. Buat kami makan sehari-hari saja Mas Rama tidak pernah sekalipun memberikan aku uang. Alasannya potongan bank. Katanya sebelum menikah dengan aku dia telah mengambil sejumlah uang buat mahar dan pesta pernikahan kami.

 

Kalau aku tau pesta pernikahan kami memakai uang kredit bank, lebih bagus gak usah dipestain pernikahan kami semewah itu. Cukup ijab kabul dan memanggil beberapa orang kerabat saja.

 

Untuk apa kelihatan kaya tetapi dari berutang? Bagus hidup sederhana saja tapi hidup tenang tanpa lilitan hutang riba yang mencekik leher.

 

"Kan sudah Mas bilang dari kemaren-kemaren, Dek. Uang gaji Mas banyak potongan bank. Jadi kamu yang sabar. Gak lama lagi akan lunas, kok."

 

"Bonus kemana Mas bawa?"

 

"Bonus dipegang ibu semua lah, Dek. Kasian beliau udah tua gak megang uang. Namanya juga orang tua, mana tau beliau kepingin beli jajan, mau meminta sama Mas beliau segan. Gak banyak kok Dek. Cuma sepuluh juta aja. Apa salahnya Mas kasih buat ibu uang segitu? Ya kan, Dek. Namanya juga untuk membahagiakan orang tua."

 

Bonus dan gaji gak ada lagi. Semua sudah ada penerima dan aku hanya sebagai korban yang ditakdirkan harus menderita terus mendampingi suami macam pak Raden dalam serial si unyil.

 

Dari hari pertama ijab kabul sampai detik ini aku tidak pernah merasakan yang namanya gaji Mas Rama. Semua biaya rumah tangga kami dari yang remeh temeh sampai keperluan yang mendadak selalu memakai uang gaji aku. Kadang aku berfikir buat apa menikah kalau tidak pernah di nafkahi.

 

"Udahlah, Dek. Mas malas berdebat hanya masalah uang dan uang. Kalau gak Adek kasih ya udah. Untuk apa berantem. Bikin hidup semakin ribet aja. Kamu memang istri yang selalu bikin ribet dan nyusahin suami." Ujar mas Rama dan beliau berlalu begitu saja dari kamar. Lebih sakitnya lagi dia membanting pintu dengan sekuat tenaga seakan disini akulah manusia yang paling bersalah.

 

Begitulah Mas Rama kalau marah. Pintu yang di banting. Barang apapun yang berada dihadapannya akan di tendang bahkan dia tidak perduli jadi perhatian orang di sekitarnya. Lama-lama bisa rusak semua isi rumah ini jika sifat Mas Rama itu tidak berubah.

 

Setelah marah-marah tak karuan Mas Rama tidak mau lagi bertegur sapa dengan aku. Dirumah ini sepertinya aku sangat merasa asing. Mereka memperlakukan aku seperti pembantu begitu juga dengan suamiku. Malah dia tidak mengajak aku berbicara sepatah katapun atau sekedar berberbasa-basi aja dia tidak mau.

 

Ternyata Mas Rama semalan gak tidur di kamar kami melainkan dia tidur bersama dengan ibu dan adiknya. Hanya gara-gara aku tidak mau meminjamkan uang buat pesta dan membiayai hidup calon suami Sinta. 

 

Satu keluarga sama saja. Sama-sama benalu dalam kehidupanku. Mempunyai suami seperti Mas Rama hanya berstatus diatas kertas saja. Karena selama menjadi istri dia aku tidak pernah di nafkahi. Dan aku hanya di jadikan kain lap oleh adik ipar dan ibu mertua.

 

Dan mereka hanya memanfaatkan aku karena diri ini mempunyai gaji bulanan yang bisa mereka harapkan. Jadi gaji aku, mereka memakai untuk biaya makan sehari-hari, sementara gaji suamiku buat biayai berfoya-foya mertua dan adik ipar.

 

Heran juga. Padahal mertua mempunyai gaji pensiun dari suaminya yang sudah lama meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya.

 

Nah itu juga menjadi pertanyaanku. Kemana dia bawa gaji pensiun bapak mertua. Segitu besarkah kebutuhan hidup mereka?

Begitu pelitnya. Jangankan untuk orang lain untuk biaya makannya sendiri saja pelit. 

 

"Nes ... Agnes." suara ibu mertua dari luar. Segera aku beranjak bangun lalu membuka pintu kamar dengan malas.

 

"Ada apa, Bu?"

 

"Tidur kamu? Kok enak banget sih." kata wanita tua itu kesal melihat aku keluar dari kamar dengan rambut acak-acakan.

 

"Iya, Bu. Agnes capek seharian bekerja mengajar anak-anak yamg bandelnya minta ampun."

 

"Enak banget ya? Suamimu sakit di kamar malah kau serahkan dia untuk aku? Maksudmu apa?"

 

"Mas Rama sakit? Sakit apa, Bu?" Tanyaku khawatir.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ervina Chesika
biarin z jgn peduliin biar tau rasa
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Bab 5. Agnes Dituduh Memakai Pelet

    "Istri macam apa kamu ini, Nes? Suami sakit aja kau gak tau. Memang kamu ini istri yang gak becus ngurus suami. Heran aku lihat anak ini. Entah apa bisanya?""Manalah saya tau, Bu. Mas Rama saja tidurnya tadi malam entah dimana, entah sama siapa. Dia itu tidak pernah menganggap saya ini sebagai istri. Buat apa saya repot-repot ngurusin dia?" ujarku dan disambut dengan tatapan kesal dari mertua dan mata beliau melotot seakan bola mata akan keluar dari sarangnya.Punya suami marah dikit dengan istri langsung minggat tidur dengan ibunya. Suami masih di bawah ketiak mamaknya sih emang begitu."Kasian kali lah anakku Rama. Nasib buruk dia ber jodohkan wanita seperti kamu, Nes. Sudah gak pandai masak gak perhatian terhadap suami. Cantik juga enggaknya kamu itu. Apa sih yang bikin anakku menjadikan kamu sebagai istrinya?""Mungkin kak Agnes memakai pelet, Bu. Percaya deh sama aku. Kawan sekelas aku begitu juga. Kakak iparnya jelek banget tetapi abangnya yang ganteng itu sangat menyayangi dan

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Bab 6. Niat Untuk Mencari Kontrakan

    "Keluar kau dari kamar Aku, Dek! Aku gak bisa tidur kalau ada kamu disini. Istri apaan cuma bisa bikin emosi aja. Tidak bisa menjadi istri yang bisa menenangkan hati suami!" Bentak Mas Rama dan seketika saja membuat diri ini syok. Bagaimana tidak. Didepan ibu mertua dan adik ipar aku diperlakukan seperti ini. Sungguh hina rasanya diri ini di depan mereka. Rasanya harga diriku sudah diinjak-injak sama keluarga lelaki yang sudah menikahi aku selama delapan tahun belakangan ini. Banyak yang bertanya apa sih yang aku pertahankan tinggal disini. "Hanya karena memikirkan anak semata wayang kamu bertahan? Naif sekali kau, Nes," ujar Meisya sahabat kecilku. Saat itu kami sedang mengadakan reunian. Dan mereka menjemput aku di rumah mertua. Dan perlakuan mertua dan adik ipar sungguh tidak mengenakkan sedikitpun. Sehingga Meisya dan Putri sampai geleng-geleng kepala melihat ulah dua manusia tersebut. "Kenapa gak ngontrak aja kau, Nes," saran Meisya waktu itu. "Gak ada duit aku bu

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Bab 7. Menantu Rasa Babu

    "Kenapa kamu ngomong begitu, Nes? Aku heran dengan kelakuan kamu. Apa pantas seorang istri, seorang menantu atau seorang kakak ipar malah mencari rumah sewa disaat ada hajatan besar dalam keluarganya? Mas tanya sekali lagi sama kamu. Apa pantas, Nes?""Bagaimanapun marahnya kamu sama keluargaku janganlah kamu tunjukkan sama tetangga atau sanak saudara. Kamu tau sendiri, 'kan? Di rumah lagi rame. Jangan kau tunjukkan sekali lah kekurangan kita di depan orang. Keburukan kita cukup kita-kita saja yang tau. Jangan sampai isi perut keluarga ini menjadi bahan gosip para tetangga nantinya," nasehat Mas Rama.Aku hanya bisa tertegun dan secara tidak langsung aku juga meng-iyakan apa yang baru saja Mas Rama katakan. Seburuk apapun mereka itu masih berstatus mertua dan iparku. Aku harus menjaga harkat dan martabat mereka semua.Cukup lama kami saling diam dan aku sibuk mencerna setiap kata-kata yang keluar dari mulut Mas Rama dan menurut aku ada benarnya juga. Kalau aku tetap bersikeras keluar

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Bab 8. Aku Menantu Bukan Babu

    "Kamu jam segini belum masak, Nes? Ngapain aja dari tadi?" Tiba-tiba saja ibu Lastri datang dengan rambut macam rambut singa khasnya orang bangun tidur. Sedangkan untuk mencuci muka dan menggosok gigi saja beliau belum mengerjakannya. Pantas saja Sinta pemalas, ternyata nurun dari ibu Lastri. "Agnes mau berangkat kerja, Bu. Masalah sarapan pagi, saya heran. Apa tidak bisa Ibu atau Sinta sendiri yang memasaknya? Kok dikit-dikit Agnes yang kerjainnya. Kapan Sinta bisa mandiri. Nanti kalau dia tinggal di rumah mertua bagaimana? Kalau tidak belajar dari sekarang kapan lagi? Ibu selaku orang tua kandung ajarinlah Sinta masak dan berberes rumah." Tiba-tiba saja timbul keberanian aku untuk menasehati ibu mertua yang terlalu memanjakan anak gadisnya. Jangankan memasak untuk makan sekeluarga, kurasa memasak untuk makan sendiri aja dia gak pernah. "Lantam kali mulut kau, Nes." "Bukan lantam, Bu. Saya cuma menasehati aja. Kasian nanti di rumah mertua jika Sinta tidak bisa apa-apa." "

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Bab 9. Keluarga Benalu

    "Apa Mas bilang? Modal buat Romi? Apa saya gak salah dengar, Mas?" Tanyaku dengan kaget."Iya, Dek." Jawab mas Rama singkat."Setau saya, suami Sinta seorang pegusaha yang sukses dan juga kaya raya. Tajir melintir. Kekayaan dia tidak bakal habis sampai tujuh turunan. Kenapa malah minta modal sama kita? Aneh-aneh aja manusia sekarang." Kuberondong pertanyaan terhadap lelakiku, dia menatap nyalang seakan diri ini hendak di telan hidup-hidup.Masih teringat dalam ingatanku, dulu mertuaku begitu sombong, beliau sangat membanggakan Romi sebagai calon menantu yang kaya raya. Sampai-sampai harga diri anak juga di gadaikan, hanya untuk mendapatkan lelaki macam Romi. Tapi sekarang kenapa malah minta di modalin? Betul-betul tidak habis pikir dengan jalan pikiran mertua dan suamiku."Memang iya ... Romi seorang pengusaha kaya raya, Nes. Tetapi itu 'kan punya keluarga besar mereka. Mana mungkin Sinta akan merasakan uang dari suaminya sementara semua pembukuan, uang keluar dan uang masuk diatur sa

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Bab 10. Keluarga Benalu

    Sekarang ibu mertua sudah mulai melunak, itu semua dilakukan demi melukuhkan hatiku. Beliau sangat berharap aku bersedia mengajukan kredit uang di Bank. Mengambil kredit mah, gampang. Tapi bayarnya ini cengap-cengap. Dia pikir membayar cicilannya pake apa? Apa bisa bayar memakai daun pisang? Kalau bisa begitu, ya senang sekali aku. Sekarang untuk sementara waktu sikap dan sifat ibu mertua seakan menjadi malaikat tanpa sayap, yang selalu membela dan menyayangi anak menantunya. Begitulah beliau jika ada maunya. Padahal biasanya seperti singa yang sudah siap menerkam mangsanya."Gak apa-apa, Bu. Saya bisa jalan sendiri ke sekolah. Biasanya pun, begitu 'kan? Kemana-mana sendirian saja, gak ada yang mau tau bagaimana keadaan saya di jalan." Sindir aku."Apakah ada masalah atau enggak tidak ada orang yang memedulikannya. Saya sudah biasa mandiri. Semua bisa saya kerjakan sendiri. Mau ada suami gak ada suami bagi saya sama saja, Bu. Gak ada pengaruh apa-apa bagi kehidupan ini." Lanjutku l

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Bab 11. Aku Menantu Bukan Babu

    "Mas, Adek mau berangkat sekarang." Aku minta pamit pada Mas Rama untuk pulang kampung menjenguk bapakku sakit."Apa gak bisa nunggu gajian saja pulangnya. Kita pulang bareng sama ibu dan juga Sinta. Kata Sinta dia sekalian mau berbulan madu ke desa.""Mas ..." pekikku."Tolonglah. Saya mau menjenguk orang tua yang sakit. Bukan mau main-main." jawabku dengan lantang."Jadi bagaimana? Bukannya Mas gak ijinin menjenguk bapak, Dek. Kita disini pun banyak tugas yang belum selesai." Berbagai alasan selalu saja Mas Rama lontarkan."Tugas apa lagi? Tolonglah Mas mengerti perasaan saya saat ini. Adek hanya minta ijin pulang. Tidak lebih. Segala biaya ongkos atau apapun biarlah Adek tanggung sendiri." Emosiku sudah sampai ke ubun-ubun, tapi tetap berusaha terlihat biasa saja di depan mas Rama. Bagaimana pun aku tidak ingin menjadi istri pembangkang."Mas tau, Dek. Mas bingung mau mengambil keputusan. Coba Adek bayangkan, sebentar lagi keluarga mertua Sinta mau datang. Siapa yang layani? Disini

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Bab 12. Tolong Hargai Aku

    Di rumah mertua, diri ini diperlakukan bagaikan seorang pembantu. Ya ... pembantu yang tidak pernah di gaji. Enak benar hidup mereka bukan? Kadang aku berfikir, aku ini bodoh apa terlalu bucin? Bisa-bisanya seorang wanita karir dan lulusan sarjana seperti aku, tidak berdaya di hadapan seorang wanita yang bernama bu Lastri.Mungkin wanita lain akan berontak jika diperlakukan begini. Pekerjaan rumah tangga semua aku kerjakan, dari memasak sampai mencuci baju seluruh anggota keluarga Mas Rama. Pantas saja mereka tidak mempekerjakan pembantu, mungkin karena sudah ada aku, wanita pintar di sekolah tetapi tak berdaya di rumah.Walaupu aku ini bukan anak kandungnya apa pantas ibu dan ipar memperlakukan seenak hati."Bu, jangan biasakan jam segini Sinta masih tidur. Dia anak perempuan dan suatu saat akan punya tanggung jawab sebagai seorang istri." nasehat aku kepada wanita paruh baya itu."Dia anakku. Wajar dong aku mrmanjakan dia dan Rama pun tidak keberatan. Kenapa kamu pula yang sewot." M

Latest chapter

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Kasihan Mas Rama

    Tiga tahun sudah berlalu sejak mas Rama meminta hak asuh Niken jatuh ke tangannya. Sekarang lelaki yang pernah menjadi suamiku itu tidak mempersoalkan lagi Niken tinggal sama dia atau ikut denganku. Baginya yang penting buah hati kami berdua bahagia dan tidak kurang kasih sayang sedikit pun dari kedua orang tuanya."Ma, besok Niken mau nginap di rumah papa!" ujar Gadis berusia tiga belas tahun itu seraya duduk disebelah aku yang sedang menonton drama korea."Dijemput kan?" tanyaku memastikan. Bukan aku tidak mempercayai kepada Niken, tetapi untuk memastikan keamanannya saja."Iya, Ma. Dijemput besok siang dari sekolah. Kayak biasalah, Ma. Papa menelpon Mama jika kami sudah berangkat," jelas Niken panjang lebar."Kalau di jemput, ya udah gak apa-apa," ujarku."Mama gak ngajar hari ini? Kok santai banget nonton drakor?" tanya gadis kecilku yang sudah menginjak remaja tersebut."Mama gak enak badan tadi, Nak." Ketika berbincang-bincang dan menyantap makanan yang di beli oleh Niken sepul

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Menyesal Tidak Ada Gunanya

    "Biar saja Niken bersama saya, Mas," ujarku disaat mas Rama meminta izin untuk membawa Niken tinggal bersamanya."Kenapa kamu keberatan Niken bersama aku, Nes? Niken kan anak aku juga. Apa kamu takut dia akan kelaparan jika tinggal bersama aku? Enggak, Nes. Apapun akan kulakukan untuk membahagiakan darah dagingku. Aku bukan lagi Rama yang dulu," tegas Mas Rama."Saya tau Mas juga sayang sama Niken. Bapak mana sih yang gak sayang sama darah dagingnya sendiri? Tapi Mas, kalau Niken bersama saya, saya pastikan Mas akan lebih leluasa mencari rejeki tanpa kepikiran Niken bakal tinggal sama siapa di rumah," ucapku mencoba meyakinkan mantan lelaki yang pernah sangat aku cintai waktu itu."Kamu tenang saja. Niken akan aku bawa kemana saja aku pergi, Nes." Nampaknya mas Rama sangat menginginkan Niken untuk tetap tinggal bersamanya. Dan aku bukan seorang ibu yang bisa hidup terpisah dengan anak yang masih butuh perlindungan kedua orang tuanya. Jangan tinggal terpisah, tidak berjumpa sehari saj

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Bermain Dengan Niken

    "Papa!" Niken berteriak kencang dan berlari ke arahku saat dia sudah keluar dari pintu gerbang sekolah. Hari ini aku menjemputnya dan akan menginap semalam dirumah sesuai janji kami kemarin sore."Niken!" Aku renggangkan kedua tangan seraya berjongkok, kemudian memeluk putri cantikku. Aku mengangkatnya tinggi dan membawa kepelukan. Niken tertawa serta menjerit kesenangan. Hanya inilah yang bisa aku lakukan untuk membuatnya bahagia. "Papa mau mengajak Niken menjumpai nenek, mau?" tanyaku sambil tetap menggendong bocah berusia sepuluh tahun itu."Mau ... mau," jawabnya antusias. Dia tidak tahu jika neneknya sekarang sedang dirawat di rumah sakit jiwa."Tadi udah bilang sama papa Raka dan mama kan bahwa Niken akan dijemput Papa?" tanyaku sekali lagi untuk memastikan."Udah, Pa!" seru Niken dengan mimik lucunya.Merasa tidak enak hati, akhirnya aku menelpon Agnes dan Raka untuk memastikan bahwa Niken sudah meminta izin kepada kedua orang tuanya menginap di rumahku."Gak apa-apa, Mas. Kas

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Agnes melahirkan

    Hari lahiranku, rasanya akan segera tiba. Saat hendak sarapan, aku merasakan ada cairan keluar dari jalan lahir. Cairan kental berwarna merah muda. Karena rasa sakit belum begitu terasa, aku masih menyempatkan mengantar Niken berangkat ke sekolah, setelahnya singgah ke klinik bersalin untuk menanyakan perihal yang aku rasakan saat ini. "Ini tanda-tanda mau melahirkan, Bu. Cuma masih lama karena masih pembukaan satu," ucap bu Bidan. "Kalau begitu, saya pulang dulu untuk menyiapkan keperluan bayi saya, Bu." pamitku pada wanita muda berusia lima tahun di atas aku. "Boleh, Bu. Hmmm ... Raka gak ikut, Bu?" tanya bu bidan. Beliau sangat mengenal keluarga kami, apalagi anaknya merupakan sahabat Niken di sekolah dan juga merupakan anak didikku juga. "Belum saya beritahu, Bu. Kasihan merepotkan," ucapku seraya beranjak dari tempat tidur kamar pasien. "Jangan gitu, bu Agnes. Suaminya harus diberitahu juga, kan buatnya bersama-sama. Masak lahiran sendirian," ucap bu bidan terdengar sedikit

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Bahagia Bersama Putriku

    Setelah salat subuh, aku memasak nasi goreng untuk sarapan. Hari ini, aku buat agak banyak karena ingin memberi sedekah sedikit untuk pekerja karena ibu sudah di temukan.Setelah membagikan sarapan, ku rebahkan tubuh ini di gubuk kecil dekat kolam ikan. Angin bertiup lembut menghadirkan rasa kantuk pada mata ini. Hingga tak sadar, diri ini terlelap. Sebuah dering telpon membuat ku terjaga. Nama Niken tertera disana. Aku segera mengangkat dan mengucapkan salam."Papa, jadi jemput Niken hari ini?" tanya gadis kecilku."Jadi dong! Anak Papa dimana sekarang?" Kubalik bertanya."Udah di dekat rumah Papa, nih," jawabnya."Ya udah. Papa jemput dimana ni? Atau langsung ke rumah aja ya, Nak?" titahku."Jemput di mini market sejahtera ya, Pa! Niken tunggu disitu." "Baik, tunggu Papa ya?" Aku menutup telpon dan bergegas pergi.Niken sedang menunggu di bangku di teras mini market tersebut. Dia nampak seperti kebingungan. Mungkin takut tidak jadi ku jemput."Niken!" "Papa!" Niken berteriak kenca

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Mantan Mertua Masuk Rumah Sakit Jiwa

    Aku sangat kaget melihat mantan mertua berjalan sepanjang rel kereta api. Beliau menghitung batu kerikil yang berada di rel tersebut. Aku mengikuti wanita yang telah menjadikan aku menjanda dari belakang, karena ku pandang bu Lastri bagaikan orang yang sedang linglung. "Bu, mau kemana?" tanyaku saat melihat wanita berkerudung coklat susu itu menuju ke arah pemakaman."Mau menemani anak saya. Kasian dia sendirian di dalam situ." Tunjuknya ke area tempat pemakaman. "Apa? Ah enggak-enggak saja ibu? Ibu pulang aja ya? Biar saya telpon mas Rama untuk menjemput Ibu ya?" "Apa hak kamu menyuruh aku pulang?" Karena tidak bisa di ajak bicara baik-baik akhirnya aku menelpon mas Rama, anaknya yang jelas-jelas lebih tahu apa yang terjadi pada bu Lastri."Mas, mantan mertua saya nampaknya sedang depresi. Dia mau masuk ke area pemakaman," ucapku pada mas Raka melalui sambungan telpon."Jadi bagaimana?""Mas, bisa bantu saya? Saya mau menelpon mas Rama untuk menjemput ibunya. Saya yakin dia gak t

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Rindu Yang Sangat Menyakitkan

    "Rama, kawanin Ibu ke toko ponsel sebentar. Ibu mau membeli ponsel tercanggih." titah ibu membuat aku bertanya-tanya. "Untuk apa, Bu? Kan ponsel Ibu masih bagus?" "Ibu mau menelpon Sinta, Nak. Ibu sudah sangat rindu sama permata hati Ibu." Suara ibu serak seakan ada tangisan yamg sedang ditahankan."Ibu berhentilah meratapi kepergian Sinta. Kasian dia tersiksa di sana," ucapku dengan air mata sudah menganak sungai tidak dapat lagi aku tahankan. Cobaan hidup terberat dalam hidupku adalah ditinggal pergi ayah untuk selamanya dan sekarang menyusul adik semata wayangku, Sinta."Ibu tidak meratapi Sinta. Hanya ingin menelpon dia aja, menanyakan kabar dia. Apa ada yang salah?" tanya wanita yang telah melahirkanku ke dunia ini dengan tatapan kosong."Ibu, Sinta sudah enggak ada lagi di dunia ini. Mana bisa di telpon sih, Bu. Kita sudah berbeda alam dengannya," ujarku seraya memijat lembut betis wanita yang sangat aku sayangi itu."Berbeda alam? Hahaha. Kita sudah berbeda alam, Nak. Jadi ba

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Hancur Duniaku

    "Bu, jenazah Sinta mau dimandikan," ungkap Rama membuyarkan lamunanku."Jenazah? Apa maksud kamu, Rama? Jangan sok tau kamu. Sinta belum mati. Dia hanya tidur saja. Pengaruh obat bius." Ku tepis tangan Rama yang berusaha memeluk bahu ini. "Bu, ikhlasin Sinta. Jangan beratin jalannya," ucap Romi, mantan suami Sinta. Air matanya berlinang. Pasti dia itu berpura-pura sedih. Aku tahu itu. Tidak mungkin dia menangisi anakku yanag sudah menjadi mantan di dalam hidupnya. Apalagi sekarang dia sudah memiliki pengganti Sinta."Ugh ... ini semua gara-gara kamu. Keluar kau dari rumahku." Seketika kudorong tubuh Romi hingga dia hampir terjatuh mengenai tubuh anakku yang masih terbaring diruang tamu."Bu, maafkan saya, tapi saya masih mencintai Sinta. Tidak ada yang bisa menyamainya." tutur Romi membuat aku semakin jijik melihatnya. Tidak perlu lagi ucapan itu keluar dari mulut sampahnya.Jika dia tidak menceraikan Sinta dan menikah dengan wanita lain, tidak mungkin Sinta akan menjajakan diri kepa

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Kehilangan

    Rasanya duniaku hampir runtuh. Siang ini ada seseorang datang ke rumah, memberi kabar bahwa Sinta anak yang sangat aku sayangi, jatuh pingsan dipasar waktu berbelanja keperluan warung.Sekarang dia sudah di bawa ke rumah sakit, menurut informasi yang aku terima Sinta belum sadar dan terpaksa di rawat di ruang ICCU.Dan yang membuat aku hampir berhenti bernafas saat dokter mengatakan penyakit yang diderita Sinta. Penyakit menular seksual yang sangat mematikan itu.Aku malu, anak yang selama ini selalu aku banggakan ternyata selama di kota bekerja sebagai penjaja seks komersial. Putri semata wayang yang kubanggakan, kusayangi dia sepenuh hati, dia sangat ku manja bahkan semua yang dia inginkan pasti aku penuhi, tak peduli dari mana uang itu aku peroleh, yang penting anakku bahagia. Tak kusangka nasib dia seburuk ini."Bu, bagaimana kondisi Sinta?" tanya Rama. Anak yang tidak pernah aku harapkan kehadirannya dimuka bumi ini menanyakan kabar adiknya."Masih belum sadarkan diri," jawabku

DMCA.com Protection Status