Beranda / Pernikahan / HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS / Bab 6. Niat Untuk Mencari Kontrakan

Share

Bab 6. Niat Untuk Mencari Kontrakan

Penulis: Trinagi
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Keluar kau dari kamar Aku, Dek! Aku gak bisa tidur kalau ada kamu disini. Istri apaan cuma bisa bikin emosi aja. Tidak bisa menjadi istri yang bisa menenangkan hati suami!" Bentak Mas Rama dan seketika saja membuat diri ini syok. Bagaimana tidak. Didepan ibu mertua dan adik ipar aku diperlakukan seperti ini. Sungguh hina rasanya diri ini di depan mereka. Rasanya harga diriku sudah diinjak-injak sama keluarga lelaki yang sudah menikahi aku selama delapan tahun belakangan ini.

 

Banyak yang bertanya apa sih yang aku pertahankan tinggal disini. 

 

"Hanya karena memikirkan anak semata wayang kamu bertahan? Naif sekali kau, Nes," ujar Meisya sahabat kecilku. 

 

Saat itu kami sedang mengadakan reunian. Dan mereka menjemput aku di rumah mertua. Dan perlakuan mertua dan adik ipar sungguh tidak mengenakkan sedikitpun. Sehingga Meisya dan Putri sampai geleng-geleng kepala melihat ulah dua manusia tersebut.

 

"Kenapa gak ngontrak aja kau, Nes," saran Meisya waktu itu.

 

"Gak ada duit aku buat ngontrak. Gaji aku habis untuk biaya makan untuk suamiku dan keluarganya. Sementara gaji mas Rama setiap bulan diserahkan seratus persen buat ibunya semua. Tanpa ada sisa sedikitpun." ujarku waktu itu dan spontan saja membuat ketiga sahabat kaget atas semua yang aku alami saat ini

 

"Loh, kok gitu Rama. Gak bertanggung jawab sedikitpun terhadap istri dan anaknya. Jadi apa gunanya berumah tangga jika semua keperluan anak dan istri tidak pernah dipenuhinya? Kalau seandainya dia itu gak bekerja, aku sih, bisa memakluminya. Ini seorang pegawai negeri sipil dan anak masih satu. Sementara istri juga seorang pegawai negeri sipil juga tetapi gak sanggup ngontrak rumah. Ah ... Gak masuk akal banget, Nes." Meisya sangat emosi melihat nasib rumah tanggaku saat ini.

 

Aku tidak bisa berkutik mendengar ocehan dan amarah kedua sahabatku.

 

"Kau tinggalkan aja laki-laki macam gitu, Nes. Masak dia memperlakukan kamu hanya untuk teman tidur saja. Wanita dipinggir jalan aja dibayar mahal, Nes. Padahal mereka gak bersih. Semua lelaki pernah mencicipinya. Masak kalah sama mereka. Kamu wanita terhormat, punya penghasilan sendiri tetapi dibutuhkan hanya untuk menyalurkan hasratnya saja? Wih parah ni laki. Apa gunanya dipertahankan?" Kedua sahabatku tidak terima aku diperlakukan seperti pembantu gratis.

 

"Kalian mungkin heran melihat aku masih bertahan dengan perlakuan buruk suami dan mertuaku, ya, kan? Aku bertahan disini karena aku takut Niken kehilangan sosok bapaknya. Aku tidak ingin melihat dia stres jika tau bapak dan ibunya tidak harmonis. Jika bukan karena dia, mungkin aku

tidak berada di sini lagi," jelasku panjang lebar. 

 

"Dan yang lebih menakutkan bagi aku adalah menyandang status janda. Seorang janda selalu saja dihina dan dipandang sebelah mata. Mau ke mana-mana selalu saja jadi bahan olok-olokan apalagi seorang janda cerai. Pasti mereka akan memandang rendah diri ini. Pasti mereka menilai ada yang salah dengan diri ini. Dan satu lagi, Bapakku sudah tua dan tidak bisa banyak pikiran. Jadi susah atau senang terpaksa aku telan sendiri."

Jelasku panjang lebar. Aku juga sudah tidak tahan dengan rumah tangga toxic ini. Ingin mengakhiri, takut banyak hati yang akan tersakiti.

 

"Ya ... Gak gitu juga, Nes. Untuk apa kamu bertahan jika batinmu tersiksa? Punya suami seakan tidak mempunyai suami. Hanya status saja. Suami apa itu? Suami hanya diatas kertas. Gak punya tanggung jawab. Dan masih di bawah ketiak mamanya. Suruh menikah dengan mamanya aja kalo model begituan," ucap Siska penuh emosi.

 

"Sekarang gini aja, Nes. Ada uang gak ada uang kau paksakan aja kontrak rumah. Jangan lagi seatap dengan mertua. Dan ku tengok iparmu itu seperti benalu yang gak punya hati dan perasaan. Semoga dia nanti mendapatkan mertua lebih parah dari mertuamu. Biar adil,"  cerocos Putri.

 

Dia betul-betul emosi dan sakit hati sampai menyumpahi Sinta bernasib lebih buruk dari aku.

 

Dan sekarang semenjak reunian itu, aku mulai mendengarkan segala nasehat kedua sahabatku untuk memisahkan diri dari mertua. Aku sudah mulai menabung sedikit-sedikit untuk bisa melunasi rumah kontrakan supaya aku bisa terbebas dari manusia benalu di rumah ini. Dan aku tidak perduli Mas Rama mau ikut tinggal sama kami atau dia tetap bertahan di bawah ketiak ibunya.

 

***

 

Pagi sudah mulai menyapa. Sang rembulan kembali ke peraduannya dan memberikan kesempatan kepada sang Mentari menunjukkan keangkuhannya sebagai penguasa siang. 

 

Semalam suntuk aku tidak bisa tidur nyenyak karena memikirkan Mas Rama yang begitu tega mengusir aku dari kamarnya. Kalau tidur berbeda kamar seperti ini apa bedanya aku dengan pembantu? Dan apa gunanya aku bertahan disini? Toh tidak ada satupun penghuni di rumah ini yang memihak kepadaku.

 

Mungkin sekarang saatnya aku harus memikirkan untuk mencari kontrakan. Aku sadari uangku belum cukup untuk bayar setahun. Tapi tidak apalah, mungkin ada rumah yang bisa di bayar bulanan. 

 

Setelah menyiapkan sarapan aku segera bersiap-siap untuk ke sekolah. Nanti siang setelah pulang dari sekolah aku akan berkeliling untuk mencari rumah sewa. Niatku sudah bulat.

 

"Dek, mau kemana?" Tumben Mas Rama menegur aku padahal semalam suntuk dia mendiamkan aku. Dia tidak mau berbicara. Jangankan berbicara melihat wajahku saja dia enggan.

 

"Mau ke sekolah. Kenapa, Mas?" Aku balik bertanya. Aku ini masih sebagai istrinya jadi walau apapun yang terjadi aku harus menghargainya sebagai imamku.

 

"Dirumah mau pesta. Kamu malah mengajar, Dek? Apa kata orang nanti? Apa Adek belum minta ijin?"

 

"Adek minta ijin hanya untuk menjenguk bapak sakit nanti siap pesta, Mas. Kalau pesta juga Adek minta ijin gak enaklah, Mas. Kebanyakan minta ijin kasian juga anak-anak didik nanti banyak ketinggalan mata pelajaran." Aku berusaha menjelaskan panjang lebar dan aku juga berharap Mas Rama mau mengerti.

 

"Adek tega, ya. Pesta Sinta malah ditinggal pergi kerja. Siapa yang bantu nanti? Kadang mas berfikir isi kepala Adek ini ada gak, sih? Apa kosong atau bagaimana?" Mas Rama mulai lagi menghinaku hanya karena tidak membantu pesta.

 

"Isi kepala Adek kosong, Mas. Jadi harap maklum jika Adek agak rada-rada dikit, ya?" ucapku asal.

 

Bukan maksud aku untuk meninggalkan pesta. Bukan maksud aku ingin lari dari tugas yang sudah diberikan ibu mertua. Tetapi aku keluar sebentar saja. Hanya untuk mencari rumah kontrakan setelah mendapatkan rumah aku akan langsung pulang.

 

Aku berencana pokoknya sehari siap pesta diri ini beserta anakku sudah tidak berada lagi dirumah toxic ini.

 

"Adek mulai melawan suami sekarang? Merasa sudah hebat?" tantang Mas Rama.

 

"Aku gak ada niat mau melawan kamu, Mas. Aku tahu kamu itu Imam dalam rumah tangga kita. Dan aku sangat menghargai kamu sebagai suamiku." 

 

"Nah, kalau begitu, Mas minta kamu jangan mengajar hari ini, Dek. Kamu bantu ibu sebentar dibelakang."

 

"Sanak saudara kita rame, Mas. Kita serahkan pada mereka tidak apa-apa itu. Lagian kapan lagi kita bisa mempersatukan keluarga kalau gak di acara seperti ini?"

 

"Dek, Mas mohon. Dengar perkataan, Mas."

 

"Mas, Adek sebentar saja keluar, gak lama kok. Adek mau cari rumah kontrakan saja habis tu langsung pulang. Titip Niken sebentar ya?"

 

"Kenapa harus ngontrak, Dek. Rumah ibu lebar begini. Siapa lagi yang tempatin? Anak ibu hanya Mas sama Sinta. Jadi kami berencana akan menempati rumah ini sampai kapanpun supaya ibu gak kesepian." Jelas Mas Rama tapi jika seandainya mertua dan ipar aku gak cerewet dan baik hati mungkin aku tidak keberatan untuk tinggal disini.

 

Ini makan sehari-hari mereka aku yang tanggung,  mereka pula yang memusuhi aku. Bagai benalu. Manusia tidak tau diri namanya.

 

"Aku pengin mandiri, Mas." 

 

"Kan mubazir uang jika kita ngontrak."

 

"Gak apalah, Mas. Biar aja mubazir uang, yang penting hati tenang. Aku takut mati mendadak lama-lama tinggal disini."

 

"Apa maksud kamu, Dek? "

 

"Pernikahan macam apa yang kita jalani, Mas? Mempunyai suami hanya memikirkan dirinya sendiri dan keluarganya. Apa pernah Mas memikirkan bagaimana perkembangan mental anak kita? Sejauh mana kepandaiannya?"

 

"Diam ... Mulai ngelunjak kau sekarang, ya?" bentak mas Rama dan membuat aku diam seribu bahas.

Bab terkait

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Bab 7. Menantu Rasa Babu

    "Kenapa kamu ngomong begitu, Nes? Aku heran dengan kelakuan kamu. Apa pantas seorang istri, seorang menantu atau seorang kakak ipar malah mencari rumah sewa disaat ada hajatan besar dalam keluarganya? Mas tanya sekali lagi sama kamu. Apa pantas, Nes?""Bagaimanapun marahnya kamu sama keluargaku janganlah kamu tunjukkan sama tetangga atau sanak saudara. Kamu tau sendiri, 'kan? Di rumah lagi rame. Jangan kau tunjukkan sekali lah kekurangan kita di depan orang. Keburukan kita cukup kita-kita saja yang tau. Jangan sampai isi perut keluarga ini menjadi bahan gosip para tetangga nantinya," nasehat Mas Rama.Aku hanya bisa tertegun dan secara tidak langsung aku juga meng-iyakan apa yang baru saja Mas Rama katakan. Seburuk apapun mereka itu masih berstatus mertua dan iparku. Aku harus menjaga harkat dan martabat mereka semua.Cukup lama kami saling diam dan aku sibuk mencerna setiap kata-kata yang keluar dari mulut Mas Rama dan menurut aku ada benarnya juga. Kalau aku tetap bersikeras keluar

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Bab 8. Aku Menantu Bukan Babu

    "Kamu jam segini belum masak, Nes? Ngapain aja dari tadi?" Tiba-tiba saja ibu Lastri datang dengan rambut macam rambut singa khasnya orang bangun tidur. Sedangkan untuk mencuci muka dan menggosok gigi saja beliau belum mengerjakannya. Pantas saja Sinta pemalas, ternyata nurun dari ibu Lastri. "Agnes mau berangkat kerja, Bu. Masalah sarapan pagi, saya heran. Apa tidak bisa Ibu atau Sinta sendiri yang memasaknya? Kok dikit-dikit Agnes yang kerjainnya. Kapan Sinta bisa mandiri. Nanti kalau dia tinggal di rumah mertua bagaimana? Kalau tidak belajar dari sekarang kapan lagi? Ibu selaku orang tua kandung ajarinlah Sinta masak dan berberes rumah." Tiba-tiba saja timbul keberanian aku untuk menasehati ibu mertua yang terlalu memanjakan anak gadisnya. Jangankan memasak untuk makan sekeluarga, kurasa memasak untuk makan sendiri aja dia gak pernah. "Lantam kali mulut kau, Nes." "Bukan lantam, Bu. Saya cuma menasehati aja. Kasian nanti di rumah mertua jika Sinta tidak bisa apa-apa." "

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Bab 9. Keluarga Benalu

    "Apa Mas bilang? Modal buat Romi? Apa saya gak salah dengar, Mas?" Tanyaku dengan kaget."Iya, Dek." Jawab mas Rama singkat."Setau saya, suami Sinta seorang pegusaha yang sukses dan juga kaya raya. Tajir melintir. Kekayaan dia tidak bakal habis sampai tujuh turunan. Kenapa malah minta modal sama kita? Aneh-aneh aja manusia sekarang." Kuberondong pertanyaan terhadap lelakiku, dia menatap nyalang seakan diri ini hendak di telan hidup-hidup.Masih teringat dalam ingatanku, dulu mertuaku begitu sombong, beliau sangat membanggakan Romi sebagai calon menantu yang kaya raya. Sampai-sampai harga diri anak juga di gadaikan, hanya untuk mendapatkan lelaki macam Romi. Tapi sekarang kenapa malah minta di modalin? Betul-betul tidak habis pikir dengan jalan pikiran mertua dan suamiku."Memang iya ... Romi seorang pengusaha kaya raya, Nes. Tetapi itu 'kan punya keluarga besar mereka. Mana mungkin Sinta akan merasakan uang dari suaminya sementara semua pembukuan, uang keluar dan uang masuk diatur sa

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Bab 10. Keluarga Benalu

    Sekarang ibu mertua sudah mulai melunak, itu semua dilakukan demi melukuhkan hatiku. Beliau sangat berharap aku bersedia mengajukan kredit uang di Bank. Mengambil kredit mah, gampang. Tapi bayarnya ini cengap-cengap. Dia pikir membayar cicilannya pake apa? Apa bisa bayar memakai daun pisang? Kalau bisa begitu, ya senang sekali aku. Sekarang untuk sementara waktu sikap dan sifat ibu mertua seakan menjadi malaikat tanpa sayap, yang selalu membela dan menyayangi anak menantunya. Begitulah beliau jika ada maunya. Padahal biasanya seperti singa yang sudah siap menerkam mangsanya."Gak apa-apa, Bu. Saya bisa jalan sendiri ke sekolah. Biasanya pun, begitu 'kan? Kemana-mana sendirian saja, gak ada yang mau tau bagaimana keadaan saya di jalan." Sindir aku."Apakah ada masalah atau enggak tidak ada orang yang memedulikannya. Saya sudah biasa mandiri. Semua bisa saya kerjakan sendiri. Mau ada suami gak ada suami bagi saya sama saja, Bu. Gak ada pengaruh apa-apa bagi kehidupan ini." Lanjutku l

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Bab 11. Aku Menantu Bukan Babu

    "Mas, Adek mau berangkat sekarang." Aku minta pamit pada Mas Rama untuk pulang kampung menjenguk bapakku sakit."Apa gak bisa nunggu gajian saja pulangnya. Kita pulang bareng sama ibu dan juga Sinta. Kata Sinta dia sekalian mau berbulan madu ke desa.""Mas ..." pekikku."Tolonglah. Saya mau menjenguk orang tua yang sakit. Bukan mau main-main." jawabku dengan lantang."Jadi bagaimana? Bukannya Mas gak ijinin menjenguk bapak, Dek. Kita disini pun banyak tugas yang belum selesai." Berbagai alasan selalu saja Mas Rama lontarkan."Tugas apa lagi? Tolonglah Mas mengerti perasaan saya saat ini. Adek hanya minta ijin pulang. Tidak lebih. Segala biaya ongkos atau apapun biarlah Adek tanggung sendiri." Emosiku sudah sampai ke ubun-ubun, tapi tetap berusaha terlihat biasa saja di depan mas Rama. Bagaimana pun aku tidak ingin menjadi istri pembangkang."Mas tau, Dek. Mas bingung mau mengambil keputusan. Coba Adek bayangkan, sebentar lagi keluarga mertua Sinta mau datang. Siapa yang layani? Disini

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Bab 12. Tolong Hargai Aku

    Di rumah mertua, diri ini diperlakukan bagaikan seorang pembantu. Ya ... pembantu yang tidak pernah di gaji. Enak benar hidup mereka bukan? Kadang aku berfikir, aku ini bodoh apa terlalu bucin? Bisa-bisanya seorang wanita karir dan lulusan sarjana seperti aku, tidak berdaya di hadapan seorang wanita yang bernama bu Lastri.Mungkin wanita lain akan berontak jika diperlakukan begini. Pekerjaan rumah tangga semua aku kerjakan, dari memasak sampai mencuci baju seluruh anggota keluarga Mas Rama. Pantas saja mereka tidak mempekerjakan pembantu, mungkin karena sudah ada aku, wanita pintar di sekolah tetapi tak berdaya di rumah.Walaupu aku ini bukan anak kandungnya apa pantas ibu dan ipar memperlakukan seenak hati."Bu, jangan biasakan jam segini Sinta masih tidur. Dia anak perempuan dan suatu saat akan punya tanggung jawab sebagai seorang istri." nasehat aku kepada wanita paruh baya itu."Dia anakku. Wajar dong aku mrmanjakan dia dan Rama pun tidak keberatan. Kenapa kamu pula yang sewot." M

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Bab 13. Dimana Hati Nurani Kalian

    "Dek, Bapak terus saja memanggil namamu dan mulai tadi pagi Bapak tidak selera makan dan minum. Mungkin Bapak kangen berat sama kamu, Dek. Bisa gak, jika kamu harus pulang sekarang?" Suara tangis Kak Ayu diseberang telepon terdengar semakin kencang membuat kaki ini seakan tidak menapak lagi di bumi ini."Iya, Kak. Agnes pulang sekarang. Ini sedang bersiap-siap." ujarku berusaha menenangkan kak Ayu yang sangat frustasi dengan kondisi sang bapak."Cepat datang ya, Dek. Tapi kamu juga harus hati-hati di jalan. Jangan banyak pikiran." Sempat-sempatnya Kak Ayu memberi nasehat kepadaku untuk berhati-hati, padahal aku tahu pikirannya sangat kalut saat ini."Iya, Kak. Kakak juga, jangan banyak pikiran. Ibu bagaimana? Sehat kan?" Tanyaku lagi."Nampaknya ibu juga kurang sehat. Beliau melamun saja seperti orang sedang banyak pikiran. Mungkin karena melihat bapak yang sedang terbaring lemah dan tidak berdaya dirumah sakit."Kemudian tanpa basa basi tiba-tiba saja Kak Ayu menutup teleponnya sepiha

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Bab 14. Firasat

    "Niken gaka usah ikut ke rumah sakit, ya Mas. Kasian. Di sana banyak penyakit menular." Ujarku memohon pada mas Rama untuk menjaga Niken selama dia masih di rumah."Ya udahlah. Terserah kamu saja." Jawabnya malas. Mas Rama masih rebahan saja di kamar. Dari raut wajahnya aku melihat seakan dia itu keberatan jika aku mengurus bapak di rumah sakit. Tapi jika mengurus ibu atau saudaranya dia sangat ceria, banyak bicara. Penuh semangat. Sangat tidak adil.Kemudian aku keluar kamar dan menjumpai kak Ayu yang masih mempersiapkan perlengkapan yang akan di bawa ke rumah sakit, seperti cemilan dan juga air panas yang sudah diisi dari tadi."Niken bisa ditingal 'kan? Gak akan rewel dia?" Tanya kak Ayu. Dia selalu mencemaskan anakku. "Gak apa-apa, Kak. Kita berangkat saja ke rumah sakit sekarang. Niken pasti gak akan rewel. Lagian ada ayahnya." Aku tidak perduli bagaimana raut wajah Mas Rama. Bagaimana reaksinya aku gak mau tau. Yang penting aku harus menjumpai bapak karena rasa rinduku sangat m

Bab terbaru

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Kasihan Mas Rama

    Tiga tahun sudah berlalu sejak mas Rama meminta hak asuh Niken jatuh ke tangannya. Sekarang lelaki yang pernah menjadi suamiku itu tidak mempersoalkan lagi Niken tinggal sama dia atau ikut denganku. Baginya yang penting buah hati kami berdua bahagia dan tidak kurang kasih sayang sedikit pun dari kedua orang tuanya."Ma, besok Niken mau nginap di rumah papa!" ujar Gadis berusia tiga belas tahun itu seraya duduk disebelah aku yang sedang menonton drama korea."Dijemput kan?" tanyaku memastikan. Bukan aku tidak mempercayai kepada Niken, tetapi untuk memastikan keamanannya saja."Iya, Ma. Dijemput besok siang dari sekolah. Kayak biasalah, Ma. Papa menelpon Mama jika kami sudah berangkat," jelas Niken panjang lebar."Kalau di jemput, ya udah gak apa-apa," ujarku."Mama gak ngajar hari ini? Kok santai banget nonton drakor?" tanya gadis kecilku yang sudah menginjak remaja tersebut."Mama gak enak badan tadi, Nak." Ketika berbincang-bincang dan menyantap makanan yang di beli oleh Niken sepul

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Menyesal Tidak Ada Gunanya

    "Biar saja Niken bersama saya, Mas," ujarku disaat mas Rama meminta izin untuk membawa Niken tinggal bersamanya."Kenapa kamu keberatan Niken bersama aku, Nes? Niken kan anak aku juga. Apa kamu takut dia akan kelaparan jika tinggal bersama aku? Enggak, Nes. Apapun akan kulakukan untuk membahagiakan darah dagingku. Aku bukan lagi Rama yang dulu," tegas Mas Rama."Saya tau Mas juga sayang sama Niken. Bapak mana sih yang gak sayang sama darah dagingnya sendiri? Tapi Mas, kalau Niken bersama saya, saya pastikan Mas akan lebih leluasa mencari rejeki tanpa kepikiran Niken bakal tinggal sama siapa di rumah," ucapku mencoba meyakinkan mantan lelaki yang pernah sangat aku cintai waktu itu."Kamu tenang saja. Niken akan aku bawa kemana saja aku pergi, Nes." Nampaknya mas Rama sangat menginginkan Niken untuk tetap tinggal bersamanya. Dan aku bukan seorang ibu yang bisa hidup terpisah dengan anak yang masih butuh perlindungan kedua orang tuanya. Jangan tinggal terpisah, tidak berjumpa sehari saj

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Bermain Dengan Niken

    "Papa!" Niken berteriak kencang dan berlari ke arahku saat dia sudah keluar dari pintu gerbang sekolah. Hari ini aku menjemputnya dan akan menginap semalam dirumah sesuai janji kami kemarin sore."Niken!" Aku renggangkan kedua tangan seraya berjongkok, kemudian memeluk putri cantikku. Aku mengangkatnya tinggi dan membawa kepelukan. Niken tertawa serta menjerit kesenangan. Hanya inilah yang bisa aku lakukan untuk membuatnya bahagia. "Papa mau mengajak Niken menjumpai nenek, mau?" tanyaku sambil tetap menggendong bocah berusia sepuluh tahun itu."Mau ... mau," jawabnya antusias. Dia tidak tahu jika neneknya sekarang sedang dirawat di rumah sakit jiwa."Tadi udah bilang sama papa Raka dan mama kan bahwa Niken akan dijemput Papa?" tanyaku sekali lagi untuk memastikan."Udah, Pa!" seru Niken dengan mimik lucunya.Merasa tidak enak hati, akhirnya aku menelpon Agnes dan Raka untuk memastikan bahwa Niken sudah meminta izin kepada kedua orang tuanya menginap di rumahku."Gak apa-apa, Mas. Kas

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Agnes melahirkan

    Hari lahiranku, rasanya akan segera tiba. Saat hendak sarapan, aku merasakan ada cairan keluar dari jalan lahir. Cairan kental berwarna merah muda. Karena rasa sakit belum begitu terasa, aku masih menyempatkan mengantar Niken berangkat ke sekolah, setelahnya singgah ke klinik bersalin untuk menanyakan perihal yang aku rasakan saat ini. "Ini tanda-tanda mau melahirkan, Bu. Cuma masih lama karena masih pembukaan satu," ucap bu Bidan. "Kalau begitu, saya pulang dulu untuk menyiapkan keperluan bayi saya, Bu." pamitku pada wanita muda berusia lima tahun di atas aku. "Boleh, Bu. Hmmm ... Raka gak ikut, Bu?" tanya bu bidan. Beliau sangat mengenal keluarga kami, apalagi anaknya merupakan sahabat Niken di sekolah dan juga merupakan anak didikku juga. "Belum saya beritahu, Bu. Kasihan merepotkan," ucapku seraya beranjak dari tempat tidur kamar pasien. "Jangan gitu, bu Agnes. Suaminya harus diberitahu juga, kan buatnya bersama-sama. Masak lahiran sendirian," ucap bu bidan terdengar sedikit

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Bahagia Bersama Putriku

    Setelah salat subuh, aku memasak nasi goreng untuk sarapan. Hari ini, aku buat agak banyak karena ingin memberi sedekah sedikit untuk pekerja karena ibu sudah di temukan.Setelah membagikan sarapan, ku rebahkan tubuh ini di gubuk kecil dekat kolam ikan. Angin bertiup lembut menghadirkan rasa kantuk pada mata ini. Hingga tak sadar, diri ini terlelap. Sebuah dering telpon membuat ku terjaga. Nama Niken tertera disana. Aku segera mengangkat dan mengucapkan salam."Papa, jadi jemput Niken hari ini?" tanya gadis kecilku."Jadi dong! Anak Papa dimana sekarang?" Kubalik bertanya."Udah di dekat rumah Papa, nih," jawabnya."Ya udah. Papa jemput dimana ni? Atau langsung ke rumah aja ya, Nak?" titahku."Jemput di mini market sejahtera ya, Pa! Niken tunggu disitu." "Baik, tunggu Papa ya?" Aku menutup telpon dan bergegas pergi.Niken sedang menunggu di bangku di teras mini market tersebut. Dia nampak seperti kebingungan. Mungkin takut tidak jadi ku jemput."Niken!" "Papa!" Niken berteriak kenca

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Mantan Mertua Masuk Rumah Sakit Jiwa

    Aku sangat kaget melihat mantan mertua berjalan sepanjang rel kereta api. Beliau menghitung batu kerikil yang berada di rel tersebut. Aku mengikuti wanita yang telah menjadikan aku menjanda dari belakang, karena ku pandang bu Lastri bagaikan orang yang sedang linglung. "Bu, mau kemana?" tanyaku saat melihat wanita berkerudung coklat susu itu menuju ke arah pemakaman."Mau menemani anak saya. Kasian dia sendirian di dalam situ." Tunjuknya ke area tempat pemakaman. "Apa? Ah enggak-enggak saja ibu? Ibu pulang aja ya? Biar saya telpon mas Rama untuk menjemput Ibu ya?" "Apa hak kamu menyuruh aku pulang?" Karena tidak bisa di ajak bicara baik-baik akhirnya aku menelpon mas Rama, anaknya yang jelas-jelas lebih tahu apa yang terjadi pada bu Lastri."Mas, mantan mertua saya nampaknya sedang depresi. Dia mau masuk ke area pemakaman," ucapku pada mas Raka melalui sambungan telpon."Jadi bagaimana?""Mas, bisa bantu saya? Saya mau menelpon mas Rama untuk menjemput ibunya. Saya yakin dia gak t

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Rindu Yang Sangat Menyakitkan

    "Rama, kawanin Ibu ke toko ponsel sebentar. Ibu mau membeli ponsel tercanggih." titah ibu membuat aku bertanya-tanya. "Untuk apa, Bu? Kan ponsel Ibu masih bagus?" "Ibu mau menelpon Sinta, Nak. Ibu sudah sangat rindu sama permata hati Ibu." Suara ibu serak seakan ada tangisan yamg sedang ditahankan."Ibu berhentilah meratapi kepergian Sinta. Kasian dia tersiksa di sana," ucapku dengan air mata sudah menganak sungai tidak dapat lagi aku tahankan. Cobaan hidup terberat dalam hidupku adalah ditinggal pergi ayah untuk selamanya dan sekarang menyusul adik semata wayangku, Sinta."Ibu tidak meratapi Sinta. Hanya ingin menelpon dia aja, menanyakan kabar dia. Apa ada yang salah?" tanya wanita yang telah melahirkanku ke dunia ini dengan tatapan kosong."Ibu, Sinta sudah enggak ada lagi di dunia ini. Mana bisa di telpon sih, Bu. Kita sudah berbeda alam dengannya," ujarku seraya memijat lembut betis wanita yang sangat aku sayangi itu."Berbeda alam? Hahaha. Kita sudah berbeda alam, Nak. Jadi ba

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Hancur Duniaku

    "Bu, jenazah Sinta mau dimandikan," ungkap Rama membuyarkan lamunanku."Jenazah? Apa maksud kamu, Rama? Jangan sok tau kamu. Sinta belum mati. Dia hanya tidur saja. Pengaruh obat bius." Ku tepis tangan Rama yang berusaha memeluk bahu ini. "Bu, ikhlasin Sinta. Jangan beratin jalannya," ucap Romi, mantan suami Sinta. Air matanya berlinang. Pasti dia itu berpura-pura sedih. Aku tahu itu. Tidak mungkin dia menangisi anakku yanag sudah menjadi mantan di dalam hidupnya. Apalagi sekarang dia sudah memiliki pengganti Sinta."Ugh ... ini semua gara-gara kamu. Keluar kau dari rumahku." Seketika kudorong tubuh Romi hingga dia hampir terjatuh mengenai tubuh anakku yang masih terbaring diruang tamu."Bu, maafkan saya, tapi saya masih mencintai Sinta. Tidak ada yang bisa menyamainya." tutur Romi membuat aku semakin jijik melihatnya. Tidak perlu lagi ucapan itu keluar dari mulut sampahnya.Jika dia tidak menceraikan Sinta dan menikah dengan wanita lain, tidak mungkin Sinta akan menjajakan diri kepa

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Kehilangan

    Rasanya duniaku hampir runtuh. Siang ini ada seseorang datang ke rumah, memberi kabar bahwa Sinta anak yang sangat aku sayangi, jatuh pingsan dipasar waktu berbelanja keperluan warung.Sekarang dia sudah di bawa ke rumah sakit, menurut informasi yang aku terima Sinta belum sadar dan terpaksa di rawat di ruang ICCU.Dan yang membuat aku hampir berhenti bernafas saat dokter mengatakan penyakit yang diderita Sinta. Penyakit menular seksual yang sangat mematikan itu.Aku malu, anak yang selama ini selalu aku banggakan ternyata selama di kota bekerja sebagai penjaja seks komersial. Putri semata wayang yang kubanggakan, kusayangi dia sepenuh hati, dia sangat ku manja bahkan semua yang dia inginkan pasti aku penuhi, tak peduli dari mana uang itu aku peroleh, yang penting anakku bahagia. Tak kusangka nasib dia seburuk ini."Bu, bagaimana kondisi Sinta?" tanya Rama. Anak yang tidak pernah aku harapkan kehadirannya dimuka bumi ini menanyakan kabar adiknya."Masih belum sadarkan diri," jawabku

DMCA.com Protection Status