"Kenapa kamu ngomong begitu, Nes? Aku heran dengan kelakuan kamu. Apa pantas seorang istri, seorang menantu atau seorang kakak ipar malah mencari rumah sewa disaat ada hajatan besar dalam keluarganya? Mas tanya sekali lagi sama kamu. Apa pantas, Nes?""Bagaimanapun marahnya kamu sama keluargaku janganlah kamu tunjukkan sama tetangga atau sanak saudara. Kamu tau sendiri, 'kan? Di rumah lagi rame. Jangan kau tunjukkan sekali lah kekurangan kita di depan orang. Keburukan kita cukup kita-kita saja yang tau. Jangan sampai isi perut keluarga ini menjadi bahan gosip para tetangga nantinya," nasehat Mas Rama.Aku hanya bisa tertegun dan secara tidak langsung aku juga meng-iyakan apa yang baru saja Mas Rama katakan. Seburuk apapun mereka itu masih berstatus mertua dan iparku. Aku harus menjaga harkat dan martabat mereka semua.Cukup lama kami saling diam dan aku sibuk mencerna setiap kata-kata yang keluar dari mulut Mas Rama dan menurut aku ada benarnya juga. Kalau aku tetap bersikeras keluar
"Kamu jam segini belum masak, Nes? Ngapain aja dari tadi?" Tiba-tiba saja ibu Lastri datang dengan rambut macam rambut singa khasnya orang bangun tidur. Sedangkan untuk mencuci muka dan menggosok gigi saja beliau belum mengerjakannya. Pantas saja Sinta pemalas, ternyata nurun dari ibu Lastri. "Agnes mau berangkat kerja, Bu. Masalah sarapan pagi, saya heran. Apa tidak bisa Ibu atau Sinta sendiri yang memasaknya? Kok dikit-dikit Agnes yang kerjainnya. Kapan Sinta bisa mandiri. Nanti kalau dia tinggal di rumah mertua bagaimana? Kalau tidak belajar dari sekarang kapan lagi? Ibu selaku orang tua kandung ajarinlah Sinta masak dan berberes rumah." Tiba-tiba saja timbul keberanian aku untuk menasehati ibu mertua yang terlalu memanjakan anak gadisnya. Jangankan memasak untuk makan sekeluarga, kurasa memasak untuk makan sendiri aja dia gak pernah. "Lantam kali mulut kau, Nes." "Bukan lantam, Bu. Saya cuma menasehati aja. Kasian nanti di rumah mertua jika Sinta tidak bisa apa-apa." "
"Apa Mas bilang? Modal buat Romi? Apa saya gak salah dengar, Mas?" Tanyaku dengan kaget."Iya, Dek." Jawab mas Rama singkat."Setau saya, suami Sinta seorang pegusaha yang sukses dan juga kaya raya. Tajir melintir. Kekayaan dia tidak bakal habis sampai tujuh turunan. Kenapa malah minta modal sama kita? Aneh-aneh aja manusia sekarang." Kuberondong pertanyaan terhadap lelakiku, dia menatap nyalang seakan diri ini hendak di telan hidup-hidup.Masih teringat dalam ingatanku, dulu mertuaku begitu sombong, beliau sangat membanggakan Romi sebagai calon menantu yang kaya raya. Sampai-sampai harga diri anak juga di gadaikan, hanya untuk mendapatkan lelaki macam Romi. Tapi sekarang kenapa malah minta di modalin? Betul-betul tidak habis pikir dengan jalan pikiran mertua dan suamiku."Memang iya ... Romi seorang pengusaha kaya raya, Nes. Tetapi itu 'kan punya keluarga besar mereka. Mana mungkin Sinta akan merasakan uang dari suaminya sementara semua pembukuan, uang keluar dan uang masuk diatur sa
Sekarang ibu mertua sudah mulai melunak, itu semua dilakukan demi melukuhkan hatiku. Beliau sangat berharap aku bersedia mengajukan kredit uang di Bank. Mengambil kredit mah, gampang. Tapi bayarnya ini cengap-cengap. Dia pikir membayar cicilannya pake apa? Apa bisa bayar memakai daun pisang? Kalau bisa begitu, ya senang sekali aku. Sekarang untuk sementara waktu sikap dan sifat ibu mertua seakan menjadi malaikat tanpa sayap, yang selalu membela dan menyayangi anak menantunya. Begitulah beliau jika ada maunya. Padahal biasanya seperti singa yang sudah siap menerkam mangsanya."Gak apa-apa, Bu. Saya bisa jalan sendiri ke sekolah. Biasanya pun, begitu 'kan? Kemana-mana sendirian saja, gak ada yang mau tau bagaimana keadaan saya di jalan." Sindir aku."Apakah ada masalah atau enggak tidak ada orang yang memedulikannya. Saya sudah biasa mandiri. Semua bisa saya kerjakan sendiri. Mau ada suami gak ada suami bagi saya sama saja, Bu. Gak ada pengaruh apa-apa bagi kehidupan ini." Lanjutku l
"Mas, Adek mau berangkat sekarang." Aku minta pamit pada Mas Rama untuk pulang kampung menjenguk bapakku sakit."Apa gak bisa nunggu gajian saja pulangnya. Kita pulang bareng sama ibu dan juga Sinta. Kata Sinta dia sekalian mau berbulan madu ke desa.""Mas ..." pekikku."Tolonglah. Saya mau menjenguk orang tua yang sakit. Bukan mau main-main." jawabku dengan lantang."Jadi bagaimana? Bukannya Mas gak ijinin menjenguk bapak, Dek. Kita disini pun banyak tugas yang belum selesai." Berbagai alasan selalu saja Mas Rama lontarkan."Tugas apa lagi? Tolonglah Mas mengerti perasaan saya saat ini. Adek hanya minta ijin pulang. Tidak lebih. Segala biaya ongkos atau apapun biarlah Adek tanggung sendiri." Emosiku sudah sampai ke ubun-ubun, tapi tetap berusaha terlihat biasa saja di depan mas Rama. Bagaimana pun aku tidak ingin menjadi istri pembangkang."Mas tau, Dek. Mas bingung mau mengambil keputusan. Coba Adek bayangkan, sebentar lagi keluarga mertua Sinta mau datang. Siapa yang layani? Disini
Di rumah mertua, diri ini diperlakukan bagaikan seorang pembantu. Ya ... pembantu yang tidak pernah di gaji. Enak benar hidup mereka bukan? Kadang aku berfikir, aku ini bodoh apa terlalu bucin? Bisa-bisanya seorang wanita karir dan lulusan sarjana seperti aku, tidak berdaya di hadapan seorang wanita yang bernama bu Lastri.Mungkin wanita lain akan berontak jika diperlakukan begini. Pekerjaan rumah tangga semua aku kerjakan, dari memasak sampai mencuci baju seluruh anggota keluarga Mas Rama. Pantas saja mereka tidak mempekerjakan pembantu, mungkin karena sudah ada aku, wanita pintar di sekolah tetapi tak berdaya di rumah.Walaupu aku ini bukan anak kandungnya apa pantas ibu dan ipar memperlakukan seenak hati."Bu, jangan biasakan jam segini Sinta masih tidur. Dia anak perempuan dan suatu saat akan punya tanggung jawab sebagai seorang istri." nasehat aku kepada wanita paruh baya itu."Dia anakku. Wajar dong aku mrmanjakan dia dan Rama pun tidak keberatan. Kenapa kamu pula yang sewot." M
"Dek, Bapak terus saja memanggil namamu dan mulai tadi pagi Bapak tidak selera makan dan minum. Mungkin Bapak kangen berat sama kamu, Dek. Bisa gak, jika kamu harus pulang sekarang?" Suara tangis Kak Ayu diseberang telepon terdengar semakin kencang membuat kaki ini seakan tidak menapak lagi di bumi ini."Iya, Kak. Agnes pulang sekarang. Ini sedang bersiap-siap." ujarku berusaha menenangkan kak Ayu yang sangat frustasi dengan kondisi sang bapak."Cepat datang ya, Dek. Tapi kamu juga harus hati-hati di jalan. Jangan banyak pikiran." Sempat-sempatnya Kak Ayu memberi nasehat kepadaku untuk berhati-hati, padahal aku tahu pikirannya sangat kalut saat ini."Iya, Kak. Kakak juga, jangan banyak pikiran. Ibu bagaimana? Sehat kan?" Tanyaku lagi."Nampaknya ibu juga kurang sehat. Beliau melamun saja seperti orang sedang banyak pikiran. Mungkin karena melihat bapak yang sedang terbaring lemah dan tidak berdaya dirumah sakit."Kemudian tanpa basa basi tiba-tiba saja Kak Ayu menutup teleponnya sepiha
"Niken gaka usah ikut ke rumah sakit, ya Mas. Kasian. Di sana banyak penyakit menular." Ujarku memohon pada mas Rama untuk menjaga Niken selama dia masih di rumah."Ya udahlah. Terserah kamu saja." Jawabnya malas. Mas Rama masih rebahan saja di kamar. Dari raut wajahnya aku melihat seakan dia itu keberatan jika aku mengurus bapak di rumah sakit. Tapi jika mengurus ibu atau saudaranya dia sangat ceria, banyak bicara. Penuh semangat. Sangat tidak adil.Kemudian aku keluar kamar dan menjumpai kak Ayu yang masih mempersiapkan perlengkapan yang akan di bawa ke rumah sakit, seperti cemilan dan juga air panas yang sudah diisi dari tadi."Niken bisa ditingal 'kan? Gak akan rewel dia?" Tanya kak Ayu. Dia selalu mencemaskan anakku. "Gak apa-apa, Kak. Kita berangkat saja ke rumah sakit sekarang. Niken pasti gak akan rewel. Lagian ada ayahnya." Aku tidak perduli bagaimana raut wajah Mas Rama. Bagaimana reaksinya aku gak mau tau. Yang penting aku harus menjumpai bapak karena rasa rinduku sangat m
Tiga tahun sudah berlalu sejak mas Rama meminta hak asuh Niken jatuh ke tangannya. Sekarang lelaki yang pernah menjadi suamiku itu tidak mempersoalkan lagi Niken tinggal sama dia atau ikut denganku. Baginya yang penting buah hati kami berdua bahagia dan tidak kurang kasih sayang sedikit pun dari kedua orang tuanya."Ma, besok Niken mau nginap di rumah papa!" ujar Gadis berusia tiga belas tahun itu seraya duduk disebelah aku yang sedang menonton drama korea."Dijemput kan?" tanyaku memastikan. Bukan aku tidak mempercayai kepada Niken, tetapi untuk memastikan keamanannya saja."Iya, Ma. Dijemput besok siang dari sekolah. Kayak biasalah, Ma. Papa menelpon Mama jika kami sudah berangkat," jelas Niken panjang lebar."Kalau di jemput, ya udah gak apa-apa," ujarku."Mama gak ngajar hari ini? Kok santai banget nonton drakor?" tanya gadis kecilku yang sudah menginjak remaja tersebut."Mama gak enak badan tadi, Nak." Ketika berbincang-bincang dan menyantap makanan yang di beli oleh Niken sepul
"Biar saja Niken bersama saya, Mas," ujarku disaat mas Rama meminta izin untuk membawa Niken tinggal bersamanya."Kenapa kamu keberatan Niken bersama aku, Nes? Niken kan anak aku juga. Apa kamu takut dia akan kelaparan jika tinggal bersama aku? Enggak, Nes. Apapun akan kulakukan untuk membahagiakan darah dagingku. Aku bukan lagi Rama yang dulu," tegas Mas Rama."Saya tau Mas juga sayang sama Niken. Bapak mana sih yang gak sayang sama darah dagingnya sendiri? Tapi Mas, kalau Niken bersama saya, saya pastikan Mas akan lebih leluasa mencari rejeki tanpa kepikiran Niken bakal tinggal sama siapa di rumah," ucapku mencoba meyakinkan mantan lelaki yang pernah sangat aku cintai waktu itu."Kamu tenang saja. Niken akan aku bawa kemana saja aku pergi, Nes." Nampaknya mas Rama sangat menginginkan Niken untuk tetap tinggal bersamanya. Dan aku bukan seorang ibu yang bisa hidup terpisah dengan anak yang masih butuh perlindungan kedua orang tuanya. Jangan tinggal terpisah, tidak berjumpa sehari saj
"Papa!" Niken berteriak kencang dan berlari ke arahku saat dia sudah keluar dari pintu gerbang sekolah. Hari ini aku menjemputnya dan akan menginap semalam dirumah sesuai janji kami kemarin sore."Niken!" Aku renggangkan kedua tangan seraya berjongkok, kemudian memeluk putri cantikku. Aku mengangkatnya tinggi dan membawa kepelukan. Niken tertawa serta menjerit kesenangan. Hanya inilah yang bisa aku lakukan untuk membuatnya bahagia. "Papa mau mengajak Niken menjumpai nenek, mau?" tanyaku sambil tetap menggendong bocah berusia sepuluh tahun itu."Mau ... mau," jawabnya antusias. Dia tidak tahu jika neneknya sekarang sedang dirawat di rumah sakit jiwa."Tadi udah bilang sama papa Raka dan mama kan bahwa Niken akan dijemput Papa?" tanyaku sekali lagi untuk memastikan."Udah, Pa!" seru Niken dengan mimik lucunya.Merasa tidak enak hati, akhirnya aku menelpon Agnes dan Raka untuk memastikan bahwa Niken sudah meminta izin kepada kedua orang tuanya menginap di rumahku."Gak apa-apa, Mas. Kas
Hari lahiranku, rasanya akan segera tiba. Saat hendak sarapan, aku merasakan ada cairan keluar dari jalan lahir. Cairan kental berwarna merah muda. Karena rasa sakit belum begitu terasa, aku masih menyempatkan mengantar Niken berangkat ke sekolah, setelahnya singgah ke klinik bersalin untuk menanyakan perihal yang aku rasakan saat ini. "Ini tanda-tanda mau melahirkan, Bu. Cuma masih lama karena masih pembukaan satu," ucap bu Bidan. "Kalau begitu, saya pulang dulu untuk menyiapkan keperluan bayi saya, Bu." pamitku pada wanita muda berusia lima tahun di atas aku. "Boleh, Bu. Hmmm ... Raka gak ikut, Bu?" tanya bu bidan. Beliau sangat mengenal keluarga kami, apalagi anaknya merupakan sahabat Niken di sekolah dan juga merupakan anak didikku juga. "Belum saya beritahu, Bu. Kasihan merepotkan," ucapku seraya beranjak dari tempat tidur kamar pasien. "Jangan gitu, bu Agnes. Suaminya harus diberitahu juga, kan buatnya bersama-sama. Masak lahiran sendirian," ucap bu bidan terdengar sedikit
Setelah salat subuh, aku memasak nasi goreng untuk sarapan. Hari ini, aku buat agak banyak karena ingin memberi sedekah sedikit untuk pekerja karena ibu sudah di temukan.Setelah membagikan sarapan, ku rebahkan tubuh ini di gubuk kecil dekat kolam ikan. Angin bertiup lembut menghadirkan rasa kantuk pada mata ini. Hingga tak sadar, diri ini terlelap. Sebuah dering telpon membuat ku terjaga. Nama Niken tertera disana. Aku segera mengangkat dan mengucapkan salam."Papa, jadi jemput Niken hari ini?" tanya gadis kecilku."Jadi dong! Anak Papa dimana sekarang?" Kubalik bertanya."Udah di dekat rumah Papa, nih," jawabnya."Ya udah. Papa jemput dimana ni? Atau langsung ke rumah aja ya, Nak?" titahku."Jemput di mini market sejahtera ya, Pa! Niken tunggu disitu." "Baik, tunggu Papa ya?" Aku menutup telpon dan bergegas pergi.Niken sedang menunggu di bangku di teras mini market tersebut. Dia nampak seperti kebingungan. Mungkin takut tidak jadi ku jemput."Niken!" "Papa!" Niken berteriak kenca
Aku sangat kaget melihat mantan mertua berjalan sepanjang rel kereta api. Beliau menghitung batu kerikil yang berada di rel tersebut. Aku mengikuti wanita yang telah menjadikan aku menjanda dari belakang, karena ku pandang bu Lastri bagaikan orang yang sedang linglung. "Bu, mau kemana?" tanyaku saat melihat wanita berkerudung coklat susu itu menuju ke arah pemakaman."Mau menemani anak saya. Kasian dia sendirian di dalam situ." Tunjuknya ke area tempat pemakaman. "Apa? Ah enggak-enggak saja ibu? Ibu pulang aja ya? Biar saya telpon mas Rama untuk menjemput Ibu ya?" "Apa hak kamu menyuruh aku pulang?" Karena tidak bisa di ajak bicara baik-baik akhirnya aku menelpon mas Rama, anaknya yang jelas-jelas lebih tahu apa yang terjadi pada bu Lastri."Mas, mantan mertua saya nampaknya sedang depresi. Dia mau masuk ke area pemakaman," ucapku pada mas Raka melalui sambungan telpon."Jadi bagaimana?""Mas, bisa bantu saya? Saya mau menelpon mas Rama untuk menjemput ibunya. Saya yakin dia gak t
"Rama, kawanin Ibu ke toko ponsel sebentar. Ibu mau membeli ponsel tercanggih." titah ibu membuat aku bertanya-tanya. "Untuk apa, Bu? Kan ponsel Ibu masih bagus?" "Ibu mau menelpon Sinta, Nak. Ibu sudah sangat rindu sama permata hati Ibu." Suara ibu serak seakan ada tangisan yamg sedang ditahankan."Ibu berhentilah meratapi kepergian Sinta. Kasian dia tersiksa di sana," ucapku dengan air mata sudah menganak sungai tidak dapat lagi aku tahankan. Cobaan hidup terberat dalam hidupku adalah ditinggal pergi ayah untuk selamanya dan sekarang menyusul adik semata wayangku, Sinta."Ibu tidak meratapi Sinta. Hanya ingin menelpon dia aja, menanyakan kabar dia. Apa ada yang salah?" tanya wanita yang telah melahirkanku ke dunia ini dengan tatapan kosong."Ibu, Sinta sudah enggak ada lagi di dunia ini. Mana bisa di telpon sih, Bu. Kita sudah berbeda alam dengannya," ujarku seraya memijat lembut betis wanita yang sangat aku sayangi itu."Berbeda alam? Hahaha. Kita sudah berbeda alam, Nak. Jadi ba
"Bu, jenazah Sinta mau dimandikan," ungkap Rama membuyarkan lamunanku."Jenazah? Apa maksud kamu, Rama? Jangan sok tau kamu. Sinta belum mati. Dia hanya tidur saja. Pengaruh obat bius." Ku tepis tangan Rama yang berusaha memeluk bahu ini. "Bu, ikhlasin Sinta. Jangan beratin jalannya," ucap Romi, mantan suami Sinta. Air matanya berlinang. Pasti dia itu berpura-pura sedih. Aku tahu itu. Tidak mungkin dia menangisi anakku yanag sudah menjadi mantan di dalam hidupnya. Apalagi sekarang dia sudah memiliki pengganti Sinta."Ugh ... ini semua gara-gara kamu. Keluar kau dari rumahku." Seketika kudorong tubuh Romi hingga dia hampir terjatuh mengenai tubuh anakku yang masih terbaring diruang tamu."Bu, maafkan saya, tapi saya masih mencintai Sinta. Tidak ada yang bisa menyamainya." tutur Romi membuat aku semakin jijik melihatnya. Tidak perlu lagi ucapan itu keluar dari mulut sampahnya.Jika dia tidak menceraikan Sinta dan menikah dengan wanita lain, tidak mungkin Sinta akan menjajakan diri kepa
Rasanya duniaku hampir runtuh. Siang ini ada seseorang datang ke rumah, memberi kabar bahwa Sinta anak yang sangat aku sayangi, jatuh pingsan dipasar waktu berbelanja keperluan warung.Sekarang dia sudah di bawa ke rumah sakit, menurut informasi yang aku terima Sinta belum sadar dan terpaksa di rawat di ruang ICCU.Dan yang membuat aku hampir berhenti bernafas saat dokter mengatakan penyakit yang diderita Sinta. Penyakit menular seksual yang sangat mematikan itu.Aku malu, anak yang selama ini selalu aku banggakan ternyata selama di kota bekerja sebagai penjaja seks komersial. Putri semata wayang yang kubanggakan, kusayangi dia sepenuh hati, dia sangat ku manja bahkan semua yang dia inginkan pasti aku penuhi, tak peduli dari mana uang itu aku peroleh, yang penting anakku bahagia. Tak kusangka nasib dia seburuk ini."Bu, bagaimana kondisi Sinta?" tanya Rama. Anak yang tidak pernah aku harapkan kehadirannya dimuka bumi ini menanyakan kabar adiknya."Masih belum sadarkan diri," jawabku