"Jadi bosmu itu minta dicarikan orang untuk menghabisi istri dari laki-laki simpanannya?" Suami Atun terlihat shock mendengar penjelasan sang istri. Hal itu tentu saja sangat mengagetkannya. Semata duitannya dia, belum pernah selama hidup lelaki itu melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan melenyapkan nyawa orang."Dia bukan bosku. Dia itu Sri, Mas. Dia sahabatku, bukan bos." Sang istri langsung protes dengan kalimat suaminya."Iya iya, aku tahu." Lelaki itu kemudian meralat sebelum akhirnya kembali menampakkan wajah seriusnya. "Aku ini boleh dibilang orang baik juga bukan, tapi kalau disuruh bunuh orang …ya mikir mikir dulu, Tun. Lagian ada-ada aja Sri itu." "Memangnya yang nyuruh kamu bunuh orang itu siapa to, Mas?" Atun malah mencebik. "Lha itu tadi, bukannya kamu barusan bilang Sri minta aku buat menyingkirkan istri pacarnya?""Menyingkirkan istrinya si Dewo memang benar. Tapi ya tentu bukan kamu yang disuruh buat bunuh dia. Lagipula, memangnya kamu bisa? Orang cuma bunuh t
“Jaga kesehatan ya, Mi. Inget Mi, aku dan Glori sayang sama Mami. Kami nggak mau Mami kenapa-napa.”Celine hanya berpura-pura tersenyum bahagia saat melepaskan dua anak dan cucu-cucunya siang itu pergi meninggalkan rumah. Hatinya sebenarnya memang ingin sekali melihat mereka semuanya segera pergi dari rumah mewahnya karena tak ingin segala aktivitasnya menjadi fokus kekhawatiran bagi Jennifer dan Gloria. “Kalian tenang saja, mami pasti akan baik-baik saja. Safe flight ya, Sayang.” Dia pun mulai mencium satu per satu anak-anak dan cucu-cucunya sebelum akhirnya rombongan itu memasuki salah satu mobil mahalnya untuk diantar ke bandara. Tangannya melambai manis kala melihat mobil itu perlahan bergerak meninggalkannya. Celine sangat lega, bahkan tak sedikitpun merasa kehilangan dengan kepergian cucu-cucunya yang sangat lucu lucu itu. “Nyonya mau ke kamar sekarang?” Suara Irma membuyarkan senyum pura-pura Celine yang masih mengambang di wajahnya. Saking seriusnya bersandiwara, wanita itu
Beberapa hari setelah kembalinya Agnia, rumah Dewo terlihat hidup seperti sebelumnya. Semua benda yang tadinya tak terawat karena pembantu yang dibayar Dewo untuk mengurus rumahnya juga tak terlalu telaten seperti sang istri, kini tampak selalu rapi setiap saat. Tanaman-tanaman hias di halaman yang beberapa waktu sebelumnya banyak yang layu pun kini telah diganti dengan yang baru dan segar. Dewo mengedarkan pandangannya sebentar berkeliling halaman dari pintu rumah. Lelaki itu terlihat lebih segar dengan potongan rambut baru dan wajah bersihnya. Rupanya selama beberapa waktu sibuk dengan masalahnya dengan sang istri, dia sampai lupa memperhatikan setiap detail penampilannya. Hari sebelumnya, Agnia yang bahkan menyarankan padanya untuk pergi ke tukang cukur merapikan rambut. Bahkan wanita itu pula yang sibuk menemaninya ngobrol saat lelaki itu sedang mencukur jambang dan kumis yang mulai tumbuh di wajahnya. “Kamu nggak takut ada yang menyukaiku kalau aku terlihat lebih ganteng dari
Agnia belum juga mau beranjak dari tempat duduknya. Dia masih saja terpikir tentang pamitnya Alfa. Meski lelaki itu sudah mengatakan alasan yang sangat masuk akal, entah kenapa wanita itu tiba-tiba merasa ada hal lain yang menyebabkan Alfa berkata seperti itu padanya. Tapi tentu saja Agnia tak bisa menebak hal itu.Di tengah pikirannya yang masih melayang pada Alfa, tiba-tiba ada suara yang memanggilnya dari arah pintu. Mata Agnia pun langsung melebar. Panjang umur sahabatnya itu. Baru saja beberapa saat yang lalu dia membicarakannya dengan Alfa, rupanya Rani telah ada di depan rumahnya saat ini. Dahinya langsung berkerut mengingat tak terdengar olehnya sedikitpun suara deru mesin mobil Rani yang berhenti di depan rumahnya sedari tadi. Sepertinya Alfa benar-benar telah menyita perhatiannya. Dengan riang, Agnia pun segera bangkit. Lalu berjalan tergesa menuju ke arah pintu depan. Dari kaca jendela, dia sudah bisa melihat bagian belakang tubuh Rani. Namun memang tak ada mobil wanita i
“Aku sudah nggak apa-apa, Ran. Tenanglah, aku sudah baik-baik saja sekarang. Ini benar-benar pelajaran sangat berharga dalam hidupku.” Agnia mengelus punggung sang sahabat. Rani terlihat begitu sedih dalam pelukannya. Walaupun sebenarnya bukan itu maksud dari ucapan Agnia. Dia hanya ingin Narendra semakin menyadari bahwa apa yang mereka lakukan selama ini salah dan bisa berakibat seburuk itu.“Terus, gimana cara kamu pulang?” Rani bertanya lagi setelah kembali mendudukkan diri di kursinya.“Ada sepasang suami istri lagi mau ke pasar dini hari itu yang menemukanku. Mereka yang membantuku untuk ke kota. Lalu dari sana, aku meminta bantuan orang untuk menghubungkanku dengan Alfa,” jelasnya kemudian.Rani terlihat mengerutkan dahi mendengar nama Alfa disebut. Narendra pun sama, tetapi dia lebih memilih tetap diam di tempatnya, mendengarkan dua sahabat itu terus berbicara. “Sebentar, Ni. Seingatku, Alfa itu bos kamu di tempat kamu nulis kan?” “Iya, bener Ran. ““Wah, beruntung banget kam
“Dasar perempuan bodoh! Nggak ngerti aku sama jalan pikiran temenmu itu, Ran.” Lelaki itu rupanya terlalu kesal dengan sikap Agnia, hingga membuatnya mengomel sepanjang perjalanan tanpa henti. Rani yang baru pertama kalinya melihat Narendra bersikap seperti itu, sampai kebingungan bagaimana harus bersikap. Beberapa kali hanya diliriknya lelaki yang tak sedikitpun menoleh dari jalanan di depannya sambil sesekali memukulkan telapak tangannya di kemudi. “Jangan gitu dong, Re. Sabar. Ini kita lagi di jalan loh.” Rani berusaha memperingatkan. Tentu dia tidak ingin hal buruk terjadi di saat saat dia sedang bersama dengan lelaki lain seperti itu. Kecelakaan, misalnya. Karena jika sampai itu terjadi, suami sirinya pastilah akan marah besar padanya. “Aku pikir dia sudah makin pinter sekarang. Ternyata malah tambah bodoh.” Kini terdengar Narendra tertawa dengan nada mengejek. Rani tahu Narendra tak sungguh-sungguh menertawakan Agnia. Lelaki itu pastilah hanya berusaha menyembunyikan kekecew
Rupanya tingkah nakal Narendra tak bisa sepenuhnya ditolak oleh Rani. Aneh rasanya memang, karena biasanya tak pernah ada getar-getar tak menentu selama ini kala wanita itu sedang berdua saja dengan Narendra. Bahkan sedikitpun tak pernah terpikir akan berbuat hal yang macam-macam dengan lelaki itu selama bertahun tahun dekat dengannya. Bisa jadi karena sebelumnya keduanya sibuk dengan urusan masing-masing. Bahkan Narendra yang aslinya memang mata keranjang tak pernah melihat Rani sebagai seseorang yang pantas untuk diajaknya berhubungan secara spesial. Entah apa yang sedang terjadi dengannya hari itu. Kemarahannya pada Agnia justru seperti menjadi pemicu hasrat terpendamnya selama ini yang coba diredamnya pada wanita itu, tapi tak lagi mampu dikendalikannya sekarang. Dan dia merasa Rani adalah orang yang tepat untuk melampiaskan semua itu. “Nggak mungkin, Re. Aku dan Agnia itu sahabatan. Aku nggak mungkin macam macam sama kamu.” Rani masih terus berusaha menyingkirkan dengan lembut
Beberapa hari setelah kejadian itu, kehidupan di keluarga Dewo terlihat semakin membaik. Sikap Dewo yang tak mengalami perubahan setelah kedatangan Narendra ke rumah mereka membuat Agnia semakin yakin bahwa lelaki itu tak lagi menyuruh orang untuk memata-matai setiap apa yang dilakukannya seperti sebelum mereka berbaikan dulu. Dewo pun semakin menampakkan keseriusannya untuk berubah. Waktunya jadi lebih banyak dihabiskan untuk keluarga. Tidak pernah sekalipun kini dia pulang kantor melebihi jam yang seharusnya. Bahkan setiap kali ingin mampir ke suatu tempat untuk melakukan sesuatu, dia selalu menyempatkan diri untuk menelpon istrinya dan berpamitan. Semua hal baik yang sangat membahagiakan bagi Agnia itu, masih ditambah lagi dengan support penuh dari seluruh keluarga besar keduanya. Kedua orang tua Agnia maupun Dewo, bahkan adik-adik Dewo yang merasa ikut senang dengan kembali berbaikannya kakak dan kakak ipar mereka, kini jadi sering berkunjung bergantian. Mirna apalagi, tiap kal