Beberapa hari setelah kembalinya Agnia, rumah Dewo terlihat hidup seperti sebelumnya. Semua benda yang tadinya tak terawat karena pembantu yang dibayar Dewo untuk mengurus rumahnya juga tak terlalu telaten seperti sang istri, kini tampak selalu rapi setiap saat. Tanaman-tanaman hias di halaman yang beberapa waktu sebelumnya banyak yang layu pun kini telah diganti dengan yang baru dan segar. Dewo mengedarkan pandangannya sebentar berkeliling halaman dari pintu rumah. Lelaki itu terlihat lebih segar dengan potongan rambut baru dan wajah bersihnya. Rupanya selama beberapa waktu sibuk dengan masalahnya dengan sang istri, dia sampai lupa memperhatikan setiap detail penampilannya. Hari sebelumnya, Agnia yang bahkan menyarankan padanya untuk pergi ke tukang cukur merapikan rambut. Bahkan wanita itu pula yang sibuk menemaninya ngobrol saat lelaki itu sedang mencukur jambang dan kumis yang mulai tumbuh di wajahnya. “Kamu nggak takut ada yang menyukaiku kalau aku terlihat lebih ganteng dari
Agnia belum juga mau beranjak dari tempat duduknya. Dia masih saja terpikir tentang pamitnya Alfa. Meski lelaki itu sudah mengatakan alasan yang sangat masuk akal, entah kenapa wanita itu tiba-tiba merasa ada hal lain yang menyebabkan Alfa berkata seperti itu padanya. Tapi tentu saja Agnia tak bisa menebak hal itu.Di tengah pikirannya yang masih melayang pada Alfa, tiba-tiba ada suara yang memanggilnya dari arah pintu. Mata Agnia pun langsung melebar. Panjang umur sahabatnya itu. Baru saja beberapa saat yang lalu dia membicarakannya dengan Alfa, rupanya Rani telah ada di depan rumahnya saat ini. Dahinya langsung berkerut mengingat tak terdengar olehnya sedikitpun suara deru mesin mobil Rani yang berhenti di depan rumahnya sedari tadi. Sepertinya Alfa benar-benar telah menyita perhatiannya. Dengan riang, Agnia pun segera bangkit. Lalu berjalan tergesa menuju ke arah pintu depan. Dari kaca jendela, dia sudah bisa melihat bagian belakang tubuh Rani. Namun memang tak ada mobil wanita i
“Aku sudah nggak apa-apa, Ran. Tenanglah, aku sudah baik-baik saja sekarang. Ini benar-benar pelajaran sangat berharga dalam hidupku.” Agnia mengelus punggung sang sahabat. Rani terlihat begitu sedih dalam pelukannya. Walaupun sebenarnya bukan itu maksud dari ucapan Agnia. Dia hanya ingin Narendra semakin menyadari bahwa apa yang mereka lakukan selama ini salah dan bisa berakibat seburuk itu.“Terus, gimana cara kamu pulang?” Rani bertanya lagi setelah kembali mendudukkan diri di kursinya.“Ada sepasang suami istri lagi mau ke pasar dini hari itu yang menemukanku. Mereka yang membantuku untuk ke kota. Lalu dari sana, aku meminta bantuan orang untuk menghubungkanku dengan Alfa,” jelasnya kemudian.Rani terlihat mengerutkan dahi mendengar nama Alfa disebut. Narendra pun sama, tetapi dia lebih memilih tetap diam di tempatnya, mendengarkan dua sahabat itu terus berbicara. “Sebentar, Ni. Seingatku, Alfa itu bos kamu di tempat kamu nulis kan?” “Iya, bener Ran. ““Wah, beruntung banget kam
“Dasar perempuan bodoh! Nggak ngerti aku sama jalan pikiran temenmu itu, Ran.” Lelaki itu rupanya terlalu kesal dengan sikap Agnia, hingga membuatnya mengomel sepanjang perjalanan tanpa henti. Rani yang baru pertama kalinya melihat Narendra bersikap seperti itu, sampai kebingungan bagaimana harus bersikap. Beberapa kali hanya diliriknya lelaki yang tak sedikitpun menoleh dari jalanan di depannya sambil sesekali memukulkan telapak tangannya di kemudi. “Jangan gitu dong, Re. Sabar. Ini kita lagi di jalan loh.” Rani berusaha memperingatkan. Tentu dia tidak ingin hal buruk terjadi di saat saat dia sedang bersama dengan lelaki lain seperti itu. Kecelakaan, misalnya. Karena jika sampai itu terjadi, suami sirinya pastilah akan marah besar padanya. “Aku pikir dia sudah makin pinter sekarang. Ternyata malah tambah bodoh.” Kini terdengar Narendra tertawa dengan nada mengejek. Rani tahu Narendra tak sungguh-sungguh menertawakan Agnia. Lelaki itu pastilah hanya berusaha menyembunyikan kekecew
Rupanya tingkah nakal Narendra tak bisa sepenuhnya ditolak oleh Rani. Aneh rasanya memang, karena biasanya tak pernah ada getar-getar tak menentu selama ini kala wanita itu sedang berdua saja dengan Narendra. Bahkan sedikitpun tak pernah terpikir akan berbuat hal yang macam-macam dengan lelaki itu selama bertahun tahun dekat dengannya. Bisa jadi karena sebelumnya keduanya sibuk dengan urusan masing-masing. Bahkan Narendra yang aslinya memang mata keranjang tak pernah melihat Rani sebagai seseorang yang pantas untuk diajaknya berhubungan secara spesial. Entah apa yang sedang terjadi dengannya hari itu. Kemarahannya pada Agnia justru seperti menjadi pemicu hasrat terpendamnya selama ini yang coba diredamnya pada wanita itu, tapi tak lagi mampu dikendalikannya sekarang. Dan dia merasa Rani adalah orang yang tepat untuk melampiaskan semua itu. “Nggak mungkin, Re. Aku dan Agnia itu sahabatan. Aku nggak mungkin macam macam sama kamu.” Rani masih terus berusaha menyingkirkan dengan lembut
Beberapa hari setelah kejadian itu, kehidupan di keluarga Dewo terlihat semakin membaik. Sikap Dewo yang tak mengalami perubahan setelah kedatangan Narendra ke rumah mereka membuat Agnia semakin yakin bahwa lelaki itu tak lagi menyuruh orang untuk memata-matai setiap apa yang dilakukannya seperti sebelum mereka berbaikan dulu. Dewo pun semakin menampakkan keseriusannya untuk berubah. Waktunya jadi lebih banyak dihabiskan untuk keluarga. Tidak pernah sekalipun kini dia pulang kantor melebihi jam yang seharusnya. Bahkan setiap kali ingin mampir ke suatu tempat untuk melakukan sesuatu, dia selalu menyempatkan diri untuk menelpon istrinya dan berpamitan. Semua hal baik yang sangat membahagiakan bagi Agnia itu, masih ditambah lagi dengan support penuh dari seluruh keluarga besar keduanya. Kedua orang tua Agnia maupun Dewo, bahkan adik-adik Dewo yang merasa ikut senang dengan kembali berbaikannya kakak dan kakak ipar mereka, kini jadi sering berkunjung bergantian. Mirna apalagi, tiap kal
“Dengan Ibu Agnia?” Seorang lelaki muda berseragam lengkap sebuah jasa ekspedisi pengiriman instan sudah berdiri di depan pintu rumahnya. Agnia sedikit mengerutkan dahi kala kemudian orang itu menyerahkan sebuah bingkisan berbentuk kotak berhias pita pada dirinya.“Tapi saya tidak sedang memesan apa-apa sepertinya, Pak. Bapak tidak salah amanat kan?” tanyanya pada sang kurir. Tangannya bahkan belum berani menyentuh bingkisan di depannya itu. “Sahabat Anda yang mengirimkan ini, Bu. Mohon diterima,” kata si kurir dengan sangat ramah. Mendengar kata sahabat, pikiran Agnia langsung tertuju pada Rani. Seingatnya, sudah hampir satu bulan dia tak lagi melihat atau bahkan berkomunikasi dengan sahabatnya itu lagi. Sejak kedatangannya dengan Narendra waktu itu, Agnia memang sudah tidak pernah lagi mendengar kabar dari Rani. Lalu bibirnya pun mulai tersenyum. Melihat tulisan nama toko kue paling terkenal di kota itu, membuat Agnia lantas berpikir bahwa Rani mungkin sedang ingin meminta maaf p
Agnia mengiring Naya dan Aqilla ke dalam kamar usai menyambut kedatangan suami dan dua anaknya itu pulang untuk membantu membersihkan diri dan mengganti pakaian.. Sementara itu, Dewo yang tergoda dengan aroma wangi khas kue favorit anaknya yang sudah dihidangkan istrinya di meja makan, langsung menuju ke wastafel untuk mencuci tangannya. Tak lama kemudian, lelaki itu sudah terlihat duduk di kursi makan sembari meneriakkan satu pertanyaan.“Ini kuenya ya, Sayang?”Mendengar pertanyaan suaminya, Agnia pun menyahut dengan cepat dari dalam kamar anak-anaknya. “Iya, Mas. Wanginya lebih enak kan ya dari biasanya?” Sang istri ganti bertanya. “Iya. Barusan masuk rumah tadi udah kecium loh. Lebih enak dari yang sering dibeli Naya nih kayaknya.”“Masa’, Yah?” Tak mau kalah dengan obrolan ayah dan ibunya, Naya yang baru separuh melepas pakaiannya pun menyembulkan kepala ke arah ruang makan. Dewo langsung menganggukkan kepalanya, sedangkan tangannya mulai memotong kue yang terhidang di depannya.