“Dengan Ibu Agnia?” Seorang lelaki muda berseragam lengkap sebuah jasa ekspedisi pengiriman instan sudah berdiri di depan pintu rumahnya. Agnia sedikit mengerutkan dahi kala kemudian orang itu menyerahkan sebuah bingkisan berbentuk kotak berhias pita pada dirinya.“Tapi saya tidak sedang memesan apa-apa sepertinya, Pak. Bapak tidak salah amanat kan?” tanyanya pada sang kurir. Tangannya bahkan belum berani menyentuh bingkisan di depannya itu. “Sahabat Anda yang mengirimkan ini, Bu. Mohon diterima,” kata si kurir dengan sangat ramah. Mendengar kata sahabat, pikiran Agnia langsung tertuju pada Rani. Seingatnya, sudah hampir satu bulan dia tak lagi melihat atau bahkan berkomunikasi dengan sahabatnya itu lagi. Sejak kedatangannya dengan Narendra waktu itu, Agnia memang sudah tidak pernah lagi mendengar kabar dari Rani. Lalu bibirnya pun mulai tersenyum. Melihat tulisan nama toko kue paling terkenal di kota itu, membuat Agnia lantas berpikir bahwa Rani mungkin sedang ingin meminta maaf p
Agnia mengiring Naya dan Aqilla ke dalam kamar usai menyambut kedatangan suami dan dua anaknya itu pulang untuk membantu membersihkan diri dan mengganti pakaian.. Sementara itu, Dewo yang tergoda dengan aroma wangi khas kue favorit anaknya yang sudah dihidangkan istrinya di meja makan, langsung menuju ke wastafel untuk mencuci tangannya. Tak lama kemudian, lelaki itu sudah terlihat duduk di kursi makan sembari meneriakkan satu pertanyaan.“Ini kuenya ya, Sayang?”Mendengar pertanyaan suaminya, Agnia pun menyahut dengan cepat dari dalam kamar anak-anaknya. “Iya, Mas. Wanginya lebih enak kan ya dari biasanya?” Sang istri ganti bertanya. “Iya. Barusan masuk rumah tadi udah kecium loh. Lebih enak dari yang sering dibeli Naya nih kayaknya.”“Masa’, Yah?” Tak mau kalah dengan obrolan ayah dan ibunya, Naya yang baru separuh melepas pakaiannya pun menyembulkan kepala ke arah ruang makan. Dewo langsung menganggukkan kepalanya, sedangkan tangannya mulai memotong kue yang terhidang di depannya.
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Mungkin itu yang tepat menggambarkan kesedihan Agnia saat. Belum lama mereguk kebahagiaan hidup berumah tangga dengan suaminya, Dewo kini harus terbaring tanpa daya di rumah sakit. Meski mendapat support penuh dari keluarga besarnya, namun kondisi Dewo yang ternyata lebih parah dari dugaannya, membuatnya sangat shock. Apalagi karena dia tahu bahwa salah satu penyebab dari kejadian yang menimpa suaminya itu adalah buah dari kecerobohannya. Agnia makin terpuruk kala dokter mengatakan bahwa memang benar ada racun yang sengaja dimasukkan oleh seseorang ke dalam tubuh suaminya lewat makanan yang diterimanya waktu itu. Keluarga besarnya bahkan sudah menghubungi polisi untuk melaporkan kasus tersebut. Polisi juga sudah membawa hasil pemeriksaan bahwa memang ada zat racun sangat berbahaya yang terkandung di dalam kue yang dikirimkan ke rumah Agnia beberapa hari sebelumnya itu. Kondisi Dewo yang hanya menunjukkan sedikit peningkatan di hari
Belum habis kesedihan dan ketakutannya dengan kondisi sang suami, Agnia harus dibuat shock oleh beberapa orang yang menyatroni rumahnya dengan senjata. Apalagi saat polisi kemudian menyatakan bahwa kemungkinan besar ketiga orang penyusup itu berniat untuk membunuhnya. Hal itu tentu bukan tanpa alasan. Polisi mengaitkan apa yang terjadi dengan adanya racun yang dikirimkan pada Agnia yang justru mencelakai suaminya. Ditambah lagi dengan keterangan seluruh keluarga Agnia yang menceritakan kejadian saat dirinya diculik beberapa waktu sebelumnya. Polisi semakin kuat menduga bahwa target utama dalam rencana pembunuhan di keluarga itu tentu lah Agnia. Mendengar keterangan yang disampaikan pihak kepolisian, Agnia makin yakin bahwa Rani tidak mungkin terlibat dalam pengiriman kue beracun yang mengakibatkan Dewo sekarat. Mengingat sahabatnya itu, Agnia yang sedang dalam kondisi bingung dan karena selama ini dia lah satu satunya sahabat yang selalu bersedia mendengar segala keluh kesahnya, akhi
“Ada orang yang nyari Ibu di luar.”Sri baru saja keluar dari kamar mandi sore itu saat seorang pembantu rumah tangganya menghampiri. “Siapa?” tanyanya dengan mengerutkan dahi. “Nggak tahu, Bu. Tapi katanya polisi," kata si pelayan. Wajah Sri langsung pucat pasi mendengar itu. Sejujurnya, dari pagi perasaannya sudah tidak karuan karena belum mendapat kabar apapun dari Atun tentang hasil dari aksi orang-orang bayarannya yang katanya berencana melaksanakan tugas mereka hari sebelumnya. Tapi ditunggu sampai sore hari, Atun sama sekali tidak memberinya kabar apapun. “Kamu balik ke depan sana. Bilang saja aku nggak ada. Kemana gitu,” kata Sri dengan nada bingung. “Baik, Bu.” Wanita berusia sekitar empat puluh tahunan itu pun langsung berlalu meninggalkan majikannya dan bergegas menemui dua tamu yang sedang menunggu di depan pintu rumah makan. “Tidak ada gimana, tadi katanya ada?” kata salah seorang diantara kedua lelaki berseragam itu usai mendengar penjelasan bahwa Sri tak ada di ru
Sementara itu di tempat lain, Narendra justru disibukkan dengan kecemburuan Rani yang tak jua Reda. Dia baru sadar sekarang bahwa sahabatnya itu kini sudah mulai tergila gila padanya, hingga harus merasa marah saat mendengar keinginannya untuk kembali mengejar Agnia. Narendra yang sore itu sudah kembali ke apartemennya bahkan harus disibukkan dengan chat panjang lebar Rani yang memaki makinya tentang rencananya sebelumnya. Namun bukannya bersedih dengan kelakuan Rani yang kolokan seperti anak kecil, Narendra justru makin berbangga bahwa ternyata dia bisa membuat sahabatnya itu bertekuk lutut juga padanya. Walaupun sebenarnya hal itu bukan hal yang diinginkannya. Seandainya saja yang tergila gila padanya itu adalah Agnia, mungkin ceritanya akan jadi lain. Tapi meski begitu, demi meredakan amarah Rani dan demi untuk membuat wanita itu terus tetap mau melayani semua keinginannya, Narendra terpaksa kembali menemui wanita itu malam harinya. Rani tentu saja terkejut melihat Narendra telah
Wanita yang biasanya sangat patuh dan penurut pada Rani itu tak menampakkan gentar sedikitpun. Bahkan dia juga berani membalas saat mantan istri dari majikannya itu menampar pipinya berulang kali. “Saya sudah berusaha menjadi asisten yang baik, tapi kelakuan Anda sudah sangat keterlaluan. Anda mengkhianati suami Anda sendiri di rumahnya. Itu sama saja Anda membuang kotoran Anda di tempat makan yang telah diberikan majikan Anda. Sekarang lebih baik Anda pergi. Karena walaupun sampai menangis darah pun, Bapak tidak akan pernah memaafkan Anda,” kata wanita itu setengah mengancam. Mendengar kata-kata sang mantan pembantu, niat Rani untuk meminta maaf pada mantan suaminya pun urung sudah. Sepertinya memang benar apa yang dikatakan oleh mantan asisten rumah tangganya itu, suaminya tentu tak akan sudi lagi menerima permintaan maafnya mengingat dirinya bukan lah satu satunya wanita yang dia miliki. Rani mengutuk kebodohannya sendiri karena ternyata selama ini karena memilih untuk menerima
Di tengah tengah kebingungannya, Rani hanya teringat pada Agnia. Tapi saat taksi yang membawanya menuju rumah sahabatnya itu baru sampai setengah perjalanan, dia seperti baru tersadar bahwa keputusannya untuk pergi ke rumah Agnia adalah salah. Bagaimana mungkin dia berpikir untuk menumpang tinggal di rumah sahabatnya itu jika saat ini saja Agnia sedang mengalami kesulitan yang bahkan jauh lebih berat dibanding dirinya. “Nggak jadi, Pak. Saya turun di sini saja. Saya akan ganti ongkosnya,” katanya kemudian pada si driver taksi online yang ditumpanginya. Rani pun kemudian turun, lalu memutuskan untuk duduk sebentar di sebuah bangku taman untuk memikirkan apa yang akan dilakukannya selanjutnya. Kembali ke rumah orang tuanya adalah hal yang jelas tidak mungkin dilakukannya. Selain karena keduanya sudah meninggal dunia, rumah itu kini juga telah diambil alih keluarga kakaknya yang sangat membencinya karena ketidakpeduliannya pada keluarga besar. Ternyata selama ini dia merasa hidupnya b