Assalamualaikum pembaca tercinta .... Mohon maaf baru sempat uploud ya, karena sibuk dengan hari raya. Kemarin salah uploud pasrt 23, tetapi sudah saya perbaiki. Jadi yang sempat baca yang salah, silakan diulang. Selamat hari raya Idul Fitri semuanya, mohon maaf lahir dan batin
Part 25 Memeluk luka seorang diri, berkawan dengan air mata, bertempur dengan derita yang entah kapan akan enyah dari hidupku *Resmi* Bismillah, mulai menapaki kehidupan baru. Hati hanya berdoa semoga kedua majikan menerima dengan ikhlas keberadaan dua anak yang kubawa ke rumah ini, maka bagaimanapun caranya, aku harus memanjakan mereka sebagai balas budi atas kebaikan yang diberikan. Meski pak Harun mengatakan aku harus harus istirahat, tetapi hati tetap merasa tidak enak. Beginikah rasanya menumpang? Setelah memberikan pengarahan pada Dinis untuk mengajak Hasbi bermain di dalam kamar, aku gegas keluar untuk memeriksa keadaan dapur. Ada beberapa piring bekas yang belum dicuci, sisa makanan yang sedikit bau dan juga sampah yang belum dibersihkan. Sejak kecil aku sudah diharuskan mandiri, hanya membersihkan rumah di saat lelah, itu bukan hal yang memberatkan. Selesai merapikan dapur, menyapu, lalu aku mencoba mengetuk kamar pak Harun. Tak berapa lama lelaki itu keluar kamar. “Ada
Part 26Rasa gundah, malas, cemas dan tidak nyaman manakala mereka hadir dalam hidupku, entah kenapa lambat laun berubah menjadi iba yang tak bertepi ....*Bu Normi*Bimbang, itu yang ada dalam hati tatkala calon pembantu baru itu datang dan mengatakan hendak membawa kedua anaknya tinggal di sini. Bagaimana mungkin, aku menampung tiga orang asing sekaligus di rumah ini? Di saat hati baru bisa ikhlas menerima takdir yang menimpa. Namun begitu, rasa iba sedikit singgah tatkala ia bersujud dan menceritakan alasan mengapa harus membawa serta dua anaknya kemari.“Suamiku menyimpan seorang wanita di rumah keluarga besarnya. Mereka semua mendukung untuk menceraikanku, Bu. Aku piatu sejak kecil. Bapakku di bawah kendali ibu tiri. Sementara saudara-saudaraku sudah menikah dan tidak peduli dengan nasibku. Aku membutuhkan tempat untuk menepi sejenak, tetapi aku tidak bisa meninggalkan anak-anakku sendirian di rumah. Berikan pekerjaan ini dan izinkan saya membawa mereka. Saya ikhlas meski nantiny
Part 27 “Jadi bagaimana, Bu? Jadi kah anak ini sekolah di sini? Berdasarkan nilai, dia sudah melampaui.” Ucapan kepala sekolah membuat aku tergagap dan mengalihkan pandang. Tadinya hanya berniat mengetes sejauh mana kemampuan Dinis, tetapi kenapa jadi terjebak seperti ini? Ah, sekolah yang sekarang kami kunjungi agak jauh dari rumah. Tidak mungkin Dinis akan jalan kaki setiap pagi dan siang. meminta sopirku mengantar jemput dia? Itu terlalu spesial. “Saya pikir-pikir dulu ya, Bu. Tadinya saya kira dia tidak mampu untuk mengerjakan soal yang diberikan.” Kepala sekolah menatap tidak suka. “Bu, kalau Ibu hanya mencoba-coba saja, seharusnya anak ini jangan dibawa kesini,” ucapnya. “Dinis, tunggu di luar,” perintahku pada Dinis. ANak itu menurut saja. “Begini, Bu, saya memang penasaran dengan otak anak pembantu saya ini, makanya saya bawa ke sekolahan Ibu. Tetapi bila dia diterima, apakah mampu berangkat dan pulang jalan kaki? Terus untuk biayanya, pasti besar ya, Bu?” “Seharusnya
Part 28POV ResmiBanyak orang mengatakan, hiduplah laksana air yang mengalir mengikuti kemana arah arus. Mungkin seperti itu juga perumpamaan yang menggambarkan kondisiku saat ini.Dinis sudah sekolah dan sepertinya ia mulai beradaptasi dengan kehidupan kami yang baru. Ada hal yang membuat hati ini sakit sebenarnya. Ia harus ikut bekerja demi bisa sekolah. Meski aku berkali-kali meminta pada bu Normi untuk menyekolahkan Dinis di tempat yang dekat dengan rumah mereka, tetapi majikan perempuan itu selalu menolak. Jadilah aku hanya bertemu Dinis beberapa jam saja dalam sehari.Ia harus berangkat pagi hari jam tujuh, dan akan pulang setelah jam empat.“Kamu capek ikut bekerja, Mbak?” tanyaku padanya setelah dua minggu berjalan rutinitas baru.“Aku senang, Ibu, daripada di rumah ini ibu melarang keluar kamar. Aku lebih baik ikut Nyonya di toko. Kadang-kadang mas Roni mengajak aku jalan-jalan saat ia disuruh mengantar barang ke toko-toko di perumahan. Aku jadi senang naik mobil terus,” jaw
Sebelum bercerita, sebuah napas panjang kutarik melalui hidup dan mulut secara bersamaan. Berharap bisa mengungkapkan semua tanpa harus menangis.“Apa yang ingin ibu tahu dari aku? Masa lalu, keluarga atau apa? Aku sudah menceritakan sebagian sama ibu ....”“Aku ingin tahu semuanya. Sudah kukatakan, aku ingin kamu menceritakan segalanya perjalanan hidupmu.”Dengan runtut, mulut ini mulai mengurai perjalanan hidup dari masih kecil hingga terdampar di kota yang letaknya sangat jauh dari rumah. Bu Normi sesekali memalingkan wajah dan mengusap mata. Aku tahu, dia menangis. Cerita kua akhiri dengan isakan.“Tidak ada yang membelamu saat difitnah?” tanya bu Normi.“Tidak ada sama sekali, Ibu. Hanya gurunya Dinis yang dari kota saja yang mau membantu memecahkan masalah itu, hingga akhirnya aku bisa bebas dari tuntutan.”“Kalau di sini, dia bisa dituntut balik dengan karena pencemaran nama baik.”“Aku tidak paham apapun, Bu. Aku hanya orang bodoh. Jika aku memperpanjang masalah, maka aku yang
Part 29Langit di ufuk barat memancarkan sinar merahnya. Aku berdiri menikmati senja yang bertugas menjadi pembatas antara malam dan siang. Darinya aku harus belajar sebuah makna, bahwa setiap kita memiliki peran sendiri di dunia ini. Senja tak pernah protes meski ia hadir hanya menjadi sebuah pintu penghubung antara terang dan gelap. Aku pun meski bersikap demikian, ikhlas menerima setiap garis hidup yang telah Allah tuliskan.Senja mengingatkanku pada suara riuh suara anak berebut wudhu di pancuran yang menjadi satu-satunya sumber air di dusun kami. Anak laki-laki yang jahil akan menghadang kami untuk menyentuh agar gadis-gadis yang baru saja beranjak remaja--batal dan akan kembali berwudhu. Sekelumit kisah di masa dulu yang membuat bibir ini tertarik membentuk senyum kala mengingatnya. Ya, bahagiaku adalah bila bermain dengan mereka. Karena pada saat kaki melangkah masuk ke dalam rumah, maka yang ku temui adalah tatapan kebencian dari wanita bergelar ibu tiri.Bohong bila tak ada r
Sampai kembali di kamar, aku membuka amplop dari bu Normi. Jumlahnya lebih besar dari gaji yang Sumi katakan. Lagi, bibir i ni mengukir sebuah senyum. Hidup memang penuh kejutan dan kita harus siap dengan jalan takdir apapun yang akan menghampiri.Belum lama kami datang ke rumah ini dengan perasaan cemas. Takut kalau tidak bisa diterima karena datang dengan membawa dua orang anak. Diri sempat berpikir jika mungkin saja tenagaku hanya akan terkuras tanpa bayaran, tetapi nasib berkehendak lain.Aku bersujud dan menangis, mengucap syukur atas kemudahan yang Allah berikan. Semua berkat kuasaNya.“Ibu ....” Sebuah panggilan membuat tubuhku bangkit dari posisi tertelungkup di atas lantai.“Ya, Mbak?”“Ibu kenapa menangis? Apa Ibu ingin pulang juga sepertiku?” tanya Dinis sambil mengusap mata setelah bangun tidur.Aku menggeleng dan mendekatinya. “Ibu menangis bahagia karena habis dapat gajian. Ternyata bu Normo memberikan ibu gaji yang lumayan,” jawabku sambil memeluk tubuh mungilnya.“Bena
Part 30Malu. Itu yang kurasa saat memandang pantulan diri di cermin. Rambut yang dipangkas sampai atas bahu serta berbau wangi, kalung dengan liontin permata melingkar di leher semakin menambah aura yang berbeda.“Begini ‘kan cantik,” puji bu Normi membuatku semakin tersipu.Bagi aku yang tidak berdandan, rasanya tidak nyaman sekali dan sepertinya bu Normi tahu apa yang kurasa.“Wanita itu harus bisa merawat dirinya sendiri. Terkadang tidak sepenuhnya salah suami jika dia berpaling. Kita juga perlu introspeksi diri apakah sudah berpenampilan menarik di hadapan dia, atau belum. Yah, meskipun sih, tetap saja orang selingkuh itu salah. Dan juga, ada lelaki yang tidak kasih nafkah, tetapi menuntut agar cantik. Ada lagi lelaki yang meskipun istrinya sudah cantik tetap keliaran mencari wanita lain. Apapun itu, kita sebagai wanita harus menghargai diri sendiri,” ucap Bu Normi saat kami sudah keluar dari salon dan makan di sebuah warung bakso.“Terima kasih untuk hari ini, Bu,” balasku pada