Part 28POV ResmiBanyak orang mengatakan, hiduplah laksana air yang mengalir mengikuti kemana arah arus. Mungkin seperti itu juga perumpamaan yang menggambarkan kondisiku saat ini.Dinis sudah sekolah dan sepertinya ia mulai beradaptasi dengan kehidupan kami yang baru. Ada hal yang membuat hati ini sakit sebenarnya. Ia harus ikut bekerja demi bisa sekolah. Meski aku berkali-kali meminta pada bu Normi untuk menyekolahkan Dinis di tempat yang dekat dengan rumah mereka, tetapi majikan perempuan itu selalu menolak. Jadilah aku hanya bertemu Dinis beberapa jam saja dalam sehari.Ia harus berangkat pagi hari jam tujuh, dan akan pulang setelah jam empat.“Kamu capek ikut bekerja, Mbak?” tanyaku padanya setelah dua minggu berjalan rutinitas baru.“Aku senang, Ibu, daripada di rumah ini ibu melarang keluar kamar. Aku lebih baik ikut Nyonya di toko. Kadang-kadang mas Roni mengajak aku jalan-jalan saat ia disuruh mengantar barang ke toko-toko di perumahan. Aku jadi senang naik mobil terus,” jaw
Sebelum bercerita, sebuah napas panjang kutarik melalui hidup dan mulut secara bersamaan. Berharap bisa mengungkapkan semua tanpa harus menangis.“Apa yang ingin ibu tahu dari aku? Masa lalu, keluarga atau apa? Aku sudah menceritakan sebagian sama ibu ....”“Aku ingin tahu semuanya. Sudah kukatakan, aku ingin kamu menceritakan segalanya perjalanan hidupmu.”Dengan runtut, mulut ini mulai mengurai perjalanan hidup dari masih kecil hingga terdampar di kota yang letaknya sangat jauh dari rumah. Bu Normi sesekali memalingkan wajah dan mengusap mata. Aku tahu, dia menangis. Cerita kua akhiri dengan isakan.“Tidak ada yang membelamu saat difitnah?” tanya bu Normi.“Tidak ada sama sekali, Ibu. Hanya gurunya Dinis yang dari kota saja yang mau membantu memecahkan masalah itu, hingga akhirnya aku bisa bebas dari tuntutan.”“Kalau di sini, dia bisa dituntut balik dengan karena pencemaran nama baik.”“Aku tidak paham apapun, Bu. Aku hanya orang bodoh. Jika aku memperpanjang masalah, maka aku yang
Part 29Langit di ufuk barat memancarkan sinar merahnya. Aku berdiri menikmati senja yang bertugas menjadi pembatas antara malam dan siang. Darinya aku harus belajar sebuah makna, bahwa setiap kita memiliki peran sendiri di dunia ini. Senja tak pernah protes meski ia hadir hanya menjadi sebuah pintu penghubung antara terang dan gelap. Aku pun meski bersikap demikian, ikhlas menerima setiap garis hidup yang telah Allah tuliskan.Senja mengingatkanku pada suara riuh suara anak berebut wudhu di pancuran yang menjadi satu-satunya sumber air di dusun kami. Anak laki-laki yang jahil akan menghadang kami untuk menyentuh agar gadis-gadis yang baru saja beranjak remaja--batal dan akan kembali berwudhu. Sekelumit kisah di masa dulu yang membuat bibir ini tertarik membentuk senyum kala mengingatnya. Ya, bahagiaku adalah bila bermain dengan mereka. Karena pada saat kaki melangkah masuk ke dalam rumah, maka yang ku temui adalah tatapan kebencian dari wanita bergelar ibu tiri.Bohong bila tak ada r
Sampai kembali di kamar, aku membuka amplop dari bu Normi. Jumlahnya lebih besar dari gaji yang Sumi katakan. Lagi, bibir i ni mengukir sebuah senyum. Hidup memang penuh kejutan dan kita harus siap dengan jalan takdir apapun yang akan menghampiri.Belum lama kami datang ke rumah ini dengan perasaan cemas. Takut kalau tidak bisa diterima karena datang dengan membawa dua orang anak. Diri sempat berpikir jika mungkin saja tenagaku hanya akan terkuras tanpa bayaran, tetapi nasib berkehendak lain.Aku bersujud dan menangis, mengucap syukur atas kemudahan yang Allah berikan. Semua berkat kuasaNya.“Ibu ....” Sebuah panggilan membuat tubuhku bangkit dari posisi tertelungkup di atas lantai.“Ya, Mbak?”“Ibu kenapa menangis? Apa Ibu ingin pulang juga sepertiku?” tanya Dinis sambil mengusap mata setelah bangun tidur.Aku menggeleng dan mendekatinya. “Ibu menangis bahagia karena habis dapat gajian. Ternyata bu Normo memberikan ibu gaji yang lumayan,” jawabku sambil memeluk tubuh mungilnya.“Bena
Part 30Malu. Itu yang kurasa saat memandang pantulan diri di cermin. Rambut yang dipangkas sampai atas bahu serta berbau wangi, kalung dengan liontin permata melingkar di leher semakin menambah aura yang berbeda.“Begini ‘kan cantik,” puji bu Normi membuatku semakin tersipu.Bagi aku yang tidak berdandan, rasanya tidak nyaman sekali dan sepertinya bu Normi tahu apa yang kurasa.“Wanita itu harus bisa merawat dirinya sendiri. Terkadang tidak sepenuhnya salah suami jika dia berpaling. Kita juga perlu introspeksi diri apakah sudah berpenampilan menarik di hadapan dia, atau belum. Yah, meskipun sih, tetap saja orang selingkuh itu salah. Dan juga, ada lelaki yang tidak kasih nafkah, tetapi menuntut agar cantik. Ada lagi lelaki yang meskipun istrinya sudah cantik tetap keliaran mencari wanita lain. Apapun itu, kita sebagai wanita harus menghargai diri sendiri,” ucap Bu Normi saat kami sudah keluar dari salon dan makan di sebuah warung bakso.“Terima kasih untuk hari ini, Bu,” balasku pada
Pak Harun tergagap dan mengalihkan pandang. “Taruh di kamar saja sama bereskan piring yang kotor,” jawabnya sambil membenahi korang yang sempat terlepas dari tangan.“Baik, Pak, saya letakkan barang-barang saya ini dulu.” Aku pamit sambil berjalan ke belakang.“Kamu tahu tempat salon dari mana?” Pertanyaan pak Harun membuat langkahku terhenti.“Maaf, Pak, Bu Normi yang memaksa saya melakukan ini. Sebenarnya saya sangat malu dan lebih nyaman dengan penampilan ala orang desa.”“Bagus dong kalau kamu berubah. Sekarang hidup di kota, jadi, jangan kayak orang kampung lagi,” celetuk pak Harun dan aku memilih tidak menyahut. Rasanya malu sekali dan ingin segera bersembunyi.Aku abai pada kalimat yang diucapkan majikanku itu, memilih setengah berlari masuk kamar.***Seperti biasa, setelah Maghrib, aku mengajar mengaji Dinis, lalu mengambilkan makanan, lalu menyuruhnya belajar. Meski kedua majikan baik, untuk makan, tetap dilakukan di kamar. Aku harus tetap sadar diri dengan posisiku saat ini
Part 31Setelah kejadian di rumah sakit, dimana aku dikira istrinya Pak Harun, rasanya sangat malu jika berdua dengan lelaki itu. Bukan karena diri terlalu besar rasa dengan sangkaan keliru tersebut. Akan tetapi justru sebaliknya, merasa begitu rendah dan tidak pantas meski hanya kekeliruan dari orang yang tidak mengenal kami. Aku hanyalah seorang pembantu yang derajatnya tentu sangat rendah dan tidak pantas untuk disandingkan dengan beliau.Kini, saat masuk ke kamar pak Harun untuk mengurus keperluan beliau, aku lebih mempercepat waktu kebersamaan.“Kenapa kamu sekarang terkesan menghindar dariku?” Pertanyaan dari majikan laki-lakiku membuat langkah yang semula hendak pergi ke dapur menjadi berhenti seperti direm.“Apa, Pak? Em, maksudnya?”“Sejak pulang dari rumah sakit, kenapa kamu jarang mau berbicara denganku kecuali hal yang penting?”Kami saling bertanya tanpa ada yang menjawab.Aku bergeming dan menunduk. Bingung hendak mengatakan apa, padahal selama ini juga aku jarang bicara
“Pak, semangatlah untuk sembuh! Maaf, Pak, saya mengatakan ini, tetapi sepertinya sudah cukup Bapak meratapi nasib, karena itu hanya akan semakin menyiksa batin Bapak. Bapak masih diberi hidup, jadi, jika hanya seperti ini akan semakin tersiksa. Bapak masih berhak bahagia. Masalah yang Bapak hadapi jauh berbeda dengan saya. Bapak masih sosok ibu yang mendampingi dan memberikan dukungan. Kalian juga tidak kurang makan dan uang. Bayangkan, Pak, jika di posisi saya! Saya harus berjuang untuk dua anak di saat tidak ada sumber penghasilan. Dikucilkan oleh keluarga besar, ditinggal selingkuh dan dizalimi keluarga mertua. Datang kesini, ke rumah orang yang tidak dikenal sama sekali untuk meminta diberi hidup dan tempat tinggal. Nyatanya saya lebih bahagia sekarang, Pak. Bapak hanya berjuang untuk sembuh saja. Siapa tahu jika sudah sembuh, kehidupan yang lebih baik dan bahagia akan menanti. Bukankah setiap orang akan diuji? Hanya saja ujian kita berbeda-beda. Kalau Bapak seperti ini terus, se
Part 49Suasana kota Surabaya sangat ramai malam hari. Harun sudah berganti kostum memakai celana dan kaos yang berbeda, tetapi tetap terlihat menawan di mata Resmi.“Besok kamu pagi-pagi aku antar ke salon, ya? Aku akan mengajak kamu ke undangan pernikahan anak temanku. Kamu jangan kaget, karena tamu yang hadir memang dari kalangan atas.”“Memangnya teman Pak Harun yang punya hajat, bekerja sebagai apa?”“Dia kapolresta. Istrinya seorang dokter.”Resmi menunduk dan memainkan jari-jarinya. Merasa sangat rendah dan semakin penasaran dengan sosok Harun sebenarnya.“Dulu aku punya bisnis di bidang properti. Aku dan temanku membangun bisnis bersama. Usaha yang kami kelola di bidang pembangunan perumahan. Aku dan temanku membeli lahan milik warga yang tidak produktif, lalu kami memasarkannya. Jika ada yang berminat, baru kami membangun rumah sesuai model yang diinginkan orang itu. Sebelum ini, aku sudah sampai di Surabaya juga. Kalau di Surabaya, yang kami bangun rumah kontrakan, lalu menye
Part 48Resmi telah kembali pada rutinitas sebelumnya. Namun, ada yang berbeda, karena ia akan menjadi nyonya di rumah itu, maka sekarang urusan rumah juga menjadi tanggung jawabnya. Seperti menyediakan bahan makanan, membayar pembantu, listrik dan lain-lain. Di awal kepergian saja, Harun langsung memberikan uang nafkah padanya. Benar-benar Upik Abu yang berubah menjadi Cinderella.Dua minggu setelah kepergian Harun, Resmi akhirnya mendapatkan akta cerai yang dikirim melalui pos. Hatinya sangat lega dan bahagia. Ia pun langsung memberitahukan hal ini pada Normi.“Ya sudah, berarti sembilan puluh hari dari hari ini, kamu akan menikah dengan Harun. Tidak usah menghitung bulan dan hari baik. Karena semua hari itu baik untuk menikah. Nanti Ibu yang akan memberitahu Harun.” Normi sangat bahagia mendengar kabar ini. “Ah, lihat akta cerai kamu dulu. Kapan itu tanggalnya? Maksudnya tanggal kamu benar-benar sudah bercerai dari lelaki itu.”“Ini keluarnya sepuluh hari yang lalu, Bu,”“Berarti k
Part 47“Aku sudah merindukan kamarku,” kata Dinis sambil meregangkan kedua tangan di depan rumah.Resmi tersenyum melihat tingkah anaknya yang menganggap rumah majikannya sebagai rumah sendiri. Meskipun sudah ada kesepakatan hubungan dengan Harun, tak lantas membuat wanita itu percaya diri.“Bapak punya sesuatu yang spesial untuk kalian,” kata Harun membuat langkah Dinis berhenti.Gadis kecil itu berbalik dan menatap pria yang berdiri di samping pintu mobil. “Apa?” tanyanya.“Berhenti dulu,” kata Harun. “Tutup mata kamu, sini Bapak bantu,” lanjutnya.Satu telapak tangan saja sudah bisa menutup wajah mungil Dinis. Hasbi yang tertidur lelap diangkat oleh sang ibu.“Apa sih, aku penasaran,” seru Dinis.Resmi yang tidak tahu apa-apa memilih diam dan mengikuti keduanya dari belakang. Ia kaget saat Harun membawa anak sulungnya menuju kamar utama di rumah itu. ruangan pribadi yang ia pikir itu dipersiapkan untuk anak Harun yang sudah lama meninggalkan rumah. Sesekali ia masuk hanya untuk me
Part 46Harun seakan memiliki semangat yang seribu kali lipat untuk melanjutkan hidup. Setelah kepulangan Normi dengan membawa kabar buruk, lelaki itu mulai pergi menemui kolega yang telah lama tidak dijumpainya. Ia mencari peluang bisnis baru yang sedang ramai saat ini.Lelaki itu juga mulai menata rumah. Dua kamar yang kosong dicat kembali serta dibelikan kasur dan lemari yang baru. Warna pink dipilihnya untuk satu kamar yang paling besar ukurannya dibandingkan kamar lain.“Gordennya juga harus warna pink, Harun, Itu pantas untuk kamar cewek,” sahut Normi saat melihat dalam kamar. “Kalau kamar Hasbi, harus warna biru, yang teduh.“Ah, iya, Bu. Kamar ini juga harus ada AC, biar Dinis nyaman saat tidur,” sambung Harun.“Tapi sepertinya mereka akan lama di desa,” ucap Normi.“Yang penting mereka kembali ke rumah ini, Bu. Ah iya, Bu, aku besok mau pergi ke Surabaya. Mau menemui teman. Rencananya aku akan membuka dealer motor bekas untuk sementara ini. Sambil melihat peluang bisnis yang
Part 45“Siapa yang datang, Resmi?” Normi bertanya sambil mengusap mata, pandangannya sering mengabur jika malam hari.“Aku suaminya Resmi. Anda siapa di rumahku?” Harno balik bertanya.“Apa kamu bilang? Ini rumahmu? Ini rumahku,” bentak Resmi.“Oh, jadi kamu suami tidak bertanggung jawab yang membelikan mukena anak saja tidak bisa? Sampai istri harus masuk penjara, memangnya kamu kemana? Kenapa sekarang pulang?” Normi yang geram langsung memberondong Harno dengan pertanyaan menyudutkan.“Jaga ucapan, Anda! Jangan macam-macam di rumah orang. Resmi, siapa wanita tua ini?”“Harno, ayo ikut aku,” ajak Resmi sambil menarik lengan pria yang masih menjadi suaminya sebelum terjadi perdebatan panjang. “Bu, jaga anak-anak di dalam!”“Bu? Berlagak sekali kamu, resmi panggil orang ini Bu?”“Ikuti aku, atau kami akan ramai-ramai memukul kamu, Harno?” ancam Resmi.Harno mengekor, mengikuti langkah Resmi menuju samping rumah.“Mau apa kamu kesini?” tanya Resmi lagi.“Jelas mau pulang lah, aku kange
bu dan anak itu pulang dengan perasaan yang kecewa.“Uang bapakmu sudah habis untuk pesta pernikahan Imah, Harno. Untuk biaya tujuh bulanan dan juga lahiran, kamu coba cari. Belum lagi Siti yang terancam jadi janda. Harno, apa kamu tidak bisa berbuat apapun?”Semakin hari, Harno semakin dibuat tidak nyaman dengan segala permasalahan yang terjadi. Ia memilih pergi beberapa hari, menginap di berbagai rumah orang di kecamatan Resmi. Hingga akhirnya, ia mendengar kabar jika Resmi sudah mengajukan gugatan cerai.“Jadi dia sudah pulang?” tanya Harno.“Iya, Resmi sudah berubah menjadi cantik sekarang.”Harno langsung berdiri dan meminta salah satu orang yang membawa motor untuk mengantar.“Mau kemana kamu, Harno?”“Pulang ...,” teriaknya dari atas motor yang sudah berjalan.‘Gak bisa, Resmi tidak boleh meminta cerai dari aku disaat keadaanku seperti ini. Murni sudah pergi menjauh dan aku tidak punya uang untuk menemui. Imah sedang hamil dan butuh biaya banyak. Mbak Siti juga terancam jadi j
Part 44“Resmi ....” Normi kembali memanggil sosok yang diam di hadapannya.“Bu, saya belum pernah merasakan kasih sayang sosok seorang ibu. Kenal dengan Bu Normi, saya memang sedikit merasakan bagaimana memiliki tempat untuk bersandar, sekalipun Bu Normi statusnya adalah majikan dan saya hanya seorang pembantu. Saya sebenarnya takut suatu ketika akan dicampakkan lagi jika memutuskan untuk menikah kembali. Tetapi seiring berjalannya waktu, saya sudah bisa merasakan bahwa kalian tulus menyayangi dan menampung kami. Saya tidak tahu bila harus berpisah dengan kalian. Permintaan Bu Normi membuat saya sangat terharu. Tetapi kenapa Bu Normi yang meminta ini padaku? Bukan Pak Harun langsung?” Dengan suara lirih, Resmi menjawab.“Harun yang memintaku untuk mengatakan ini. Harun tidak berani karena kondisinya dia bukan pria yang sempurna,” sahut Normi dengan binar bahagia karena merasa lamarannya disambut oleh Resmi. “Jadi, Resmi, kamu ‘kan intinya? Menerima permintaanku untuk menjadi menantu
Dimana ada gula, maka disanalah semut akan berkerumun. Perumpamaan seperti itu pantas bagi kondisi Dinis saat ini. Ia yang sudah menjelma bak seorang putri di kalangan anak kampungnya, mendadak jadi idola. Idola anak seusianya.Satu per satu teman datang untuk mengajaknya bermain. Mengaku sebagai teman, mengingatkan pada kenangan-kenangan yang telah dilalui bersama, tetapi mereka lupa pernah memperlakukan Dinis dengan tidak baik.“Kamu dulu ingat gak, suka ambil mangga yang jatuh di pinggir jalan.”“Ramai ya, waktu itu? Seru. Kamu mau ambil mangga kesana lagi gak? Sekarang lagi musim mau matang lho ....”“Iya, Dinis, kita kesana lagi yuk ....”Dinis sampai bingung harus mendengarkan siapa, karena semua seakan berebut untuk berbicara.“Mau Dinis?”Dinis menggeleng. “Aku sudah bosan makan mangga. Eyang sering membelikan,” jawabnya.“Terus kamu pengen main apa?”“Main bola kasti?”Dinis menggeleng.“Main masak-masakan?”Dinis menggeleng lagi.“Kamu pengen main apa, Dinis? Bilang saja. Na
Part 43Resmi kembali menjadi buah bibir, tetapi kali ini bukan karena keburukannya. Melainkan nasib baik yang menghampiri.Dinis yang kebetulan keluar rumah, langsung diwawancarai oleh ibu-ibu komplek dengan beragam pertanyaan. Kebetulan ada Darmi di sana.“Jadi kamu tidak dijual Dinis?” Mulut-mulut kotor masih saja bertanya demikian.“Tidak. Aku di sana sama Ibu di rumah Eyang Nyonya.”“Eyang Nyonya itu wanita tua tadi ya? Siapa sih dia?”“Eyang Nyonya itu majikan kami. Ibu dulu jadi pembantu, tapi sekarang sudah tidak. Karena Ibu pintar, sekarang Ibu jadi, jadi apa ya? Jadi pengurus tokonya Eyang. Terus, Eyang cari pembantu lagi buat bersih-bersih rumah. Ibu juga gak pernah nyuci baju lagi sekarang. Semuanya dikerjakan Mbok Jum.”“Kamu di sana sekolah tidak, Dinis?” darmi yang sedari tadi diam, kali ini ikut bertanya.“Sekolah. Aku malah sekolah di sekolahan yang paling bagus. Kata Eyang karena aku pintar. Kemarin aku dapat piala, juara satu.”“Kamu betah? Gak pengin pindah lagi ke