Begitu Khidir mengucapkan kalimat itu, aku raih tangannya dan ikut berjalan di sisinya sementara Gill menyusul di belakang.
"Bagaimana cara keluarnya?" tanyaku."Panggil dia," jawab Khidir.Aku menatap kalungku. Meski memang dia bisa dipanggil kapan saja, tapi mungkin ada fungsi tambahan dari kalung ini yang bisa memanggilnya dengan lebih cepat."Zach!" panggilku."Ya, Tuan Putri?"Aku tersentak mendengar suaranya tepat di samping kananku."Kamu ini sudah dipanggil dari tadi malah tidak menjawab! Dari mana saja?" Bukannya menanyai jalan keluar, aku justru menyemprotnya dengan omelan yang tersimpan sejak lama. Setidaknya hati terasa lebih lapang.Jin berambut biru pucat itu terdiam sejenak. "Aku tidak akan membiarkanmu lepas di tengah badai salju."Aku menatap Khidir. Pria itu diam, seakan memihak Zach. Sementara Gill memilih menunduk, dia mungkin tidak tahu permasalahannya dan lebih memilih dia"Kita minta bantuan saja dengan Raiv," saran Gill setelah kami keluar dari tempat minum itu. "Hyde," koreksi Khidir. "Bisa, jika dia berkenan." Bahkan sebagian Guardian masih saling memanggil dengan nama belakang entah mengapa. Padahal kukira hubungan mereka lebih erat dari itu. "Zach bisa berteleportasi?" tanyaku. "Hanya untuk orang yang menggendongku," terang Zach. "Jika kamu membawaku di punggung layaknya membawa anak kecil, aku bisa jadi senjata tambahan untukmu, salah satunya juga untuk memindahkan posisi jauh dalam waktu singkat." Aku ingat jika Zahra juga memiliki kesamaan. "Bagaimana dengan Zahra? Apa sama?" "Zahra itu putriku," jawab Khidir. Zach menimpali. "Sementara aku adalah jin pelindungmu dan Pangeran." Aku mengiakan tanda mengerti. Jalanan kami lalui dengan keheningan, meski berpas-pasan dengan warga yang tengah menghangatkan diri pasca musim dingin dadakan. Dapat kulihat sebagi
Dia di tengah bertarungan dan jelas dalam bahaya. Aku berdiri melihatnya di sana, menghadap seorang lelaki yang selama ini mencoba menarikku dalam jebakannya. Tatapanku bertemu dengannya, pelindungku, diiringi dengan sinar kalungku yang kentara. Aku tahu tanda ini dan kuputuskan untuk menjaga jarak."Hentikan," ucapku, tahu jika dia mendengarnya dengan jelas. Ezekiel justru tertawa akan seruanku layaknya mendengar guyonan. "Jangan dramatis gitu, deh. Gue kira lo dijaga sama Hyde." "Aku ke sini atas kehendakku," tegasku. Ezekiel hanya menanggapi dengan "oh" pelan. "Aku perintahkan engkau untuk segera pulang!" titahku. Ezekiel tersenyum. "Tuan Putri, terpaksa gue tolak titahnya. Lo lihat sendiri 'kan, kalau ada musuh di sini? Gue enggak bisa lepas begitu saja." "Ascella bukan ancaman," sanggahku. "Putri kira yang selama ini membahayakan lo itu siapa?" sahut Ezekiel. "Wendigo aja dia pancing buat m
Ketika jeritan Ascella menggema, bongkahan es memenuhi pandangan. Membentuk beragam wujud dari patung menyerupai sosok menghias sejarah di masa lampau hingga dewa-dewa dari kuil. Namun, fungsinya hanya satu, menyegel siapa saja yang terperangkap di dalamnya. Krak! Patung-patung itu bertabrakan, namun tidak tampak saling meruntuhkan. Membentuk layaknya sebuah dinding pelindung bagi Ezekiel dan Ascella di dalam. Dari getaran yang diciptakan, aku berusaha menjaga keseimbangan. Sementara itu, dapat kurasakan Zach menahanku dari kejatuhan. Dia masih di punggungku, melindungi dari kejatuhan bongkahan es yang berhamburan. "Putri." Zach memanggil, seperti ingin memberitahu sesuatu. Aku mencoba mencari apa yang dia maksud dengan mendongak, siapa tahu dia berusaha menunjukkan sesuatu di atasku atau justru samping. Kulihat bayangan hitam masuk ke istana es ini begitu patung es semakin bertambah. Jejeran es yang belum menyatu tadi lang
« Ascella »Akan tiba masa, di mana semua ini hanya akan menjadi penggalan kisah dari masa lalu.Akan tiba masa, semua kejadian di masa kini akan membuka lembaran kisah di masa yang akan datang.Akan tiba masa, semua rahasia akan terungkap. Baik atau buruk. Semua akan terjadi.Akan tiba masa, di mana takdir akan menyambut.***Aku kira, hidupku hanya sebatas menjadi penyihir biasa di Kota Adrus bersama Kakak. Namun, semua berubah ketika aku menyadari kenyataan yang telah lama dikubur. Kukira Kakak mendapatkan kekuatan dari keturunan layaknya kami sekeluarga. Namun, kegelapan hati telah menguasainya dan dia pun menemui sosok yang paling kami hindari. Jin itu.***Dia ingin membunuhku!Aku hampir saja pingsan ketika pria itu nyaris membunuhku untuk kesekian kalinya. Sudah hilang akalnya! Dia benar-benar ingin aku mati agar menjauh dari kekasihnya."Kau membunuhku!" seruku. Hatiku dipenu
Ayah bilang, aku dan adikku dilahirkan dengan tujuan. Karena memang tidak ada kelahiran yang sia-sia. Ayah bilang, suatu saat nanti kami akan menemukan sebuah negeri yang diimpikan. Tempat di mana kami dapat hidup tenteram dan bahagia bersama. Ayah bilang, dengan mencapainya harus ada pengorbanan. Namun, apa gerangan? *** « Kyara » Sayup-sayup kudengar batinku seakan bicara padaku. Walau di saat yang sama, itu seperti bukan aku. Aku tahu itu, mengingat seperti itu suaraku saat ini, tapi di sisi lain ragu lantaran aku tidak tahu pasti "ayah" yang mana yang dimaksud. Ayahku pada kelahiran ini tidak pernah kujumpai atau diingat, bahkan Ibu hampir tidak pernah membahasnya. Sementara ayah dari Shan hanya kukenal melalui kisah-kisah yang kudengar. Kenapa ingatan ini datang di saat yang tidak tepat? Meski sementara, sukses membuat pikiranku kian kalut. Aku kira semua akan diketahui setelah Zibaq ditaklukkan. Namun, sepertinya ingatan ini akan muncul secara acak. "Putri?" Zach terdenga
"Aku tidak mau!" bentak Ascella ketika Khidir mencoba membujuknya ikut untuk kesekian kali. "Kakak akan kubawa pergi dan kami tidak akan berurusan dengan kalian lagi. Tidak ada lagi sihir atau apa pun itu namanya!" "Kami hanya ingin memastikan kalau dia benar-benar pergi. Meski keadaan kota tampak aman, jin itu masih berkeliaran di sekitar sini," terang Khidir, terdengar berusaha sabar. "Kamu tidak mau kakakmu jadi inang lagi, bukan?" Ascella menatapnya tajam. "Beraninya! Aku tidak akan membiarkan keparat itu merusak hidupku lagi, aku jamin!" "Kamu yakin?" sahut Khidir. "Melawan salah satu dari kami saja sudah membuatmu kewalahan." "Hentikan bacotmu!" bentaknya. Suaranya tetdengar gemetar. "Aku ... tidak ingin terlibat lagi. Aku lelah dengan semua kekacauan ini. Yang kuinginkan hanya hidup tenang bersama Kakak." "Kalau begitu, biarkan kami menjaga kalian," balas Khidir. "Karena kami bisa membantu." "Oh ya? Temanmu ini nyari
Keheningan tadi membuatku terlelap, tanpa menyadari bahwa ada yang bergerak di balik kegelapan. Lama-lama suara pelan dari jejak kaki itu membuatku terjaga. Aku langsung membuka mata meski terasa berat dan penglihatan masih buram. Pandanganku fokus pada satu titik di sisiku. Barulah aku menyadari sesuatu. Ascella menghilang. Aku menatap sekeliling, mencari Guardian yang bisa dibangunkan. Namun, akibat rasa panik aku berseru seakan mendeskripsikan sesuatu. "Dia hilang!" jeritku. "Dia hilang!" Dapat kudengar suara pergerakan dari sekitar, tanda mereka mendengar. Langsung saja aku disambut dengan suara mereka. "Siapa?" Dapat kudengar suara Ezekiel yang masih terdengar mengantuk. "Ascella!" seruku. Kudengar Ezekiel berdecak kesal. "Sudah beban, bikin repot pula!" Sepertinya dia benar-benar membencinya sekarang. Khidir berdiri dan berlari keluar dari tempat persembunyian kami. Sebuah kastel yang sudah lama di
Kedatangan dan kepergiannya yang begitu cepat menyisakan banyak tanda tanya dalam pikiranku. Setiap kali Tirta muncul, masalah lebih cepat selesai. Namun, dia hanya muncul di saat seperti itu saja sementara di lain waktu menghilang seakan ditelan bumi. Antara ada dan tiada, begitulah kira-kira yang kurasakan tentang Tirta. Namun, aku juga belum melihat kisahnya. Barangkali dia ada urusan lain di luar sana. "Kyara?" Kudengar suara Khidir memanggil. Dia entah kenapa terlihat diam saja ketika menghadapi Tirta. "Kenapa kalian takut?" Langsung saja aku bertanya. "Ada apa?" "Enggak takut, sih. Lebih ke segan," jawab Ezekiel. Dia mungkin tampak lebih tenang ketika bicara dengan Tirta, tapi aku menyadari dari nada bicaranya yang seketika sedikit terjeda membuatku yakin dia juga memiliki reaksi sama dengan Khidir. Mereka segan, aku maklum. Padahal beberapa bulan lalu, ketika aku pertama kali berjumpa dengan Tirta, para Guardian tampak biasa saja malah
Kedatangannya Elya tidak kusangka akan sepagi ini. Aku ingat kebiasaan Robert yang bangun lebih awal, barangkali mereka biasa berjanji bertemu sepagi ini. Namun, pagi ini kulihat Robert tampak mengantuk. Saat aku dititipkan di Kapel, tidak kutanyakan langsung saat itu apa yang dia kerjakan di luar sana. Sepertinya melelahkan.“Dia sedang tidur,” jawabku, tidak ada niat membangunkan Robert. Namun, aku rasa Elya bisa menunggu. Toh, gadis itu tahu pasti jadwal kerja Robert, dia biasanya juga tidak akan lama beristirahat setelah terbangun sejenak tadi. Baru hendak kutawari untuk masuk, Elya serahkan tas kecil yang melingkari pinggangnya padaku. Dia melangkah mundur. “Baik, titip pesan padanya jika nanti malam aku akan ke sini lagi.” “Kamu tidak mau menunggu?” Aku bertanya. Ingin rasanya tahu apa yang mereka berdua lakukan, kekuatan yang katanya “mengutak-atik bagian tubuh” masih tergiang dalam pikiranku. Apa gerangan yang Robert rencanakan? Apa ada kaitannya dengan cairan yang biasa dia
Membangun peradaban baru. Belum pernah terpikir jika para Guardian ingin mencapainya, tidak pula aku menduga. Kukira tujuan kami hanya bisa bertemu kembali, memulai hidup bersama seperti keluarga lainnya hingga kembali ke pelukan alam. Jika tidak akan terlahir kembali setelahnya.Elya memandangku, matanya terpaku, menunggu aku membalas, tapi aku tidak tahu jawabannya. Jika saja seorang Guardian di sini, dia pasti bisa menjawab.“Ah, Elya.” Suara tak terduga dari Frederic menyelamatkanku dari pertanyaan tadi. “Sudah lama tidak ke sini. Di mana keluargamu?”“Sedang jalan-jalan,” jawab Elya. “Kamu datang sedikit tepat waktu, aku dan Levi baru saja membahas soal kerajaan awan karena langit-langit ini.”Frederic melayangkan pandangannya pada lukisan itu. “Benarkah? Kami memilih awan karena itu mengingatkan kami akan kehidupan setelah ini,” komentarnya. “Kamu ingat sesuatu?”“Ya, Abi pernah membahas soal kerajaan di atas awan dan mengaku ingin kembali ke sana.” Elya menatapku. “Sayng sekali
Ucapan gadis itu membuatku diam. Memang para Guardian telah menjagaku dari segala bahaya. Namun, aku dan mungkin juga kakakku, Kyara, tidak tahu mengapa kami dijaga selain karena kami pewaris takhta Kerajaan Shan selama ini. Tidak seperti mereka, kami tidak ingat apa pun, hanya ikut alur yang para Guardian tuntun untuk kami.Tidak disangka ada lagi seseorang di taman. Dia berdiri di bawah naungan pohon yang jadi pusat taman, tepatnya berseberangan denganku. Rambutnya biru dengan garis-garis hitam menghiasi beberapa helai, sementara iris mata hitam, kulitnya pun sepucat anak-anak panti. Ciri-ciri anak panti yang sangat pucat membuatku ragu pada asal usul mereka. Orang Danbia memiliki kulit putih sedikit kemerahan, tak terkecuali Robert. Sementara orang Ezilis juga putih, tapi tidak sampai tampak janggal seperti anak-anak panti itu. Namun, aku belum pernah melihat gadis itu di panti dan dia tidak juga terlihat seperti orang-orang dari negeri yang kutahu.Tanganku terangkat perlahan mesk
"Pergi saja ke Kapel. Kau tidak boleh keluar dari sana sampai aku jemput." Hanya itu ucapan Robert yang aku ingat begitu waktu sekolah berakhir. Alih-alih berdiri depan sekolah bersama teman sebaya menunggu dijemput, aku langsung melangkah menuju tempat yang dia maksud. Lokasi Kapel memang tidak jauh, hanya sekitar satu jalan dari sekolahku dan itu masih berada di antara jalanan umum. Barangkali karena ini Robert membiarkanku berjalan seorang diri. Meski beberapa kesempatan–seperti Guardian lainnya–dia tidak ingin aku menjauh darinya, untuk kali ini dia mempercayakan seseorang untuk menjagaku. Kalung ini bersinar saat berada di dekat pria itu, dia pun tahu aku tanggungjawabnya. Aku teruskan langkah dengan boneka kelinci berian Arsene, untungnya tidak ada teman sekelas yang mengambilnya. Dia bisa menemaniku jika suasana Kapel ternyata begitu sunyi.Keadaan Kapel, seperti biasanya, tidak begitu ramai. Lebih terlihat beberapa orang lewat dengan pakaian yang sama seperti Frederic kenakan
"Apa?" Aku tentu heran mendengarnya. Waktu itu juga belum paham maksud dari kata "pemusnah massal" itu sendiri. Aku mulai berpikir keras akan suatu hal yang belum kupahami. Spontan saja kutanyakan persis seperti yang kupikirkan. "Pemusnah apa? Apa itu 'massal'?""Ah, lupakan, aku hanya bergurau," Ekspresi muka Robert tidak menunjukkan apa pun yang membuatnya tampak sedang bercanda, dia terlihat serius seperti biasa."Tapi, apa itu 'massal'?" Aku bersikeras ingin tahu, hati berdebar menerka maksud yang kucari.Robert berdecak pelan. "Dalam jumlah yang banyak."Aku terdiam. Kata "senjata pemusnah massal" berarti senjata yang dapat menghancurkan sesuatu dalam jumlah yang banyak. Jantungku terasa berhenti berdetak untuk sesaat. Kalimat yang baru kupelajari tadi terdengar menakutkan. "Kenapa Robert bilang begitu?" Aku protes, tidak menutupi kalau pelindungku ini memberi kesan seram sejak awal.Robert menghela napas, menggeleng pelan. "Tidak ada."Kali ini, aku mendadak jadi penasaran. Tida
"Ya, bilang saja begitu, mentang-mentang belum ada yang terbunuh." Robert mengucapkannya dengan nada mengejek. Entah mengapa tutur kata lembut dari temannya tidak mempengaruhi reaksinya. "Thomson." Dia sebut nama temannya itu dengan lembut, meski dapat kurasakan tekanan dari suaranya, tanda teguran halus. "Frederic." Robert sebut namanya seperti mendesis, menyebut nama dari temannya sekaligus membalas ucapannya barusan. Pria di depanku, yang kini akan kusebut sebagai Frederic, mempertahankan intonasi suara lembutnya. "Aku juga bertanggung jawab atas nyawanya. Percayalah, dia tidak akan menginjakkan kaki di sini." Di balik suaranya yang tenang, sorot matanya kian tajam, terus memandang ke arah Robert. Suasana kian canggung bagiku, terlebih melihat dua orang dewasa–pelindungku sendiri, kini tengah berada dalam perdebatan. Tampaknya tidak ada salah satu yang ingin mengalah, meski ada perbedaan dari cara menuturkan kata, tapi dapat kutebak masing-masing tetap ingin mempertahankan ke
Barangkali ini kebiasaan yang aku terapkan pada setiap Guardian, saat kami melangkah bersama, kupastikan kami selalu berdampingan. Namun, karena tubuh mereka lebih besar dariku, aku merasa lebih aman bernaung di bawah bayangan mereka. Seperti itulah yang aku lakukan bersama Robert saat ini. Tangan para Guardian selalu begitu besar dibandingkan punyaku, sehingga ketika bergandengan semua jariku tetap tidak sanggup meraih seluruh tangan mereka. Selagi melangkah, pandangan Robert lurus ke depan, sesekali pandangan kami bertemu tanpa reaksi, memastikan tidak terpisah barang sesaat.Langkah kami tertuju pada kapel, tempat yang bernuansa paling tenang di kota Anamsel sejauh ini, walau hanya sedikit tempat yang aku kunjungi di kota. Jumlah orang yang keluar masuk dari kapel masih terbilang sedikit, menambah kesan keheningan yang mendukung aura ketenangan yang dipancarkan. Para petugasnya ramah, apalagi mereka yang sering menerima barang berian dari Robert tadi, semua mengenakan pakaian biru
Malam itu terasa berbeda lantaran aku kini berbaring di kasur dengan Robert di sisiku. Cahaya remang dalam kamar membuat suasana hening terasa damai, meski di saat yang sama diliputi hawa dingin menusuk hingga ke tulang, membuatku menenggelamkan diri dalam selimut selagi memandang pelindungku yang entah mengapa memilih untuk membaringkan badan di atas selimut. Robert memandang langit-langit, mata cokelatnya bergerak mengamati sekeliling kamar, tenggelam dalam pikiran sejenak sebelum akhirnya bersuara."Hal pertama yang kuingat di Shan itu, saat itu aku menghadap Raja sebagai hadiah dari sang Ratu." Robert memulai ceritanya, pandangannya masih fokus memandang langit-langit. Cahaya lampu tidur yang menjadi satu-satunya penerang memantul di matanya.Tanganku masih menggenggam erat selimut, menyimak ucapannya. "Hadiah?" Terkesan aneh karena yang kutahu, hadiah itu biasa berwujud benda mati.Robert mengiakan, masih terus memandang ke atas. "Sang Ratu memberi Raja hadiah berupa aku, dengan
Bunyi keras kembali menyentak keheningan. Bersamaan dengan lantai kayu yang menampar wajahku saat kehilangan keseimbangan. Langsung saja aku terduduk, menatap sosok yang baru saja membuatku jatuh.Tangan besar itu meraih rambutku. Aku menjerit ketika terseret lagi. Sesuatu hendak memangsaku di hari pertama musim dingin ini. Aku menendang-nendang tanah, berupaya melawan meski tiada hasil.Terdengar bunyi daging terpotong, refleks membuatku terpaku, mengira serangan itu tertuju padaku. Tangan yang mencengkeram kepalaku mulai melemah. Aku terjatuh ke lantai, begitu kaki menyentuh lantai, segera aku merangkak menjauh."Pangeran!" Di saat itu juga tubuhku terasa terangkat. Tercium bau khas yang kukenal. Kumpulan aroma wangi yang berasal dari minuman maupun racikan yang selama ini menghias rumah baruku. Dia berdiri di depan, kedua tangan terulur siap meraihku. Segera aku mendekapnya agar tidak terjatuh. Jelas sudah siapa itu, dia pasti langsung keluar begitu melihat bayangan makhluk tadi.