« Ascella »
Akan tiba masa, di mana semua ini hanya akan menjadi penggalan kisah dari masa lalu.Akan tiba masa, semua kejadian di masa kini akan membuka lembaran kisah di masa yang akan datang.Akan tiba masa, semua rahasia akan terungkap. Baik atau buruk. Semua akan terjadi.Akan tiba masa, di mana takdir akan menyambut.***Aku kira, hidupku hanya sebatas menjadi penyihir biasa di Kota Adrus bersama Kakak. Namun, semua berubah ketika aku menyadari kenyataan yang telah lama dikubur. Kukira Kakak mendapatkan kekuatan dari keturunan layaknya kami sekeluarga. Namun, kegelapan hati telah menguasainya dan dia pun menemui sosok yang paling kami hindari.Jin itu.***Dia ingin membunuhku!Aku hampir saja pingsan ketika pria itu nyaris membunuhku untuk kesekian kalinya. Sudah hilang akalnya! Dia benar-benar ingin aku mati agar menjauh dari kekasihnya."Kau membunuhku!" seruku. Hatiku dipenuAyah bilang, aku dan adikku dilahirkan dengan tujuan. Karena memang tidak ada kelahiran yang sia-sia. Ayah bilang, suatu saat nanti kami akan menemukan sebuah negeri yang diimpikan. Tempat di mana kami dapat hidup tenteram dan bahagia bersama. Ayah bilang, dengan mencapainya harus ada pengorbanan. Namun, apa gerangan? *** « Kyara » Sayup-sayup kudengar batinku seakan bicara padaku. Walau di saat yang sama, itu seperti bukan aku. Aku tahu itu, mengingat seperti itu suaraku saat ini, tapi di sisi lain ragu lantaran aku tidak tahu pasti "ayah" yang mana yang dimaksud. Ayahku pada kelahiran ini tidak pernah kujumpai atau diingat, bahkan Ibu hampir tidak pernah membahasnya. Sementara ayah dari Shan hanya kukenal melalui kisah-kisah yang kudengar. Kenapa ingatan ini datang di saat yang tidak tepat? Meski sementara, sukses membuat pikiranku kian kalut. Aku kira semua akan diketahui setelah Zibaq ditaklukkan. Namun, sepertinya ingatan ini akan muncul secara acak. "Putri?" Zach terdenga
"Aku tidak mau!" bentak Ascella ketika Khidir mencoba membujuknya ikut untuk kesekian kali. "Kakak akan kubawa pergi dan kami tidak akan berurusan dengan kalian lagi. Tidak ada lagi sihir atau apa pun itu namanya!" "Kami hanya ingin memastikan kalau dia benar-benar pergi. Meski keadaan kota tampak aman, jin itu masih berkeliaran di sekitar sini," terang Khidir, terdengar berusaha sabar. "Kamu tidak mau kakakmu jadi inang lagi, bukan?" Ascella menatapnya tajam. "Beraninya! Aku tidak akan membiarkan keparat itu merusak hidupku lagi, aku jamin!" "Kamu yakin?" sahut Khidir. "Melawan salah satu dari kami saja sudah membuatmu kewalahan." "Hentikan bacotmu!" bentaknya. Suaranya tetdengar gemetar. "Aku ... tidak ingin terlibat lagi. Aku lelah dengan semua kekacauan ini. Yang kuinginkan hanya hidup tenang bersama Kakak." "Kalau begitu, biarkan kami menjaga kalian," balas Khidir. "Karena kami bisa membantu." "Oh ya? Temanmu ini nyari
Keheningan tadi membuatku terlelap, tanpa menyadari bahwa ada yang bergerak di balik kegelapan. Lama-lama suara pelan dari jejak kaki itu membuatku terjaga. Aku langsung membuka mata meski terasa berat dan penglihatan masih buram. Pandanganku fokus pada satu titik di sisiku. Barulah aku menyadari sesuatu. Ascella menghilang. Aku menatap sekeliling, mencari Guardian yang bisa dibangunkan. Namun, akibat rasa panik aku berseru seakan mendeskripsikan sesuatu. "Dia hilang!" jeritku. "Dia hilang!" Dapat kudengar suara pergerakan dari sekitar, tanda mereka mendengar. Langsung saja aku disambut dengan suara mereka. "Siapa?" Dapat kudengar suara Ezekiel yang masih terdengar mengantuk. "Ascella!" seruku. Kudengar Ezekiel berdecak kesal. "Sudah beban, bikin repot pula!" Sepertinya dia benar-benar membencinya sekarang. Khidir berdiri dan berlari keluar dari tempat persembunyian kami. Sebuah kastel yang sudah lama di
Kedatangan dan kepergiannya yang begitu cepat menyisakan banyak tanda tanya dalam pikiranku. Setiap kali Tirta muncul, masalah lebih cepat selesai. Namun, dia hanya muncul di saat seperti itu saja sementara di lain waktu menghilang seakan ditelan bumi. Antara ada dan tiada, begitulah kira-kira yang kurasakan tentang Tirta. Namun, aku juga belum melihat kisahnya. Barangkali dia ada urusan lain di luar sana. "Kyara?" Kudengar suara Khidir memanggil. Dia entah kenapa terlihat diam saja ketika menghadapi Tirta. "Kenapa kalian takut?" Langsung saja aku bertanya. "Ada apa?" "Enggak takut, sih. Lebih ke segan," jawab Ezekiel. Dia mungkin tampak lebih tenang ketika bicara dengan Tirta, tapi aku menyadari dari nada bicaranya yang seketika sedikit terjeda membuatku yakin dia juga memiliki reaksi sama dengan Khidir. Mereka segan, aku maklum. Padahal beberapa bulan lalu, ketika aku pertama kali berjumpa dengan Tirta, para Guardian tampak biasa saja malah
« Ascella »Inikah akhir dari kisahku? Kukira semua akan berakhir indah, setidaknya menjadikanku sebagai pahlawan di akhir kisah ini. Namun, apa yang kudapat? Semua harapan rasanya telah hilang dariku ketika monster itu menyambar kami dengan petir. Terdengar konyol memang. Namun, aku rasa dia tahu sesuatu. Maksudku, bagaimana dia tahu jika aku berniat ingin menyelamatkan Kakak? Itu tidak sesuai dengan kehendak makhluk-makhluk tadi, dia jelas bagian dari mereka.Kini, aku berbaring dalam sebuah lingkaran transparan. Rasanya diangkut di antara gelombang air. Perlahan aku ditenggelamkan, tapi berkat lingkaran ini aku tetap bisa bernapas. Sekelilingku dipenuhi dengan warna biru tua bercampur sedikit warna yang lebih cerah akibat efek sinar matahari dari atas. Namun, aku tidak merasakan panas maupun dingin. Seakan lingkaran–atau barangkali gelembung–ini telah melindungiku.Di sisiku berbaring Kakak. Tidak, kurasa jin itu masih ada dalam dirinya. Entah kenapa ak
Hingga tiba malam di hari berikutnya, tiada kabar dari Tirta yang mana membuatku cemas. Apa yang dia lakukan pada Zibaq? Kenapa dia bawa Ascella juga? Satu hal yang kupikirkan yang menurutku masuk akal tapi di sisi lain cukup menakutkan bagiku. Memang benar, aku kesal kepada Zibaq yang selalu memburu aku dan adikku. Dia juga telah membunuh ibuku dan menyakiti teman-temanku, para Guardian. Sementara yang kutahu, sosok Tirta yang tampak begitu mudah menaklukkan Zibaq harusnya memberi jin itu hukuman sepantasnya. Namun, apa benar ini yang dia lakukan? Setelah beberapa tahun berlalu, rasanya janggal jika dia pergi begitu saja. Bukan mengapa, aku mengaku terganggu, tapi di sisi lain harus mendengar kisah dari sudut pandangnya. Mengapa dia melakukan semua ini? Mengapa dia menyakiti para Guardian? Apa maunya dari kami? Jika kutanya semua pada pelindungku, aku yakin mereka tidak akan memberi jawaban yang jelas."Putri mau makan?" Suara Ezekiel membuyarkan lamu
Keesokan harinya, Khidir membangunkanku. Sedikit berbeda karena yang biasanya membangunkanku selama ini adalah Mariam kalau aku tidak bangun sendiri. Entah apa yang terjadi pada Mariam, aku jadi ingin bertemu kembali dengannya."Kyara," panggilnya lagi.Aku menyahut meski mataku terasa berat. Sejak kemarin aku merasa aneh, bukan sakit maupun perasaan lain. Antara nyaman dan resah di saat yang sama. Kami memang telah berada di akhir kisah waktu ini, tapi bagaimana berikutnya? Seperti ada sesuatu yang menungguku jauh di masa depan sana. Entah apa."Ayo," bujuknya dengan nada pelan. "Kau aman sekarang, kita bisa pergi tanpa rintangan."Seperti biasa, suara para Guardian memang enak didengar, membuatmu merasa aman di sisinya. Membuat tidurku kian nyenyak saja. Aku mencoba bangun meski dunia masih tampak berputar. "Ke mana?" tanyaku malas."Danbia," jawabnya. "Adikmu menunggu."Mendengarnya, aku berjuang untuk ban
Aku habiskan sebagian waktuku dengan tidur selagi perjalanan terus berlanjut. Sayup-sayup terdengar obrolan antara Ezekiel dan Khidir yang tampak tidak akan habisnya. Kedua Guardian ini jelas sangat sering bicara sehingga keduanya kini bertemu dan menciptakan keramaian tersendiri. Aku ingat dulu, Khidir memang lebih sering bicara karena dia memang seorang pemimpin yang wajar saja kalau menjadikan mulutnya sebagai alat untuk memimpin. Bahkan di saat bersantai dia juga masih banyak bicara. Berbeda dengan sahabatnya, Idris, yang cenderung menanggapi dengan singkat tapi tidak tampak bosan mendengarnya terus bicara. Dia mungkin terlihat seperti orang yang tidak tertarik dengan obrolan Khidir, tapi aku tidak pernah melihat Idris menjauhkan pandangannya selagi temannya bicara. Dia jelas menyimak dan hanya itu yang dia lakukan sebagian waktu.Kalau Ezekiel, aku tidak yakin siapa sahabat karibnya semasa di Adrus. Dia mungkin sering bicara kepada Safir tapi Safir memang ditugask