Keesokan harinya, Khidir membangunkanku. Sedikit berbeda karena yang biasanya membangunkanku selama ini adalah Mariam kalau aku tidak bangun sendiri. Entah apa yang terjadi pada Mariam, aku jadi ingin bertemu kembali dengannya.
"Kyara," panggilnya lagi.Aku menyahut meski mataku terasa berat. Sejak kemarin aku merasa aneh, bukan sakit maupun perasaan lain. Antara nyaman dan resah di saat yang sama. Kami memang telah berada di akhir kisah waktu ini, tapi bagaimana berikutnya? Seperti ada sesuatu yang menungguku jauh di masa depan sana. Entah apa."Ayo," bujuknya dengan nada pelan. "Kau aman sekarang, kita bisa pergi tanpa rintangan."Seperti biasa, suara para Guardian memang enak didengar, membuatmu merasa aman di sisinya. Membuat tidurku kian nyenyak saja.Aku mencoba bangun meski dunia masih tampak berputar. "Ke mana?" tanyaku malas."Danbia," jawabnya. "Adikmu menunggu."Mendengarnya, aku berjuang untuk banAku habiskan sebagian waktuku dengan tidur selagi perjalanan terus berlanjut. Sayup-sayup terdengar obrolan antara Ezekiel dan Khidir yang tampak tidak akan habisnya. Kedua Guardian ini jelas sangat sering bicara sehingga keduanya kini bertemu dan menciptakan keramaian tersendiri. Aku ingat dulu, Khidir memang lebih sering bicara karena dia memang seorang pemimpin yang wajar saja kalau menjadikan mulutnya sebagai alat untuk memimpin. Bahkan di saat bersantai dia juga masih banyak bicara. Berbeda dengan sahabatnya, Idris, yang cenderung menanggapi dengan singkat tapi tidak tampak bosan mendengarnya terus bicara. Dia mungkin terlihat seperti orang yang tidak tertarik dengan obrolan Khidir, tapi aku tidak pernah melihat Idris menjauhkan pandangannya selagi temannya bicara. Dia jelas menyimak dan hanya itu yang dia lakukan sebagian waktu.Kalau Ezekiel, aku tidak yakin siapa sahabat karibnya semasa di Adrus. Dia mungkin sering bicara kepada Safir tapi Safir memang ditugask
« Ascella »Aku tidak menyangka ini akhir dari kisahku. Mengira jika waktu yang berlalu ini semakin dekat menuju hari di mana aku akan dieksekusi, seperti kakakku. Aku yakin Kakak sudah tewas. Satu-satunya anggota keluargaku, harapanku, kini telah tiada. Kini aku sendiri di lautan dalam, di negeri yang jelas tidak ingin menerimaku. Dalam kurungan ini, aku merasa seperti tahanan yang menunggu hari kematianku, di mana dia pada akhirnya akan dihabisi karena kejahatannya. Namun, aku tidak tahu pasti apa yang kuperbuat. Selama ini, aku hanya ingin menyelamatkan Kakak. Gagal, ujungnya malah dikurung dan aku yakin sebentar lagi akan menyusul Kakak di keabadian nanti.Dalam lautan ini, memang banyak pemandangan indah yang bisa dilihat melalui lubang sekecil bola mata, tapi dunia tanpa harapan rasa tiada gunanya. Aku ingin keluar dari sini, atau barangkali menghilang saja daripada menanggung beban ini. Aku mungkin bisa hidup di daratan dan memulai hidup baru, tapi tanpa
« Remi »Malam telah tiba, waktunya makan.Aku akhirnya sudah bisa membiasakan diri makan seperti mereka. Walau jadwal tidur masih sedikit berbeda.Bibi cukup pengertian dengan memberi makan di luar jadwal panti selagi menunggu urusan sosok yang akan mengadopsiku."Levi." Dia menyebut nama samaranku. "Malam ini dia akan datang. Anak panti sudah tertidur, sebaiknya saat ini juga kamu sampaikan salam perpisahan pada mereka."Semua anak panti mulai berbaris setelah makan malam usai. Aku berdiri membelakangi pintu bersama Bibi di sampingku."Terima kasih sudah menjadi temanku. Kuharap kita bisa bermain di lain waktu," ucapku tulus kepada mereka."Dadah!" Mereka melambai berbarengan disertai senyuman perpisahan.Aku membalas senyum mereka sementara Bibi mulai menuntunku ke luar panti. Dia tidak ikut keluar tapi aku telanjur melangkah lebih jauh.Di bawah sinar bulan, kulihat sosoknya berdiri di depanku. Cahaya kalungku bersinar hingga menampakkan sedik
«???»Dia terdiam selagi memandangi langit siang yang tidak kunjung membuatnya tenang. Bagaimana tidak, kabar tentang dirinya yang telah lama ditunggu belum juga datang. Tentang sosok yang selama ini diramalkan akan mengubah hidupnya menjadi lebih baik. Namun, kapan dia datang? Sudah bertahun-tahun menunggu, sosok itu belum juga terdengar kabarnya. Padahal dari ramalan, dia akan datang pada saat negerinya telah mencapai kejayaan seperti saat ini. Apa ramalan itu benar adanya? Dia ingin sekali menemui sosok yang dimaksud.Baru saja hendak beranjak dari duduknya, dia mendengar suara dari luar kamar. Itu berasal dari pelayannya yang tadinya diutus untuk membuatkan hidangan siang ini."Dia telah datang, gadis yang engkau cari."Mendengarnya, senyuman merekah di wajahnya.
« Rama »Malam itu, Mama mengajak ke suatu tempat. Di luar rumah, dunia luar yang tersembunyi. Kami hidup di sebuah tempat yang disebut sebagai panti yang diurus oleh Mama seorang. Dari merawat kami sampai mengelola panti, Mama yang mengurus. Tiada petugas lain, selain kami yang hanya membantu jikalau beliau meminta. Setiap setahun sekali, Mama akan mengumumkan jadwal 'kedewasaan' kami. Tradisi turun menurun kata dia. Kami secara bergilir akan pergi bersama Mama, melihat dunia luar untuk kali pertama dalam seumur hidup. Biasanya dari yang tertua, baru yang termuda. Tidak sekadar jalan-jalan, melainkan juga menempuh jalan hidup baru. Melangkah menuju masa depan yang samar. Malam itu, Mama mengajak ke suatu tempat. Malam itu pula, kami melepas kepergian saudara kami. *** Aku selalu penasaran akan dunia di luar panti. Kami hidup di sebuah panti. Tempat ini tidak begitu tua, tidak juga tampak baru dibangun. Hanya bangunan luas biasa dengan cat cokelat mendominasi serta lapangan
« Hara »"Mama, Mika siap dihukum." Kepulangan Mika yang mendadak membuatku termenung. Ada apa gerangan? "Apa yang Mika lakukan?" Aku bertanya. Gagal membunuh musuh bukan masalah selagi mereka selamat. Anak-anak harus tetap hidup dan menjalaninya dengan bahagia tanpa gangguan dari Pemburu Iblis. "Mika yang salah." Gadis itu menunduk, tampak menahan tangis. "Mika membiarkan Rama masuk ke tas dan menengok dunia luar." Ah, Rama. Anak itu cerdas tapi cukup bandel. Sudah berapa kali dia mencoba kabur dari sini hanya sekadar menjawab rasa penasarannya. Tiada hari tanpa laporan Rama mencoba kabur dan tidak kusangka Mika, sebagai kakaknya, bersedia membawa adiknya ke dunia luar yang penuh bahaya. Tidak seperti kakaknya yang lain, Mika justru membiarkan adiknya dalam bahaya. Tentu saja jadi masalah. Bagaimana kalau nanti anak lain mau ikut? Bakal banyak kendala, terutama anak iblis sangat khas baunya, seperti bau yang biasa dikeluarkan hewan ternak, jelas mudah diketahui. Iblis tidak b
« Mika »Ada pemburu, ada iblis. Dunia perlahan dikuasai iblis. Iblis membutuhkan daging, tapi tiada makhluk bersedia menyerahkan diri. Ketika fajar tiba, di situlah calon mangsa merasa aman. Iblis hanya akan berkeliaran di malam hari. Memangsa siapa saja yang berdiri di depan mata. Di saat iblis berburu, merekalah yang akan diburu. Iblis akan memburu pemburu. Pemburu akan membasmi iblis. Ada iblis, ada pemburu. Jika iblis bertemu pemburu, tidak selamanya mereka akan saling memburu. Jika pemburu melihat iblis, tidak selamanya akan membunuh. Para iblis akan mencari segala cara untuk mengakhiri gangguan ini. Sementara para pemburu iblis, menyebut diri mereka diberkati rembulan. Sehingga di malam hari pun tidak kenal lelah mengejar iblis. "Kesatria Rembulan" nama lain mereka. Percaya bahwa mereka utusan sang Rembulan. Mereka yang berjaga di kala purnama menyinari kelamnya malam. Hingga fajar menyising, menyisakan hari untuk besok. Ada pemburu, ada iblis. Mereka tidak te
Aku dan Raka terlahir kembar. Kami dibesarkan di Panti Graves sejak berusia empat tahun. Sama seperti anak panti lainnya, kami memiliki nama kecil di sana yang hanya terdiri dari satu nama. Namaku Mika, tapi di dunia luar namaku akan berganti sesuai pemberian Bapak. Bapak adalah teman baik Mama yang membantu mengurus panti sejak lama, entah berapa tahun. Yang pasti, keduanya saling percaya dan menjaga. Begitu aku keluar, aku merasa beruntung langsung bisa melihatnya tanpa mencemaskan keberadaan Pemburu Iblis. Bapak yang tahu rute yang aman, sehingga kalau ada dia, sudah dipastikan tidak ada gangguan. Di bawah naungan pohon, kulihat dia sedang menungguku. Wajahnya tampak jelas ketika disinari rembulan. Sambil mengenakan pakaian hangatnya yang biasa dia pakai saat menyusuri hutan. Begitu mendekat, tinggiku sudah hampir sebatas wajahnya. Dulu, aku bahkan tidak bisa meraih tangannya. Dialah Bapak, orang pertama yang kami kenal di panti Graves. Berbeda dengan Mama, Bapak cukup jarang
Kedatangannya Elya tidak kusangka akan sepagi ini. Aku ingat kebiasaan Robert yang bangun lebih awal, barangkali mereka biasa berjanji bertemu sepagi ini. Namun, pagi ini kulihat Robert tampak mengantuk. Saat aku dititipkan di Kapel, tidak kutanyakan langsung saat itu apa yang dia kerjakan di luar sana. Sepertinya melelahkan.“Dia sedang tidur,” jawabku, tidak ada niat membangunkan Robert. Namun, aku rasa Elya bisa menunggu. Toh, gadis itu tahu pasti jadwal kerja Robert, dia biasanya juga tidak akan lama beristirahat setelah terbangun sejenak tadi. Baru hendak kutawari untuk masuk, Elya serahkan tas kecil yang melingkari pinggangnya padaku. Dia melangkah mundur. “Baik, titip pesan padanya jika nanti malam aku akan ke sini lagi.” “Kamu tidak mau menunggu?” Aku bertanya. Ingin rasanya tahu apa yang mereka berdua lakukan, kekuatan yang katanya “mengutak-atik bagian tubuh” masih tergiang dalam pikiranku. Apa gerangan yang Robert rencanakan? Apa ada kaitannya dengan cairan yang biasa dia
Membangun peradaban baru. Belum pernah terpikir jika para Guardian ingin mencapainya, tidak pula aku menduga. Kukira tujuan kami hanya bisa bertemu kembali, memulai hidup bersama seperti keluarga lainnya hingga kembali ke pelukan alam. Jika tidak akan terlahir kembali setelahnya.Elya memandangku, matanya terpaku, menunggu aku membalas, tapi aku tidak tahu jawabannya. Jika saja seorang Guardian di sini, dia pasti bisa menjawab.“Ah, Elya.” Suara tak terduga dari Frederic menyelamatkanku dari pertanyaan tadi. “Sudah lama tidak ke sini. Di mana keluargamu?”“Sedang jalan-jalan,” jawab Elya. “Kamu datang sedikit tepat waktu, aku dan Levi baru saja membahas soal kerajaan awan karena langit-langit ini.”Frederic melayangkan pandangannya pada lukisan itu. “Benarkah? Kami memilih awan karena itu mengingatkan kami akan kehidupan setelah ini,” komentarnya. “Kamu ingat sesuatu?”“Ya, Abi pernah membahas soal kerajaan di atas awan dan mengaku ingin kembali ke sana.” Elya menatapku. “Sayng sekali
Ucapan gadis itu membuatku diam. Memang para Guardian telah menjagaku dari segala bahaya. Namun, aku dan mungkin juga kakakku, Kyara, tidak tahu mengapa kami dijaga selain karena kami pewaris takhta Kerajaan Shan selama ini. Tidak seperti mereka, kami tidak ingat apa pun, hanya ikut alur yang para Guardian tuntun untuk kami.Tidak disangka ada lagi seseorang di taman. Dia berdiri di bawah naungan pohon yang jadi pusat taman, tepatnya berseberangan denganku. Rambutnya biru dengan garis-garis hitam menghiasi beberapa helai, sementara iris mata hitam, kulitnya pun sepucat anak-anak panti. Ciri-ciri anak panti yang sangat pucat membuatku ragu pada asal usul mereka. Orang Danbia memiliki kulit putih sedikit kemerahan, tak terkecuali Robert. Sementara orang Ezilis juga putih, tapi tidak sampai tampak janggal seperti anak-anak panti itu. Namun, aku belum pernah melihat gadis itu di panti dan dia tidak juga terlihat seperti orang-orang dari negeri yang kutahu.Tanganku terangkat perlahan mesk
"Pergi saja ke Kapel. Kau tidak boleh keluar dari sana sampai aku jemput." Hanya itu ucapan Robert yang aku ingat begitu waktu sekolah berakhir. Alih-alih berdiri depan sekolah bersama teman sebaya menunggu dijemput, aku langsung melangkah menuju tempat yang dia maksud. Lokasi Kapel memang tidak jauh, hanya sekitar satu jalan dari sekolahku dan itu masih berada di antara jalanan umum. Barangkali karena ini Robert membiarkanku berjalan seorang diri. Meski beberapa kesempatan–seperti Guardian lainnya–dia tidak ingin aku menjauh darinya, untuk kali ini dia mempercayakan seseorang untuk menjagaku. Kalung ini bersinar saat berada di dekat pria itu, dia pun tahu aku tanggungjawabnya. Aku teruskan langkah dengan boneka kelinci berian Arsene, untungnya tidak ada teman sekelas yang mengambilnya. Dia bisa menemaniku jika suasana Kapel ternyata begitu sunyi.Keadaan Kapel, seperti biasanya, tidak begitu ramai. Lebih terlihat beberapa orang lewat dengan pakaian yang sama seperti Frederic kenakan
"Apa?" Aku tentu heran mendengarnya. Waktu itu juga belum paham maksud dari kata "pemusnah massal" itu sendiri. Aku mulai berpikir keras akan suatu hal yang belum kupahami. Spontan saja kutanyakan persis seperti yang kupikirkan. "Pemusnah apa? Apa itu 'massal'?""Ah, lupakan, aku hanya bergurau," Ekspresi muka Robert tidak menunjukkan apa pun yang membuatnya tampak sedang bercanda, dia terlihat serius seperti biasa."Tapi, apa itu 'massal'?" Aku bersikeras ingin tahu, hati berdebar menerka maksud yang kucari.Robert berdecak pelan. "Dalam jumlah yang banyak."Aku terdiam. Kata "senjata pemusnah massal" berarti senjata yang dapat menghancurkan sesuatu dalam jumlah yang banyak. Jantungku terasa berhenti berdetak untuk sesaat. Kalimat yang baru kupelajari tadi terdengar menakutkan. "Kenapa Robert bilang begitu?" Aku protes, tidak menutupi kalau pelindungku ini memberi kesan seram sejak awal.Robert menghela napas, menggeleng pelan. "Tidak ada."Kali ini, aku mendadak jadi penasaran. Tida
"Ya, bilang saja begitu, mentang-mentang belum ada yang terbunuh." Robert mengucapkannya dengan nada mengejek. Entah mengapa tutur kata lembut dari temannya tidak mempengaruhi reaksinya. "Thomson." Dia sebut nama temannya itu dengan lembut, meski dapat kurasakan tekanan dari suaranya, tanda teguran halus. "Frederic." Robert sebut namanya seperti mendesis, menyebut nama dari temannya sekaligus membalas ucapannya barusan. Pria di depanku, yang kini akan kusebut sebagai Frederic, mempertahankan intonasi suara lembutnya. "Aku juga bertanggung jawab atas nyawanya. Percayalah, dia tidak akan menginjakkan kaki di sini." Di balik suaranya yang tenang, sorot matanya kian tajam, terus memandang ke arah Robert. Suasana kian canggung bagiku, terlebih melihat dua orang dewasa–pelindungku sendiri, kini tengah berada dalam perdebatan. Tampaknya tidak ada salah satu yang ingin mengalah, meski ada perbedaan dari cara menuturkan kata, tapi dapat kutebak masing-masing tetap ingin mempertahankan ke
Barangkali ini kebiasaan yang aku terapkan pada setiap Guardian, saat kami melangkah bersama, kupastikan kami selalu berdampingan. Namun, karena tubuh mereka lebih besar dariku, aku merasa lebih aman bernaung di bawah bayangan mereka. Seperti itulah yang aku lakukan bersama Robert saat ini. Tangan para Guardian selalu begitu besar dibandingkan punyaku, sehingga ketika bergandengan semua jariku tetap tidak sanggup meraih seluruh tangan mereka. Selagi melangkah, pandangan Robert lurus ke depan, sesekali pandangan kami bertemu tanpa reaksi, memastikan tidak terpisah barang sesaat.Langkah kami tertuju pada kapel, tempat yang bernuansa paling tenang di kota Anamsel sejauh ini, walau hanya sedikit tempat yang aku kunjungi di kota. Jumlah orang yang keluar masuk dari kapel masih terbilang sedikit, menambah kesan keheningan yang mendukung aura ketenangan yang dipancarkan. Para petugasnya ramah, apalagi mereka yang sering menerima barang berian dari Robert tadi, semua mengenakan pakaian biru
Malam itu terasa berbeda lantaran aku kini berbaring di kasur dengan Robert di sisiku. Cahaya remang dalam kamar membuat suasana hening terasa damai, meski di saat yang sama diliputi hawa dingin menusuk hingga ke tulang, membuatku menenggelamkan diri dalam selimut selagi memandang pelindungku yang entah mengapa memilih untuk membaringkan badan di atas selimut. Robert memandang langit-langit, mata cokelatnya bergerak mengamati sekeliling kamar, tenggelam dalam pikiran sejenak sebelum akhirnya bersuara."Hal pertama yang kuingat di Shan itu, saat itu aku menghadap Raja sebagai hadiah dari sang Ratu." Robert memulai ceritanya, pandangannya masih fokus memandang langit-langit. Cahaya lampu tidur yang menjadi satu-satunya penerang memantul di matanya.Tanganku masih menggenggam erat selimut, menyimak ucapannya. "Hadiah?" Terkesan aneh karena yang kutahu, hadiah itu biasa berwujud benda mati.Robert mengiakan, masih terus memandang ke atas. "Sang Ratu memberi Raja hadiah berupa aku, dengan
Bunyi keras kembali menyentak keheningan. Bersamaan dengan lantai kayu yang menampar wajahku saat kehilangan keseimbangan. Langsung saja aku terduduk, menatap sosok yang baru saja membuatku jatuh.Tangan besar itu meraih rambutku. Aku menjerit ketika terseret lagi. Sesuatu hendak memangsaku di hari pertama musim dingin ini. Aku menendang-nendang tanah, berupaya melawan meski tiada hasil.Terdengar bunyi daging terpotong, refleks membuatku terpaku, mengira serangan itu tertuju padaku. Tangan yang mencengkeram kepalaku mulai melemah. Aku terjatuh ke lantai, begitu kaki menyentuh lantai, segera aku merangkak menjauh."Pangeran!" Di saat itu juga tubuhku terasa terangkat. Tercium bau khas yang kukenal. Kumpulan aroma wangi yang berasal dari minuman maupun racikan yang selama ini menghias rumah baruku. Dia berdiri di depan, kedua tangan terulur siap meraihku. Segera aku mendekapnya agar tidak terjatuh. Jelas sudah siapa itu, dia pasti langsung keluar begitu melihat bayangan makhluk tadi.