Ucapan gadis itu membuatku diam. Memang para Guardian telah menjagaku dari segala bahaya. Namun, aku dan mungkin juga kakakku, Kyara, tidak tahu mengapa kami dijaga selain karena kami pewaris takhta Kerajaan Shan selama ini. Tidak seperti mereka, kami tidak ingat apa pun, hanya ikut alur yang para Guardian tuntun untuk kami.Tidak disangka ada lagi seseorang di taman. Dia berdiri di bawah naungan pohon yang jadi pusat taman, tepatnya berseberangan denganku. Rambutnya biru dengan garis-garis hitam menghiasi beberapa helai, sementara iris mata hitam, kulitnya pun sepucat anak-anak panti. Ciri-ciri anak panti yang sangat pucat membuatku ragu pada asal usul mereka. Orang Danbia memiliki kulit putih sedikit kemerahan, tak terkecuali Robert. Sementara orang Ezilis juga putih, tapi tidak sampai tampak janggal seperti anak-anak panti itu. Namun, aku belum pernah melihat gadis itu di panti dan dia tidak juga terlihat seperti orang-orang dari negeri yang kutahu.Tanganku terangkat perlahan mesk
Membangun peradaban baru. Belum pernah terpikir jika para Guardian ingin mencapainya, tidak pula aku menduga. Kukira tujuan kami hanya bisa bertemu kembali, memulai hidup bersama seperti keluarga lainnya hingga kembali ke pelukan alam. Jika tidak akan terlahir kembali setelahnya.Elya memandangku, matanya terpaku, menunggu aku membalas, tapi aku tidak tahu jawabannya. Jika saja seorang Guardian di sini, dia pasti bisa menjawab.“Ah, Elya.” Suara tak terduga dari Frederic menyelamatkanku dari pertanyaan tadi. “Sudah lama tidak ke sini. Di mana keluargamu?”“Sedang jalan-jalan,” jawab Elya. “Kamu datang sedikit tepat waktu, aku dan Levi baru saja membahas soal kerajaan awan karena langit-langit ini.”Frederic melayangkan pandangannya pada lukisan itu. “Benarkah? Kami memilih awan karena itu mengingatkan kami akan kehidupan setelah ini,” komentarnya. “Kamu ingat sesuatu?”“Ya, Abi pernah membahas soal kerajaan di atas awan dan mengaku ingin kembali ke sana.” Elya menatapku. “Sayng sekali
Kedatangannya Elya tidak kusangka akan sepagi ini. Aku ingat kebiasaan Robert yang bangun lebih awal, barangkali mereka biasa berjanji bertemu sepagi ini. Namun, pagi ini kulihat Robert tampak mengantuk. Saat aku dititipkan di Kapel, tidak kutanyakan langsung saat itu apa yang dia kerjakan di luar sana. Sepertinya melelahkan.“Dia sedang tidur,” jawabku, tidak ada niat membangunkan Robert. Namun, aku rasa Elya bisa menunggu. Toh, gadis itu tahu pasti jadwal kerja Robert, dia biasanya juga tidak akan lama beristirahat setelah terbangun sejenak tadi. Baru hendak kutawari untuk masuk, Elya serahkan tas kecil yang melingkari pinggangnya padaku. Dia melangkah mundur. “Baik, titip pesan padanya jika nanti malam aku akan ke sini lagi.” “Kamu tidak mau menunggu?” Aku bertanya. Ingin rasanya tahu apa yang mereka berdua lakukan, kekuatan yang katanya “mengutak-atik bagian tubuh” masih tergiang dalam pikiranku. Apa gerangan yang Robert rencanakan? Apa ada kaitannya dengan cairan yang biasa dia
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Namanya Mariam.Wanita misterius, menyibak masa lalu.Aku tidak tahu siapa dia, tapi dia tahu siapa aku.Kenapa aku ada dan apa yang akan terjadi ke depannya.Hidup sederhana, tanpa tahu tragedi. Kini semua terpampang jelas di depan.Hanya melangkah yang bisa kulakukan. Tak tahu ke mana arah takdirku.Mariam beritahu apa yang tidak diketahui.Negeriku hancur karenanya.Aku terpisah dengan mereka, para pelindungku.Hanya kalung ini kenangan dari mereka.Kalung itu hanya menanda, mana mereka dan orang asing.Mereka menantiku. Dengan sabar menunggu kelahiranku dan dia.Mariam tahu siapa mereka dan tugas yang diemban.Mereka adalah ...✵─────
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Sejak dilahirkan, aku tidak tahu takdir yang menanti selain melanjutkan jejak Ibu sebagai pedagang. Tidak banyak yang bisa kuceritakan, kisahku tidak beda jauh dibandingkan anak lain di desaku.Namaku Kyara. Tidak ada nama tengah, maupun belakang. Rambutku pendek berwarna hijau gelap khas desaku, begitu pula dengan mataku. Aku tinggal dengan Ibu yang bekerja sebagai pedagang. Setiap hari kami bekerja demi sekeping uang.Kami tinggal di Desa Anba, desa terpencil di Shyr, sebuah negeri yang panas namun peradabannya tidak kalah maju dengan negeri lain."Kyara, bantu Ibu menyusun dagangan!" seru Ibu begitu membangunkanku.Aku menggaruk leher, benda itu selalu saja mengganggu tidurku. Kalung yang melingkar di leher sejak lahir, tidak pernah lepas dari tuannya. Meski sudah kucoba membuangnya, besoknya pasti kembali padaku. Bukannya benci, benda ini tampak tidak bermutu sejak awal. Lihat buahnya, seperti batu kecil yang ada di jala
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Ibu ...Aku tidak bisa menjerit, atau meraung meratapi. Hanya diam membiarkan mata membasahi wajah.Apa jadinya jika Ibu masih hidup? Barangkali besok kami akan berkuda bersama Mariam. Lalu pergi entah ke mana bersama wanita asing ini.Tapi, kenapa kadal itu ada? Dari mana asalnya?Ibu, aku tahu harus bagaimana?Jangan menangis.Itulah bisikan batinku, tapi aku tidak tahu harus berpikir apa lagi.Kulirik lengan Mariam yang memagari tubuhku. Entah sampai mana Mariam membawaku, yang pasti letaknya sangat jauh dari Desa Anba. Aku takut menoleh, apalagi jeritan warga yang semakin jauh dan senyap seakan tidak pernah terjadi sebelumnya."Ibu," gumamku. Aku hendak berucap, tapi lidahku kelu.Sepanjang perjalanan, aku diam saja. Wanita itu bahkan tidak mengajak bicara, hanya fokus ke depan menuju tempat yang terasing."Kita ... Ke m
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Aku tidak tidur sepanjang jalan.Kami lewati gurun yang asing bagiku. Belum pernah kulihat gurun sebelumnya dan tidak pernah kubayangkan bakal sepanas ini. Selama hidupku, aku mengira gurun hanya tempat yang dipenuhi pasir, tak terlintas seberapa ganas tempat itu.Mariam tidak berkutik selama ini. Dia pun tidak menunjukkan kelelahan sepertiku. Sudah dipastikan dia pernah melewati tempat ini sebelumnya.Aku jadi teringat akan kisah para tetangga. Tentang para pemburu jin dan sihir. Mariam jelas sangat mirip dengan tokoh-tokoh itu.Demi mencairkan suasana, aku pun bicara.“Kamu mengingatkanku dengan seorang pemburu jin dan iblis,” kataku. “Itu pernah terjadi?”“Ya,” balas Mariam. “Ayahku juga.”“Benarkah?” Aku berbasa-basi. “Jadi, ini motivasimu?”“Tidak.” Jawabannya su
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Kota Batu Saghra jauh lebih suram dari dugaanku. Semakin kami mendekat, langit semakin muram dan berangin. Mariam tetap memacu kudanya hingga masuk semakin dalam ke kota.Seperti yang kalian tahu, kota ini tampak terbengkalai. Tidak hanya terkesan tak berpenghuni, tapi juga dipenuhi patung berbentuk manusia layaknya arca. Sebagian sudah rusak, kebanyakan kepalanya sudah hilang. Terasa mustahil jika kami dapat menyelamatkan mereka.“Jangan jauh-jauh dariku, Kyara,” bisik Mariam. “Tempat ini bukan untuk bermain.”Aku membalas, “Anak macam apa yang mengira ini taman bermain?”“Ada banyak anak-anak ke sini karena penasaran, lihat apa yang terjadi.”Beberapa hewan mulai dari jinak sampai yang buas berdatangan. Anehnya, mereka hanya menatap kami. Tidak ada reaksi lain. Begitu aku balas tatapan mereka, matanya seakan mengisyaratkan sesuatu padaku.