✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵
Aku tidak tidur sepanjang jalan.
Kami lewati gurun yang asing bagiku. Belum pernah kulihat gurun sebelumnya dan tidak pernah kubayangkan bakal sepanas ini. Selama hidupku, aku mengira gurun hanya tempat yang dipenuhi pasir, tak terlintas seberapa ganas tempat itu.
Mariam tidak berkutik selama ini. Dia pun tidak menunjukkan kelelahan sepertiku. Sudah dipastikan dia pernah melewati tempat ini sebelumnya.
Aku jadi teringat akan kisah para tetangga. Tentang para pemburu jin dan sihir. Mariam jelas sangat mirip dengan tokoh-tokoh itu.
Demi mencairkan suasana, aku pun bicara.
“Kamu mengingatkanku dengan seorang pemburu jin dan iblis,” kataku. “Itu pernah terjadi?”
“Ya,” balas Mariam. “Ayahku juga.”
“Benarkah?” Aku berbasa-basi. “Jadi, ini motivasimu?”
“Tidak.” Jawabannya sungguh di luar dugaan. “Aku sama sekali tidak dekat dengannya, bertatap muka saja hampir tidak pernah. Alasanku tidak lain hanya untuk bertahan hidup.”
Aku entah bagaimana, bersimpati. “Aku ikut sedih.”
“Aku tidak meminta simpatimu, Kyara,” balasnya dingin. “Aku hanya menjelaskan apa yang terjadi.”
Aku merasa canggung.
“Kalau Kyara sendiri?” Mariam balik bertanya. “Kamu pernah terbayang ingin keluar dari rumah dan berpetualang?”
“Um ... Ya,” balasku jujur. “Tapi, Ibu melarang.”
“Begitu juga dengan ibuku,” ujar Mariam. “Beliau pernah menghukumku karena mencoba berjalan keluar desa sebelum aku paham tentang bahayanya.”
“Kenapa baru muncul sekarang?” tanyaku. “Bahayanya.”
“Bahaya selalu mengintai kita,” balas Mariam. “Kita saja yang lengah.”
Aku mengalihkan pandangan ke depan. Pasir. Semuanya pasir. Memperparah suasana hatiku. Mariam tampaknya paham dengan keadaanku yang menyedihkan ini.
“Kita akan istirahat di gua terdekat,” ujar Mariam.
“Memangnya ada?” tanyaku.
“Aku sering menginap di sana,” balasnya sambil memacu kudanya.
Jarak menuju gua itu sangat jauh, ibarat setitik debu di depan mataku. Sudah pasti, kami akan sampai saat malam tiba.
***
“Bangun!” Mariam menepuk pipiku.
Aku tersentak.
Kami sudah sampai di gua itu. Aromanya sangat aneh, mirip bau kandang ayam. Belum lagi penerangannya hanya berasal dari obor yang baru dinyalakan.
Mariam menjatuhkan sebuah kantung berisi buah delima, tampaknya baru dibeli di kota itu.
Aku memakannya sementara Mariam terus menyusuri gua lalu kembali ke sini.
“Semua aman,” lapornya. “Kita menginap di sini.”
Kami tertidur tidak jauh dari bibir gua. Aku tidur di sisi Mariam sementara barang bawaan ada di belakangnya. Sementara kudanya sedang tertidur di seberang sambil berdiri.
Perlahan menggema suara tetesan air berjatuhan. Terdengar suara langkah kaki.
Tunggu, langkah kaki?
Aku merasakan kejanggalan, seakan sesuatu sedang berjalan mendekat.
Begitu kubuka mata, terlihat seorang bertudung memungut barang bawaan kami.
Belum sempat membuka mulut, orang itu sadar dan berlari.
“Hei!” Aku mengejarnya.
Aku mengejar hingga kami keluar gua. Tudungnya yang berkibar memudahkanku untuk menangkap orang itu.
Aku melompat dan menarik jubah hingga seluruh penyamarannya terbuka.
Ia terkejut dan menghentikan larinya.
Seorang wanita, berambut biru safir dengan mata kuning menyala. Dia mengatupkan rahang dan mengubah wujudnya menjadi rubah biru.
Aku berlari menyusul dan menindih tubuh rubahnya hingga kami berdua tergulung di pasir.
Rubah itu kembali mengubah wujudnya menjadi wanita lagi. Anehnya, seperti sihir, tidak ada perubahan di tubuhnya. Apakah dia jin?
Tanganku ditariknya. “Akan kujual kau!” ancamnya.
Kedua tanganku dikunci hingga aku terjatuh ke tanah. Tangannya meraih sebuah batu dan bersiap memukulku.
“Kyara!” Mariam meninjunya.
Wanita itu terkapar di sampingku. Aku beringsut menjauh.
Kini, Mariam yang menahan tangannya. Wanita itu tak berkutik lagi.
“Kamu tampaknya lupa siapa aku,” kata Mariam.
“Aku bahkan tidak tahu kamu!” balas wanita itu ketus.
Tunggu, Mariam mengenalnya?
“Lepaskan aku!” seru wanita itu. “Aku berjanji akan melakukan apapun!”
“Apapun?” beo Mariam, tampak tertarik.
Wanita itu mengiakan. “Lepaskan!”
Mariam menyeretnya kembali ke gua sementara aku menyusul. Wanita itu didudukan di tanah sementara Mariam berdiri di depannya.
“Apa kau tahu Kota Saghra?” tanya Mariam.
Wanita itu membalas, “Ya. Aku baru keluar dari sana.”
“Bagaimana bisa?” Mariam heran. “Seharusnya kau sudah jadi batu!”
“Izinkan aku bercerita,” ujar wanita itu, lalu memulai kisahnya.
Kami pun menyimak.
“Namaku Safir. Kau tahu sendiri dari warna rambutku. Aku hanyalah Pengalih-Rupa rubah yang hidup di keluarga pencuri. Begitulah kisah hidupku, mencuri dan kabur.
“Beberapa hari lalu, aku sempat terpikir untuk mencuri harta milik penyihir Ariya Wynter yang hidup di Kota Batu Saghra. Berkat saran dari kakakku, aku berhasil masuk dan keluar dengan selamat.”
“Bagaimana?” tanya Mariam, terlihat tidak sabar.
Safir lalu menyerahkan selembar kertas. “Semoga kalian keluar dengan selamat.”
Kertas itu bertuliskan :
- Jangan pernah menerima minuman berupa air berbau dan berwarna.
- Jika Ariya menawarkan tempat tidur, pilihlah yang paling jauh dari kamarnya. Kamar Ariya terletak di pintu biru. Pastikan benda tajam dibuang terlebih dahulu.
- Ariya adalah penyihir yang suka dongeng, ada baiknya menceritakan serangkaian kisah kepadanya.
- Jangan terlalu lama menatap matanya, karena itu salah satu caranya dapat merubah seseorang menjadi batu.
- Ketika tidur, bangunlah pada malam hari. Jika kalian melihatnya sedang menjarang air, tunggu sampai lengah. Ganti airnya dengan air biasa selagi sempat.
- Ketika esoknya dia menyerahkan minuman itu, minumlah. Semua akan baik-baik saja. Setelahnya, terserah.
“Kakakku berhasil kabur,” jelas Safir. “Dan ingat, jangan gegabah!”
Mariam membaca kertas dengan cermat. “Kau kubebaskan.”
Aku pun melepaskan tali yang mengikatnya. Safir langsung berdiri dan mengelus tangannya.
“Kamu utusan Raja Khidir?” tanya Safir pada Mariam.
“Ya.”
“Terima kasih,” kata Safir. “Sekali lagi, semoga kalian selamat.”
“Ya.” Mariam membalas datar. Jelas ingin Safir segera pergi.
Wanita itu tidak bergerak, tampaknya dia menunggu sesuatu dari Mariam.
Mariam menggeram. “Nih!” Dia lempar sejumlah uang perak kepada Safir.
Safir memungutnya dengan wajah berseri. Dia pamit begitu saja, membawa lari uang Mariam yang tidak seberapa itu. Tidak bisa kubayangkan seberapa kerasnya hidup Safir.
Seakan membaca pikiranku, Mariam menyahut dengan nada berbisik. “Jangan bersimpati!”
“Aku tidak bersimpati,” sanggahku. “Aku hanya menyayangkan tingkahnya. Sudah dibebaskan, minta imbalan lagi.”
“Wajar saja,” sahut Mariam. “Begitulah deritanya menjadi anak jalanan. Banyak orang seperti dia, bahkan lebih parah. Sudah, abaikan saja.”
Aku teringat dengan negeri yang disebutnya. “Ada apa dengan Kota Batu Saghra?”
“Kota Batu Saghra adalah kota terkutuk di Shyr,” jelas Mariam. “Seperti namanya, penduduknya mayoritas diubah menjadi batu. Sebagian menjadi hewan hanya untuk dimakan sang penyihir.”
“Penyihir?”
“Ariya Wynter, putri kedua dari Count Wynter, salah satu penguasa di negeri ini.” Mariam menyusun barangnya. “Ayo, kita akan pergi.”
“Sekarang?”
“Kenapa tidak?”
“Maksudku, demi apa?” Aku memberanikan diri bertanya.
Mariam diam sejenak. “Ini perintah Khidir.”
Sahutan itu membungkam mulutku. Dengan patuh aku ikut dan kami kembali melanjutkan perjalanan.
Dalam benakku, apa saja tugas yang diemban? Kenapa Raja Khidir mengutusnya?
“Untuk apa ke sana? Bukankah itu bunuh diri?” tanyaku di sela perjalanan.
“Aku akan mengambil hartanya,” ujar Mariam. “Dan membebaskan mereka yang dikutuk. Lagi pula, ini perintah si Khidir.”
Mendengarnya, aku langsung tahu jika Mariam tidak beda jauh dengan Safir. Pengelana, juga membunuh lawan untuk mengambil harta mereka.
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Kota Batu Saghra jauh lebih suram dari dugaanku. Semakin kami mendekat, langit semakin muram dan berangin. Mariam tetap memacu kudanya hingga masuk semakin dalam ke kota.Seperti yang kalian tahu, kota ini tampak terbengkalai. Tidak hanya terkesan tak berpenghuni, tapi juga dipenuhi patung berbentuk manusia layaknya arca. Sebagian sudah rusak, kebanyakan kepalanya sudah hilang. Terasa mustahil jika kami dapat menyelamatkan mereka.“Jangan jauh-jauh dariku, Kyara,” bisik Mariam. “Tempat ini bukan untuk bermain.”Aku membalas, “Anak macam apa yang mengira ini taman bermain?”“Ada banyak anak-anak ke sini karena penasaran, lihat apa yang terjadi.”Beberapa hewan mulai dari jinak sampai yang buas berdatangan. Anehnya, mereka hanya menatap kami. Tidak ada reaksi lain. Begitu aku balas tatapan mereka, matanya seakan mengisyaratkan sesuatu padaku.
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Pada tengah malam, kami keluar dari kamar secara mengendap-endap. Beruntung aku bisa berjalan tanpa mengeluarkan banyak suara berkat lantainya yang dilapisi karpet. Kami sengaja berjalan bertelanjang kaki demi mengurangi suara.“Dia ada di dapur,” bisik Mariam sambil meneruskan jalannya.Aku hanya membuntuti. Meski misi ini tampak mustahil, setidaknya kami berusaha menolong penduduk kota Saghra.Dapur letaknya cukup jauh, memakan waktu lebih dari sepuluh menit. Anehnya, tidak ada Ariya atau suara mencurigakan meski kami jelas-jelas sedang menyelinap.Kakiku kesakitan. Aku tidak terbiasa berjalan terlalu lama, dulu hanya beberapa menit sambil menemani Ibu berjualan. Tapi rasa penasaran mengalahkan sakit, aku ingin melihat cara Ariya memasak ramuan.Kami menerobos masuk ke sebuah gudang yang terbuat dari kayu, kami akhirnya dapat mengintip di sela lubang-lubang di dinding.
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Aibarab, kota kembaran Shyr. Mulai dari bahasa hingga budaya sama, namun rakyatnya kurang akur akibat rebutan kebudayaan hingga kuliner. Jarak antara keduanya hampir 200 kilometer dan bisa dibilang versi lebih modern dari negeri kelahiranku. Aku teringat saat orang-orang di Desa Anba bercerita tentang Aibarab. “Hidup di sana serba mewah dan mahal, tapi penduduknya sangat cuek dan egois. Meski, positifnya, mereka tidak mencampuri urusan orang lain, tetap saja, saking cueknya mereka bahkan hanya menyaksikan seseorang dibunuh di depan mata mereka.” Aku kebetulan ada di sana, ikut terkesiap mendengar kisahnya. “Kamu di sana saat itu?” tanyaku. “Aku yang memanggil petugas keamanan! Para rakyat hanya menonton dengan wajah takut tapi diam saja! Bayangkan, betapa kejamnya mereka. Saat petugas keamanan datang, kalian bisa tebak sendiri, pelakunya keburu kabur. Untung banyak saksi, meski mere
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Mariam datang begitu temannya itu selesai mengucapkannya. Meski Mariam hanya pergi dalam waktu beberapa jam saja, aku bersyukur kalau dia lekas kembali. “Bagaimana?” tanya temannya. “Tidak buruk,” balas Mariam. “Aku bekerja sebagai pelayan keluarga penyihir.” “Bagus! Tepat sasaran!” Wanita itu menepuk bahu Mariam. “Itu lumayan untuk dua orang seperti kalian.” “Masalahnya, dia seorang bangsawan yang kita cari, Count Wynter.” “Lalu, kenapa diterima?” tanya Temannya Mariam. “Bukannya upah dari Safar sudah cukup?” “Ini bagian dari tugasku.” Mariam menatapnya dingin. “Kamu baru saja menyebut Raja dengan nama depan seakan dekat? Sahabat karibnya saja masih memanggil dengan nama belakang.” “Dia terlalu formal,” balas Temannya Mariam. “Lagi pula, toh, Safar itu gaul. Tidak pandang kasta.” “Terserah.” Perdebatan mereka berakhir di situ.
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Pikiranku tercampur aduk gara-gara Delisa. Memangnya benar? Apa Mariam selama ini berbahaya? Semua kebaikannya selama ini hanya demi dirinya sendiri? “Reem?” Mariam memanggilku dengan nama kedua. “Hei!” Lamunanku membuyar. Aku waktu itu tidak mendengar ucapannya, kukira dia bertanya apakah aku mulai dekat dengan para majikanku. “Tidak.” “Tidak apanya?” Mariam selesai melipat pakaian sementara aku yang membantunya justru ketinggalan. Duh, malunya! “Kalau diam terus, kapan selesainya?” Mariam terdengar kesal. “Cepat selesaikan bagianmu!” Aku bergegas merapikan baju. Meski terkesan ala kadar, setidaknya Mariam dengan sabar mengajariku cara melipatnya dengan rapi. Memerlukan waktu lebih dari setengah jam bagiku untuk melipat. Terpaksa Mariam turun tangan. “Malam ini, Count akan datang,” ujar Mariam. “Jaga sikap!” “Baik.” ***
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ “Reem ...!” Jeritan si Kembar menyakiti telingaku. Aduh, mereka lagi! “Ayo! Ayo! Sekolah!” Delina menyeretku. “Ayo, bawa tas kami!” Delisa melempar dua buah tas ke arahku. Buk! Aku menyambutnya, meski nyaris jatuh. Seberapa kuat mereka ini? “Ayo, Pelayan!” seru Delina. “Namanya Reem!” balas Delisa. “Nanti tersinggung dia!” Aduh, dua-duanya sama saja! “Ayo, Reem! Kamu makhluk hidup, ‘kan? Bisa berjalan? Ayo!” Aku ikuti arah jalan mereka. Aku teringat dengan pria berambut putih kemarin. Siapa dia? Kenapa kalungku memancarkan cahaya biru? “Reem?” Delina tampak menyadari sesuatu. “Kamu bertemu dengannya?” Dia terdengar geram. “Siapa pria berambut putih itu?” tanyaku. “Kenapa kalungku jadi bercahaya? Padahal ini hanya batu biasa.” Si Kembar saling tatap. “
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ “Nisma apa?!” Countess terdengar kaget mendengar kabar terbaru dari si Kembar. Mariam yang baru selesai menyapu menatap kami. Namun, tidak berkomentar. “Kalian tadi membentak Idris?” Pertanyaan itu tidak dibalas si Kembar. Countess pun mendekat dan menatap tajam si Kembar. “Siapa yang menyuruh Nisma bermain-main di depan umum?” “Nisma yang mau,” sahut Delisa. “Kami tadi hanya beli manisan,” timpal Delina. “Lalu, Reem disuruh diam di tempat.” “Kemudian Paman Idris datang.” “Lalu, entah kenapa ...” Delisa menggantung kalimatnya. “Nisma datang.” Delina menyambung. “Terus merusak suasana.” “Akhirnya terjadi kekacauan tadi.” “Maaf, Umi.” Si Kembar berkata sambil memeluk paha sang Ibu dengan suara memelas. Lalu, terdengar suara pelan Delisa. “Sepertinya Nisma mau bunuh Paman Idris.”
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Aku bertemu Ariya pagi itu. “Kamu anak baru?” sapanya. “Aku Ariya~ senang berjumpa denganmu💙” Rupanya, senjata makan tuan. Dia jelas lupa apa yang terjadi, bahkan barangkali melupakan Kota Saghra. “Aku Reem,” balasku. “Kamu ingat liontin yang kemarin Arsya kasih?” tanyanya. “Aku membutuhkannya, sekarang.” Aku hendak menolak. “Aku akan membelikanmu apa pun💙” ujarnya. “Bagaimana?” Apa pun? Ariya melanjutkan. “Bahkan, kalau mau, aku bisa mengajakmu ke tempat yang ajaib💙” Kalau yang itu, aku jelas tertarik. “Baiklah, Nona.” *** “Jadi, wanita berambut putih itu yang bernama Hiwaga?” Calvacanti membiarkanku duduk di ekornya yang melingkar. Ia menawar untuk mengobrol setrlah aku menyerahkan liontin milik Arsya. Aku mengangguk. “Berhati-hatilah,” pesannya. “Kamu jangan lengah.”
Kedatangannya Elya tidak kusangka akan sepagi ini. Aku ingat kebiasaan Robert yang bangun lebih awal, barangkali mereka biasa berjanji bertemu sepagi ini. Namun, pagi ini kulihat Robert tampak mengantuk. Saat aku dititipkan di Kapel, tidak kutanyakan langsung saat itu apa yang dia kerjakan di luar sana. Sepertinya melelahkan.“Dia sedang tidur,” jawabku, tidak ada niat membangunkan Robert. Namun, aku rasa Elya bisa menunggu. Toh, gadis itu tahu pasti jadwal kerja Robert, dia biasanya juga tidak akan lama beristirahat setelah terbangun sejenak tadi. Baru hendak kutawari untuk masuk, Elya serahkan tas kecil yang melingkari pinggangnya padaku. Dia melangkah mundur. “Baik, titip pesan padanya jika nanti malam aku akan ke sini lagi.” “Kamu tidak mau menunggu?” Aku bertanya. Ingin rasanya tahu apa yang mereka berdua lakukan, kekuatan yang katanya “mengutak-atik bagian tubuh” masih tergiang dalam pikiranku. Apa gerangan yang Robert rencanakan? Apa ada kaitannya dengan cairan yang biasa dia
Membangun peradaban baru. Belum pernah terpikir jika para Guardian ingin mencapainya, tidak pula aku menduga. Kukira tujuan kami hanya bisa bertemu kembali, memulai hidup bersama seperti keluarga lainnya hingga kembali ke pelukan alam. Jika tidak akan terlahir kembali setelahnya.Elya memandangku, matanya terpaku, menunggu aku membalas, tapi aku tidak tahu jawabannya. Jika saja seorang Guardian di sini, dia pasti bisa menjawab.“Ah, Elya.” Suara tak terduga dari Frederic menyelamatkanku dari pertanyaan tadi. “Sudah lama tidak ke sini. Di mana keluargamu?”“Sedang jalan-jalan,” jawab Elya. “Kamu datang sedikit tepat waktu, aku dan Levi baru saja membahas soal kerajaan awan karena langit-langit ini.”Frederic melayangkan pandangannya pada lukisan itu. “Benarkah? Kami memilih awan karena itu mengingatkan kami akan kehidupan setelah ini,” komentarnya. “Kamu ingat sesuatu?”“Ya, Abi pernah membahas soal kerajaan di atas awan dan mengaku ingin kembali ke sana.” Elya menatapku. “Sayng sekali
Ucapan gadis itu membuatku diam. Memang para Guardian telah menjagaku dari segala bahaya. Namun, aku dan mungkin juga kakakku, Kyara, tidak tahu mengapa kami dijaga selain karena kami pewaris takhta Kerajaan Shan selama ini. Tidak seperti mereka, kami tidak ingat apa pun, hanya ikut alur yang para Guardian tuntun untuk kami.Tidak disangka ada lagi seseorang di taman. Dia berdiri di bawah naungan pohon yang jadi pusat taman, tepatnya berseberangan denganku. Rambutnya biru dengan garis-garis hitam menghiasi beberapa helai, sementara iris mata hitam, kulitnya pun sepucat anak-anak panti. Ciri-ciri anak panti yang sangat pucat membuatku ragu pada asal usul mereka. Orang Danbia memiliki kulit putih sedikit kemerahan, tak terkecuali Robert. Sementara orang Ezilis juga putih, tapi tidak sampai tampak janggal seperti anak-anak panti itu. Namun, aku belum pernah melihat gadis itu di panti dan dia tidak juga terlihat seperti orang-orang dari negeri yang kutahu.Tanganku terangkat perlahan mesk
"Pergi saja ke Kapel. Kau tidak boleh keluar dari sana sampai aku jemput." Hanya itu ucapan Robert yang aku ingat begitu waktu sekolah berakhir. Alih-alih berdiri depan sekolah bersama teman sebaya menunggu dijemput, aku langsung melangkah menuju tempat yang dia maksud. Lokasi Kapel memang tidak jauh, hanya sekitar satu jalan dari sekolahku dan itu masih berada di antara jalanan umum. Barangkali karena ini Robert membiarkanku berjalan seorang diri. Meski beberapa kesempatan–seperti Guardian lainnya–dia tidak ingin aku menjauh darinya, untuk kali ini dia mempercayakan seseorang untuk menjagaku. Kalung ini bersinar saat berada di dekat pria itu, dia pun tahu aku tanggungjawabnya. Aku teruskan langkah dengan boneka kelinci berian Arsene, untungnya tidak ada teman sekelas yang mengambilnya. Dia bisa menemaniku jika suasana Kapel ternyata begitu sunyi.Keadaan Kapel, seperti biasanya, tidak begitu ramai. Lebih terlihat beberapa orang lewat dengan pakaian yang sama seperti Frederic kenakan
"Apa?" Aku tentu heran mendengarnya. Waktu itu juga belum paham maksud dari kata "pemusnah massal" itu sendiri. Aku mulai berpikir keras akan suatu hal yang belum kupahami. Spontan saja kutanyakan persis seperti yang kupikirkan. "Pemusnah apa? Apa itu 'massal'?""Ah, lupakan, aku hanya bergurau," Ekspresi muka Robert tidak menunjukkan apa pun yang membuatnya tampak sedang bercanda, dia terlihat serius seperti biasa."Tapi, apa itu 'massal'?" Aku bersikeras ingin tahu, hati berdebar menerka maksud yang kucari.Robert berdecak pelan. "Dalam jumlah yang banyak."Aku terdiam. Kata "senjata pemusnah massal" berarti senjata yang dapat menghancurkan sesuatu dalam jumlah yang banyak. Jantungku terasa berhenti berdetak untuk sesaat. Kalimat yang baru kupelajari tadi terdengar menakutkan. "Kenapa Robert bilang begitu?" Aku protes, tidak menutupi kalau pelindungku ini memberi kesan seram sejak awal.Robert menghela napas, menggeleng pelan. "Tidak ada."Kali ini, aku mendadak jadi penasaran. Tida
"Ya, bilang saja begitu, mentang-mentang belum ada yang terbunuh." Robert mengucapkannya dengan nada mengejek. Entah mengapa tutur kata lembut dari temannya tidak mempengaruhi reaksinya. "Thomson." Dia sebut nama temannya itu dengan lembut, meski dapat kurasakan tekanan dari suaranya, tanda teguran halus. "Frederic." Robert sebut namanya seperti mendesis, menyebut nama dari temannya sekaligus membalas ucapannya barusan. Pria di depanku, yang kini akan kusebut sebagai Frederic, mempertahankan intonasi suara lembutnya. "Aku juga bertanggung jawab atas nyawanya. Percayalah, dia tidak akan menginjakkan kaki di sini." Di balik suaranya yang tenang, sorot matanya kian tajam, terus memandang ke arah Robert. Suasana kian canggung bagiku, terlebih melihat dua orang dewasa–pelindungku sendiri, kini tengah berada dalam perdebatan. Tampaknya tidak ada salah satu yang ingin mengalah, meski ada perbedaan dari cara menuturkan kata, tapi dapat kutebak masing-masing tetap ingin mempertahankan ke
Barangkali ini kebiasaan yang aku terapkan pada setiap Guardian, saat kami melangkah bersama, kupastikan kami selalu berdampingan. Namun, karena tubuh mereka lebih besar dariku, aku merasa lebih aman bernaung di bawah bayangan mereka. Seperti itulah yang aku lakukan bersama Robert saat ini. Tangan para Guardian selalu begitu besar dibandingkan punyaku, sehingga ketika bergandengan semua jariku tetap tidak sanggup meraih seluruh tangan mereka. Selagi melangkah, pandangan Robert lurus ke depan, sesekali pandangan kami bertemu tanpa reaksi, memastikan tidak terpisah barang sesaat.Langkah kami tertuju pada kapel, tempat yang bernuansa paling tenang di kota Anamsel sejauh ini, walau hanya sedikit tempat yang aku kunjungi di kota. Jumlah orang yang keluar masuk dari kapel masih terbilang sedikit, menambah kesan keheningan yang mendukung aura ketenangan yang dipancarkan. Para petugasnya ramah, apalagi mereka yang sering menerima barang berian dari Robert tadi, semua mengenakan pakaian biru
Malam itu terasa berbeda lantaran aku kini berbaring di kasur dengan Robert di sisiku. Cahaya remang dalam kamar membuat suasana hening terasa damai, meski di saat yang sama diliputi hawa dingin menusuk hingga ke tulang, membuatku menenggelamkan diri dalam selimut selagi memandang pelindungku yang entah mengapa memilih untuk membaringkan badan di atas selimut. Robert memandang langit-langit, mata cokelatnya bergerak mengamati sekeliling kamar, tenggelam dalam pikiran sejenak sebelum akhirnya bersuara."Hal pertama yang kuingat di Shan itu, saat itu aku menghadap Raja sebagai hadiah dari sang Ratu." Robert memulai ceritanya, pandangannya masih fokus memandang langit-langit. Cahaya lampu tidur yang menjadi satu-satunya penerang memantul di matanya.Tanganku masih menggenggam erat selimut, menyimak ucapannya. "Hadiah?" Terkesan aneh karena yang kutahu, hadiah itu biasa berwujud benda mati.Robert mengiakan, masih terus memandang ke atas. "Sang Ratu memberi Raja hadiah berupa aku, dengan
Bunyi keras kembali menyentak keheningan. Bersamaan dengan lantai kayu yang menampar wajahku saat kehilangan keseimbangan. Langsung saja aku terduduk, menatap sosok yang baru saja membuatku jatuh.Tangan besar itu meraih rambutku. Aku menjerit ketika terseret lagi. Sesuatu hendak memangsaku di hari pertama musim dingin ini. Aku menendang-nendang tanah, berupaya melawan meski tiada hasil.Terdengar bunyi daging terpotong, refleks membuatku terpaku, mengira serangan itu tertuju padaku. Tangan yang mencengkeram kepalaku mulai melemah. Aku terjatuh ke lantai, begitu kaki menyentuh lantai, segera aku merangkak menjauh."Pangeran!" Di saat itu juga tubuhku terasa terangkat. Tercium bau khas yang kukenal. Kumpulan aroma wangi yang berasal dari minuman maupun racikan yang selama ini menghias rumah baruku. Dia berdiri di depan, kedua tangan terulur siap meraihku. Segera aku mendekapnya agar tidak terjatuh. Jelas sudah siapa itu, dia pasti langsung keluar begitu melihat bayangan makhluk tadi.