✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵
Pada tengah malam, kami keluar dari kamar secara mengendap-endap. Beruntung aku bisa berjalan tanpa mengeluarkan banyak suara berkat lantainya yang dilapisi karpet. Kami sengaja berjalan bertelanjang kaki demi mengurangi suara.
“Dia ada di dapur,” bisik Mariam sambil meneruskan jalannya.
Aku hanya membuntuti. Meski misi ini tampak mustahil, setidaknya kami berusaha menolong penduduk kota Saghra.
Dapur letaknya cukup jauh, memakan waktu lebih dari sepuluh menit. Anehnya, tidak ada Ariya atau suara mencurigakan meski kami jelas-jelas sedang menyelinap.
Kakiku kesakitan. Aku tidak terbiasa berjalan terlalu lama, dulu hanya beberapa menit sambil menemani Ibu berjualan. Tapi rasa penasaran mengalahkan sakit, aku ingin melihat cara Ariya memasak ramuan.
Kami menerobos masuk ke sebuah gudang yang terbuat dari kayu, kami akhirnya dapat mengintip di sela lubang-lubang di dinding.
Mariam yang terlebih dahulu mengintip, lalu membiarkanku mengamatinya sendiri. Aku berusaha agar tidak bernapas terlalu berat akibat perjalanan panjang tadi.
Ariya sedang menjerang air sambil menaburkan sejumlah benda mirip garam kemudian mengaduknya.
“La LA! La...! LA–la... La... 💙”
Kami dapat mendengar senandung penyihir itu. Suaranya sungguh tidak merdu, bahkan menyakitkan telinga.
Mariam menutup kedua kupingnya dengan telapak tangan sementara aku berusaha mengabaikan suara itu. Ya, Ariya memang cantik, tapi tidak dengan suaranya.
Beberapa detik yang menyiksa akhirnya berakhir. Dia berhenti bersenandung dan aku bisa mengintip lagi.
Kulihat Ariya menjauh entah untuk mencari sesuatu atau mengulur waktu. Saat semakin jauh, Mariam keluar dan berjalan ke dapur.
“Hati-hati,” bisikku sepelan mungkin.
Mariam membuang air yang baru dijarang lalu menggantinya dengan air biasa dari tas kecilnya. Tentu saja dia melakukannya dengan cepat sebelum Ariya datang.
Aku menghela napas lega.
Di belakangnya berdiri Ariya.
Mariam berniat berpaling.
Aku membuka mulut. “Ma–”
“Um, Hiwaga?” sapa Ariya. “Kamu haus? 💙”
“Ya, aku haus.” Mariam tetap tenang, meski rencananya hampir berantakan.
Ariya mengambil segelas air lalu menyerahkannya kepada Mariam.
“Kubawa ke kamar. Boleh?” tanya Mariam.
“Baiklah.” Ariya jelas heran. Mungkin ini kali pertama dia melihat orang seperti itu.
Mariam kembali masuk ke gudang tanpa ketahuan lalu menjemputku.
“Ayo,” ajaknya.
“Airnya?” Aku menatap gelas yang dipegangnya. “Kamu ‘kan, haus.”
“Kamu percaya dengannya?” sahut Mariam. Dia menarik tanganku.
Kami masuk ke kamar, aku sedikit ketakutan sehingga terus menggenggam tangan Mariam. Ariya tampak tidak peduli karena dia tidak tampak ingin mengejar kami hingga ke kamar.
Mariam langsung membuang air itu lewat jendela.
“Baunya seperti teh melati, padahal tampak seperti air biasa,” ketus Mariam. “Untung tidak kuminum.”
Aku menghela napas. “Hampir saja.”
“Kita tetap berhasil,” kata Mariam. “Mari istirahat.”
***
Keesokan paginya, Ariya kembali menatap kami dengan sorot heran. Aku tahu dia berusaha menutupinya dengan senyuman sambil menghidangkan sarapan.
Lagi-lagi, kami memilih makanan dan minuman tertentu. Jelas Ariya tampak semakin heran. Alasannya, kami tidak memilih makanan yang kami makan kemarin, ayam. Saat ayam yang sama dihidangkan, kami justru tidak memakannya. Padahal itu termasuk makanan kesukaanku.
“Aku ada kejutan untuk kalian 💙” Ariya bangkit lalu pergi.
Ariya menyerahkan dua gelas berisi air yang tampak biasa saja. Aku tahu ini minuman malam itu. Melihat Mariam menegaknya tanpa ragu, aku ikut menegaknya hingga habis.
Penyihir itu bangkit. “Berubahlah menjadi keledai!”
Tidak terjadi apa-apa.
Ariya jelas kebingungan.
Detik demi detik berlalu, tidak ada yang terjadi. Kami malah menatap Ariya dengan tatapan heran, dengan meski dalam hati mengejeknya.
Menyadari kesalahan, Ariya langsung berdalih. “Kalian tidak pernah mendengar dongeng seperti itu?”
“Belum,” jawabku. “Tolong ceritakan!”
“Um, itu tentang seorang pemuda yang masuk ke area para penyihir lalu dikutuk menjadi keledai.” Ariya duduk. Dari wajahnya jelas dia gugup. Sepertinya Ariya tidak menduga kalau kutukannya gagal.
Mariam menatapnya dengan dingin. “Apa-apaan ini?”
“Aku hanya ingin mendongeng!” kilahnya. “Biasanya kuceritakan pada tamu-tamuku💙”
“Jadi ini yang kamu lakukan pada tamumu?” Mariam bangkit dari duduknya. “Mengubah mereka menjadi batu?”
Ariya mengepalkan tangan sambil menatapnya tajam.
Mariam menatapku demi menghindari sihirnya. “Ceritakan!” desaknya. “Atau aku yang mengubahmu!”
Mariam pegang sebuah gelas dengan air merah.
Ariya menatapnya tajam. “Untuk apa? Bukan urusanmu!”
Mariam mendekat sambil membawa gelas itu. “Ceritakan atau kamu yang jadi keledai!”
Ariya mundur beberapa langkah. “Aku hanya bersenang-senang, itu saja. Apa salahnya?”
Mariam berpikir sejenak.
Mariam menyiram Ariya dengan gelas itu. “Jadilah gelas!”
Aku menutup mata, membayangkan transformasi mengerikan.
Aneh.
Tidak ada suara selain benda jatuh.
Begitu kubuka mata, terlihat sebuah gelas berlapis emas dengan beragam ukiran. Ariya telah menjadi gelas.
Mariam meraih gelas itu. “Kyara, kita ambil hartanya!”
***
Kami mengambil harta yang disimpan di istana sebanyak-banyaknya. Aku yang kurang paham soal barang mewah hanya memilih beberapa uang perak dan emas sementara Mariam mengambil banyak batu mulia.
“Ambil semua, Kyara!” seru Mariam. “Kita tidak mungkin menemukan uang sebanyak ini nanti!”
Aku langsung mengambil apa yang bisa kuraih lalu memasukkannya ke tas wanita itu. Kami mengemas barangnya di tas Mariam yang terlihat menyimpan lebih banyak barang. Entah apa yang disimpan.
Begitu keluar, penuh dengan seruan suka cita. Kutukan Ariya telah patah dan rakyatnya terbebas.
“Jadilah pemimpin baru kami!”
“Kau pahlawan kami!”
“Jangan pergi!”
Mariam mengabaikan mereka sambil terus memacu kuda. Aku jelas heran dengan tingkahnya.
Kami semakin jauh dari Kota Saghra tanpa pemimpin. Aku tidak keberatan jika Mariam menjadi pemimpin barunya.
Kami semakin jauh dari Kota Saghra. Mariam masih bergeming, sementara kudanya terpaksa harus mengangkut beban tambahan. Berapa jumlah hartanya?
“Mariam,” panggilku. “Kenapa tidak tinggal di sana? Rakyatnya jelas menyukaimu.”
“Aku tidak peduli dengan mereka. Yang penting tugasku selesai,” ujar Mariam santai.
“Tapi, kamu barusan berbuat baik!” kilahku.
“Ya, dengan merampas harta orang jahat, aku tidak akan dianggap jahat oleh mereka.”
Balasannya jelas membungkam mulutku.
“Kalau begitu.” Aku mengubah topik. “Kita akan ke mana?”
“Mungkin ke Aibarab menemui Khidir. Kita akan hidup di sana. Dengan uang ini, akan kubeli rumah baru dengan sekolah yang layak untukmu.”
Aku terkejut sekaligus mendengarnya. Kukira hidupku hanya tentang perjalanan tanpa kepastian bersamanya. Apa jadinya jika Mariam meninggal di tengah jalan? Aku pasti tidak akan bertahan lama. Barangkali sudah dimangsa binatang liar.
“Terima kasih,” ucapku tulus. “Aku belum pernah sekolah sebelumnya.”
“Kamu beruntung bisa sekolah sedini ini,” sahut Mariam. “Rata-rata pendidikan di Shyr mahal. Mungkin hanya para pejabat yang bersekolah.”
Mariam terus memacu kuda. Aku duduk di belakangnya sambil memeluk pinggangnya.
Tidak dapat kubayangkan apa jadinya aku tanpa Mariam. Kalau saja aku menolaknya sejak awal, mungkin tubuhku sudah dilahap kadal raksasa itu. Kini, dia tidak hanya penyelamatku. Tetapi juga ...
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Aibarab, kota kembaran Shyr. Mulai dari bahasa hingga budaya sama, namun rakyatnya kurang akur akibat rebutan kebudayaan hingga kuliner. Jarak antara keduanya hampir 200 kilometer dan bisa dibilang versi lebih modern dari negeri kelahiranku. Aku teringat saat orang-orang di Desa Anba bercerita tentang Aibarab. “Hidup di sana serba mewah dan mahal, tapi penduduknya sangat cuek dan egois. Meski, positifnya, mereka tidak mencampuri urusan orang lain, tetap saja, saking cueknya mereka bahkan hanya menyaksikan seseorang dibunuh di depan mata mereka.” Aku kebetulan ada di sana, ikut terkesiap mendengar kisahnya. “Kamu di sana saat itu?” tanyaku. “Aku yang memanggil petugas keamanan! Para rakyat hanya menonton dengan wajah takut tapi diam saja! Bayangkan, betapa kejamnya mereka. Saat petugas keamanan datang, kalian bisa tebak sendiri, pelakunya keburu kabur. Untung banyak saksi, meski mere
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Mariam datang begitu temannya itu selesai mengucapkannya. Meski Mariam hanya pergi dalam waktu beberapa jam saja, aku bersyukur kalau dia lekas kembali. “Bagaimana?” tanya temannya. “Tidak buruk,” balas Mariam. “Aku bekerja sebagai pelayan keluarga penyihir.” “Bagus! Tepat sasaran!” Wanita itu menepuk bahu Mariam. “Itu lumayan untuk dua orang seperti kalian.” “Masalahnya, dia seorang bangsawan yang kita cari, Count Wynter.” “Lalu, kenapa diterima?” tanya Temannya Mariam. “Bukannya upah dari Safar sudah cukup?” “Ini bagian dari tugasku.” Mariam menatapnya dingin. “Kamu baru saja menyebut Raja dengan nama depan seakan dekat? Sahabat karibnya saja masih memanggil dengan nama belakang.” “Dia terlalu formal,” balas Temannya Mariam. “Lagi pula, toh, Safar itu gaul. Tidak pandang kasta.” “Terserah.” Perdebatan mereka berakhir di situ.
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Pikiranku tercampur aduk gara-gara Delisa. Memangnya benar? Apa Mariam selama ini berbahaya? Semua kebaikannya selama ini hanya demi dirinya sendiri? “Reem?” Mariam memanggilku dengan nama kedua. “Hei!” Lamunanku membuyar. Aku waktu itu tidak mendengar ucapannya, kukira dia bertanya apakah aku mulai dekat dengan para majikanku. “Tidak.” “Tidak apanya?” Mariam selesai melipat pakaian sementara aku yang membantunya justru ketinggalan. Duh, malunya! “Kalau diam terus, kapan selesainya?” Mariam terdengar kesal. “Cepat selesaikan bagianmu!” Aku bergegas merapikan baju. Meski terkesan ala kadar, setidaknya Mariam dengan sabar mengajariku cara melipatnya dengan rapi. Memerlukan waktu lebih dari setengah jam bagiku untuk melipat. Terpaksa Mariam turun tangan. “Malam ini, Count akan datang,” ujar Mariam. “Jaga sikap!” “Baik.” ***
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ “Reem ...!” Jeritan si Kembar menyakiti telingaku. Aduh, mereka lagi! “Ayo! Ayo! Sekolah!” Delina menyeretku. “Ayo, bawa tas kami!” Delisa melempar dua buah tas ke arahku. Buk! Aku menyambutnya, meski nyaris jatuh. Seberapa kuat mereka ini? “Ayo, Pelayan!” seru Delina. “Namanya Reem!” balas Delisa. “Nanti tersinggung dia!” Aduh, dua-duanya sama saja! “Ayo, Reem! Kamu makhluk hidup, ‘kan? Bisa berjalan? Ayo!” Aku ikuti arah jalan mereka. Aku teringat dengan pria berambut putih kemarin. Siapa dia? Kenapa kalungku memancarkan cahaya biru? “Reem?” Delina tampak menyadari sesuatu. “Kamu bertemu dengannya?” Dia terdengar geram. “Siapa pria berambut putih itu?” tanyaku. “Kenapa kalungku jadi bercahaya? Padahal ini hanya batu biasa.” Si Kembar saling tatap. “
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ “Nisma apa?!” Countess terdengar kaget mendengar kabar terbaru dari si Kembar. Mariam yang baru selesai menyapu menatap kami. Namun, tidak berkomentar. “Kalian tadi membentak Idris?” Pertanyaan itu tidak dibalas si Kembar. Countess pun mendekat dan menatap tajam si Kembar. “Siapa yang menyuruh Nisma bermain-main di depan umum?” “Nisma yang mau,” sahut Delisa. “Kami tadi hanya beli manisan,” timpal Delina. “Lalu, Reem disuruh diam di tempat.” “Kemudian Paman Idris datang.” “Lalu, entah kenapa ...” Delisa menggantung kalimatnya. “Nisma datang.” Delina menyambung. “Terus merusak suasana.” “Akhirnya terjadi kekacauan tadi.” “Maaf, Umi.” Si Kembar berkata sambil memeluk paha sang Ibu dengan suara memelas. Lalu, terdengar suara pelan Delisa. “Sepertinya Nisma mau bunuh Paman Idris.”
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Aku bertemu Ariya pagi itu. “Kamu anak baru?” sapanya. “Aku Ariya~ senang berjumpa denganmu💙” Rupanya, senjata makan tuan. Dia jelas lupa apa yang terjadi, bahkan barangkali melupakan Kota Saghra. “Aku Reem,” balasku. “Kamu ingat liontin yang kemarin Arsya kasih?” tanyanya. “Aku membutuhkannya, sekarang.” Aku hendak menolak. “Aku akan membelikanmu apa pun💙” ujarnya. “Bagaimana?” Apa pun? Ariya melanjutkan. “Bahkan, kalau mau, aku bisa mengajakmu ke tempat yang ajaib💙” Kalau yang itu, aku jelas tertarik. “Baiklah, Nona.” *** “Jadi, wanita berambut putih itu yang bernama Hiwaga?” Calvacanti membiarkanku duduk di ekornya yang melingkar. Ia menawar untuk mengobrol setrlah aku menyerahkan liontin milik Arsya. Aku mengangguk. “Berhati-hatilah,” pesannya. “Kamu jangan lengah.”
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Aku terbangun pada tengah malam. Entah mengapa percakapan antara majikanku dengan Mariam terus saja mengganggu batin. Mariam masih terlelap di sisiku dan mendengkur pelan. Beruntung aku juga terbiasa mendengar dengkuran Ibu dulu. Anehnya, kebiasaan ini tidak menurun padaku. Barangkali dari mendiang Ayah yang tidak pernah kujumpai. Aku langkahkan kaki ke luar rumah sambil menikmati udara malam. Pikiranku seketika tertuju pada sore itu. Ah, perdebatan. *** Wynter dengan tatapan dingin terus menginterogasi Mariam yang juga dibalasnya dengan santai. Ia tidak lepas pandangan, apalagi setiap kali Mariam menjawab pertanyaannya seakan baru saja mendengar penjelasan rumit. Sementara lawan bicaranya tidak pernah menanggapi dengan serius, yang justru menyulut bara di hati sang majikan. “Aku melihatmu terakhir bersama adikku sebelum ledakan itu,” ujar Wynter. “Aku tahu kamu siapa.” “Pangeran
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Kini jeritan membangunkan seisi kota. Hewan ternak tadi memnuhi jalan kini menjadi santapan Tentara Nisma. Ya, kurasa itu gelar yang cocok bagi kumpulan makhluk menjijikkan ini. Seekor sapi melenguh selagi disantap mentah-mentah. Mariam memacu kuda selagi jalan sedikit terbuka– Sebuah tangan menarikku. “Kyaaa!” Srek! Bruk! Aku terempas ke tanah. Bau tangan itu busuk berpadu dengan tanah yang menyelimuti tubuh mereka. “Kyara!” Kudengar Mariam menjerit, tak peduli jika kami sedang menyamar atau tidak. Tangan-tangan itu mencengkeram pakaianku. Tubuhku tidak mampu memberontak. Mereka bagai rantai yang membelenggu dan terus menyeret semakin dalam. “Mariam! Mariam!” Aku menjerit sebisanya. Mariam memacu kuda dengan kasar. Kudanya justru jatuh, bersamaan dengan Mariam yang melompat sebelum mendarat di tanah. Tak peduli
Kedatangannya Elya tidak kusangka akan sepagi ini. Aku ingat kebiasaan Robert yang bangun lebih awal, barangkali mereka biasa berjanji bertemu sepagi ini. Namun, pagi ini kulihat Robert tampak mengantuk. Saat aku dititipkan di Kapel, tidak kutanyakan langsung saat itu apa yang dia kerjakan di luar sana. Sepertinya melelahkan.“Dia sedang tidur,” jawabku, tidak ada niat membangunkan Robert. Namun, aku rasa Elya bisa menunggu. Toh, gadis itu tahu pasti jadwal kerja Robert, dia biasanya juga tidak akan lama beristirahat setelah terbangun sejenak tadi. Baru hendak kutawari untuk masuk, Elya serahkan tas kecil yang melingkari pinggangnya padaku. Dia melangkah mundur. “Baik, titip pesan padanya jika nanti malam aku akan ke sini lagi.” “Kamu tidak mau menunggu?” Aku bertanya. Ingin rasanya tahu apa yang mereka berdua lakukan, kekuatan yang katanya “mengutak-atik bagian tubuh” masih tergiang dalam pikiranku. Apa gerangan yang Robert rencanakan? Apa ada kaitannya dengan cairan yang biasa dia
Membangun peradaban baru. Belum pernah terpikir jika para Guardian ingin mencapainya, tidak pula aku menduga. Kukira tujuan kami hanya bisa bertemu kembali, memulai hidup bersama seperti keluarga lainnya hingga kembali ke pelukan alam. Jika tidak akan terlahir kembali setelahnya.Elya memandangku, matanya terpaku, menunggu aku membalas, tapi aku tidak tahu jawabannya. Jika saja seorang Guardian di sini, dia pasti bisa menjawab.“Ah, Elya.” Suara tak terduga dari Frederic menyelamatkanku dari pertanyaan tadi. “Sudah lama tidak ke sini. Di mana keluargamu?”“Sedang jalan-jalan,” jawab Elya. “Kamu datang sedikit tepat waktu, aku dan Levi baru saja membahas soal kerajaan awan karena langit-langit ini.”Frederic melayangkan pandangannya pada lukisan itu. “Benarkah? Kami memilih awan karena itu mengingatkan kami akan kehidupan setelah ini,” komentarnya. “Kamu ingat sesuatu?”“Ya, Abi pernah membahas soal kerajaan di atas awan dan mengaku ingin kembali ke sana.” Elya menatapku. “Sayng sekali
Ucapan gadis itu membuatku diam. Memang para Guardian telah menjagaku dari segala bahaya. Namun, aku dan mungkin juga kakakku, Kyara, tidak tahu mengapa kami dijaga selain karena kami pewaris takhta Kerajaan Shan selama ini. Tidak seperti mereka, kami tidak ingat apa pun, hanya ikut alur yang para Guardian tuntun untuk kami.Tidak disangka ada lagi seseorang di taman. Dia berdiri di bawah naungan pohon yang jadi pusat taman, tepatnya berseberangan denganku. Rambutnya biru dengan garis-garis hitam menghiasi beberapa helai, sementara iris mata hitam, kulitnya pun sepucat anak-anak panti. Ciri-ciri anak panti yang sangat pucat membuatku ragu pada asal usul mereka. Orang Danbia memiliki kulit putih sedikit kemerahan, tak terkecuali Robert. Sementara orang Ezilis juga putih, tapi tidak sampai tampak janggal seperti anak-anak panti itu. Namun, aku belum pernah melihat gadis itu di panti dan dia tidak juga terlihat seperti orang-orang dari negeri yang kutahu.Tanganku terangkat perlahan mesk
"Pergi saja ke Kapel. Kau tidak boleh keluar dari sana sampai aku jemput." Hanya itu ucapan Robert yang aku ingat begitu waktu sekolah berakhir. Alih-alih berdiri depan sekolah bersama teman sebaya menunggu dijemput, aku langsung melangkah menuju tempat yang dia maksud. Lokasi Kapel memang tidak jauh, hanya sekitar satu jalan dari sekolahku dan itu masih berada di antara jalanan umum. Barangkali karena ini Robert membiarkanku berjalan seorang diri. Meski beberapa kesempatan–seperti Guardian lainnya–dia tidak ingin aku menjauh darinya, untuk kali ini dia mempercayakan seseorang untuk menjagaku. Kalung ini bersinar saat berada di dekat pria itu, dia pun tahu aku tanggungjawabnya. Aku teruskan langkah dengan boneka kelinci berian Arsene, untungnya tidak ada teman sekelas yang mengambilnya. Dia bisa menemaniku jika suasana Kapel ternyata begitu sunyi.Keadaan Kapel, seperti biasanya, tidak begitu ramai. Lebih terlihat beberapa orang lewat dengan pakaian yang sama seperti Frederic kenakan
"Apa?" Aku tentu heran mendengarnya. Waktu itu juga belum paham maksud dari kata "pemusnah massal" itu sendiri. Aku mulai berpikir keras akan suatu hal yang belum kupahami. Spontan saja kutanyakan persis seperti yang kupikirkan. "Pemusnah apa? Apa itu 'massal'?""Ah, lupakan, aku hanya bergurau," Ekspresi muka Robert tidak menunjukkan apa pun yang membuatnya tampak sedang bercanda, dia terlihat serius seperti biasa."Tapi, apa itu 'massal'?" Aku bersikeras ingin tahu, hati berdebar menerka maksud yang kucari.Robert berdecak pelan. "Dalam jumlah yang banyak."Aku terdiam. Kata "senjata pemusnah massal" berarti senjata yang dapat menghancurkan sesuatu dalam jumlah yang banyak. Jantungku terasa berhenti berdetak untuk sesaat. Kalimat yang baru kupelajari tadi terdengar menakutkan. "Kenapa Robert bilang begitu?" Aku protes, tidak menutupi kalau pelindungku ini memberi kesan seram sejak awal.Robert menghela napas, menggeleng pelan. "Tidak ada."Kali ini, aku mendadak jadi penasaran. Tida
"Ya, bilang saja begitu, mentang-mentang belum ada yang terbunuh." Robert mengucapkannya dengan nada mengejek. Entah mengapa tutur kata lembut dari temannya tidak mempengaruhi reaksinya. "Thomson." Dia sebut nama temannya itu dengan lembut, meski dapat kurasakan tekanan dari suaranya, tanda teguran halus. "Frederic." Robert sebut namanya seperti mendesis, menyebut nama dari temannya sekaligus membalas ucapannya barusan. Pria di depanku, yang kini akan kusebut sebagai Frederic, mempertahankan intonasi suara lembutnya. "Aku juga bertanggung jawab atas nyawanya. Percayalah, dia tidak akan menginjakkan kaki di sini." Di balik suaranya yang tenang, sorot matanya kian tajam, terus memandang ke arah Robert. Suasana kian canggung bagiku, terlebih melihat dua orang dewasa–pelindungku sendiri, kini tengah berada dalam perdebatan. Tampaknya tidak ada salah satu yang ingin mengalah, meski ada perbedaan dari cara menuturkan kata, tapi dapat kutebak masing-masing tetap ingin mempertahankan ke
Barangkali ini kebiasaan yang aku terapkan pada setiap Guardian, saat kami melangkah bersama, kupastikan kami selalu berdampingan. Namun, karena tubuh mereka lebih besar dariku, aku merasa lebih aman bernaung di bawah bayangan mereka. Seperti itulah yang aku lakukan bersama Robert saat ini. Tangan para Guardian selalu begitu besar dibandingkan punyaku, sehingga ketika bergandengan semua jariku tetap tidak sanggup meraih seluruh tangan mereka. Selagi melangkah, pandangan Robert lurus ke depan, sesekali pandangan kami bertemu tanpa reaksi, memastikan tidak terpisah barang sesaat.Langkah kami tertuju pada kapel, tempat yang bernuansa paling tenang di kota Anamsel sejauh ini, walau hanya sedikit tempat yang aku kunjungi di kota. Jumlah orang yang keluar masuk dari kapel masih terbilang sedikit, menambah kesan keheningan yang mendukung aura ketenangan yang dipancarkan. Para petugasnya ramah, apalagi mereka yang sering menerima barang berian dari Robert tadi, semua mengenakan pakaian biru
Malam itu terasa berbeda lantaran aku kini berbaring di kasur dengan Robert di sisiku. Cahaya remang dalam kamar membuat suasana hening terasa damai, meski di saat yang sama diliputi hawa dingin menusuk hingga ke tulang, membuatku menenggelamkan diri dalam selimut selagi memandang pelindungku yang entah mengapa memilih untuk membaringkan badan di atas selimut. Robert memandang langit-langit, mata cokelatnya bergerak mengamati sekeliling kamar, tenggelam dalam pikiran sejenak sebelum akhirnya bersuara."Hal pertama yang kuingat di Shan itu, saat itu aku menghadap Raja sebagai hadiah dari sang Ratu." Robert memulai ceritanya, pandangannya masih fokus memandang langit-langit. Cahaya lampu tidur yang menjadi satu-satunya penerang memantul di matanya.Tanganku masih menggenggam erat selimut, menyimak ucapannya. "Hadiah?" Terkesan aneh karena yang kutahu, hadiah itu biasa berwujud benda mati.Robert mengiakan, masih terus memandang ke atas. "Sang Ratu memberi Raja hadiah berupa aku, dengan
Bunyi keras kembali menyentak keheningan. Bersamaan dengan lantai kayu yang menampar wajahku saat kehilangan keseimbangan. Langsung saja aku terduduk, menatap sosok yang baru saja membuatku jatuh.Tangan besar itu meraih rambutku. Aku menjerit ketika terseret lagi. Sesuatu hendak memangsaku di hari pertama musim dingin ini. Aku menendang-nendang tanah, berupaya melawan meski tiada hasil.Terdengar bunyi daging terpotong, refleks membuatku terpaku, mengira serangan itu tertuju padaku. Tangan yang mencengkeram kepalaku mulai melemah. Aku terjatuh ke lantai, begitu kaki menyentuh lantai, segera aku merangkak menjauh."Pangeran!" Di saat itu juga tubuhku terasa terangkat. Tercium bau khas yang kukenal. Kumpulan aroma wangi yang berasal dari minuman maupun racikan yang selama ini menghias rumah baruku. Dia berdiri di depan, kedua tangan terulur siap meraihku. Segera aku mendekapnya agar tidak terjatuh. Jelas sudah siapa itu, dia pasti langsung keluar begitu melihat bayangan makhluk tadi.