Home / Fantasi / Guardians of Shan / Keluarga Wynter – 7

Share

Keluarga Wynter – 7

Author: Kiprang Novel
last update Last Updated: 2021-09-14 11:25:58

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

Aku terbangun pada tengah malam. Entah mengapa percakapan antara majikanku dengan Mariam terus saja mengganggu batin. 

Mariam masih terlelap di sisiku dan mendengkur pelan. Beruntung aku juga terbiasa mendengar dengkuran Ibu dulu. Anehnya, kebiasaan ini tidak menurun padaku. Barangkali dari mendiang Ayah yang tidak pernah kujumpai. 

Aku langkahkan kaki ke luar rumah sambil menikmati udara malam. Pikiranku seketika tertuju pada sore itu. Ah, perdebatan.

***

Wynter dengan tatapan dingin terus menginterogasi Mariam yang juga dibalasnya dengan santai. Ia tidak lepas pandangan, apalagi setiap kali Mariam menjawab pertanyaannya seakan baru saja mendengar penjelasan rumit. Sementara lawan bicaranya tidak pernah menanggapi dengan serius, yang justru menyulut bara di hati sang majikan. 

“Aku melihatmu terakhir bersama adikku sebelum ledakan itu,” ujar Wynter. “Aku tahu kamu siapa.” 

“Pangeran Adam hanya menyapa,” balas Mariam. “Setelahnya, negeri ini hancur lebur dengan sendirinya.” 

“Apa maksudmu?” tanya Wynter. “Aku sedang berjalan dan cahaya itu menarik perhatianku, sesuatu membuatnya menerang. Aku bahkan tidak tahu cara kerjanya, tidak ada yang tahu selama ribuan tahun!” 

“Aku juga tidak tahu,” balas Mariam. “Aku tidak terlibat selain sebagai korban.” 

“Kamu tidak terluka seperti mantan penduduk Shan, atau patah tulang,” ujar Wynter. “Kamu seakan sudah menebaknya.” 

“Bukankah ada istilah ‘sedia payung sebelum hujan?’” balas Mariam. “Aku selalu menjaga diri, meski tanpa sihir. Seperti pesan Ibu.” 

“Lalu siapa penyebab ‘Perburuan Penyihir’ setelah aku dijatuhkan ke sini?” Wynter menatapnya tajam. “Tidak ada yang pernah sekejam itu pada kami!” 

“Tapi, lihat dirimu!” Mariam menunjuk Wynter. “Kamu baik-baik saja dan sempat bertemu lagi dengan Margarita kemudian punya lebih banyak anak. Lagipula, omong kosong macam apa tadi? Raja Khidir yang penyihir saja tidak diusik. Tidak ada sejarah Aibarab pernah memburu penyihir. Kamu pasti salah daerah.” 

“Aku yakin kamu yang memulai perburuan ini.” 

Mariam terdengar menahan geram. “Selama hidupku, aku hanya menjalani tugasku. Barangkali korban Shan yang kamu maksud itu sudah menyatu dengan tanah.” 

“Korban Shan?”

“Ya,” balas Mariam. “Aku tidak punya sihir, untuk apa menghancurkan negeri Shan? Kenapa kamu main tuduh? Korban Shan-lah yang memulai, karena mereka pasti ada dendam dengan pelakunya.” 

Wynter hanya membalas dengan tatapan. Pikirannya tampak berantakan, beliau bagai patung di hadapan Mariam. Seperti penduduk di Kota Saghra. 

“Aku yakin kamu dalangnya,” ucap Wynter dengan pelan. “Semua orang tahu.” 

Mariam menghela napas, terlihat kesal. “Kata siapa? Kenapa harus percaya? Kamu sendiri sudah hidup nyaman dan tenteram. Untuk apa kembali ke masa lalu? Saat kamu masih menjadi ‘Tahanan Istana’ meski berstatus sebagai Putra Raja?” 

Wynter menatap Mariam. Sorot matanya semakin tajam. Tatapan itu berlangsung selama beberapa saat. Membuatku gelisah. 

Suara Mariam memecah keheningan. “Wynter?” 

Count membalas. “Ya?” 

“Ada yang ingin disampaikan?” Mariam terlihat tetap tenang. 

Wynter mengamati ruangan, tatapannya berhenti ke arahku. “Entahlah.” 

*** 

“Kamu bakal jadi tumbal?” Calvacanti menyerahkan segelas susu untukku. Malam itu, aku berkunjung ke tempatnya demi mencari solusi. 

“Mungkin.” Aku menegak susu itu hingga habis. “Terima kasih. Count menatapku saat mengucapkannya.” 

“Tenanglah, Count tidak mungkin melakukannya.” 

“Yakin sekali.” 

“Memang betul,” balasnya. “Tuan tidak perlu tumbal untuk berbuat sesuatu. Ia bisa mengendalikan gerakanmu kalau mau.” 

Aku bergidik. “Sama saja!” 

“Hei, seharusnya kamu tidur sekarang.” Calvacanti mengalihkan topik. 

“Aku tidak bisa tidur, apalagi gara-gara percakapan tadi,” ujarku. “Mana kutahu siapa yang benar atau salah kalau aku saja tidak tahu siapa Ma–Hiwaga sesungguhnya!” 

Aduh, hampir saja! 

Calvacanti tersenyum. “Aku tahu, Hiwaga itu bukan nama aslinya. Dan kamu, nama aslimu bukan Reem.” 

“Terserah kau saja,” sahutku. “Tahu nama asliku juga tidak penting.” 

“Nama asliku ya, Dontae Calvacanti,” sahut lamia itu. “Kalian lucu. Selalu menyembunyikan identitas seperti para mata-mata. Padahal, kamu hanya gadis desa biasa yang diasuh seorang wanita. Benar, ‘kan?” 

Aku mengiakan. 

“Majikanku sudah lama tahu tentang Hiwaga,” lanjutnya. “Makanya dia langsung diterima bekerja. Tuan juga curiga saat putri keduanya, Ariya, hilang ingatan soal apa yang terjadi sebelumnya. Delina bahkan tidak bisa menjelaskan tentang masa lalu Ariya, karena minuman itu. Jelas-jelas kami lihat kalian berdua di sana, sementara Ariya semakin bingung. Aku tahu, wanita aneh itu yang mengubahnya menjadi gelas baru kemudian diselamatkan Arsya.” 

Aku tertegun mendengar ucapan itu. Jelas, tujuan hidupku semakin kabur dan peluang terasa lebih sedikit dibandingkan jumlah uangku. Mariam telah memberi konflik yang harus diselesaikan. 

“Lalu ... Apa yang akan kamu lakukan?” tanyaku. 

“Menunggu perintah.” 

***

Aku terbangun saat tamparan keras melayang ke pipi. Sakit sekali! Padahal hari masih gelap. 

“Aduh!” Aku terjatuh dari kasur tipisku dan menatap sosok yang berdiri di depanku. “Apa?!” 

“Kita akan melanjutkan perjalanan.” Itu suara Mariam. Terdengar tenang. 

“Jangan ditampar, dong!” Aku mengelus pipi.

“Kita tidak punya banyak waktu,” sahutnya. “Ia sebentar lagi akan membunuhmu.” 

“Siapa?” 

Mariam menarik tanganku. “Sakhor!” 

Dia menarikku kasar hingga ke luar rumah dsn sampai pada kudanya. Kuda itu jauh lebih gemuk dari sebelumnya dan barang bawaan pun lebih banyak. Hebat juga, kuda ini tampak sudah lama mendampingi Mariam.

“Kamu yakin kita akan pergi sekarang?” Aku mulai ragu. 

“Kamu mau jadi tumbal?” balas Mariam. “Pria itu menuntut sesuatu yang bahkan tidak ada hubungannya denganku.” 

“Kenapa tidak diselesaikan secara kekeluargaan?” tanyaku. 

“Kamu kira Sakhor mau mendengar?” sahut Mariam sambil menaiki kudanya. “Ayo, naik!” 

Mariam memacu kuda secepat kilat, bahkan aku hampir melayang dan jatuh berkali-kali. Jarak antara kandang kuda dengan gerbang sangat jauh dan kami harus setenang mungkin agar tidak mengeluarkan suara. Hebat juga, meski sedang berlari, kuda ini tidak mengeluarkan suara sepatu kuda seperti kuda lainnya. 

Kami berhasil keluar.

*** 

“Apa yang terjadi?” tanyaku. “Kenapa tidak minta bantuan dengan Count?” 

“Count mana mau bantu,” balas Mariam. 

“Lalu, kenapa aku diincar?” 

“Kamu tahu kalung itu? Sejak dia tahu, dia tidak pernah melepaskan kita!” 

“Sakhor?” heranku. “Kenapa?” 

Mariam menoleh ke belakang. Dia memacu kuda dengan panik. 

“Ada apa?” Aku jelas bingung sekaligus takut. “Mariam!” 

Belum pernah aku melihat Mariam sepanik itu. Biasanya dia tetap santai atau memasang wajah datar. 

“Kamu yang dicari.” 

Hanya itu bisikan Mariam selama perjalanan. Tidak menjelaskan lebih rinci. Aku hendak bertanya, tapi situasi tidak memadai. 

Mariam hentikan kudanya. 

Aku pun penasaran. “Ada ap–” 

KRAK! 

–Puluhan hewan ternak menghalangi jalan. Nyaris menabrak kami. 

Mariam menggeram. “Sakhor!” 

Kutatap sekeliling, bingung. 

Gerombolan hewan ternak itu masih saja menghalang, kami seakan terjebak dalam lautan.

Hanya ada dua pilihan ; maju tapi berisiko diinjak hewan ternak, atau kembali ke rumah Wynter dan aku mungkin akan tewas jadi tumbal. 

Mariam tampak memilih yang pertama. Dia pacu kudanya mendekat dan berjuang melewati kawanan itu. 

“Kalian tidak akan lolos!” 

Nisma? 

Aku menoleh. 

“Jangan kabur!” Nisma berlari mengejar, meski tampak tertinggal. 

Nisma kini memakai pakaian tidur berwarna hitam. Selain wajahnya yang manis, terukir senyuman licik di bibir tipisnya. 

“Pengkhianat!” desis Nisma sambil menuangkan gelas itu ke tanah. 

Tanah bergetar. 

“Arggghhhh ...!” 

Muncul tangan dan tulang belulang bergerak meraih kami.

Mariam berjuang memacu kudanya menjauh, namun ada saja tangan yang mencakar kakinya. 

“Kalian tidak akan lolos!”

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

Related chapters

  • Guardians of Shan   Keluarga Wynter – 8

    ✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Kini jeritan membangunkan seisi kota. Hewan ternak tadi memnuhi jalan kini menjadi santapan Tentara Nisma. Ya, kurasa itu gelar yang cocok bagi kumpulan makhluk menjijikkan ini. Seekor sapi melenguh selagi disantap mentah-mentah. Mariam memacu kuda selagi jalan sedikit terbuka– Sebuah tangan menarikku. “Kyaaa!” Srek! Bruk! Aku terempas ke tanah. Bau tangan itu busuk berpadu dengan tanah yang menyelimuti tubuh mereka. “Kyara!” Kudengar Mariam menjerit, tak peduli jika kami sedang menyamar atau tidak. Tangan-tangan itu mencengkeram pakaianku. Tubuhku tidak mampu memberontak. Mereka bagai rantai yang membelenggu dan terus menyeret semakin dalam. “Mariam! Mariam!” Aku menjerit sebisanya. Mariam memacu kuda dengan kasar. Kudanya justru jatuh, bersamaan dengan Mariam yang melompat sebelum mendarat di tanah. Tak peduli

    Last Updated : 2021-09-14
  • Guardians of Shan   Naga dari Kikiro – 1

    ✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ “Otosan! Otosan!” Kukerjapkan mata. Kulihat seorang gadis berambut turquoise diurai hingga pinggang, di ujungnya terdapat warna hitam. Kulitnya sawo matang, dan tubuh sedikit lebih tinggi dariku. Kulihat sosok Mariam di sisi gadis itu. Bukan. Ia seperti Mariam, tapi dalam wujud pria. Perbedaan mencolok hanya ada pada matanya, merah. Rambut agak panjang dibandingkan pria lain yang pernah kulihat, kulitnya juga putih. Ia sedang memegang sebuah bakul, tatapannya tertuju pada gadis itu. Gadis tadi kembali memanggil. “Otosan, minta!” Ia membalas dengan elusan di rambut. “Dari tadi makan terus. Pulangnya jangan makan lagi!” Senyum gadis itu memudar. “Sedikit saja.” “Ingat-ingat, Hayya.” Gadis yang dipanggil Hayya itu

    Last Updated : 2021-09-15
  • Guardians of Shan   Naga dari Kikiro – 2

    ✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Kebun Takeshi jauh lebih menawan dibandingkan milik Count Wynter. Beragam tanaman menghiasinya, mulai dari bunga sampai pohon unik tumbuh dengan subur. Saking lebatnya sampai menutupi langit di atas kami. Dengan sinar matahari yang tertutup, membuatnya bagai hutan rimba dilengkapi suara para hewan yang saling menyahut. “Ada berapa hewan di sini?” tanyaku. “Tupai, burung, ikan hias, dan beragam hewan ternak, tapi itu peliharaan tetangga yang mampir sebentar,” balas Hayya. “Mereka dirawat dengan baik.” “Untuk dimakan?” Azya mengiakan. “Kecuali tupai. Mereka membantu menumbuhkan pohon kalau lupa tempat mengubur kacangnya. Ada juga kelelawar yang kadang menggugurkan biji buah ke tanah sehingga pohon baru akan tumbuh.” Hayya menambahkan. Aku mengamati kebun, atau lebih tepatnya hutan. Sungguh asri dan damai. Aku ingin berlama-lama di sini. Hutan di desaku tidak pernah selebat ini. Kebanyakan hanya sawah dan pertanian sederhana. Jadi ingat Ibu. Beliau rajin mer

    Last Updated : 2021-09-16
  • Guardians of Shan   Naga dari Kikiro – 3

    ✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Petangnya, Takeshi memasak di dapur sementara aku hanya menonton. Ia tidak mau dibantu, tapi menolak ditinggal. Rupanya ia senang melihatku terkagum-kagum melihat masakannya yang menggoda.“Di Shan dulu, aku dilarang memasak,” ujar Takeshi. “Para pelayan yang memasak. Padahal aku lebih suka masakan buatanku sendiri.”“Dari mana kamu belajar?” tanyaku. “Ibumu?”“Dari Kepala Pelayan,” balas Takeshi. “Ibu tidak bisa memasak.”Ia selesai merebus makanan panjang berwarna kuning lalu meletakkannya di sebuah mangkuk berisi kuah. Ditaburinya sayur-mayur yang dipotong kecil dan sejumput garam. Belum pernah aku melihat makanan seperti itu sebelumnya.“Ini masakan favorit kami,” ujar Takeshi. “Kami menyebutnya mie. Kamu pasti pernah mendengarnya.”Aku menggeleng. “Aku hanya tahu kuah da

    Last Updated : 2021-09-17
  • Guardians of Shan   Naga dari Kikiro – 4

    ✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Dia bilang apa? Aku dari Shan?Tinggal di sana bersamanya sebagai tuan dan abdi?Tapi ...“Aku tidak ingat apa-apa,” bantahku.Takeshi tampak bingung. “Tidak ingat?”Aku jelas tidak tahu.Baru hendak bertanya, terdengar suara Hayya memanggil Takeshi.“Otosan! Otosan!”Pria itu lantas keluar. “Kenapa, Hayya?”“Aku belum mengucapkan ‘Selamat malam.’ Selamat malam!”***Aku merasakan getaran hebat di lantai pagi itu. Mengira ini gempa bumi, aku melesat mencari lapangan luas untuk berlindung. Aku tidak sempat berteriak karena kakiku menjadi satu-satunya anggota badan yang fokus saat itu.“Lian-chan! Ada apa denganmu?” Hayya menatapku heran ketika keluar kamar bak kesetanan. “Kamu merasakan getaran tadi, ya?”

    Last Updated : 2021-09-18
  • Guardians of Shan   Naga dari Kikiro – 5

    ✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵«Azya»Sudah lama negeriku, Kyrvec, diganggu oleh dunia luar, terutama oleh Sakhor. Ia bisa mengendalikan binatang dan sering menjadikan kami sebagai kelinci percobaan, meski gagal lantaran kami bisa menguasai kedua akal dan nafsu.Kyrvec adalah negeri tersembunyi. Kami tidak punya mata uang atau alat tukar barang. Tapi tidak juga kekurangan jatah makanan. Meski kadang kami memakan bangkai saudara sendiri yang mati. Sakhor akan datang di saat seperti itu dan menawarkan kehidupan indah.“Kalian cukup tunduk padaku,” ujarnya. “Maka hidup kalian terjamin.”Target kami tidak lain adalah kamu–Lian–lalu Otosan dan teman-temannya yang lain. Tapi, kami selalu menolak.Akibatnya, sebagian dari kami dibantai oleh pasukan hewannya tanpa alasan yang jelas. Banyak korban berjatuhan, menyebabkan peperangan sia-sia.“Ylfa!” panggil

    Last Updated : 2021-09-19
  • Guardians of Shan   Naga dari Kikiro – 6

    ✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵“Lalu ... Apa katanya?” tanyaku.Azya diam sejenak. “Um, habis itu mereka pergi tanpa mengucapkan sepatah kata. Aku dan Hayya lalu menunggu kepulangan Otosan.”“Kamu atau Hayya tahu masa lalunya selain fakta kalau ia penduduk Shan dulu?”“Ya. Tapi, beliau sepertinya memang lupa sesuatu. Kami yakin seseorang mengacak ingatannya.”Meski selamat, ia tidak luput dari serangan hilang ingatan. Aku jadi penasaran, benarkah sikapnya selama ini berbeda dengan yang dulu? Kalau iya, seperti apa?“Permisi, Lian-chan, aku ke kamar.” Azya langsung meninggalkanku.***Aku memetik rangkaian bunga dari kebun selama menunggu kepulangan Takeshi. Aku dan Hayya duduk di pondok sambil merangkai tumbuhan yang ada. Kupegang rangkaian bungaku yang acak-acakan untuk dijadikan mahkota bersama Hayya.“Tara!

    Last Updated : 2021-09-20
  • Guardians of Shan   Naga dari Kikiro – 7

    ✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Sesuatu menangkap tubuhku. Aku membuka mata. Rupanya aku digendong seorang wanita berambut biru. Dia lalu menurunkanku. “Nenek!” seru Aoi. “Maaf, Lian.” Aku menatap wanita yang ternyata nenek dari Aoi. Wajahnya tidak menunjukkan kalau dirinya sudah tua, justru sebaliknya. “Te ... Terima kasih.” Aku menunduk. “Aku terlalu bersemangat.” Wanita itu mengelus rambutku. “Lain kali, hati-hati.” Hayya terpaku menatapku. Kulihat dia baru saja turun tanpa hambatan. Aku yang heran memanggil namanya. “Hayya?” Gadis itu malah lenyap seketika itu juga. Dia bahkan tidak menjerit atau mengeluarkan suara selain langkah kakinya yang sayup-sayup menyatu dengan udara. Aku berbalik dan hanya ada kami bertiga di hutan ini. “Ada apa?” Wanita itu menatap sekeliling. “Mungkin Pengalih-Rupa,” ujarnya. “Kalian bermain terlalu jauh, sebaiknya menginap di rumah kami.” Aku menatap s

    Last Updated : 2021-09-21

Latest chapter

  • Guardians of Shan   Hadiah sang Ratu - 10

    Kedatangannya Elya tidak kusangka akan sepagi ini. Aku ingat kebiasaan Robert yang bangun lebih awal, barangkali mereka biasa berjanji bertemu sepagi ini. Namun, pagi ini kulihat Robert tampak mengantuk. Saat aku dititipkan di Kapel, tidak kutanyakan langsung saat itu apa yang dia kerjakan di luar sana. Sepertinya melelahkan.“Dia sedang tidur,” jawabku, tidak ada niat membangunkan Robert. Namun, aku rasa Elya bisa menunggu. Toh, gadis itu tahu pasti jadwal kerja Robert, dia biasanya juga tidak akan lama beristirahat setelah terbangun sejenak tadi. Baru hendak kutawari untuk masuk, Elya serahkan tas kecil yang melingkari pinggangnya padaku. Dia melangkah mundur. “Baik, titip pesan padanya jika nanti malam aku akan ke sini lagi.” “Kamu tidak mau menunggu?” Aku bertanya. Ingin rasanya tahu apa yang mereka berdua lakukan, kekuatan yang katanya “mengutak-atik bagian tubuh” masih tergiang dalam pikiranku. Apa gerangan yang Robert rencanakan? Apa ada kaitannya dengan cairan yang biasa dia

  • Guardians of Shan   Hadiah sang Ratu – 9

    Membangun peradaban baru. Belum pernah terpikir jika para Guardian ingin mencapainya, tidak pula aku menduga. Kukira tujuan kami hanya bisa bertemu kembali, memulai hidup bersama seperti keluarga lainnya hingga kembali ke pelukan alam. Jika tidak akan terlahir kembali setelahnya.Elya memandangku, matanya terpaku, menunggu aku membalas, tapi aku tidak tahu jawabannya. Jika saja seorang Guardian di sini, dia pasti bisa menjawab.“Ah, Elya.” Suara tak terduga dari Frederic menyelamatkanku dari pertanyaan tadi. “Sudah lama tidak ke sini. Di mana keluargamu?”“Sedang jalan-jalan,” jawab Elya. “Kamu datang sedikit tepat waktu, aku dan Levi baru saja membahas soal kerajaan awan karena langit-langit ini.”Frederic melayangkan pandangannya pada lukisan itu. “Benarkah? Kami memilih awan karena itu mengingatkan kami akan kehidupan setelah ini,” komentarnya. “Kamu ingat sesuatu?”“Ya, Abi pernah membahas soal kerajaan di atas awan dan mengaku ingin kembali ke sana.” Elya menatapku. “Sayng sekali

  • Guardians of Shan   Hadiah sang Ratu – 8

    Ucapan gadis itu membuatku diam. Memang para Guardian telah menjagaku dari segala bahaya. Namun, aku dan mungkin juga kakakku, Kyara, tidak tahu mengapa kami dijaga selain karena kami pewaris takhta Kerajaan Shan selama ini. Tidak seperti mereka, kami tidak ingat apa pun, hanya ikut alur yang para Guardian tuntun untuk kami.Tidak disangka ada lagi seseorang di taman. Dia berdiri di bawah naungan pohon yang jadi pusat taman, tepatnya berseberangan denganku. Rambutnya biru dengan garis-garis hitam menghiasi beberapa helai, sementara iris mata hitam, kulitnya pun sepucat anak-anak panti. Ciri-ciri anak panti yang sangat pucat membuatku ragu pada asal usul mereka. Orang Danbia memiliki kulit putih sedikit kemerahan, tak terkecuali Robert. Sementara orang Ezilis juga putih, tapi tidak sampai tampak janggal seperti anak-anak panti itu. Namun, aku belum pernah melihat gadis itu di panti dan dia tidak juga terlihat seperti orang-orang dari negeri yang kutahu.Tanganku terangkat perlahan mesk

  • Guardians of Shan   Hadiah sang Ratu – 7

    "Pergi saja ke Kapel. Kau tidak boleh keluar dari sana sampai aku jemput." Hanya itu ucapan Robert yang aku ingat begitu waktu sekolah berakhir. Alih-alih berdiri depan sekolah bersama teman sebaya menunggu dijemput, aku langsung melangkah menuju tempat yang dia maksud. Lokasi Kapel memang tidak jauh, hanya sekitar satu jalan dari sekolahku dan itu masih berada di antara jalanan umum. Barangkali karena ini Robert membiarkanku berjalan seorang diri. Meski beberapa kesempatan–seperti Guardian lainnya–dia tidak ingin aku menjauh darinya, untuk kali ini dia mempercayakan seseorang untuk menjagaku. Kalung ini bersinar saat berada di dekat pria itu, dia pun tahu aku tanggungjawabnya. Aku teruskan langkah dengan boneka kelinci berian Arsene, untungnya tidak ada teman sekelas yang mengambilnya. Dia bisa menemaniku jika suasana Kapel ternyata begitu sunyi.Keadaan Kapel, seperti biasanya, tidak begitu ramai. Lebih terlihat beberapa orang lewat dengan pakaian yang sama seperti Frederic kenakan

  • Guardians of Shan   Hadiah sang Ratu – 6

    "Apa?" Aku tentu heran mendengarnya. Waktu itu juga belum paham maksud dari kata "pemusnah massal" itu sendiri. Aku mulai berpikir keras akan suatu hal yang belum kupahami. Spontan saja kutanyakan persis seperti yang kupikirkan. "Pemusnah apa? Apa itu 'massal'?""Ah, lupakan, aku hanya bergurau," Ekspresi muka Robert tidak menunjukkan apa pun yang membuatnya tampak sedang bercanda, dia terlihat serius seperti biasa."Tapi, apa itu 'massal'?" Aku bersikeras ingin tahu, hati berdebar menerka maksud yang kucari.Robert berdecak pelan. "Dalam jumlah yang banyak."Aku terdiam. Kata "senjata pemusnah massal" berarti senjata yang dapat menghancurkan sesuatu dalam jumlah yang banyak. Jantungku terasa berhenti berdetak untuk sesaat. Kalimat yang baru kupelajari tadi terdengar menakutkan. "Kenapa Robert bilang begitu?" Aku protes, tidak menutupi kalau pelindungku ini memberi kesan seram sejak awal.Robert menghela napas, menggeleng pelan. "Tidak ada."Kali ini, aku mendadak jadi penasaran. Tida

  • Guardians of Shan   Hadiah sang Ratu – 5

    "Ya, bilang saja begitu, mentang-mentang belum ada yang terbunuh." Robert mengucapkannya dengan nada mengejek. Entah mengapa tutur kata lembut dari temannya tidak mempengaruhi reaksinya. "Thomson." Dia sebut nama temannya itu dengan lembut, meski dapat kurasakan tekanan dari suaranya, tanda teguran halus. "Frederic." Robert sebut namanya seperti mendesis, menyebut nama dari temannya sekaligus membalas ucapannya barusan. Pria di depanku, yang kini akan kusebut sebagai Frederic, mempertahankan intonasi suara lembutnya. "Aku juga bertanggung jawab atas nyawanya. Percayalah, dia tidak akan menginjakkan kaki di sini." Di balik suaranya yang tenang, sorot matanya kian tajam, terus memandang ke arah Robert. Suasana kian canggung bagiku, terlebih melihat dua orang dewasa–pelindungku sendiri, kini tengah berada dalam perdebatan. Tampaknya tidak ada salah satu yang ingin mengalah, meski ada perbedaan dari cara menuturkan kata, tapi dapat kutebak masing-masing tetap ingin mempertahankan ke

  • Guardians of Shan   Hadiah sang Ratu – 4

    Barangkali ini kebiasaan yang aku terapkan pada setiap Guardian, saat kami melangkah bersama, kupastikan kami selalu berdampingan. Namun, karena tubuh mereka lebih besar dariku, aku merasa lebih aman bernaung di bawah bayangan mereka. Seperti itulah yang aku lakukan bersama Robert saat ini. Tangan para Guardian selalu begitu besar dibandingkan punyaku, sehingga ketika bergandengan semua jariku tetap tidak sanggup meraih seluruh tangan mereka. Selagi melangkah, pandangan Robert lurus ke depan, sesekali pandangan kami bertemu tanpa reaksi, memastikan tidak terpisah barang sesaat.Langkah kami tertuju pada kapel, tempat yang bernuansa paling tenang di kota Anamsel sejauh ini, walau hanya sedikit tempat yang aku kunjungi di kota. Jumlah orang yang keluar masuk dari kapel masih terbilang sedikit, menambah kesan keheningan yang mendukung aura ketenangan yang dipancarkan. Para petugasnya ramah, apalagi mereka yang sering menerima barang berian dari Robert tadi, semua mengenakan pakaian biru

  • Guardians of Shan   Hadiah sang Ratu – 3

    Malam itu terasa berbeda lantaran aku kini berbaring di kasur dengan Robert di sisiku. Cahaya remang dalam kamar membuat suasana hening terasa damai, meski di saat yang sama diliputi hawa dingin menusuk hingga ke tulang, membuatku menenggelamkan diri dalam selimut selagi memandang pelindungku yang entah mengapa memilih untuk membaringkan badan di atas selimut. Robert memandang langit-langit, mata cokelatnya bergerak mengamati sekeliling kamar, tenggelam dalam pikiran sejenak sebelum akhirnya bersuara."Hal pertama yang kuingat di Shan itu, saat itu aku menghadap Raja sebagai hadiah dari sang Ratu." Robert memulai ceritanya, pandangannya masih fokus memandang langit-langit. Cahaya lampu tidur yang menjadi satu-satunya penerang memantul di matanya.Tanganku masih menggenggam erat selimut, menyimak ucapannya. "Hadiah?" Terkesan aneh karena yang kutahu, hadiah itu biasa berwujud benda mati.Robert mengiakan, masih terus memandang ke atas. "Sang Ratu memberi Raja hadiah berupa aku, dengan

  • Guardians of Shan   Hadiah sang Ratu – 2

    Bunyi keras kembali menyentak keheningan. Bersamaan dengan lantai kayu yang menampar wajahku saat kehilangan keseimbangan. Langsung saja aku terduduk, menatap sosok yang baru saja membuatku jatuh.Tangan besar itu meraih rambutku. Aku menjerit ketika terseret lagi. Sesuatu hendak memangsaku di hari pertama musim dingin ini. Aku menendang-nendang tanah, berupaya melawan meski tiada hasil.Terdengar bunyi daging terpotong, refleks membuatku terpaku, mengira serangan itu tertuju padaku. Tangan yang mencengkeram kepalaku mulai melemah. Aku terjatuh ke lantai, begitu kaki menyentuh lantai, segera aku merangkak menjauh."Pangeran!" Di saat itu juga tubuhku terasa terangkat. Tercium bau khas yang kukenal. Kumpulan aroma wangi yang berasal dari minuman maupun racikan yang selama ini menghias rumah baruku. Dia berdiri di depan, kedua tangan terulur siap meraihku. Segera aku mendekapnya agar tidak terjatuh. Jelas sudah siapa itu, dia pasti langsung keluar begitu melihat bayangan makhluk tadi.

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status