✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵
Aku bertemu Ariya pagi itu.
“Kamu anak baru?” sapanya. “Aku Ariya~ senang berjumpa denganmu💙”
Rupanya, senjata makan tuan. Dia jelas lupa apa yang terjadi, bahkan barangkali melupakan Kota Saghra.
“Aku Reem,” balasku.
“Kamu ingat liontin yang kemarin Arsya kasih?” tanyanya. “Aku membutuhkannya, sekarang.”
Aku hendak menolak.
“Aku akan membelikanmu apa pun💙” ujarnya. “Bagaimana?”
Apa pun?
Ariya melanjutkan. “Bahkan, kalau mau, aku bisa mengajakmu ke tempat yang ajaib💙”
Kalau yang itu, aku jelas tertarik. “Baiklah, Nona.”
***
“Jadi, wanita berambut putih itu yang bernama Hiwaga?” Calvacanti membiarkanku duduk di ekornya yang melingkar. Ia menawar untuk mengobrol setrlah aku menyerahkan liontin milik Arsya.
Aku mengangguk.
“Berhati-hatilah,” pesannya. “Kamu jangan lengah.”
Aneh. Banyak orang mengatakannya. Kalau memang Mariam berniat jahat, kenapa padaku? Aku tidak pernah melihatnya dalam hidupku sebelum malam berdarah itu.
“Memangnya kenapa?” tanyaku. “Banyak orang mengatakannya, tapi tidak pernah memberi tahu alasannya.”
“Kami, para makhluk sihir, dapat melihat aura seseorang. Kebetulan aura Hiwaga sangat suram dan mungkin berbahaya bagi kami. Aku yakin teman-temannya juga begitu.”
Aku termenung mendengarnya. “Aku hanya manusia biasa.”
“Mungkin ...” Calvacanti tampak menggantung kalimatnya. “Kamu dalam bahaya.”
“Aku tahu, kok. Lawannya saja para monster, jin, iblis atau apalah itu.”
Calvacanti membalas, “Tapi, kenapa kamu malah ikut dengannya?”
“Nasib.” Begitulah balasanku. “Kamu tahu sendiri kenapa.”
Calvacanti menepuk bahuku. “Kalau aku merdeka, aku akan memberitahumu tempat yang aman untuk hidup.”
“Hiwaga juga begitu,” balasku. “Sepertinya.”
“Tapi, tidak dengan membawamu ke tempat yang berbahaya.”
“Aku lebih baik hidup sendiri saja, atau kamu yang mengirimku uang,” sahutku.
Calvacanti tertegun. “Dengar, aku berniat melindungimu dari para–”
“Reem! Reem! Kamu di mana?” Terdengar seruan dari Mariam.
“Sebentar!” balasku. “Aku pamit.”
Aku langsung meninggalkannya.
***
“Kamu bisa mengubah seseorang?” Count Wynter bertanya pada kami. “Atau pernah berhubungan dengan sihir sebelumnya?”
“Ya,” jawab Mariam datar.
Kami dipanggil Count Wynter setelah aku pamit dengan Calvacanti ke ruang tamu. Meski tampak luas dan megah, suasana yang canggung jelas membuatku merasa aneh dan tidak enak badan.
Countess Wynter ikut bertanya. “Berarti kamu juga bisa menangkal sihir?”
“Barangkali.”
“Pernah melawan penyihir?” tanya Wynter.
“Ya.” Tampaknya, hanya itu yang bisa diucapkannya.
“Kamu tahu soal Kerajaan Shan?” tanya Wynter.
“Aku lahir dan dibesarkan di Shyr,” jawab Mariam. “Aku tidak tahu menahu soal Shan, Negeri yang Hilang.”
Wynter bungkam begitu Mariam mengucapkannya.
“Apa namamu hanya Hiwaga?” tanya Countess.
Aku tahu Mariam mulai jenuh. “Kalian mempermasalahkannya? Seorang bangsawan sering menyamar dan kalian bahkan tidak mengusik mereka.”
Countess menatapku. “Ini putrimu?”
“Bukan.” Mariam menjawab persis saat aku membuka mulut.
Wynter dan istrinya heran mendengar jawaban Mariam. Tampaknya ada sesuatu yang menjanggal hingga mereka mengira Mariam-lah pelakunya.
“Aku tahu kamu berbohong,” ujar Count. “Namamu bukan Hiwaga dan jelas kamu tahu apa yang terjadi di Shan.”
Mariam tetap tenang. “Yang kutahu, Shan hancur beberapa dekade yang lalu. Beberapa rakyat di sana yang selamat justru kehilangan bagian tubuhnya atau lebih buruk. Tapi, tetap bisa menggunakan sihir. Merekalah para keturunan penyihir.”
“Kamu tahu apa sebabnya?” tanya Wynter.
Kali ini, Mariam yang bungkam.
“Kamu tahu apa sebabnya?” Wynter mengulangi pertanyaannya.
Mariam mengangkat bahu. “Aku bakal terlalu jujur.”
“Katakan!” titah Wynter.
“Karenamu,” balas Mariam, terdengar santai.
Suasana seketika hening.
“Apa maksudmu?” Wynter heran.
“Aku paham kamu dulunya hidup di sana,” ujar Mariam. “Kamu sendiri yang membiarkan seseorang menghancurkan negerimu. Kenapa protes?”
Jawaban Mariam yang terkesan kasar itu seketika mengubah suasana menjadi semakin canggung dan mencekam. Countess tidak hentinya menatap kami sementara suaminya menunduk entah apa yang dipikirkannya. Aku hanya diam menonton.
“Beraninya berkata begitu pada suamiku!” Countess menatap Mariam dengan tajam. “Apa yang kautahu tentangnya?”
“Jauh melebihimu,” sahut Mariam yang masih saja santai.
Saat itulah, tubuhku terasa membeku. Aku tidak bisa menggerakkan tubuh. Semua terasa berat, seakan ada sesuatu yang menahanku. Mataku dapat melihat tangan Wynter menunjuk ke arahku. Ia menggunakan kekuatannya.
“Reem tidak akan selamat kalau kamu berbohong, Hawa!” seru Wynter.
Mariam melotot. “Siapa?”
Bukannya menjawab, Wynter mengarahkan telunjuk padaku–
Rasa nyeri mulai menggerogoti tubuh. Jantungku berdetak kencang, takut jika umur selesai sampai di sini.
“Bohong tentang apa?” sahut Mariam. “Aku mengatakan apa yang kutahu.”
“Kamu berbohong soal Negeri Shan!” sanggah Countess. “Aku tahu kamu dalang di balik semua ini!”
“Tidak!” balas Mariam. “Aku tidak tahu kenapa bisa runtuh!”
Tubuhku terasa diperas. Mulutku tidak mampu bicara, mataku hanya tertuju ke arah Mariam dan dua majikanku.
“Katakan!” desak Count Wynter.
Mariam membalas. “Untuk apa?”
Buk!
Aku terlemparku hingga terempas ke lantai. Beruntung kepala tidak menimpa ujung meja kayu yang terletak persis di samping kepalaku.
“Reem!” Mariam menghampiri dan memegangku. “Dia tidak ada hubungannya dengan ini!”
“Kalau begitu,” ujar Count. “Katakan penyebab hancurnya Shan!”
Mariam menggeram. “Kamu sendiri yang ingin negeri itu menghancur, Pangeran Zayd!”
Mendengarnya menyebut nama itu, Wynter terdiam.
“Aku tahu siapa dirimu, Pangeran!” lanjut Mariam. “Kamu memang dilahirkan untuk dibunuh Raja, tapi ia malah membesarkanmu. Kamu sendiri justru berkhianat. Kenapa aku yang disalahkan?”
Wynter mengepalkan tangan. “Aku tahu kamu berniat menghancurkan sihir dan Shan jauh sebelum aku ingin membunuhnya.”
Mariam mengelus kepalaku. “Dan Reem tidak ada hubungannya dengan ini.”
“Tapi, dia anak asuhmu,” sahut Countess. “Dan kelak, dia yang harus bertanggung jawab atas kejahatanmu.”
“Aku tidak melakukan apa pun!” sahut Mariam. “Aku hanya penduduk Shyr.”
“Aku melihatmu sebelum kehancuran Shan,” sahut Count.
“Begitu pula denganku. Aku melihatmu setelah kehancuran negeri itu, dengan selamat,” balas Mariam.
Mata hitam Wynter kini bagai jurang tanpa dasar. Menusuk lawan tanpa menghunus pedang.
“Aku tahu kamu siapa,” ujar Wynter. “Dan jangan menipuku di balik wajah polosmu. Guardians ... Kalian harus tanggung jawab!”
Mariam tidak menanggapi. Wajahnya masih datar seperti biasa.
“Saat aku mencoba mencegah kalian, negeri ini hancur dan berdampak pada kakiku.” Wynter menunjuk kaki kirinya. “Dan mayoritas penduduk Shan yang selamat harus kehilangan karenamu.”
Mariam membalas tatapannya dengan dingin. “Lalu apa? Kalian masih bisa memakai sihir, toh.”
“Kamu pikir kehilangan itu mudah?” sahut Countess.
“Sayangnya, aku tidak punya siapa dan apa pun,” sahut Mariam, dia menatapku. “Aku sebatang kara.”
“Bagaimana denganku?” batinku. “Apa aku bagian dari hidupmu?”
“Lagi pula,” ujar Mariam. “Kalian hanya berlebihan.”
***
Ucapannya sepertinya akan berdampak seribu kesialan yang akan menimpaku di kemudian hari. Untuk sekarang, tampaknya pasangan itu membiarkan Mariam tetap bekerja sebagai pelayan mereka. Padahal keduanya bisa memecatnya. Toh, bakal ada pelayan baru yang menggantikan.
“Aku hargai kebaikan Wynter,” ujar Mariam keesokan paginya sambil mencuci pakaian. “Ia masih membiarkanku bekerja.”
“Kenapa kamu bilang begitu?” protesku. “Kamu membuatnya marah!”
“Mereka tidak membuatku takut,” sahut Mariam sambil menggosok pakaian. “Aku pernah duduk di sisi seorang raja.”
Pasti Raja Khidir!
Raja Khidir lagi, Raja Khidir lagi!
Mendengarnya, jelas membuatku semakin heran dan penasaran dengan sosok Mariam yang sebenarnya.
“Kamu ini sebenarnya siapa?”
Selalu, Mariam membalas. “Aku pengelana.”
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Aku terbangun pada tengah malam. Entah mengapa percakapan antara majikanku dengan Mariam terus saja mengganggu batin. Mariam masih terlelap di sisiku dan mendengkur pelan. Beruntung aku juga terbiasa mendengar dengkuran Ibu dulu. Anehnya, kebiasaan ini tidak menurun padaku. Barangkali dari mendiang Ayah yang tidak pernah kujumpai. Aku langkahkan kaki ke luar rumah sambil menikmati udara malam. Pikiranku seketika tertuju pada sore itu. Ah, perdebatan. *** Wynter dengan tatapan dingin terus menginterogasi Mariam yang juga dibalasnya dengan santai. Ia tidak lepas pandangan, apalagi setiap kali Mariam menjawab pertanyaannya seakan baru saja mendengar penjelasan rumit. Sementara lawan bicaranya tidak pernah menanggapi dengan serius, yang justru menyulut bara di hati sang majikan. “Aku melihatmu terakhir bersama adikku sebelum ledakan itu,” ujar Wynter. “Aku tahu kamu siapa.” “Pangeran
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Kini jeritan membangunkan seisi kota. Hewan ternak tadi memnuhi jalan kini menjadi santapan Tentara Nisma. Ya, kurasa itu gelar yang cocok bagi kumpulan makhluk menjijikkan ini. Seekor sapi melenguh selagi disantap mentah-mentah. Mariam memacu kuda selagi jalan sedikit terbuka– Sebuah tangan menarikku. “Kyaaa!” Srek! Bruk! Aku terempas ke tanah. Bau tangan itu busuk berpadu dengan tanah yang menyelimuti tubuh mereka. “Kyara!” Kudengar Mariam menjerit, tak peduli jika kami sedang menyamar atau tidak. Tangan-tangan itu mencengkeram pakaianku. Tubuhku tidak mampu memberontak. Mereka bagai rantai yang membelenggu dan terus menyeret semakin dalam. “Mariam! Mariam!” Aku menjerit sebisanya. Mariam memacu kuda dengan kasar. Kudanya justru jatuh, bersamaan dengan Mariam yang melompat sebelum mendarat di tanah. Tak peduli
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ “Otosan! Otosan!” Kukerjapkan mata. Kulihat seorang gadis berambut turquoise diurai hingga pinggang, di ujungnya terdapat warna hitam. Kulitnya sawo matang, dan tubuh sedikit lebih tinggi dariku. Kulihat sosok Mariam di sisi gadis itu. Bukan. Ia seperti Mariam, tapi dalam wujud pria. Perbedaan mencolok hanya ada pada matanya, merah. Rambut agak panjang dibandingkan pria lain yang pernah kulihat, kulitnya juga putih. Ia sedang memegang sebuah bakul, tatapannya tertuju pada gadis itu. Gadis tadi kembali memanggil. “Otosan, minta!” Ia membalas dengan elusan di rambut. “Dari tadi makan terus. Pulangnya jangan makan lagi!” Senyum gadis itu memudar. “Sedikit saja.” “Ingat-ingat, Hayya.” Gadis yang dipanggil Hayya itu
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Kebun Takeshi jauh lebih menawan dibandingkan milik Count Wynter. Beragam tanaman menghiasinya, mulai dari bunga sampai pohon unik tumbuh dengan subur. Saking lebatnya sampai menutupi langit di atas kami. Dengan sinar matahari yang tertutup, membuatnya bagai hutan rimba dilengkapi suara para hewan yang saling menyahut. “Ada berapa hewan di sini?” tanyaku. “Tupai, burung, ikan hias, dan beragam hewan ternak, tapi itu peliharaan tetangga yang mampir sebentar,” balas Hayya. “Mereka dirawat dengan baik.” “Untuk dimakan?” Azya mengiakan. “Kecuali tupai. Mereka membantu menumbuhkan pohon kalau lupa tempat mengubur kacangnya. Ada juga kelelawar yang kadang menggugurkan biji buah ke tanah sehingga pohon baru akan tumbuh.” Hayya menambahkan. Aku mengamati kebun, atau lebih tepatnya hutan. Sungguh asri dan damai. Aku ingin berlama-lama di sini. Hutan di desaku tidak pernah selebat ini. Kebanyakan hanya sawah dan pertanian sederhana. Jadi ingat Ibu. Beliau rajin mer
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Petangnya, Takeshi memasak di dapur sementara aku hanya menonton. Ia tidak mau dibantu, tapi menolak ditinggal. Rupanya ia senang melihatku terkagum-kagum melihat masakannya yang menggoda.“Di Shan dulu, aku dilarang memasak,” ujar Takeshi. “Para pelayan yang memasak. Padahal aku lebih suka masakan buatanku sendiri.”“Dari mana kamu belajar?” tanyaku. “Ibumu?”“Dari Kepala Pelayan,” balas Takeshi. “Ibu tidak bisa memasak.”Ia selesai merebus makanan panjang berwarna kuning lalu meletakkannya di sebuah mangkuk berisi kuah. Ditaburinya sayur-mayur yang dipotong kecil dan sejumput garam. Belum pernah aku melihat makanan seperti itu sebelumnya.“Ini masakan favorit kami,” ujar Takeshi. “Kami menyebutnya mie. Kamu pasti pernah mendengarnya.”Aku menggeleng. “Aku hanya tahu kuah da
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Dia bilang apa? Aku dari Shan?Tinggal di sana bersamanya sebagai tuan dan abdi?Tapi ...“Aku tidak ingat apa-apa,” bantahku.Takeshi tampak bingung. “Tidak ingat?”Aku jelas tidak tahu.Baru hendak bertanya, terdengar suara Hayya memanggil Takeshi.“Otosan! Otosan!”Pria itu lantas keluar. “Kenapa, Hayya?”“Aku belum mengucapkan ‘Selamat malam.’ Selamat malam!”***Aku merasakan getaran hebat di lantai pagi itu. Mengira ini gempa bumi, aku melesat mencari lapangan luas untuk berlindung. Aku tidak sempat berteriak karena kakiku menjadi satu-satunya anggota badan yang fokus saat itu.“Lian-chan! Ada apa denganmu?” Hayya menatapku heran ketika keluar kamar bak kesetanan. “Kamu merasakan getaran tadi, ya?”
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵«Azya»Sudah lama negeriku, Kyrvec, diganggu oleh dunia luar, terutama oleh Sakhor. Ia bisa mengendalikan binatang dan sering menjadikan kami sebagai kelinci percobaan, meski gagal lantaran kami bisa menguasai kedua akal dan nafsu.Kyrvec adalah negeri tersembunyi. Kami tidak punya mata uang atau alat tukar barang. Tapi tidak juga kekurangan jatah makanan. Meski kadang kami memakan bangkai saudara sendiri yang mati. Sakhor akan datang di saat seperti itu dan menawarkan kehidupan indah.“Kalian cukup tunduk padaku,” ujarnya. “Maka hidup kalian terjamin.”Target kami tidak lain adalah kamu–Lian–lalu Otosan dan teman-temannya yang lain. Tapi, kami selalu menolak.Akibatnya, sebagian dari kami dibantai oleh pasukan hewannya tanpa alasan yang jelas. Banyak korban berjatuhan, menyebabkan peperangan sia-sia.“Ylfa!” panggil
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵“Lalu ... Apa katanya?” tanyaku.Azya diam sejenak. “Um, habis itu mereka pergi tanpa mengucapkan sepatah kata. Aku dan Hayya lalu menunggu kepulangan Otosan.”“Kamu atau Hayya tahu masa lalunya selain fakta kalau ia penduduk Shan dulu?”“Ya. Tapi, beliau sepertinya memang lupa sesuatu. Kami yakin seseorang mengacak ingatannya.”Meski selamat, ia tidak luput dari serangan hilang ingatan. Aku jadi penasaran, benarkah sikapnya selama ini berbeda dengan yang dulu? Kalau iya, seperti apa?“Permisi, Lian-chan, aku ke kamar.” Azya langsung meninggalkanku.***Aku memetik rangkaian bunga dari kebun selama menunggu kepulangan Takeshi. Aku dan Hayya duduk di pondok sambil merangkai tumbuhan yang ada. Kupegang rangkaian bungaku yang acak-acakan untuk dijadikan mahkota bersama Hayya.“Tara!
Kedatangannya Elya tidak kusangka akan sepagi ini. Aku ingat kebiasaan Robert yang bangun lebih awal, barangkali mereka biasa berjanji bertemu sepagi ini. Namun, pagi ini kulihat Robert tampak mengantuk. Saat aku dititipkan di Kapel, tidak kutanyakan langsung saat itu apa yang dia kerjakan di luar sana. Sepertinya melelahkan.“Dia sedang tidur,” jawabku, tidak ada niat membangunkan Robert. Namun, aku rasa Elya bisa menunggu. Toh, gadis itu tahu pasti jadwal kerja Robert, dia biasanya juga tidak akan lama beristirahat setelah terbangun sejenak tadi. Baru hendak kutawari untuk masuk, Elya serahkan tas kecil yang melingkari pinggangnya padaku. Dia melangkah mundur. “Baik, titip pesan padanya jika nanti malam aku akan ke sini lagi.” “Kamu tidak mau menunggu?” Aku bertanya. Ingin rasanya tahu apa yang mereka berdua lakukan, kekuatan yang katanya “mengutak-atik bagian tubuh” masih tergiang dalam pikiranku. Apa gerangan yang Robert rencanakan? Apa ada kaitannya dengan cairan yang biasa dia
Membangun peradaban baru. Belum pernah terpikir jika para Guardian ingin mencapainya, tidak pula aku menduga. Kukira tujuan kami hanya bisa bertemu kembali, memulai hidup bersama seperti keluarga lainnya hingga kembali ke pelukan alam. Jika tidak akan terlahir kembali setelahnya.Elya memandangku, matanya terpaku, menunggu aku membalas, tapi aku tidak tahu jawabannya. Jika saja seorang Guardian di sini, dia pasti bisa menjawab.“Ah, Elya.” Suara tak terduga dari Frederic menyelamatkanku dari pertanyaan tadi. “Sudah lama tidak ke sini. Di mana keluargamu?”“Sedang jalan-jalan,” jawab Elya. “Kamu datang sedikit tepat waktu, aku dan Levi baru saja membahas soal kerajaan awan karena langit-langit ini.”Frederic melayangkan pandangannya pada lukisan itu. “Benarkah? Kami memilih awan karena itu mengingatkan kami akan kehidupan setelah ini,” komentarnya. “Kamu ingat sesuatu?”“Ya, Abi pernah membahas soal kerajaan di atas awan dan mengaku ingin kembali ke sana.” Elya menatapku. “Sayng sekali
Ucapan gadis itu membuatku diam. Memang para Guardian telah menjagaku dari segala bahaya. Namun, aku dan mungkin juga kakakku, Kyara, tidak tahu mengapa kami dijaga selain karena kami pewaris takhta Kerajaan Shan selama ini. Tidak seperti mereka, kami tidak ingat apa pun, hanya ikut alur yang para Guardian tuntun untuk kami.Tidak disangka ada lagi seseorang di taman. Dia berdiri di bawah naungan pohon yang jadi pusat taman, tepatnya berseberangan denganku. Rambutnya biru dengan garis-garis hitam menghiasi beberapa helai, sementara iris mata hitam, kulitnya pun sepucat anak-anak panti. Ciri-ciri anak panti yang sangat pucat membuatku ragu pada asal usul mereka. Orang Danbia memiliki kulit putih sedikit kemerahan, tak terkecuali Robert. Sementara orang Ezilis juga putih, tapi tidak sampai tampak janggal seperti anak-anak panti itu. Namun, aku belum pernah melihat gadis itu di panti dan dia tidak juga terlihat seperti orang-orang dari negeri yang kutahu.Tanganku terangkat perlahan mesk
"Pergi saja ke Kapel. Kau tidak boleh keluar dari sana sampai aku jemput." Hanya itu ucapan Robert yang aku ingat begitu waktu sekolah berakhir. Alih-alih berdiri depan sekolah bersama teman sebaya menunggu dijemput, aku langsung melangkah menuju tempat yang dia maksud. Lokasi Kapel memang tidak jauh, hanya sekitar satu jalan dari sekolahku dan itu masih berada di antara jalanan umum. Barangkali karena ini Robert membiarkanku berjalan seorang diri. Meski beberapa kesempatan–seperti Guardian lainnya–dia tidak ingin aku menjauh darinya, untuk kali ini dia mempercayakan seseorang untuk menjagaku. Kalung ini bersinar saat berada di dekat pria itu, dia pun tahu aku tanggungjawabnya. Aku teruskan langkah dengan boneka kelinci berian Arsene, untungnya tidak ada teman sekelas yang mengambilnya. Dia bisa menemaniku jika suasana Kapel ternyata begitu sunyi.Keadaan Kapel, seperti biasanya, tidak begitu ramai. Lebih terlihat beberapa orang lewat dengan pakaian yang sama seperti Frederic kenakan
"Apa?" Aku tentu heran mendengarnya. Waktu itu juga belum paham maksud dari kata "pemusnah massal" itu sendiri. Aku mulai berpikir keras akan suatu hal yang belum kupahami. Spontan saja kutanyakan persis seperti yang kupikirkan. "Pemusnah apa? Apa itu 'massal'?""Ah, lupakan, aku hanya bergurau," Ekspresi muka Robert tidak menunjukkan apa pun yang membuatnya tampak sedang bercanda, dia terlihat serius seperti biasa."Tapi, apa itu 'massal'?" Aku bersikeras ingin tahu, hati berdebar menerka maksud yang kucari.Robert berdecak pelan. "Dalam jumlah yang banyak."Aku terdiam. Kata "senjata pemusnah massal" berarti senjata yang dapat menghancurkan sesuatu dalam jumlah yang banyak. Jantungku terasa berhenti berdetak untuk sesaat. Kalimat yang baru kupelajari tadi terdengar menakutkan. "Kenapa Robert bilang begitu?" Aku protes, tidak menutupi kalau pelindungku ini memberi kesan seram sejak awal.Robert menghela napas, menggeleng pelan. "Tidak ada."Kali ini, aku mendadak jadi penasaran. Tida
"Ya, bilang saja begitu, mentang-mentang belum ada yang terbunuh." Robert mengucapkannya dengan nada mengejek. Entah mengapa tutur kata lembut dari temannya tidak mempengaruhi reaksinya. "Thomson." Dia sebut nama temannya itu dengan lembut, meski dapat kurasakan tekanan dari suaranya, tanda teguran halus. "Frederic." Robert sebut namanya seperti mendesis, menyebut nama dari temannya sekaligus membalas ucapannya barusan. Pria di depanku, yang kini akan kusebut sebagai Frederic, mempertahankan intonasi suara lembutnya. "Aku juga bertanggung jawab atas nyawanya. Percayalah, dia tidak akan menginjakkan kaki di sini." Di balik suaranya yang tenang, sorot matanya kian tajam, terus memandang ke arah Robert. Suasana kian canggung bagiku, terlebih melihat dua orang dewasa–pelindungku sendiri, kini tengah berada dalam perdebatan. Tampaknya tidak ada salah satu yang ingin mengalah, meski ada perbedaan dari cara menuturkan kata, tapi dapat kutebak masing-masing tetap ingin mempertahankan ke
Barangkali ini kebiasaan yang aku terapkan pada setiap Guardian, saat kami melangkah bersama, kupastikan kami selalu berdampingan. Namun, karena tubuh mereka lebih besar dariku, aku merasa lebih aman bernaung di bawah bayangan mereka. Seperti itulah yang aku lakukan bersama Robert saat ini. Tangan para Guardian selalu begitu besar dibandingkan punyaku, sehingga ketika bergandengan semua jariku tetap tidak sanggup meraih seluruh tangan mereka. Selagi melangkah, pandangan Robert lurus ke depan, sesekali pandangan kami bertemu tanpa reaksi, memastikan tidak terpisah barang sesaat.Langkah kami tertuju pada kapel, tempat yang bernuansa paling tenang di kota Anamsel sejauh ini, walau hanya sedikit tempat yang aku kunjungi di kota. Jumlah orang yang keluar masuk dari kapel masih terbilang sedikit, menambah kesan keheningan yang mendukung aura ketenangan yang dipancarkan. Para petugasnya ramah, apalagi mereka yang sering menerima barang berian dari Robert tadi, semua mengenakan pakaian biru
Malam itu terasa berbeda lantaran aku kini berbaring di kasur dengan Robert di sisiku. Cahaya remang dalam kamar membuat suasana hening terasa damai, meski di saat yang sama diliputi hawa dingin menusuk hingga ke tulang, membuatku menenggelamkan diri dalam selimut selagi memandang pelindungku yang entah mengapa memilih untuk membaringkan badan di atas selimut. Robert memandang langit-langit, mata cokelatnya bergerak mengamati sekeliling kamar, tenggelam dalam pikiran sejenak sebelum akhirnya bersuara."Hal pertama yang kuingat di Shan itu, saat itu aku menghadap Raja sebagai hadiah dari sang Ratu." Robert memulai ceritanya, pandangannya masih fokus memandang langit-langit. Cahaya lampu tidur yang menjadi satu-satunya penerang memantul di matanya.Tanganku masih menggenggam erat selimut, menyimak ucapannya. "Hadiah?" Terkesan aneh karena yang kutahu, hadiah itu biasa berwujud benda mati.Robert mengiakan, masih terus memandang ke atas. "Sang Ratu memberi Raja hadiah berupa aku, dengan
Bunyi keras kembali menyentak keheningan. Bersamaan dengan lantai kayu yang menampar wajahku saat kehilangan keseimbangan. Langsung saja aku terduduk, menatap sosok yang baru saja membuatku jatuh.Tangan besar itu meraih rambutku. Aku menjerit ketika terseret lagi. Sesuatu hendak memangsaku di hari pertama musim dingin ini. Aku menendang-nendang tanah, berupaya melawan meski tiada hasil.Terdengar bunyi daging terpotong, refleks membuatku terpaku, mengira serangan itu tertuju padaku. Tangan yang mencengkeram kepalaku mulai melemah. Aku terjatuh ke lantai, begitu kaki menyentuh lantai, segera aku merangkak menjauh."Pangeran!" Di saat itu juga tubuhku terasa terangkat. Tercium bau khas yang kukenal. Kumpulan aroma wangi yang berasal dari minuman maupun racikan yang selama ini menghias rumah baruku. Dia berdiri di depan, kedua tangan terulur siap meraihku. Segera aku mendekapnya agar tidak terjatuh. Jelas sudah siapa itu, dia pasti langsung keluar begitu melihat bayangan makhluk tadi.