✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵
“Reem ...!”
Jeritan si Kembar menyakiti telingaku. Aduh, mereka lagi!
“Ayo! Ayo! Sekolah!” Delina menyeretku.
“Ayo, bawa tas kami!” Delisa melempar dua buah tas ke arahku.
Buk!
Aku menyambutnya, meski nyaris jatuh. Seberapa kuat mereka ini?
“Ayo, Pelayan!” seru Delina.
“Namanya Reem!” balas Delisa. “Nanti tersinggung dia!”
Aduh, dua-duanya sama saja!
“Ayo, Reem! Kamu makhluk hidup, ‘kan? Bisa berjalan? Ayo!”
Aku ikuti arah jalan mereka.
Aku teringat dengan pria berambut putih kemarin. Siapa dia? Kenapa kalungku memancarkan cahaya biru?
“Reem?” Delina tampak menyadari sesuatu. “Kamu bertemu dengannya?” Dia terdengar geram.
“Siapa pria berambut putih itu?” tanyaku. “Kenapa kalungku jadi bercahaya? Padahal ini hanya batu biasa.”
Si Kembar saling tatap.
“Itu Paman Idris!” desis Delina.
“Dia lagi, dia lagi,” keluh Delisa. “Aduh, apa maunya sekarang?”
“Abi tidak membencinya, ‘kan?” balas Delina.
“Kalian membencinya?” tanyaku mengacu pada pria berambut putih itu.
“Ugh, kami tidak suka auranya!” keluh Delina. “Bahkan sifatnya ... Ugh, tidak enak tahu!”
“Ada apa?” Aku jelas curiga.
“Dia mirip dengan pria yang dulu menyakiti ayah kami,” jawab Delisa. “Di masa lalu, Abi yang dizalimi. Yah, meski itu ayahnya, bukan Paman Idris.”
“Hanya karena dia mirip orang itu?” Aku jelas heran.
“Ya,” jawab si Kembar.
Tiba-tiba wajah masam mereka jadi ceria kala melihat seseorang membawa keranjang.
Delisa menepuk pelan bahu saudarinya. “Ayo, beli! Beli!”
Delina menatapku. “Kamu diam di sini! Biar kami belikan untukmu–tapi, kejutan!”
Keduanya meninggalkanku di seberang jalan.
Kutundukkan pandangan, mengamati kalung yang kemarin bercahaya. Aneh, setelah kepergian pria itu, benda ini kembali seperti semula seakan tidak terjadi apa-apa. Beberapa menit menunggu sambil memandang, aku melihat bayangan mendekat.
Kalungku kembali bercahaya.
“Putri.” Terdengar suara lembut dari samping kiri. Aku menoleh.
Ia seperti Mariam, tapi dalam wujud pria. Perbedaan mencolok hanya ada pada matanya, merah. Rambut lumayan panjang dibandingkan pria lain yang pernah kulihat–sebahu dan disisir ke belakang serta ada tali kecil mengikatnya. Tidak sepucat Count, kurang lebih seperti warga Aibarab yang tinggi.
Ia mengenakan pakaian ungu tua dengan celana putih serta sepatu hitam hak tinggi. Sudah jelas dari kain yang ia kenakan, pria ini termasuk orang seperti Count Wynter.
“Siapa?” heranku. Kulirik kalungku yang bercahaya.
Pria itu menatap sekeliling, kulihat bayangan si Kembar mendekat. “Kalau ada bahaya, pergilah ke rumah nomor 41 dekat sini. Aku akan melindungimu.”
Ia pun pergi.
“Hai, Pelayan! Apa yang kalian bicarakan?” Delina melotot, lalu terdiam sejenak. “Oh, tidak penting lagi.”
Hm, dia baru saja membaca masa laluku.
“Ayo, kita telat!” Delina menarik tanganku. “Delisa, ayo!”
Kenapa Delisa tampak tegang?
“Awas!” Delisa mendorong kami berdua sebelum–
“AAARRRGGGHHH!”
“Tolong ...! Tolong ...!”
Aku berlari bersama si Kembar.
Aku tidak tahu siapa itu.
Atau makhluk macam apa yang mengejar kami.
Jeritan penduduk sekitar lebih keras dibandingkan di Desa Anba dulu. Mereka pun serta merta berhambur melarikan diri, saking paniknya hingga saling menginjak atau mendorong.
“Aduh!”
Sesuatu menarik kalungku.
Aku tertarik ke belakang.
Erangan pelan menggelitik bulu remang.
“Kyaaa ...!” Hanya itu yang bisa aku ucapkan.
Wajahnya hancur, kulitnya tampak terbakar dan sebagian meleleh. Baunya pun seperti sampah, barangkali peraduan tanah dan darah. Belum lagi bau napasnya yang seperti muntah.
Bruk!
Aku berjuang mendorongnya, meski tubuhku jauh lebih kecil.
Klik!
Tak peduli lagi, aku berlari meski kalungku jatuh.
“Reem!” Delina menarikku. Si Kembar jelas tidak bisa melawan.
“Ada apa tadi?” tanyaku.
Erangan itu saling menyahut. Tidak kusangka, dengan tubuh rapuh lagi busuk itu, mereka mampu berlari.
“Umiii ...!” Jeritan si Kembar menggema.
Aku tidak mampu berteriak, saking takutnya.
Sejengkal lagi, para mayat itu akan memangsa kami. Barangkali, itu yang kupikirkan. Sambil terus menggenggam tangan si Kembar, kami berlari ke tempat yang sekiranya aman.
Aku hendak masuk ke rumah warga dengan alasan darurat–
Prang!
“AAA ...!”
Tidak disangka, mereka masuk lewat jendela atau mengedor pintu hingga masuk. Jeritan dan erangan meneror seisi pasar.
“Kyaaa ...! Tolong-tolong-tolong!” Delisa lepas genggaman begitu sebuah tangan mencengkeram kakinya.
“Delisa–Aaa ...!” Baru hendak menolong saudarinya, tangan Delina ditarik salah satu mayat itu.
“Pelayan, bantu!” seru Delina.
Maaf, Delina. Aku pilih hidup.
Aku berputar, hendak lolos dari tangan-tangan itu.
“Argh ...!”
Mayat itu melesat ke arahku–
Krak!
Hampir saja gigi itu menyentuh wajahku. Kepalanya terpotong dan menggelinding. Aku pun menatap penyelamatku.
Pria itu.
Rambut putihnya disisiri angin. Hanya dengan beberapa tebas, sudah membelah puluhan mayat hidup yang mendekat.
Ya, aku akan menyebutnya mayat hidup saja. Meski tidak pasti apakah mereka hidup atau mati.
Pria itu mendesis, “Nisma Wynter.”
Nisma. Nama yang asing bagiku.
“Hei!”
Seorang gadis berdiri di depan kami sambil memegang sebuah gelas. Dalam sekali tatap, aku tahu dia pasti kakaknya si Kembar.
Nisma memiliki rambut hitam pekat seperti Count, sorot matanya yang biru bagai rembulan nan indah. Dia mengenakan daster lengan panjang kelabu dengan pita hitam sebagai penghias. Membuatnya tampak manis seperti saudarinya, Ariya dan si Kembar. Dia terlihat sedikit lebih tua dariku.
Pria berambut putih itu berdiri di depanku. Pedangnya yang bersimbol singa siap menebas.
“Hentikan!” desis pria itu. “Kamu menakuti semua orang.”
Nisma malah mendengkus, seakan dialah yang diganggu. “Apa, sih?”
“Kakak ... !” Jeritan si Kembar mengalihkan perhatian Nisma. “Tolong ...! Umi ...!”
Nisma berdecak. “Hei! Jangan sentuh saudariku!”
Mayat-mayat tadi keluar dari tanah, mereka sudah mencapai pinggang si Kembar dan entah apa niat berikutnya. Mendengar seruan Nisma, mereka pun melepas genggaman.
Si Kembar berlari ke arah Nisma.
“Kamu kenapa, sih?” sembur Delisa.
“Tidak lucu, Kak!” timpal Delina.
Nisma menunjuk gelasnya. Bentuknya sangat mirip dengan gelas para bangsawan. Warnanya kelabu dengan motif emas menghiasnya.
“Aku hanya mencoba-coba.” Nisma membela diri.
Kutatap sekeliling. Para mayat tadi tiba-tiba diam menatap Nisma, menunggu perintah.
Aku menunduk. Kini leherku tidak punya hiasan lagi.
“Kalungmu hilang?” tanya pria itu.
Aku mengiakan. Tidak ada niat di hati untuk mencarinya lagi. Tapi, aku jelas masih penasaran mengapa benda itu bercahaya ketika ia mendekat.
“Hei, Reem! Sini!” titah Delina. Ketika aku mendekat, dia menatap tajam pria itu. “Apa maumu?!”
“Kalian membahayakan orang lain,” balas pria itu.
“Aku hanya coba-coba!” tukas Nisma. “Apa salahnya?”
Pria itu, meski ditatap dan diperlakukan buruk oleh tiga anak-anak, ia tidak tampak marah atau kesal. Aku yakin ia sudah terbiasa.
“Sebaiknya kalian rapikan tempat ini.” Pria itu berpaling. “Sebelum Raja Khidir tahu.”
Kalimat itu berhasil membungkam mereka. Lantas, Nisma berpaling ke pasukannya dan menyeru mereka untuk berhenti.
“Rapikan! Rapikan! Jangan sampai Pak Tua itu tahu!”
Para mayat berhamburan memenuhi area, tapi tidak untuk menyerang melainkan merapikan kekacauan. Sejauh yang kulihat, tidak ada korban jiwa. Ya, tidak ada yang mati, tapi–
“Sudahlah,” ujar Delisa. “Kita pulang. Aku takut, tahu! Tinggalkan saja Nisma! Ayo, Reem!”
Mereka menyeretku bagai saputangan.
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ “Nisma apa?!” Countess terdengar kaget mendengar kabar terbaru dari si Kembar. Mariam yang baru selesai menyapu menatap kami. Namun, tidak berkomentar. “Kalian tadi membentak Idris?” Pertanyaan itu tidak dibalas si Kembar. Countess pun mendekat dan menatap tajam si Kembar. “Siapa yang menyuruh Nisma bermain-main di depan umum?” “Nisma yang mau,” sahut Delisa. “Kami tadi hanya beli manisan,” timpal Delina. “Lalu, Reem disuruh diam di tempat.” “Kemudian Paman Idris datang.” “Lalu, entah kenapa ...” Delisa menggantung kalimatnya. “Nisma datang.” Delina menyambung. “Terus merusak suasana.” “Akhirnya terjadi kekacauan tadi.” “Maaf, Umi.” Si Kembar berkata sambil memeluk paha sang Ibu dengan suara memelas. Lalu, terdengar suara pelan Delisa. “Sepertinya Nisma mau bunuh Paman Idris.”
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Aku bertemu Ariya pagi itu. “Kamu anak baru?” sapanya. “Aku Ariya~ senang berjumpa denganmu💙” Rupanya, senjata makan tuan. Dia jelas lupa apa yang terjadi, bahkan barangkali melupakan Kota Saghra. “Aku Reem,” balasku. “Kamu ingat liontin yang kemarin Arsya kasih?” tanyanya. “Aku membutuhkannya, sekarang.” Aku hendak menolak. “Aku akan membelikanmu apa pun💙” ujarnya. “Bagaimana?” Apa pun? Ariya melanjutkan. “Bahkan, kalau mau, aku bisa mengajakmu ke tempat yang ajaib💙” Kalau yang itu, aku jelas tertarik. “Baiklah, Nona.” *** “Jadi, wanita berambut putih itu yang bernama Hiwaga?” Calvacanti membiarkanku duduk di ekornya yang melingkar. Ia menawar untuk mengobrol setrlah aku menyerahkan liontin milik Arsya. Aku mengangguk. “Berhati-hatilah,” pesannya. “Kamu jangan lengah.”
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Aku terbangun pada tengah malam. Entah mengapa percakapan antara majikanku dengan Mariam terus saja mengganggu batin. Mariam masih terlelap di sisiku dan mendengkur pelan. Beruntung aku juga terbiasa mendengar dengkuran Ibu dulu. Anehnya, kebiasaan ini tidak menurun padaku. Barangkali dari mendiang Ayah yang tidak pernah kujumpai. Aku langkahkan kaki ke luar rumah sambil menikmati udara malam. Pikiranku seketika tertuju pada sore itu. Ah, perdebatan. *** Wynter dengan tatapan dingin terus menginterogasi Mariam yang juga dibalasnya dengan santai. Ia tidak lepas pandangan, apalagi setiap kali Mariam menjawab pertanyaannya seakan baru saja mendengar penjelasan rumit. Sementara lawan bicaranya tidak pernah menanggapi dengan serius, yang justru menyulut bara di hati sang majikan. “Aku melihatmu terakhir bersama adikku sebelum ledakan itu,” ujar Wynter. “Aku tahu kamu siapa.” “Pangeran
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Kini jeritan membangunkan seisi kota. Hewan ternak tadi memnuhi jalan kini menjadi santapan Tentara Nisma. Ya, kurasa itu gelar yang cocok bagi kumpulan makhluk menjijikkan ini. Seekor sapi melenguh selagi disantap mentah-mentah. Mariam memacu kuda selagi jalan sedikit terbuka– Sebuah tangan menarikku. “Kyaaa!” Srek! Bruk! Aku terempas ke tanah. Bau tangan itu busuk berpadu dengan tanah yang menyelimuti tubuh mereka. “Kyara!” Kudengar Mariam menjerit, tak peduli jika kami sedang menyamar atau tidak. Tangan-tangan itu mencengkeram pakaianku. Tubuhku tidak mampu memberontak. Mereka bagai rantai yang membelenggu dan terus menyeret semakin dalam. “Mariam! Mariam!” Aku menjerit sebisanya. Mariam memacu kuda dengan kasar. Kudanya justru jatuh, bersamaan dengan Mariam yang melompat sebelum mendarat di tanah. Tak peduli
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ “Otosan! Otosan!” Kukerjapkan mata. Kulihat seorang gadis berambut turquoise diurai hingga pinggang, di ujungnya terdapat warna hitam. Kulitnya sawo matang, dan tubuh sedikit lebih tinggi dariku. Kulihat sosok Mariam di sisi gadis itu. Bukan. Ia seperti Mariam, tapi dalam wujud pria. Perbedaan mencolok hanya ada pada matanya, merah. Rambut agak panjang dibandingkan pria lain yang pernah kulihat, kulitnya juga putih. Ia sedang memegang sebuah bakul, tatapannya tertuju pada gadis itu. Gadis tadi kembali memanggil. “Otosan, minta!” Ia membalas dengan elusan di rambut. “Dari tadi makan terus. Pulangnya jangan makan lagi!” Senyum gadis itu memudar. “Sedikit saja.” “Ingat-ingat, Hayya.” Gadis yang dipanggil Hayya itu
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Kebun Takeshi jauh lebih menawan dibandingkan milik Count Wynter. Beragam tanaman menghiasinya, mulai dari bunga sampai pohon unik tumbuh dengan subur. Saking lebatnya sampai menutupi langit di atas kami. Dengan sinar matahari yang tertutup, membuatnya bagai hutan rimba dilengkapi suara para hewan yang saling menyahut. “Ada berapa hewan di sini?” tanyaku. “Tupai, burung, ikan hias, dan beragam hewan ternak, tapi itu peliharaan tetangga yang mampir sebentar,” balas Hayya. “Mereka dirawat dengan baik.” “Untuk dimakan?” Azya mengiakan. “Kecuali tupai. Mereka membantu menumbuhkan pohon kalau lupa tempat mengubur kacangnya. Ada juga kelelawar yang kadang menggugurkan biji buah ke tanah sehingga pohon baru akan tumbuh.” Hayya menambahkan. Aku mengamati kebun, atau lebih tepatnya hutan. Sungguh asri dan damai. Aku ingin berlama-lama di sini. Hutan di desaku tidak pernah selebat ini. Kebanyakan hanya sawah dan pertanian sederhana. Jadi ingat Ibu. Beliau rajin mer
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Petangnya, Takeshi memasak di dapur sementara aku hanya menonton. Ia tidak mau dibantu, tapi menolak ditinggal. Rupanya ia senang melihatku terkagum-kagum melihat masakannya yang menggoda.“Di Shan dulu, aku dilarang memasak,” ujar Takeshi. “Para pelayan yang memasak. Padahal aku lebih suka masakan buatanku sendiri.”“Dari mana kamu belajar?” tanyaku. “Ibumu?”“Dari Kepala Pelayan,” balas Takeshi. “Ibu tidak bisa memasak.”Ia selesai merebus makanan panjang berwarna kuning lalu meletakkannya di sebuah mangkuk berisi kuah. Ditaburinya sayur-mayur yang dipotong kecil dan sejumput garam. Belum pernah aku melihat makanan seperti itu sebelumnya.“Ini masakan favorit kami,” ujar Takeshi. “Kami menyebutnya mie. Kamu pasti pernah mendengarnya.”Aku menggeleng. “Aku hanya tahu kuah da
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Dia bilang apa? Aku dari Shan?Tinggal di sana bersamanya sebagai tuan dan abdi?Tapi ...“Aku tidak ingat apa-apa,” bantahku.Takeshi tampak bingung. “Tidak ingat?”Aku jelas tidak tahu.Baru hendak bertanya, terdengar suara Hayya memanggil Takeshi.“Otosan! Otosan!”Pria itu lantas keluar. “Kenapa, Hayya?”“Aku belum mengucapkan ‘Selamat malam.’ Selamat malam!”***Aku merasakan getaran hebat di lantai pagi itu. Mengira ini gempa bumi, aku melesat mencari lapangan luas untuk berlindung. Aku tidak sempat berteriak karena kakiku menjadi satu-satunya anggota badan yang fokus saat itu.“Lian-chan! Ada apa denganmu?” Hayya menatapku heran ketika keluar kamar bak kesetanan. “Kamu merasakan getaran tadi, ya?”
Kedatangannya Elya tidak kusangka akan sepagi ini. Aku ingat kebiasaan Robert yang bangun lebih awal, barangkali mereka biasa berjanji bertemu sepagi ini. Namun, pagi ini kulihat Robert tampak mengantuk. Saat aku dititipkan di Kapel, tidak kutanyakan langsung saat itu apa yang dia kerjakan di luar sana. Sepertinya melelahkan.“Dia sedang tidur,” jawabku, tidak ada niat membangunkan Robert. Namun, aku rasa Elya bisa menunggu. Toh, gadis itu tahu pasti jadwal kerja Robert, dia biasanya juga tidak akan lama beristirahat setelah terbangun sejenak tadi. Baru hendak kutawari untuk masuk, Elya serahkan tas kecil yang melingkari pinggangnya padaku. Dia melangkah mundur. “Baik, titip pesan padanya jika nanti malam aku akan ke sini lagi.” “Kamu tidak mau menunggu?” Aku bertanya. Ingin rasanya tahu apa yang mereka berdua lakukan, kekuatan yang katanya “mengutak-atik bagian tubuh” masih tergiang dalam pikiranku. Apa gerangan yang Robert rencanakan? Apa ada kaitannya dengan cairan yang biasa dia
Membangun peradaban baru. Belum pernah terpikir jika para Guardian ingin mencapainya, tidak pula aku menduga. Kukira tujuan kami hanya bisa bertemu kembali, memulai hidup bersama seperti keluarga lainnya hingga kembali ke pelukan alam. Jika tidak akan terlahir kembali setelahnya.Elya memandangku, matanya terpaku, menunggu aku membalas, tapi aku tidak tahu jawabannya. Jika saja seorang Guardian di sini, dia pasti bisa menjawab.“Ah, Elya.” Suara tak terduga dari Frederic menyelamatkanku dari pertanyaan tadi. “Sudah lama tidak ke sini. Di mana keluargamu?”“Sedang jalan-jalan,” jawab Elya. “Kamu datang sedikit tepat waktu, aku dan Levi baru saja membahas soal kerajaan awan karena langit-langit ini.”Frederic melayangkan pandangannya pada lukisan itu. “Benarkah? Kami memilih awan karena itu mengingatkan kami akan kehidupan setelah ini,” komentarnya. “Kamu ingat sesuatu?”“Ya, Abi pernah membahas soal kerajaan di atas awan dan mengaku ingin kembali ke sana.” Elya menatapku. “Sayng sekali
Ucapan gadis itu membuatku diam. Memang para Guardian telah menjagaku dari segala bahaya. Namun, aku dan mungkin juga kakakku, Kyara, tidak tahu mengapa kami dijaga selain karena kami pewaris takhta Kerajaan Shan selama ini. Tidak seperti mereka, kami tidak ingat apa pun, hanya ikut alur yang para Guardian tuntun untuk kami.Tidak disangka ada lagi seseorang di taman. Dia berdiri di bawah naungan pohon yang jadi pusat taman, tepatnya berseberangan denganku. Rambutnya biru dengan garis-garis hitam menghiasi beberapa helai, sementara iris mata hitam, kulitnya pun sepucat anak-anak panti. Ciri-ciri anak panti yang sangat pucat membuatku ragu pada asal usul mereka. Orang Danbia memiliki kulit putih sedikit kemerahan, tak terkecuali Robert. Sementara orang Ezilis juga putih, tapi tidak sampai tampak janggal seperti anak-anak panti itu. Namun, aku belum pernah melihat gadis itu di panti dan dia tidak juga terlihat seperti orang-orang dari negeri yang kutahu.Tanganku terangkat perlahan mesk
"Pergi saja ke Kapel. Kau tidak boleh keluar dari sana sampai aku jemput." Hanya itu ucapan Robert yang aku ingat begitu waktu sekolah berakhir. Alih-alih berdiri depan sekolah bersama teman sebaya menunggu dijemput, aku langsung melangkah menuju tempat yang dia maksud. Lokasi Kapel memang tidak jauh, hanya sekitar satu jalan dari sekolahku dan itu masih berada di antara jalanan umum. Barangkali karena ini Robert membiarkanku berjalan seorang diri. Meski beberapa kesempatan–seperti Guardian lainnya–dia tidak ingin aku menjauh darinya, untuk kali ini dia mempercayakan seseorang untuk menjagaku. Kalung ini bersinar saat berada di dekat pria itu, dia pun tahu aku tanggungjawabnya. Aku teruskan langkah dengan boneka kelinci berian Arsene, untungnya tidak ada teman sekelas yang mengambilnya. Dia bisa menemaniku jika suasana Kapel ternyata begitu sunyi.Keadaan Kapel, seperti biasanya, tidak begitu ramai. Lebih terlihat beberapa orang lewat dengan pakaian yang sama seperti Frederic kenakan
"Apa?" Aku tentu heran mendengarnya. Waktu itu juga belum paham maksud dari kata "pemusnah massal" itu sendiri. Aku mulai berpikir keras akan suatu hal yang belum kupahami. Spontan saja kutanyakan persis seperti yang kupikirkan. "Pemusnah apa? Apa itu 'massal'?""Ah, lupakan, aku hanya bergurau," Ekspresi muka Robert tidak menunjukkan apa pun yang membuatnya tampak sedang bercanda, dia terlihat serius seperti biasa."Tapi, apa itu 'massal'?" Aku bersikeras ingin tahu, hati berdebar menerka maksud yang kucari.Robert berdecak pelan. "Dalam jumlah yang banyak."Aku terdiam. Kata "senjata pemusnah massal" berarti senjata yang dapat menghancurkan sesuatu dalam jumlah yang banyak. Jantungku terasa berhenti berdetak untuk sesaat. Kalimat yang baru kupelajari tadi terdengar menakutkan. "Kenapa Robert bilang begitu?" Aku protes, tidak menutupi kalau pelindungku ini memberi kesan seram sejak awal.Robert menghela napas, menggeleng pelan. "Tidak ada."Kali ini, aku mendadak jadi penasaran. Tida
"Ya, bilang saja begitu, mentang-mentang belum ada yang terbunuh." Robert mengucapkannya dengan nada mengejek. Entah mengapa tutur kata lembut dari temannya tidak mempengaruhi reaksinya. "Thomson." Dia sebut nama temannya itu dengan lembut, meski dapat kurasakan tekanan dari suaranya, tanda teguran halus. "Frederic." Robert sebut namanya seperti mendesis, menyebut nama dari temannya sekaligus membalas ucapannya barusan. Pria di depanku, yang kini akan kusebut sebagai Frederic, mempertahankan intonasi suara lembutnya. "Aku juga bertanggung jawab atas nyawanya. Percayalah, dia tidak akan menginjakkan kaki di sini." Di balik suaranya yang tenang, sorot matanya kian tajam, terus memandang ke arah Robert. Suasana kian canggung bagiku, terlebih melihat dua orang dewasa–pelindungku sendiri, kini tengah berada dalam perdebatan. Tampaknya tidak ada salah satu yang ingin mengalah, meski ada perbedaan dari cara menuturkan kata, tapi dapat kutebak masing-masing tetap ingin mempertahankan ke
Barangkali ini kebiasaan yang aku terapkan pada setiap Guardian, saat kami melangkah bersama, kupastikan kami selalu berdampingan. Namun, karena tubuh mereka lebih besar dariku, aku merasa lebih aman bernaung di bawah bayangan mereka. Seperti itulah yang aku lakukan bersama Robert saat ini. Tangan para Guardian selalu begitu besar dibandingkan punyaku, sehingga ketika bergandengan semua jariku tetap tidak sanggup meraih seluruh tangan mereka. Selagi melangkah, pandangan Robert lurus ke depan, sesekali pandangan kami bertemu tanpa reaksi, memastikan tidak terpisah barang sesaat.Langkah kami tertuju pada kapel, tempat yang bernuansa paling tenang di kota Anamsel sejauh ini, walau hanya sedikit tempat yang aku kunjungi di kota. Jumlah orang yang keluar masuk dari kapel masih terbilang sedikit, menambah kesan keheningan yang mendukung aura ketenangan yang dipancarkan. Para petugasnya ramah, apalagi mereka yang sering menerima barang berian dari Robert tadi, semua mengenakan pakaian biru
Malam itu terasa berbeda lantaran aku kini berbaring di kasur dengan Robert di sisiku. Cahaya remang dalam kamar membuat suasana hening terasa damai, meski di saat yang sama diliputi hawa dingin menusuk hingga ke tulang, membuatku menenggelamkan diri dalam selimut selagi memandang pelindungku yang entah mengapa memilih untuk membaringkan badan di atas selimut. Robert memandang langit-langit, mata cokelatnya bergerak mengamati sekeliling kamar, tenggelam dalam pikiran sejenak sebelum akhirnya bersuara."Hal pertama yang kuingat di Shan itu, saat itu aku menghadap Raja sebagai hadiah dari sang Ratu." Robert memulai ceritanya, pandangannya masih fokus memandang langit-langit. Cahaya lampu tidur yang menjadi satu-satunya penerang memantul di matanya.Tanganku masih menggenggam erat selimut, menyimak ucapannya. "Hadiah?" Terkesan aneh karena yang kutahu, hadiah itu biasa berwujud benda mati.Robert mengiakan, masih terus memandang ke atas. "Sang Ratu memberi Raja hadiah berupa aku, dengan
Bunyi keras kembali menyentak keheningan. Bersamaan dengan lantai kayu yang menampar wajahku saat kehilangan keseimbangan. Langsung saja aku terduduk, menatap sosok yang baru saja membuatku jatuh.Tangan besar itu meraih rambutku. Aku menjerit ketika terseret lagi. Sesuatu hendak memangsaku di hari pertama musim dingin ini. Aku menendang-nendang tanah, berupaya melawan meski tiada hasil.Terdengar bunyi daging terpotong, refleks membuatku terpaku, mengira serangan itu tertuju padaku. Tangan yang mencengkeram kepalaku mulai melemah. Aku terjatuh ke lantai, begitu kaki menyentuh lantai, segera aku merangkak menjauh."Pangeran!" Di saat itu juga tubuhku terasa terangkat. Tercium bau khas yang kukenal. Kumpulan aroma wangi yang berasal dari minuman maupun racikan yang selama ini menghias rumah baruku. Dia berdiri di depan, kedua tangan terulur siap meraihku. Segera aku mendekapnya agar tidak terjatuh. Jelas sudah siapa itu, dia pasti langsung keluar begitu melihat bayangan makhluk tadi.