Home / Fantasi / Guardians of Shan / Wanita Berambut Putih - 2

Share

Wanita Berambut Putih - 2

Author: Kiprang Novel
last update Last Updated: 2021-09-01 22:20:01

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

Ibu ... 

Aku tidak bisa menjerit, atau meraung meratapi. Hanya diam membiarkan mata membasahi wajah. 

Apa jadinya jika Ibu masih hidup? Barangkali besok kami akan berkuda bersama Mariam. Lalu pergi entah ke mana bersama wanita asing ini. 

Tapi, kenapa kadal itu ada? Dari mana asalnya? 

Ibu, aku tahu harus bagaimana? 

Jangan menangis. 

Itulah bisikan batinku, tapi aku tidak tahu harus berpikir apa lagi. 

Kulirik lengan Mariam yang memagari tubuhku. Entah sampai mana Mariam membawaku, yang pasti letaknya sangat jauh dari Desa Anba. Aku takut menoleh, apalagi jeritan warga yang semakin jauh dan senyap seakan tidak pernah terjadi sebelumnya. 

"Ibu," gumamku. Aku hendak berucap, tapi lidahku kelu. 

Sepanjang perjalanan, aku diam saja. Wanita itu bahkan tidak mengajak bicara, hanya fokus ke depan menuju tempat yang terasing. 

"Kita ... Ke mana?" Aku memberanikan diri bertanya. 

Dia diam saja. 

"Kenapa kamu membawaku?" tanyaku. "Apa mau kalian?" 

Dia tidak menjawab. 

Kutelan ludah, berharap dia lekas memberitahu. 

*** 

Kami tiba di sebuah kota yang cukup ramai penduduk. Aku tidak terbiasa melihat orang dengan beragam warna dan bentuk selain berambut hijau. Ada yang rambutnya hitam, cokelat, merah, bahkan pirang. Tidak hanya rambut, warna kulit pun beragam. Membuatku kagum menyadari begitu banyak manusia yang belum kukenal. 

"Tetaplah di sisiku." Mariam memacu kudanya semakin dalam ke pasar. 

Kami berhenti di sebuah rumah yang jauh lebih besar dibandingkan rumahku. Penghuninya pun beragam dan tampaknya tidak menetap di sini dalam kurun waktu lama. Beberapa orang keluar masuk dari sana, bertukar kunci, masuk ke kamar lalu keluar begitu saja. 

"Ini namanya penginapan," jelas Mariam tanpa diminta. "Tempat kita menginap dalam jangka waktu yang sudah disetujui." 

"Bayar, ya?" tanyaku polos. 

"Ya." 

Mariam menghampiri seorang pria yang duduk di sebuah tempat yang aneh bagiku. Itu seperti dinding pembatas setinggi separuh badan, atau mungkin seperti meja yang panjang. Di tangannya terdapat buku catatan berisi nama-nama asing. Bahkan yang tidak bisa kubaca secara cepat. 

"Satu kamar untuk dua orang," kata Mariam pada pria itu. 

Tampaknya ia akrab dengan Mariam, karena dia tidak perlu membayarnya. Justru langsung diserahkan kunci dan nomor kamar. 

"Ayo, Bocah!" Mariam menarik tanganku. 

"Dia putrimu?" tanya pria itu. 

Mariam menjawab. "Bukan." 

*** 

Kamar kami tidak terlalu besar, namun kasurnya lebih bagus dibandingkan kasurku yang kapasnya mulai menipis. Bau kasurnya saja sangat harum, empuk dan tidak gatal. 

Mariam duduk di kasur sebelahnya, hanya diam menatapku duduk, sebelum akhirnya memecah keheningan. 

"Kamu belum pernah merasakannya?" tanyanya. 

"Kasur ini? Anu, belum," balasku. Seketika teringat dengan tragedi malam itu, menyadari ini kesempatan, aku langsung bertanya. "Kamu ini siapa?" 

"Aku pengelana," ujar Mariam. "Aku berpetualang ke tempat bagai neraka. Tempat yang membuat seorang pria menangis memanggil ibunya." 

Aku heran dengan ucapannya. "Kenapa baru bilang sekarang?" 

"Aku ingin bicara, tapi kalian menatapku seakan aku ini dungu," balasnya ketus. 

Saat hendak membalas, Mariam memotong. 

"Kalau aku tidak pernah mengalaminya, tidak mungkin aku memperingatkan kalian," ujar Mariam. "Kamu beruntung kubiarkan hidup dan menanyakan semuanya!" Dia berkata seakan aku barusan menanyakan hal tabu. 

"Tapi, kenapa?" tanyaku. Dia bisa saja membiarkanku mati ditelan kadal itu. Kutundukkan pandangan. Apa karena kalung ini?

"Sudah kubilang, ini perintah si Khidir," jawab Mariam. "Kalau bukan karenanya, sudah pasti kubiarkan mati."

Aku terdiam, jelas suasana hatinya sedang buruk.

Mariam menghela napas. "Makhluk yang menyerang desamu itu peliharaan Sakhor. Ia dapat mengendalikan hewan sesuai kehendaknya, setidaknya di raga yang baru ini." 

"Tapi, kenapa?" Begitulah pertanyaanku terus menerus. 

"Kalung itu jawabannya." Ditatapnya kalungku. Tidak kusangka benda mirip batu ini punya keistimewaan. 

"Benarkah?" 

Mariam mengiakan. "Kamu lupa?" 

"Lupa apa?" 

"Masa lalumu." 

"Maksudmu saat aku dibesarkan di Desa Anba?" 

Mariam menggaruk rambutnya yang putih. "Kenapa lupa begitu? Khidir saja masih ingat." 

"Apa maunya?" tanyaku. "Dia mau kalungku?" 

Dia mendengkus, tampak kesal. "Nanti saja!" 

Mariam mengempaskan diri di kasur. Tak lama mendengur.

Melihat tingkahnya itu, jelas aku terpikir untuk kabur sambil merampoknya. Tapi, aku lebih memilih tidur. Mungkin pilihan kabur tidak masuk akal. Padahal aku tidak mau terikat dengan wanita yang baru saja kukenal. Membayangkan masa depanku yang berubah sepenuhnya hanya karena kedatangannya, sudah cukup membuatku bingung dan bungkam. 

Pada malam itu, kuputuskan untuk tinggal bersamanya. Tanpanya, ke mana lagi aku bernaung? Hanya Ibu yang selalu di sisiku. Kini beliau sudah tiada dan Mariam langsung membawaku pergi tanpa berpikir dua kali. Padahal dia bisa saja meninggalkanku begitu Ibu ditelan dan kabur dari desaku. 

Lalu, apa kehendak Raja Aibarab itu? 

*** 

Malamnya, aku terbangun dan melihatnya sedang menata meja dengan beragam makanan. Mungkin baru dibeli dari pasar. Karena lapar, aku mendekat dan langsung menghabiskannya.

Di sela mengunyah makan malamnya, Mariam akhirnya bercerita.

"Aku memburu makhluk yang mengusik kita. Selama ini, hidupku hanya sebatas berburu dan diburu. Menghindar dan mendekat hanya untuk menghancurkannya." 

Aku menegak segelas air. "Kamu orang mana?" 

"Shyr," balasnya. "Aku dibesarkan di sini." 

"Kamu tidak tampak seperti orang Shyr," sahutku. "Rambutmu putih dan matamu biru, logatmu bahkan berbeda." 

Mariam tidak menanggapinya. Dia kembali makan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Aku jadi tidak nyaman bertanya. 

Sehabis makan, barulah dia bicara. "Kita akan pergi." 

"Ke mana?" 

"Melanjutkan perjalanan." 

"Kamu tidak punya kampung halaman?" Maksudku, kenapa raja itu tidak datang saja ke sini dan menjemputku? 

"Itu sudah tidak penting." 

Mariam keluar dan menyiapkan kudanya. Aku menyusul dan berdiri di belakang menunggunya naik. 

Setelah duduk, Mariam membantuku naik dan mendudukkanku di depannya, sementara tangannya memegang tali kekang. 

Jujur saja, belum pernah aku naik kuda dan kesan pertama saat menaikinya sungguh mengerikan. Makhluk itu selalu goyah dan nyaris menjatuhkanku, meski jalannya sepelan siput sekalipun. Itulah mengapa aku selalu menutup dan membuka mata sepanjang jalan. Aku tidak boleh menjerit, pasti mengundang perhatian. Kedua tangan Mariam yang memegang tali kekang bagai pagar yang melindungiku dari kejatuhan. 

Suasana malam yang senyap dan dingin jelas membuatku tidak nyaman. Terakhir saat aku keluar malam karena hendak memberi makan kucing liar dengan makanan bekas kami. 

Anehnya, meski malam tidak larut, pasar kini tutup dan bagaikan kota hantu. Tanah menjadi bersih seakan tidak ada sisa sampah yang bertebaran. Hebat juga tukang kebersihannya sampai membersihkannya secepat itu. 

"Kita ke mana?" tanyaku lagi. "Kenapa tidak beli rumah baru?" 

Mariam mendengkus begitu mendengar pertanyaan polosku. "Kita hidup di negeri yang berbahaya. Untuk apa berlama-lama? Kamu bakal dimakan." 

"Memangnya seluruh Shyr berbahaya?" Aku belum pernah mengalami bahaya sebelumnya. Bertemu binatang buas saja tidak pernah, hanya mendengarkan dari kisah Ibu dan tetanggaku.

"Seluruh dunia berbahaya!" Mariam terdengar kesal. "Kamu sendiri tahu kenapa anak-anak dilarang keluar rumah?" 

Aku terdiam. Sejauh ini, Ibu tidak pernah melarangku keluar rumah jauh-jauh. Aku pernah mencoba keluar dari Desa Anba, namun Ibu keburu memanggilku karena malam segera tiba. Mungkin berpura-pura paham akan memperbaiki suasana hatinya. 

"Kita harus bergerak sebelum ia menyusul," lanjutnya. 

"Siapa?" 

Mariam tampak menahan gejolak emosi. "Si Sakhor!" 

Aku menutup mulut, jelas tidak mau bertanya lagi. 

Setelah menenangkan diri sejenak, Mariam sempat berbisik dengan pelan. "Kita pergi, sekarang."

*** 

Aku paham mengapa dia mengajakku pergi. Kota ini tidak abadi. Pada malam hari, suasana kota berubah seratus delapan puluh derajat menjadi mimpi buruk. Begitu aku menoleh, kulihat tempat itu kini dipenuhi beragam makhluk. Yang awalnya hanya manusia, kini makin unik bentuknya. Ada berupa babi, separuh kuda, separuh ular, bahkan ular raksasa pun tengah melata di kota itu. 

Aku paham. Kota ini mati. 

Kota yang tidak abadi. Kota Jin.

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

Related chapters

  • Guardians of Shan   Wanita Berambut Putih - 3

    ✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Aku tidak tidur sepanjang jalan.Kami lewati gurun yang asing bagiku. Belum pernah kulihat gurun sebelumnya dan tidak pernah kubayangkan bakal sepanas ini. Selama hidupku, aku mengira gurun hanya tempat yang dipenuhi pasir, tak terlintas seberapa ganas tempat itu.Mariam tidak berkutik selama ini. Dia pun tidak menunjukkan kelelahan sepertiku. Sudah dipastikan dia pernah melewati tempat ini sebelumnya.Aku jadi teringat akan kisah para tetangga. Tentang para pemburu jin dan sihir. Mariam jelas sangat mirip dengan tokoh-tokoh itu.Demi mencairkan suasana, aku pun bicara.“Kamu mengingatkanku dengan seorang pemburu jin dan iblis,” kataku. “Itu pernah terjadi?”“Ya,” balas Mariam. “Ayahku juga.”“Benarkah?” Aku berbasa-basi. “Jadi, ini motivasimu?”“Tidak.” Jawabannya su

    Last Updated : 2021-09-01
  • Guardians of Shan   Wanita Berambut Putih - 4

    ✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Kota Batu Saghra jauh lebih suram dari dugaanku. Semakin kami mendekat, langit semakin muram dan berangin. Mariam tetap memacu kudanya hingga masuk semakin dalam ke kota.Seperti yang kalian tahu, kota ini tampak terbengkalai. Tidak hanya terkesan tak berpenghuni, tapi juga dipenuhi patung berbentuk manusia layaknya arca. Sebagian sudah rusak, kebanyakan kepalanya sudah hilang. Terasa mustahil jika kami dapat menyelamatkan mereka.“Jangan jauh-jauh dariku, Kyara,” bisik Mariam. “Tempat ini bukan untuk bermain.”Aku membalas, “Anak macam apa yang mengira ini taman bermain?”“Ada banyak anak-anak ke sini karena penasaran, lihat apa yang terjadi.”Beberapa hewan mulai dari jinak sampai yang buas berdatangan. Anehnya, mereka hanya menatap kami. Tidak ada reaksi lain. Begitu aku balas tatapan mereka, matanya seakan mengisyaratkan sesuatu padaku.

    Last Updated : 2021-09-01
  • Guardians of Shan   Wanita Berambut Putih - 5

    ✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Pada tengah malam, kami keluar dari kamar secara mengendap-endap. Beruntung aku bisa berjalan tanpa mengeluarkan banyak suara berkat lantainya yang dilapisi karpet. Kami sengaja berjalan bertelanjang kaki demi mengurangi suara.“Dia ada di dapur,” bisik Mariam sambil meneruskan jalannya.Aku hanya membuntuti. Meski misi ini tampak mustahil, setidaknya kami berusaha menolong penduduk kota Saghra.Dapur letaknya cukup jauh, memakan waktu lebih dari sepuluh menit. Anehnya, tidak ada Ariya atau suara mencurigakan meski kami jelas-jelas sedang menyelinap.Kakiku kesakitan. Aku tidak terbiasa berjalan terlalu lama, dulu hanya beberapa menit sambil menemani Ibu berjualan. Tapi rasa penasaran mengalahkan sakit, aku ingin melihat cara Ariya memasak ramuan.Kami menerobos masuk ke sebuah gudang yang terbuat dari kayu, kami akhirnya dapat mengintip di sela lubang-lubang di dinding.

    Last Updated : 2021-09-01
  • Guardians of Shan   Keluarga Wynter – 1

    ✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Aibarab, kota kembaran Shyr. Mulai dari bahasa hingga budaya sama, namun rakyatnya kurang akur akibat rebutan kebudayaan hingga kuliner. Jarak antara keduanya hampir 200 kilometer dan bisa dibilang versi lebih modern dari negeri kelahiranku. Aku teringat saat orang-orang di Desa Anba bercerita tentang Aibarab. “Hidup di sana serba mewah dan mahal, tapi penduduknya sangat cuek dan egois. Meski, positifnya, mereka tidak mencampuri urusan orang lain, tetap saja, saking cueknya mereka bahkan hanya menyaksikan seseorang dibunuh di depan mata mereka.” Aku kebetulan ada di sana, ikut terkesiap mendengar kisahnya. “Kamu di sana saat itu?” tanyaku. “Aku yang memanggil petugas keamanan! Para rakyat hanya menonton dengan wajah takut tapi diam saja! Bayangkan, betapa kejamnya mereka. Saat petugas keamanan datang, kalian bisa tebak sendiri, pelakunya keburu kabur. Untung banyak saksi, meski mere

    Last Updated : 2021-09-14
  • Guardians of Shan   Keluarga Wynter – 2

    ✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Mariam datang begitu temannya itu selesai mengucapkannya. Meski Mariam hanya pergi dalam waktu beberapa jam saja, aku bersyukur kalau dia lekas kembali. “Bagaimana?” tanya temannya. “Tidak buruk,” balas Mariam. “Aku bekerja sebagai pelayan keluarga penyihir.” “Bagus! Tepat sasaran!” Wanita itu menepuk bahu Mariam. “Itu lumayan untuk dua orang seperti kalian.” “Masalahnya, dia seorang bangsawan yang kita cari, Count Wynter.” “Lalu, kenapa diterima?” tanya Temannya Mariam. “Bukannya upah dari Safar sudah cukup?” “Ini bagian dari tugasku.” Mariam menatapnya dingin. “Kamu baru saja menyebut Raja dengan nama depan seakan dekat? Sahabat karibnya saja masih memanggil dengan nama belakang.” “Dia terlalu formal,” balas Temannya Mariam. “Lagi pula, toh, Safar itu gaul. Tidak pandang kasta.” “Terserah.” Perdebatan mereka berakhir di situ.

    Last Updated : 2021-09-14
  • Guardians of Shan   Keluarga Wynter – 3

    ✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Pikiranku tercampur aduk gara-gara Delisa. Memangnya benar? Apa Mariam selama ini berbahaya? Semua kebaikannya selama ini hanya demi dirinya sendiri? “Reem?” Mariam memanggilku dengan nama kedua. “Hei!” Lamunanku membuyar. Aku waktu itu tidak mendengar ucapannya, kukira dia bertanya apakah aku mulai dekat dengan para majikanku. “Tidak.” “Tidak apanya?” Mariam selesai melipat pakaian sementara aku yang membantunya justru ketinggalan. Duh, malunya! “Kalau diam terus, kapan selesainya?” Mariam terdengar kesal. “Cepat selesaikan bagianmu!” Aku bergegas merapikan baju. Meski terkesan ala kadar, setidaknya Mariam dengan sabar mengajariku cara melipatnya dengan rapi. Memerlukan waktu lebih dari setengah jam bagiku untuk melipat. Terpaksa Mariam turun tangan. “Malam ini, Count akan datang,” ujar Mariam. “Jaga sikap!” “Baik.” ***

    Last Updated : 2021-09-14
  • Guardians of Shan   Keluarga Wynter – 4

    ✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ “Reem ...!” Jeritan si Kembar menyakiti telingaku. Aduh, mereka lagi! “Ayo! Ayo! Sekolah!” Delina menyeretku. “Ayo, bawa tas kami!” Delisa melempar dua buah tas ke arahku. Buk! Aku menyambutnya, meski nyaris jatuh. Seberapa kuat mereka ini? “Ayo, Pelayan!” seru Delina. “Namanya Reem!” balas Delisa. “Nanti tersinggung dia!” Aduh, dua-duanya sama saja! “Ayo, Reem! Kamu makhluk hidup, ‘kan? Bisa berjalan? Ayo!” Aku ikuti arah jalan mereka. Aku teringat dengan pria berambut putih kemarin. Siapa dia? Kenapa kalungku memancarkan cahaya biru? “Reem?” Delina tampak menyadari sesuatu. “Kamu bertemu dengannya?” Dia terdengar geram. “Siapa pria berambut putih itu?” tanyaku. “Kenapa kalungku jadi bercahaya? Padahal ini hanya batu biasa.” Si Kembar saling tatap. “

    Last Updated : 2021-09-14
  • Guardians of Shan   Keluarga Wynter – 5

    ✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ “Nisma apa?!” Countess terdengar kaget mendengar kabar terbaru dari si Kembar. Mariam yang baru selesai menyapu menatap kami. Namun, tidak berkomentar. “Kalian tadi membentak Idris?” Pertanyaan itu tidak dibalas si Kembar. Countess pun mendekat dan menatap tajam si Kembar. “Siapa yang menyuruh Nisma bermain-main di depan umum?” “Nisma yang mau,” sahut Delisa. “Kami tadi hanya beli manisan,” timpal Delina. “Lalu, Reem disuruh diam di tempat.” “Kemudian Paman Idris datang.” “Lalu, entah kenapa ...” Delisa menggantung kalimatnya. “Nisma datang.” Delina menyambung. “Terus merusak suasana.” “Akhirnya terjadi kekacauan tadi.” “Maaf, Umi.” Si Kembar berkata sambil memeluk paha sang Ibu dengan suara memelas. Lalu, terdengar suara pelan Delisa. “Sepertinya Nisma mau bunuh Paman Idris.”

    Last Updated : 2021-09-14

Latest chapter

  • Guardians of Shan   Hadiah sang Ratu - 10

    Kedatangannya Elya tidak kusangka akan sepagi ini. Aku ingat kebiasaan Robert yang bangun lebih awal, barangkali mereka biasa berjanji bertemu sepagi ini. Namun, pagi ini kulihat Robert tampak mengantuk. Saat aku dititipkan di Kapel, tidak kutanyakan langsung saat itu apa yang dia kerjakan di luar sana. Sepertinya melelahkan.“Dia sedang tidur,” jawabku, tidak ada niat membangunkan Robert. Namun, aku rasa Elya bisa menunggu. Toh, gadis itu tahu pasti jadwal kerja Robert, dia biasanya juga tidak akan lama beristirahat setelah terbangun sejenak tadi. Baru hendak kutawari untuk masuk, Elya serahkan tas kecil yang melingkari pinggangnya padaku. Dia melangkah mundur. “Baik, titip pesan padanya jika nanti malam aku akan ke sini lagi.” “Kamu tidak mau menunggu?” Aku bertanya. Ingin rasanya tahu apa yang mereka berdua lakukan, kekuatan yang katanya “mengutak-atik bagian tubuh” masih tergiang dalam pikiranku. Apa gerangan yang Robert rencanakan? Apa ada kaitannya dengan cairan yang biasa dia

  • Guardians of Shan   Hadiah sang Ratu – 9

    Membangun peradaban baru. Belum pernah terpikir jika para Guardian ingin mencapainya, tidak pula aku menduga. Kukira tujuan kami hanya bisa bertemu kembali, memulai hidup bersama seperti keluarga lainnya hingga kembali ke pelukan alam. Jika tidak akan terlahir kembali setelahnya.Elya memandangku, matanya terpaku, menunggu aku membalas, tapi aku tidak tahu jawabannya. Jika saja seorang Guardian di sini, dia pasti bisa menjawab.“Ah, Elya.” Suara tak terduga dari Frederic menyelamatkanku dari pertanyaan tadi. “Sudah lama tidak ke sini. Di mana keluargamu?”“Sedang jalan-jalan,” jawab Elya. “Kamu datang sedikit tepat waktu, aku dan Levi baru saja membahas soal kerajaan awan karena langit-langit ini.”Frederic melayangkan pandangannya pada lukisan itu. “Benarkah? Kami memilih awan karena itu mengingatkan kami akan kehidupan setelah ini,” komentarnya. “Kamu ingat sesuatu?”“Ya, Abi pernah membahas soal kerajaan di atas awan dan mengaku ingin kembali ke sana.” Elya menatapku. “Sayng sekali

  • Guardians of Shan   Hadiah sang Ratu – 8

    Ucapan gadis itu membuatku diam. Memang para Guardian telah menjagaku dari segala bahaya. Namun, aku dan mungkin juga kakakku, Kyara, tidak tahu mengapa kami dijaga selain karena kami pewaris takhta Kerajaan Shan selama ini. Tidak seperti mereka, kami tidak ingat apa pun, hanya ikut alur yang para Guardian tuntun untuk kami.Tidak disangka ada lagi seseorang di taman. Dia berdiri di bawah naungan pohon yang jadi pusat taman, tepatnya berseberangan denganku. Rambutnya biru dengan garis-garis hitam menghiasi beberapa helai, sementara iris mata hitam, kulitnya pun sepucat anak-anak panti. Ciri-ciri anak panti yang sangat pucat membuatku ragu pada asal usul mereka. Orang Danbia memiliki kulit putih sedikit kemerahan, tak terkecuali Robert. Sementara orang Ezilis juga putih, tapi tidak sampai tampak janggal seperti anak-anak panti itu. Namun, aku belum pernah melihat gadis itu di panti dan dia tidak juga terlihat seperti orang-orang dari negeri yang kutahu.Tanganku terangkat perlahan mesk

  • Guardians of Shan   Hadiah sang Ratu – 7

    "Pergi saja ke Kapel. Kau tidak boleh keluar dari sana sampai aku jemput." Hanya itu ucapan Robert yang aku ingat begitu waktu sekolah berakhir. Alih-alih berdiri depan sekolah bersama teman sebaya menunggu dijemput, aku langsung melangkah menuju tempat yang dia maksud. Lokasi Kapel memang tidak jauh, hanya sekitar satu jalan dari sekolahku dan itu masih berada di antara jalanan umum. Barangkali karena ini Robert membiarkanku berjalan seorang diri. Meski beberapa kesempatan–seperti Guardian lainnya–dia tidak ingin aku menjauh darinya, untuk kali ini dia mempercayakan seseorang untuk menjagaku. Kalung ini bersinar saat berada di dekat pria itu, dia pun tahu aku tanggungjawabnya. Aku teruskan langkah dengan boneka kelinci berian Arsene, untungnya tidak ada teman sekelas yang mengambilnya. Dia bisa menemaniku jika suasana Kapel ternyata begitu sunyi.Keadaan Kapel, seperti biasanya, tidak begitu ramai. Lebih terlihat beberapa orang lewat dengan pakaian yang sama seperti Frederic kenakan

  • Guardians of Shan   Hadiah sang Ratu – 6

    "Apa?" Aku tentu heran mendengarnya. Waktu itu juga belum paham maksud dari kata "pemusnah massal" itu sendiri. Aku mulai berpikir keras akan suatu hal yang belum kupahami. Spontan saja kutanyakan persis seperti yang kupikirkan. "Pemusnah apa? Apa itu 'massal'?""Ah, lupakan, aku hanya bergurau," Ekspresi muka Robert tidak menunjukkan apa pun yang membuatnya tampak sedang bercanda, dia terlihat serius seperti biasa."Tapi, apa itu 'massal'?" Aku bersikeras ingin tahu, hati berdebar menerka maksud yang kucari.Robert berdecak pelan. "Dalam jumlah yang banyak."Aku terdiam. Kata "senjata pemusnah massal" berarti senjata yang dapat menghancurkan sesuatu dalam jumlah yang banyak. Jantungku terasa berhenti berdetak untuk sesaat. Kalimat yang baru kupelajari tadi terdengar menakutkan. "Kenapa Robert bilang begitu?" Aku protes, tidak menutupi kalau pelindungku ini memberi kesan seram sejak awal.Robert menghela napas, menggeleng pelan. "Tidak ada."Kali ini, aku mendadak jadi penasaran. Tida

  • Guardians of Shan   Hadiah sang Ratu – 5

    "Ya, bilang saja begitu, mentang-mentang belum ada yang terbunuh." Robert mengucapkannya dengan nada mengejek. Entah mengapa tutur kata lembut dari temannya tidak mempengaruhi reaksinya. "Thomson." Dia sebut nama temannya itu dengan lembut, meski dapat kurasakan tekanan dari suaranya, tanda teguran halus. "Frederic." Robert sebut namanya seperti mendesis, menyebut nama dari temannya sekaligus membalas ucapannya barusan. Pria di depanku, yang kini akan kusebut sebagai Frederic, mempertahankan intonasi suara lembutnya. "Aku juga bertanggung jawab atas nyawanya. Percayalah, dia tidak akan menginjakkan kaki di sini." Di balik suaranya yang tenang, sorot matanya kian tajam, terus memandang ke arah Robert. Suasana kian canggung bagiku, terlebih melihat dua orang dewasa–pelindungku sendiri, kini tengah berada dalam perdebatan. Tampaknya tidak ada salah satu yang ingin mengalah, meski ada perbedaan dari cara menuturkan kata, tapi dapat kutebak masing-masing tetap ingin mempertahankan ke

  • Guardians of Shan   Hadiah sang Ratu – 4

    Barangkali ini kebiasaan yang aku terapkan pada setiap Guardian, saat kami melangkah bersama, kupastikan kami selalu berdampingan. Namun, karena tubuh mereka lebih besar dariku, aku merasa lebih aman bernaung di bawah bayangan mereka. Seperti itulah yang aku lakukan bersama Robert saat ini. Tangan para Guardian selalu begitu besar dibandingkan punyaku, sehingga ketika bergandengan semua jariku tetap tidak sanggup meraih seluruh tangan mereka. Selagi melangkah, pandangan Robert lurus ke depan, sesekali pandangan kami bertemu tanpa reaksi, memastikan tidak terpisah barang sesaat.Langkah kami tertuju pada kapel, tempat yang bernuansa paling tenang di kota Anamsel sejauh ini, walau hanya sedikit tempat yang aku kunjungi di kota. Jumlah orang yang keluar masuk dari kapel masih terbilang sedikit, menambah kesan keheningan yang mendukung aura ketenangan yang dipancarkan. Para petugasnya ramah, apalagi mereka yang sering menerima barang berian dari Robert tadi, semua mengenakan pakaian biru

  • Guardians of Shan   Hadiah sang Ratu – 3

    Malam itu terasa berbeda lantaran aku kini berbaring di kasur dengan Robert di sisiku. Cahaya remang dalam kamar membuat suasana hening terasa damai, meski di saat yang sama diliputi hawa dingin menusuk hingga ke tulang, membuatku menenggelamkan diri dalam selimut selagi memandang pelindungku yang entah mengapa memilih untuk membaringkan badan di atas selimut. Robert memandang langit-langit, mata cokelatnya bergerak mengamati sekeliling kamar, tenggelam dalam pikiran sejenak sebelum akhirnya bersuara."Hal pertama yang kuingat di Shan itu, saat itu aku menghadap Raja sebagai hadiah dari sang Ratu." Robert memulai ceritanya, pandangannya masih fokus memandang langit-langit. Cahaya lampu tidur yang menjadi satu-satunya penerang memantul di matanya.Tanganku masih menggenggam erat selimut, menyimak ucapannya. "Hadiah?" Terkesan aneh karena yang kutahu, hadiah itu biasa berwujud benda mati.Robert mengiakan, masih terus memandang ke atas. "Sang Ratu memberi Raja hadiah berupa aku, dengan

  • Guardians of Shan   Hadiah sang Ratu – 2

    Bunyi keras kembali menyentak keheningan. Bersamaan dengan lantai kayu yang menampar wajahku saat kehilangan keseimbangan. Langsung saja aku terduduk, menatap sosok yang baru saja membuatku jatuh.Tangan besar itu meraih rambutku. Aku menjerit ketika terseret lagi. Sesuatu hendak memangsaku di hari pertama musim dingin ini. Aku menendang-nendang tanah, berupaya melawan meski tiada hasil.Terdengar bunyi daging terpotong, refleks membuatku terpaku, mengira serangan itu tertuju padaku. Tangan yang mencengkeram kepalaku mulai melemah. Aku terjatuh ke lantai, begitu kaki menyentuh lantai, segera aku merangkak menjauh."Pangeran!" Di saat itu juga tubuhku terasa terangkat. Tercium bau khas yang kukenal. Kumpulan aroma wangi yang berasal dari minuman maupun racikan yang selama ini menghias rumah baruku. Dia berdiri di depan, kedua tangan terulur siap meraihku. Segera aku mendekapnya agar tidak terjatuh. Jelas sudah siapa itu, dia pasti langsung keluar begitu melihat bayangan makhluk tadi.

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status