✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵
Sejak dilahirkan, aku tidak tahu takdir yang menanti selain melanjutkan jejak Ibu sebagai pedagang. Tidak banyak yang bisa kuceritakan, kisahku tidak beda jauh dibandingkan anak lain di desaku.
Namaku Kyara. Tidak ada nama tengah, maupun belakang. Rambutku pendek berwarna hijau gelap khas desaku, begitu pula dengan mataku. Aku tinggal dengan Ibu yang bekerja sebagai pedagang. Setiap hari kami bekerja demi sekeping uang.
Kami tinggal di Desa Anba, desa terpencil di Shyr, sebuah negeri yang panas namun peradabannya tidak kalah maju dengan negeri lain.
"Kyara, bantu Ibu menyusun dagangan!" seru Ibu begitu membangunkanku.
Aku menggaruk leher, benda itu selalu saja mengganggu tidurku. Kalung yang melingkar di leher sejak lahir, tidak pernah lepas dari tuannya. Meski sudah kucoba membuangnya, besoknya pasti kembali padaku. Bukannya benci, benda ini tampak tidak bermutu sejak awal. Lihat buahnya, seperti batu kecil yang ada di jalanan. Ketika kutanya Ibu perihal ini, beliau hanya menjawab dengan sederhana.
"Setelah melahirkanmu, bidan bilang kamu sudah memakai kalungnya," jawab Ibu. "Ya, sudah. Anggap saja sebagai hadiah dari Dewa."
Aku lantas mencuci muka dan mandi sebelum membantu Ibu. Tidak lupa sambil mengamati kalung itu, berharap benda itu dapat memberi keberuntungan.
Kami biasanya berjualan di depan rumah, seperti sebagian penduduk desa Anba. Awalnya jalan hidupku sangat sederhana, melanjutkan jejak Ibu jadi pedagang biasa. Sebelum wanita itu datang ke hidupku.
"Ada seseorang!"
Aku menengok ke luar lewat jendela kayu dan melihat seorang wanita menunggangi kudanya. Berbeda dengan penduduk Desa Anba, ia memiliki rambut seputih kapas dan mata sebiru langit. Tatapannya dingin, seakan enggan menyapa.
"Ada yang kenal gadis berkalung?" Seruannya lantas mengguncang raga dan jiwa.
"Itu Kyara!" seru salah satu bocah yang sering bermain denganku dulu. Melihatku, ia langsung menunjuk.
Tatapan kami bertemu. Aku lantas menelan ludah, jangan-jangan dia berniat buruk.
Wanita itu turun dari kudanya dan menatapku.
Tentu saja penampilannya memikat kaum Adam di desa kami. Beberapa pemuda bahkan pria yang sudah menikah pun menawarinya tempat tinggal. Seorang wanita ikut maju dan menawarkan diri. Sesuai dugaan, dia memilih rumahku, karena dia tahu itu ibuku.
Perawakannya sama tingginya dengan mayoritas penduduk sini. Kulitnya yang kuning langsat, sedikit lebih putih. Mengingatkanku pada orang-orang di Ezilis yang pucat. Logatnya cukup aneh bagiku, juga cara menyapa pun berbeda. Alih-alih mencium tangan, dia hanya menjabat tangan Ibu dengan kencang sampai beliau tersentak.
"Aku Mariam Fativ," ujarnya. "Aku seorang pengelana."
"Ayo, kenalkan dirimu!" Ibu langsung menatapku. Bukankah seharusnya dia yang memulai?
Aku menyebut namaku. "Aku Kyara."
"Namamu mengingatkanku dengan teman di Aibarab," komentar Mariam.
Aibarab? Negeri yang terkenal itu? Meski letaknya sekitar 200 kilometer dari sini, tetap saja Aibarab adalah negeri tetangga yang kerap menjadi saingan negaraku, Shyr. Warganya saja kurang akur akibat kesamaan budaya dan bahasa, bisa dibilang penduduk Aibarab sangat sensitif soal kesamaan. Sementara kami kurang menerima perbedaan.
"Jadi, kalungmu itu ..." Mariam menatapnya. "Sudah ada sejak kecil?"
Ibu mengiakan. "Saat melahirkannya, benda itu sudah melingkar di sana. Kami coba membuangnya, malah kembali keesokan harinya. Ya, sudah, kami biarkan saja."
Mariam diam saja. Dia tatap jendela, bergumam.
"Ada apa?" tanya Ibu.
"Kalian harus waspada!" Wanita itu itu menoleh padaku. "Untuk gadis ini, jangan tidur kecuali dengan gunting atau benda tajam!"
Ibu jelas curiga. "Apa maksudmu? Kau bisa membahayakan kami."
"Percayalah." Mariam menatap Ibu dengan serius. "Kamu harus tidur dengan gunting di sisimu atau maut akan menjemput."
"Siapa kamu?" balas Ibu. "Tingkahmu tidak beda jauh dengan penyihir palsu!"
Mariam menghela napas. "Aku utusan Raja Safar al-Khidir dari Aibarab. Ia hendak menemui gadis itu."
Aku lantas menelan ludah. Apa maunya?
"Raja Khidir tertarik dengan Kyara?" heran Ibu. "Dia masih kecil, belum waktunya-"
"Dia tidak mau menikahinya!" Mariam tampak menahan emosi. "Dia ada urusan dengannya."
"Apa itu?" Ibu jelas skeptis. "Kamu tidak bisa membawanya pergi begitu saja."
"Ada imbalan."
"Tidak!" tegas Ibu. "Nyawa putriku lebih penting dari semua ratna mutu manikam!"
Mariam tampak menarik napas. "Baik, kamu boleh ikut. Dengan syarat, jangan keluar rumah malam ini!"
Meski hal gaib bukan termasuk budaya di Shyr, kami masih percaya jika kami tidak sendiri. Mariam tampaknya pakar dari bidang ini, meski aku belum menanyakannya.
***
"Kau ini sebenarnya siapa?" tanya Ibu selagi menabur garam di depan pintu sesuai instruksi Mariam.
"Pengelana."
"Iya, tapi pengelana apa? Pemburu Jin? Pemburu Monster?"
"Aku dikenal dengan banyak gelar. Panggil saja Mariam."
"Jangan bilang Mariam itu bukan nama aslimu." Ibu menyipitkan mata, seakan mencari kesalahan di wajah wanita asing itu.
Mariam tidak membalas. Ibu jelas terlalu kepo.
***
Malamnya, aku tertidur bersama gunting di sisiku. Entah kenapa, firasat tidak enak dari tadi sehingga membuatku kesulitan tidur.
Mariam kebetulan tidur sekamar denganku, Ibu lebih senang tidur sendirian. Kamarku terletak cukup jauh dari dapur, sementara kamar beliau dekat dengan pintu luar yang kini sudah ditaburi garam.
Krek ... Krek ...
Aku dikejutkan oleh suara gesekan dari bawah. Terdengar seperti suara langkah kaki yang diseret.
Aku mendengar pintu berderik. Tampaknya Ibu pergi memeriksa keadaan. Mariam terbangun saat aku mencoba keluar.
"Mau ke mana?" Mariam bertanya, masih berbaring.
"Mencari Ibu," balasku.
Krek ... Krek ...
Suara langkah kaki itu kembali terdengar. Kali ini, lebih keras.
"Dia datang." Mariam melotot, tampak rasa gentar di matanya. "Cegah ibumu!"
Mariam bangkit lalu membanting pintu demi menyusul Ibu. Aku hanya berlari menyusul di belakang tanpa tahu apa yang terjadi.
"Hei, tidak ada apa-apa di sini!" seru Ibu yang berada di bawah rumah, lebih tepatnya di kandang ayam.
"Cepat keluar!" titah Mariam.
Namun, Ibu tidak kunjung keluar.
Kami turun untuk memeriksa.
Terlihat di bawah, di antara kandang ayam, kedua kaki Ibu ditelan bulat-bulat oleh makhluk yang menyerupai kadal. Ukurannya lebih besar dilengkapi taring yang menusuk paha Ibu.
"I ... Ibu-" Aku gemetar.
"Kyara!" Ibu menjerit sambil melambaikan tangan, mencoba meraihku.
Aku maju dan memegang tangan Ibu. Jelas jeritanku berpadu dengan jeritan beliau. Aku hanya bisa menarik sekuat tenaga sambil menatap wajah ketakutan ibuku.
"Kyara! Lepaskan!" seru Mariam.
"Tapi, Ibu–"
Mariam menarikku.
Genggamanku terlepas. Tapi, tidak dengan Ibu.
Dia masih memegang tanganku, menyeret semakin dalam ke tubuh makhluk itu.
"Kyara!" Itulah jeritan Ibu yang semakin mencengkeram tanganku.
"Ibu!"
Kudengar geraman Mariam.
Bruk!
Sebuah batu mengantam kepala Ibu.
Pegangannya terlepas.
"Ibu!" Aku menjerit.
Belum sempat kulihat Ibu untuk terakhir kali, wanita itu menarikku ke kuda putihnya dan langsung memacu tunggangannya.
"Ibu! Ibu–"
"Tutup mulutmu!"
Aku menoleh.
Makhluk itu menelan Ibu bulat-bulat.
Wujudnya seperti seekor kadal dengan ukuran lebih besar dari seekor unta, kulit hitamnya mengkilap melapisi tubuhnya dilengkapi ekor yang panjang dan kokoh.
Ia mengeluarkan suara melengking yang seketika menyakiti telingaku.
"Lari! Lari!" Mariam terus menjerit.
Air mata mengalir, entah karena berduka atau takut. Keduanya tercampur padu. Belum sempat menjerit, Mariam sudah menutup mulutku.
Aku memberontak hendak menjauh. Tidak mungkin kubiarkan Ibu ditelan!
"Tetap di sini!" hardik Mariam sambil mencengkeram pinggangku.
Beberapa orang yang heran mulai mencari tahu. Kudengar jeritan mereka disusul tangisan.
"Kadal! Kadal!"
Makhluk itu keluar dan mengejar sebagian warga yang berlari. Menghancurkan sebagian rumah dan memakan beberapa orang bulat-bulat.
Mariam terus memacu kudanya tanpa memedulikan penduduk Desa Anba yang berusaha menyusul. Sebagian tewas saat tengah mengejar akibat jatuh lalu ditelan makhluk itu.
Aku tidak peduli lagi dengan harta dan pakaian. Semuanya terasa sia-sia sekarang. Melihat makhluk itu sudah menghancurkan desaku, timbul niat dalam hatiku untuk membalas.
Ibu ...
Mariam terus memacu kuda hingga jauh menuntunku ke luar daerah yang kukenali. Dia tidak mengeluarkan sepatah kata pun, tampak terlalu fokus menyelamatkan diri dan membiarkan desaku dihancurkan.
Aku mencengkeram surai kudanya, sambil mengharapkan masa depan yang lebih baik. Berharap semua ini hanya mimpi buruk yang kadang menghantuiku.
Inilah awal kisahku, Kyara bersama Mariam. Wanita yang menyibak masa laluku.
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Ibu ...Aku tidak bisa menjerit, atau meraung meratapi. Hanya diam membiarkan mata membasahi wajah.Apa jadinya jika Ibu masih hidup? Barangkali besok kami akan berkuda bersama Mariam. Lalu pergi entah ke mana bersama wanita asing ini.Tapi, kenapa kadal itu ada? Dari mana asalnya?Ibu, aku tahu harus bagaimana?Jangan menangis.Itulah bisikan batinku, tapi aku tidak tahu harus berpikir apa lagi.Kulirik lengan Mariam yang memagari tubuhku. Entah sampai mana Mariam membawaku, yang pasti letaknya sangat jauh dari Desa Anba. Aku takut menoleh, apalagi jeritan warga yang semakin jauh dan senyap seakan tidak pernah terjadi sebelumnya."Ibu," gumamku. Aku hendak berucap, tapi lidahku kelu.Sepanjang perjalanan, aku diam saja. Wanita itu bahkan tidak mengajak bicara, hanya fokus ke depan menuju tempat yang terasing."Kita ... Ke m
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Aku tidak tidur sepanjang jalan.Kami lewati gurun yang asing bagiku. Belum pernah kulihat gurun sebelumnya dan tidak pernah kubayangkan bakal sepanas ini. Selama hidupku, aku mengira gurun hanya tempat yang dipenuhi pasir, tak terlintas seberapa ganas tempat itu.Mariam tidak berkutik selama ini. Dia pun tidak menunjukkan kelelahan sepertiku. Sudah dipastikan dia pernah melewati tempat ini sebelumnya.Aku jadi teringat akan kisah para tetangga. Tentang para pemburu jin dan sihir. Mariam jelas sangat mirip dengan tokoh-tokoh itu.Demi mencairkan suasana, aku pun bicara.“Kamu mengingatkanku dengan seorang pemburu jin dan iblis,” kataku. “Itu pernah terjadi?”“Ya,” balas Mariam. “Ayahku juga.”“Benarkah?” Aku berbasa-basi. “Jadi, ini motivasimu?”“Tidak.” Jawabannya su
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Kota Batu Saghra jauh lebih suram dari dugaanku. Semakin kami mendekat, langit semakin muram dan berangin. Mariam tetap memacu kudanya hingga masuk semakin dalam ke kota.Seperti yang kalian tahu, kota ini tampak terbengkalai. Tidak hanya terkesan tak berpenghuni, tapi juga dipenuhi patung berbentuk manusia layaknya arca. Sebagian sudah rusak, kebanyakan kepalanya sudah hilang. Terasa mustahil jika kami dapat menyelamatkan mereka.“Jangan jauh-jauh dariku, Kyara,” bisik Mariam. “Tempat ini bukan untuk bermain.”Aku membalas, “Anak macam apa yang mengira ini taman bermain?”“Ada banyak anak-anak ke sini karena penasaran, lihat apa yang terjadi.”Beberapa hewan mulai dari jinak sampai yang buas berdatangan. Anehnya, mereka hanya menatap kami. Tidak ada reaksi lain. Begitu aku balas tatapan mereka, matanya seakan mengisyaratkan sesuatu padaku.
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Pada tengah malam, kami keluar dari kamar secara mengendap-endap. Beruntung aku bisa berjalan tanpa mengeluarkan banyak suara berkat lantainya yang dilapisi karpet. Kami sengaja berjalan bertelanjang kaki demi mengurangi suara.“Dia ada di dapur,” bisik Mariam sambil meneruskan jalannya.Aku hanya membuntuti. Meski misi ini tampak mustahil, setidaknya kami berusaha menolong penduduk kota Saghra.Dapur letaknya cukup jauh, memakan waktu lebih dari sepuluh menit. Anehnya, tidak ada Ariya atau suara mencurigakan meski kami jelas-jelas sedang menyelinap.Kakiku kesakitan. Aku tidak terbiasa berjalan terlalu lama, dulu hanya beberapa menit sambil menemani Ibu berjualan. Tapi rasa penasaran mengalahkan sakit, aku ingin melihat cara Ariya memasak ramuan.Kami menerobos masuk ke sebuah gudang yang terbuat dari kayu, kami akhirnya dapat mengintip di sela lubang-lubang di dinding.
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Aibarab, kota kembaran Shyr. Mulai dari bahasa hingga budaya sama, namun rakyatnya kurang akur akibat rebutan kebudayaan hingga kuliner. Jarak antara keduanya hampir 200 kilometer dan bisa dibilang versi lebih modern dari negeri kelahiranku. Aku teringat saat orang-orang di Desa Anba bercerita tentang Aibarab. “Hidup di sana serba mewah dan mahal, tapi penduduknya sangat cuek dan egois. Meski, positifnya, mereka tidak mencampuri urusan orang lain, tetap saja, saking cueknya mereka bahkan hanya menyaksikan seseorang dibunuh di depan mata mereka.” Aku kebetulan ada di sana, ikut terkesiap mendengar kisahnya. “Kamu di sana saat itu?” tanyaku. “Aku yang memanggil petugas keamanan! Para rakyat hanya menonton dengan wajah takut tapi diam saja! Bayangkan, betapa kejamnya mereka. Saat petugas keamanan datang, kalian bisa tebak sendiri, pelakunya keburu kabur. Untung banyak saksi, meski mere
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Mariam datang begitu temannya itu selesai mengucapkannya. Meski Mariam hanya pergi dalam waktu beberapa jam saja, aku bersyukur kalau dia lekas kembali. “Bagaimana?” tanya temannya. “Tidak buruk,” balas Mariam. “Aku bekerja sebagai pelayan keluarga penyihir.” “Bagus! Tepat sasaran!” Wanita itu menepuk bahu Mariam. “Itu lumayan untuk dua orang seperti kalian.” “Masalahnya, dia seorang bangsawan yang kita cari, Count Wynter.” “Lalu, kenapa diterima?” tanya Temannya Mariam. “Bukannya upah dari Safar sudah cukup?” “Ini bagian dari tugasku.” Mariam menatapnya dingin. “Kamu baru saja menyebut Raja dengan nama depan seakan dekat? Sahabat karibnya saja masih memanggil dengan nama belakang.” “Dia terlalu formal,” balas Temannya Mariam. “Lagi pula, toh, Safar itu gaul. Tidak pandang kasta.” “Terserah.” Perdebatan mereka berakhir di situ.
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Pikiranku tercampur aduk gara-gara Delisa. Memangnya benar? Apa Mariam selama ini berbahaya? Semua kebaikannya selama ini hanya demi dirinya sendiri? “Reem?” Mariam memanggilku dengan nama kedua. “Hei!” Lamunanku membuyar. Aku waktu itu tidak mendengar ucapannya, kukira dia bertanya apakah aku mulai dekat dengan para majikanku. “Tidak.” “Tidak apanya?” Mariam selesai melipat pakaian sementara aku yang membantunya justru ketinggalan. Duh, malunya! “Kalau diam terus, kapan selesainya?” Mariam terdengar kesal. “Cepat selesaikan bagianmu!” Aku bergegas merapikan baju. Meski terkesan ala kadar, setidaknya Mariam dengan sabar mengajariku cara melipatnya dengan rapi. Memerlukan waktu lebih dari setengah jam bagiku untuk melipat. Terpaksa Mariam turun tangan. “Malam ini, Count akan datang,” ujar Mariam. “Jaga sikap!” “Baik.” ***
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ “Reem ...!” Jeritan si Kembar menyakiti telingaku. Aduh, mereka lagi! “Ayo! Ayo! Sekolah!” Delina menyeretku. “Ayo, bawa tas kami!” Delisa melempar dua buah tas ke arahku. Buk! Aku menyambutnya, meski nyaris jatuh. Seberapa kuat mereka ini? “Ayo, Pelayan!” seru Delina. “Namanya Reem!” balas Delisa. “Nanti tersinggung dia!” Aduh, dua-duanya sama saja! “Ayo, Reem! Kamu makhluk hidup, ‘kan? Bisa berjalan? Ayo!” Aku ikuti arah jalan mereka. Aku teringat dengan pria berambut putih kemarin. Siapa dia? Kenapa kalungku memancarkan cahaya biru? “Reem?” Delina tampak menyadari sesuatu. “Kamu bertemu dengannya?” Dia terdengar geram. “Siapa pria berambut putih itu?” tanyaku. “Kenapa kalungku jadi bercahaya? Padahal ini hanya batu biasa.” Si Kembar saling tatap. “
Kedatangannya Elya tidak kusangka akan sepagi ini. Aku ingat kebiasaan Robert yang bangun lebih awal, barangkali mereka biasa berjanji bertemu sepagi ini. Namun, pagi ini kulihat Robert tampak mengantuk. Saat aku dititipkan di Kapel, tidak kutanyakan langsung saat itu apa yang dia kerjakan di luar sana. Sepertinya melelahkan.“Dia sedang tidur,” jawabku, tidak ada niat membangunkan Robert. Namun, aku rasa Elya bisa menunggu. Toh, gadis itu tahu pasti jadwal kerja Robert, dia biasanya juga tidak akan lama beristirahat setelah terbangun sejenak tadi. Baru hendak kutawari untuk masuk, Elya serahkan tas kecil yang melingkari pinggangnya padaku. Dia melangkah mundur. “Baik, titip pesan padanya jika nanti malam aku akan ke sini lagi.” “Kamu tidak mau menunggu?” Aku bertanya. Ingin rasanya tahu apa yang mereka berdua lakukan, kekuatan yang katanya “mengutak-atik bagian tubuh” masih tergiang dalam pikiranku. Apa gerangan yang Robert rencanakan? Apa ada kaitannya dengan cairan yang biasa dia
Membangun peradaban baru. Belum pernah terpikir jika para Guardian ingin mencapainya, tidak pula aku menduga. Kukira tujuan kami hanya bisa bertemu kembali, memulai hidup bersama seperti keluarga lainnya hingga kembali ke pelukan alam. Jika tidak akan terlahir kembali setelahnya.Elya memandangku, matanya terpaku, menunggu aku membalas, tapi aku tidak tahu jawabannya. Jika saja seorang Guardian di sini, dia pasti bisa menjawab.“Ah, Elya.” Suara tak terduga dari Frederic menyelamatkanku dari pertanyaan tadi. “Sudah lama tidak ke sini. Di mana keluargamu?”“Sedang jalan-jalan,” jawab Elya. “Kamu datang sedikit tepat waktu, aku dan Levi baru saja membahas soal kerajaan awan karena langit-langit ini.”Frederic melayangkan pandangannya pada lukisan itu. “Benarkah? Kami memilih awan karena itu mengingatkan kami akan kehidupan setelah ini,” komentarnya. “Kamu ingat sesuatu?”“Ya, Abi pernah membahas soal kerajaan di atas awan dan mengaku ingin kembali ke sana.” Elya menatapku. “Sayng sekali
Ucapan gadis itu membuatku diam. Memang para Guardian telah menjagaku dari segala bahaya. Namun, aku dan mungkin juga kakakku, Kyara, tidak tahu mengapa kami dijaga selain karena kami pewaris takhta Kerajaan Shan selama ini. Tidak seperti mereka, kami tidak ingat apa pun, hanya ikut alur yang para Guardian tuntun untuk kami.Tidak disangka ada lagi seseorang di taman. Dia berdiri di bawah naungan pohon yang jadi pusat taman, tepatnya berseberangan denganku. Rambutnya biru dengan garis-garis hitam menghiasi beberapa helai, sementara iris mata hitam, kulitnya pun sepucat anak-anak panti. Ciri-ciri anak panti yang sangat pucat membuatku ragu pada asal usul mereka. Orang Danbia memiliki kulit putih sedikit kemerahan, tak terkecuali Robert. Sementara orang Ezilis juga putih, tapi tidak sampai tampak janggal seperti anak-anak panti itu. Namun, aku belum pernah melihat gadis itu di panti dan dia tidak juga terlihat seperti orang-orang dari negeri yang kutahu.Tanganku terangkat perlahan mesk
"Pergi saja ke Kapel. Kau tidak boleh keluar dari sana sampai aku jemput." Hanya itu ucapan Robert yang aku ingat begitu waktu sekolah berakhir. Alih-alih berdiri depan sekolah bersama teman sebaya menunggu dijemput, aku langsung melangkah menuju tempat yang dia maksud. Lokasi Kapel memang tidak jauh, hanya sekitar satu jalan dari sekolahku dan itu masih berada di antara jalanan umum. Barangkali karena ini Robert membiarkanku berjalan seorang diri. Meski beberapa kesempatan–seperti Guardian lainnya–dia tidak ingin aku menjauh darinya, untuk kali ini dia mempercayakan seseorang untuk menjagaku. Kalung ini bersinar saat berada di dekat pria itu, dia pun tahu aku tanggungjawabnya. Aku teruskan langkah dengan boneka kelinci berian Arsene, untungnya tidak ada teman sekelas yang mengambilnya. Dia bisa menemaniku jika suasana Kapel ternyata begitu sunyi.Keadaan Kapel, seperti biasanya, tidak begitu ramai. Lebih terlihat beberapa orang lewat dengan pakaian yang sama seperti Frederic kenakan
"Apa?" Aku tentu heran mendengarnya. Waktu itu juga belum paham maksud dari kata "pemusnah massal" itu sendiri. Aku mulai berpikir keras akan suatu hal yang belum kupahami. Spontan saja kutanyakan persis seperti yang kupikirkan. "Pemusnah apa? Apa itu 'massal'?""Ah, lupakan, aku hanya bergurau," Ekspresi muka Robert tidak menunjukkan apa pun yang membuatnya tampak sedang bercanda, dia terlihat serius seperti biasa."Tapi, apa itu 'massal'?" Aku bersikeras ingin tahu, hati berdebar menerka maksud yang kucari.Robert berdecak pelan. "Dalam jumlah yang banyak."Aku terdiam. Kata "senjata pemusnah massal" berarti senjata yang dapat menghancurkan sesuatu dalam jumlah yang banyak. Jantungku terasa berhenti berdetak untuk sesaat. Kalimat yang baru kupelajari tadi terdengar menakutkan. "Kenapa Robert bilang begitu?" Aku protes, tidak menutupi kalau pelindungku ini memberi kesan seram sejak awal.Robert menghela napas, menggeleng pelan. "Tidak ada."Kali ini, aku mendadak jadi penasaran. Tida
"Ya, bilang saja begitu, mentang-mentang belum ada yang terbunuh." Robert mengucapkannya dengan nada mengejek. Entah mengapa tutur kata lembut dari temannya tidak mempengaruhi reaksinya. "Thomson." Dia sebut nama temannya itu dengan lembut, meski dapat kurasakan tekanan dari suaranya, tanda teguran halus. "Frederic." Robert sebut namanya seperti mendesis, menyebut nama dari temannya sekaligus membalas ucapannya barusan. Pria di depanku, yang kini akan kusebut sebagai Frederic, mempertahankan intonasi suara lembutnya. "Aku juga bertanggung jawab atas nyawanya. Percayalah, dia tidak akan menginjakkan kaki di sini." Di balik suaranya yang tenang, sorot matanya kian tajam, terus memandang ke arah Robert. Suasana kian canggung bagiku, terlebih melihat dua orang dewasa–pelindungku sendiri, kini tengah berada dalam perdebatan. Tampaknya tidak ada salah satu yang ingin mengalah, meski ada perbedaan dari cara menuturkan kata, tapi dapat kutebak masing-masing tetap ingin mempertahankan ke
Barangkali ini kebiasaan yang aku terapkan pada setiap Guardian, saat kami melangkah bersama, kupastikan kami selalu berdampingan. Namun, karena tubuh mereka lebih besar dariku, aku merasa lebih aman bernaung di bawah bayangan mereka. Seperti itulah yang aku lakukan bersama Robert saat ini. Tangan para Guardian selalu begitu besar dibandingkan punyaku, sehingga ketika bergandengan semua jariku tetap tidak sanggup meraih seluruh tangan mereka. Selagi melangkah, pandangan Robert lurus ke depan, sesekali pandangan kami bertemu tanpa reaksi, memastikan tidak terpisah barang sesaat.Langkah kami tertuju pada kapel, tempat yang bernuansa paling tenang di kota Anamsel sejauh ini, walau hanya sedikit tempat yang aku kunjungi di kota. Jumlah orang yang keluar masuk dari kapel masih terbilang sedikit, menambah kesan keheningan yang mendukung aura ketenangan yang dipancarkan. Para petugasnya ramah, apalagi mereka yang sering menerima barang berian dari Robert tadi, semua mengenakan pakaian biru
Malam itu terasa berbeda lantaran aku kini berbaring di kasur dengan Robert di sisiku. Cahaya remang dalam kamar membuat suasana hening terasa damai, meski di saat yang sama diliputi hawa dingin menusuk hingga ke tulang, membuatku menenggelamkan diri dalam selimut selagi memandang pelindungku yang entah mengapa memilih untuk membaringkan badan di atas selimut. Robert memandang langit-langit, mata cokelatnya bergerak mengamati sekeliling kamar, tenggelam dalam pikiran sejenak sebelum akhirnya bersuara."Hal pertama yang kuingat di Shan itu, saat itu aku menghadap Raja sebagai hadiah dari sang Ratu." Robert memulai ceritanya, pandangannya masih fokus memandang langit-langit. Cahaya lampu tidur yang menjadi satu-satunya penerang memantul di matanya.Tanganku masih menggenggam erat selimut, menyimak ucapannya. "Hadiah?" Terkesan aneh karena yang kutahu, hadiah itu biasa berwujud benda mati.Robert mengiakan, masih terus memandang ke atas. "Sang Ratu memberi Raja hadiah berupa aku, dengan
Bunyi keras kembali menyentak keheningan. Bersamaan dengan lantai kayu yang menampar wajahku saat kehilangan keseimbangan. Langsung saja aku terduduk, menatap sosok yang baru saja membuatku jatuh.Tangan besar itu meraih rambutku. Aku menjerit ketika terseret lagi. Sesuatu hendak memangsaku di hari pertama musim dingin ini. Aku menendang-nendang tanah, berupaya melawan meski tiada hasil.Terdengar bunyi daging terpotong, refleks membuatku terpaku, mengira serangan itu tertuju padaku. Tangan yang mencengkeram kepalaku mulai melemah. Aku terjatuh ke lantai, begitu kaki menyentuh lantai, segera aku merangkak menjauh."Pangeran!" Di saat itu juga tubuhku terasa terangkat. Tercium bau khas yang kukenal. Kumpulan aroma wangi yang berasal dari minuman maupun racikan yang selama ini menghias rumah baruku. Dia berdiri di depan, kedua tangan terulur siap meraihku. Segera aku mendekapnya agar tidak terjatuh. Jelas sudah siapa itu, dia pasti langsung keluar begitu melihat bayangan makhluk tadi.