« Mika »Ada pemburu, ada iblis. Dunia perlahan dikuasai iblis. Iblis membutuhkan daging, tapi tiada makhluk bersedia menyerahkan diri. Ketika fajar tiba, di situlah calon mangsa merasa aman. Iblis hanya akan berkeliaran di malam hari. Memangsa siapa saja yang berdiri di depan mata. Di saat iblis berburu, merekalah yang akan diburu. Iblis akan memburu pemburu. Pemburu akan membasmi iblis. Ada iblis, ada pemburu. Jika iblis bertemu pemburu, tidak selamanya mereka akan saling memburu. Jika pemburu melihat iblis, tidak selamanya akan membunuh. Para iblis akan mencari segala cara untuk mengakhiri gangguan ini. Sementara para pemburu iblis, menyebut diri mereka diberkati rembulan. Sehingga di malam hari pun tidak kenal lelah mengejar iblis. "Kesatria Rembulan" nama lain mereka. Percaya bahwa mereka utusan sang Rembulan. Mereka yang berjaga di kala purnama menyinari kelamnya malam. Hingga fajar menyising, menyisakan hari untuk besok. Ada pemburu, ada iblis. Mereka tidak te
Aku dan Raka terlahir kembar. Kami dibesarkan di Panti Graves sejak berusia empat tahun. Sama seperti anak panti lainnya, kami memiliki nama kecil di sana yang hanya terdiri dari satu nama. Namaku Mika, tapi di dunia luar namaku akan berganti sesuai pemberian Bapak. Bapak adalah teman baik Mama yang membantu mengurus panti sejak lama, entah berapa tahun. Yang pasti, keduanya saling percaya dan menjaga. Begitu aku keluar, aku merasa beruntung langsung bisa melihatnya tanpa mencemaskan keberadaan Pemburu Iblis. Bapak yang tahu rute yang aman, sehingga kalau ada dia, sudah dipastikan tidak ada gangguan. Di bawah naungan pohon, kulihat dia sedang menungguku. Wajahnya tampak jelas ketika disinari rembulan. Sambil mengenakan pakaian hangatnya yang biasa dia pakai saat menyusuri hutan. Begitu mendekat, tinggiku sudah hampir sebatas wajahnya. Dulu, aku bahkan tidak bisa meraih tangannya. Dialah Bapak, orang pertama yang kami kenal di panti Graves. Berbeda dengan Mama, Bapak cukup jarang
Bapak bekerja sebagai pembuat minuman di kota ini. Tidak bisa dipungkiri, tempatnya bekerja selalu ramai sehingga kualitasnya tidak perlu ditanya. Tapi, ironisnya dia tidak suka minum melainkan yang aman. Aku dan Raka, di hari pertama, hanya berdiri diam sambil memandangi Bapak membuat minum untuk para pelanggannya. Sebenarnya, tujuan kami hanya satu, tapi tidak satu pun dari kami yang berani berucap. Ini salah Raka yang tidak membangunkanku beberapa jam lalu, harusnya kami sudah keluar dari sini sejak pagi supaya bisa bicara empat mata dengan Bapak. Bapak tidak membangunkan, karena dia tidak tahu kehendak kami. Mungkin dikira masih ingin berlibur di rumahnya. Di antara pelanggannya, kami berdua yang paling pucat. Untung tidak ada suara yang menyeru hal itu. Mentari belum begitu rendah sehingga masih aman bagi kami untuk berjalan keluar selagi menunggu malam menjemput. Kurang lebih seperti Mama, Bapak tidur hanya beberapa jam saat kami beraktifitas dan kadang tidur di waktu yang
"Mika!" Terdengar seruan Bapak. "Bantu aku membersihkan ini!" Aku hendak menyela kalau itu bisa jadi tugas Raka, namun kulihat saudaraku sedang sibuk menyapu lantai. Mau tidak mau, aku turuti kehendaknya. Selagi mencuci piring, kuperhatikan Bapak yang sibuk dengan gelas dan minuman. Melihat tangannya yang agak kekar membuktikan bagaimana dia berhasil membunuh gadis itu hanya dengan sekali langkah. Ya, sekali. Tepat ketika mengucapkan "dengan senang hati" dia melesat dan berhasil menikam gadis itu hingga roboh. Aku tidak percaya, dia dengan mudah membunuh seseorang yang dianggap sebagai penyelamat bagi sebagian orang. Namun, tentu wajar bagiku jika Bapak memilih menghabisinya. Dia barangkali takut kalau kami bakal diserang ketika mulai berbaur dengan masyarakat akibat satu saksi. Begitu selesai menghabisi gadis itu, Bapak menyeret mayatnya. Di balik kain pelindung, kulihat dia melempar mayat gadis itu ke jurang layakny
« ??? » "Tolong! Iblis!" Jeritan seorang wanita menggemparkan seisi desa lantaran saudaranya telah berubah menjadi iblis setelah berburu. Seorang pria dengan tatapan liar dengan taring tajam siap memangsa. Cakarnya hendak mencengkeram leher wanita yang berlari di depannya. "Akh!" Wanita itu tumbang. Iblis telah mengisap darahnya. Geligi itu perlahan menggerogoti seluruh bahu wanita malang itu. Mangsanya menjerit dengan sia-sia. Perlahan, suaranya semakin serak hingga akhirnya hening. Wanita itu tewas dengan mata terbalak merasakan dirinya dimangsa hidup-hidup. Syaaat! Iblis telah tumbang. Sebuah tombak menancap di kepalanya. Sosok wanita berdiri memandangi tragedi di depannya. Dia terlambat. Wanita itu menatap korban dengan tatapan prihatin. Namun, segera setelahnya, dia tancapkan pedang ke kening sang mayat hingga remuk kepalanya demi mencegah perubahan. "Pemburu
Pada zaman dahulu kala, terdapat sebuah kerajaan yang berdiri kokoh di atas langit. Di negeri yang indah itu, hiduplah sang Putri dan Pangeran. Mereka ditakdirkan untuk menjaga kerajaan bersama.Di sisi mereka berdiri para pelindung, mereka itu para Penjaga–Guardian. Bersama mereka memerintah kerajaan itu.Seseorang pernah meramalkan, jika keberuntungan akan memihak mereka. Kalau suatu saat negeri itu akan berjaya.Namun, takdir berkata lain. Seseorang telah merusak kebahagiaan mereka.Runtuhlah negeri itu, menyisakan jiwa-jiwa yang tidak tenang. Mereka menuntut balas dendam.Jiwa-jiwa itu dilahirkan kembali. Namun, tidak semua lahir kembali membawa kisah yang telah lampau.Di antara kisah yang terkikis oleh zaman, tersimpan serangkaian kisah yang akan mengungkap segalanya.Dan kisah itu adalah ...Guardians of Shan 4 :Nawala
Aku yakin mimpiku pertanda awal dari kisah lama yang telah terkubur. Ketika mengingat lagi, terasa lebih menyakinkan dari sebelumnya. Walau sosok yang mendekapku itu belum jelas rupanya, tapi aku yakin dia pasti Guardian yang ingin menjemputku. Dalam mimpi, kalungku bersinar. Pada sisi lain aku merasa mimpi itu hanya wujud dari keinginanku untuk bertemu dengan para Guardian-ku setelah sekian lama terpisah. Ke mana mereka selama ini? Apa mereka akan kembali?"Levi?" Suara Bibi terdengar dari balik kamar. Tak lama, dia masuk setelah kuizinkan. "Tumben bangun lebih awal.""Sudah terbiasa." Aku tersenyum tipis. Sebenarnya, ini sungguh aneh. Bukan hal biasa bagiku bangun pada malam hari seperti anak panti lainnya.Semenjak aku menetap di panti, semakin aku berharap untuk segera diadopsi saat itu juga. Memang benar dulu aku dibesarkan di sebuah panti asuhan, tapi anak-anak di sana juga sepertiku. Mereka bangun di pagi hari lalu tidur pada malamnya. Makanan yang disajikan juga beragam setiap
"Levi, bangun!" Louis rupanya berdiri di sisi ranjangku sambil berusaha mengapai rambut cokelatku. "Ayo, waktunya makan!"Dengan tarikan pelan di rambut, Louis berhasil menyeretku ke ruang makan. Anak-anak panti sudah mulai duduk dan menunggu makanannya. Aku ingin menambahkan aturan tidak tertulis dalam panti ini. Jadi, ketika hendak makan, kami seharusnya menunggu hingga seluruh anggota dalam panti ini berkumpul. Kecuali bagi yang tidak sanggup makan, tentunya. Jelas saat ini mereka menunggu kehadiranku."Halo, Levi!" Sapaan dari Bibi membuatku sedikit terkejut. Aku tidak melihatnya tadi. "Ayo, makan!"Tanpa menunggu tanggapan dariku, Louis menyeretku ke dua kursi kosong yang pastinya disediakan untuk kami berdua. Tidak lama, Bibi lalu memimpin doa dan makan pun dimulai."Kamu lagi-lagi telat." Louis terkikik sambil menyantap daging itu dengan lahap.Aku menunduk, mengamati daging yang disajikan setiap saat ini. Bukankah janggal jika kita harus makan jenis makanan yang sama setiap sa
Kedatangannya Elya tidak kusangka akan sepagi ini. Aku ingat kebiasaan Robert yang bangun lebih awal, barangkali mereka biasa berjanji bertemu sepagi ini. Namun, pagi ini kulihat Robert tampak mengantuk. Saat aku dititipkan di Kapel, tidak kutanyakan langsung saat itu apa yang dia kerjakan di luar sana. Sepertinya melelahkan.“Dia sedang tidur,” jawabku, tidak ada niat membangunkan Robert. Namun, aku rasa Elya bisa menunggu. Toh, gadis itu tahu pasti jadwal kerja Robert, dia biasanya juga tidak akan lama beristirahat setelah terbangun sejenak tadi. Baru hendak kutawari untuk masuk, Elya serahkan tas kecil yang melingkari pinggangnya padaku. Dia melangkah mundur. “Baik, titip pesan padanya jika nanti malam aku akan ke sini lagi.” “Kamu tidak mau menunggu?” Aku bertanya. Ingin rasanya tahu apa yang mereka berdua lakukan, kekuatan yang katanya “mengutak-atik bagian tubuh” masih tergiang dalam pikiranku. Apa gerangan yang Robert rencanakan? Apa ada kaitannya dengan cairan yang biasa dia
Membangun peradaban baru. Belum pernah terpikir jika para Guardian ingin mencapainya, tidak pula aku menduga. Kukira tujuan kami hanya bisa bertemu kembali, memulai hidup bersama seperti keluarga lainnya hingga kembali ke pelukan alam. Jika tidak akan terlahir kembali setelahnya.Elya memandangku, matanya terpaku, menunggu aku membalas, tapi aku tidak tahu jawabannya. Jika saja seorang Guardian di sini, dia pasti bisa menjawab.“Ah, Elya.” Suara tak terduga dari Frederic menyelamatkanku dari pertanyaan tadi. “Sudah lama tidak ke sini. Di mana keluargamu?”“Sedang jalan-jalan,” jawab Elya. “Kamu datang sedikit tepat waktu, aku dan Levi baru saja membahas soal kerajaan awan karena langit-langit ini.”Frederic melayangkan pandangannya pada lukisan itu. “Benarkah? Kami memilih awan karena itu mengingatkan kami akan kehidupan setelah ini,” komentarnya. “Kamu ingat sesuatu?”“Ya, Abi pernah membahas soal kerajaan di atas awan dan mengaku ingin kembali ke sana.” Elya menatapku. “Sayng sekali
Ucapan gadis itu membuatku diam. Memang para Guardian telah menjagaku dari segala bahaya. Namun, aku dan mungkin juga kakakku, Kyara, tidak tahu mengapa kami dijaga selain karena kami pewaris takhta Kerajaan Shan selama ini. Tidak seperti mereka, kami tidak ingat apa pun, hanya ikut alur yang para Guardian tuntun untuk kami.Tidak disangka ada lagi seseorang di taman. Dia berdiri di bawah naungan pohon yang jadi pusat taman, tepatnya berseberangan denganku. Rambutnya biru dengan garis-garis hitam menghiasi beberapa helai, sementara iris mata hitam, kulitnya pun sepucat anak-anak panti. Ciri-ciri anak panti yang sangat pucat membuatku ragu pada asal usul mereka. Orang Danbia memiliki kulit putih sedikit kemerahan, tak terkecuali Robert. Sementara orang Ezilis juga putih, tapi tidak sampai tampak janggal seperti anak-anak panti itu. Namun, aku belum pernah melihat gadis itu di panti dan dia tidak juga terlihat seperti orang-orang dari negeri yang kutahu.Tanganku terangkat perlahan mesk
"Pergi saja ke Kapel. Kau tidak boleh keluar dari sana sampai aku jemput." Hanya itu ucapan Robert yang aku ingat begitu waktu sekolah berakhir. Alih-alih berdiri depan sekolah bersama teman sebaya menunggu dijemput, aku langsung melangkah menuju tempat yang dia maksud. Lokasi Kapel memang tidak jauh, hanya sekitar satu jalan dari sekolahku dan itu masih berada di antara jalanan umum. Barangkali karena ini Robert membiarkanku berjalan seorang diri. Meski beberapa kesempatan–seperti Guardian lainnya–dia tidak ingin aku menjauh darinya, untuk kali ini dia mempercayakan seseorang untuk menjagaku. Kalung ini bersinar saat berada di dekat pria itu, dia pun tahu aku tanggungjawabnya. Aku teruskan langkah dengan boneka kelinci berian Arsene, untungnya tidak ada teman sekelas yang mengambilnya. Dia bisa menemaniku jika suasana Kapel ternyata begitu sunyi.Keadaan Kapel, seperti biasanya, tidak begitu ramai. Lebih terlihat beberapa orang lewat dengan pakaian yang sama seperti Frederic kenakan
"Apa?" Aku tentu heran mendengarnya. Waktu itu juga belum paham maksud dari kata "pemusnah massal" itu sendiri. Aku mulai berpikir keras akan suatu hal yang belum kupahami. Spontan saja kutanyakan persis seperti yang kupikirkan. "Pemusnah apa? Apa itu 'massal'?""Ah, lupakan, aku hanya bergurau," Ekspresi muka Robert tidak menunjukkan apa pun yang membuatnya tampak sedang bercanda, dia terlihat serius seperti biasa."Tapi, apa itu 'massal'?" Aku bersikeras ingin tahu, hati berdebar menerka maksud yang kucari.Robert berdecak pelan. "Dalam jumlah yang banyak."Aku terdiam. Kata "senjata pemusnah massal" berarti senjata yang dapat menghancurkan sesuatu dalam jumlah yang banyak. Jantungku terasa berhenti berdetak untuk sesaat. Kalimat yang baru kupelajari tadi terdengar menakutkan. "Kenapa Robert bilang begitu?" Aku protes, tidak menutupi kalau pelindungku ini memberi kesan seram sejak awal.Robert menghela napas, menggeleng pelan. "Tidak ada."Kali ini, aku mendadak jadi penasaran. Tida
"Ya, bilang saja begitu, mentang-mentang belum ada yang terbunuh." Robert mengucapkannya dengan nada mengejek. Entah mengapa tutur kata lembut dari temannya tidak mempengaruhi reaksinya. "Thomson." Dia sebut nama temannya itu dengan lembut, meski dapat kurasakan tekanan dari suaranya, tanda teguran halus. "Frederic." Robert sebut namanya seperti mendesis, menyebut nama dari temannya sekaligus membalas ucapannya barusan. Pria di depanku, yang kini akan kusebut sebagai Frederic, mempertahankan intonasi suara lembutnya. "Aku juga bertanggung jawab atas nyawanya. Percayalah, dia tidak akan menginjakkan kaki di sini." Di balik suaranya yang tenang, sorot matanya kian tajam, terus memandang ke arah Robert. Suasana kian canggung bagiku, terlebih melihat dua orang dewasa–pelindungku sendiri, kini tengah berada dalam perdebatan. Tampaknya tidak ada salah satu yang ingin mengalah, meski ada perbedaan dari cara menuturkan kata, tapi dapat kutebak masing-masing tetap ingin mempertahankan ke
Barangkali ini kebiasaan yang aku terapkan pada setiap Guardian, saat kami melangkah bersama, kupastikan kami selalu berdampingan. Namun, karena tubuh mereka lebih besar dariku, aku merasa lebih aman bernaung di bawah bayangan mereka. Seperti itulah yang aku lakukan bersama Robert saat ini. Tangan para Guardian selalu begitu besar dibandingkan punyaku, sehingga ketika bergandengan semua jariku tetap tidak sanggup meraih seluruh tangan mereka. Selagi melangkah, pandangan Robert lurus ke depan, sesekali pandangan kami bertemu tanpa reaksi, memastikan tidak terpisah barang sesaat.Langkah kami tertuju pada kapel, tempat yang bernuansa paling tenang di kota Anamsel sejauh ini, walau hanya sedikit tempat yang aku kunjungi di kota. Jumlah orang yang keluar masuk dari kapel masih terbilang sedikit, menambah kesan keheningan yang mendukung aura ketenangan yang dipancarkan. Para petugasnya ramah, apalagi mereka yang sering menerima barang berian dari Robert tadi, semua mengenakan pakaian biru
Malam itu terasa berbeda lantaran aku kini berbaring di kasur dengan Robert di sisiku. Cahaya remang dalam kamar membuat suasana hening terasa damai, meski di saat yang sama diliputi hawa dingin menusuk hingga ke tulang, membuatku menenggelamkan diri dalam selimut selagi memandang pelindungku yang entah mengapa memilih untuk membaringkan badan di atas selimut. Robert memandang langit-langit, mata cokelatnya bergerak mengamati sekeliling kamar, tenggelam dalam pikiran sejenak sebelum akhirnya bersuara."Hal pertama yang kuingat di Shan itu, saat itu aku menghadap Raja sebagai hadiah dari sang Ratu." Robert memulai ceritanya, pandangannya masih fokus memandang langit-langit. Cahaya lampu tidur yang menjadi satu-satunya penerang memantul di matanya.Tanganku masih menggenggam erat selimut, menyimak ucapannya. "Hadiah?" Terkesan aneh karena yang kutahu, hadiah itu biasa berwujud benda mati.Robert mengiakan, masih terus memandang ke atas. "Sang Ratu memberi Raja hadiah berupa aku, dengan
Bunyi keras kembali menyentak keheningan. Bersamaan dengan lantai kayu yang menampar wajahku saat kehilangan keseimbangan. Langsung saja aku terduduk, menatap sosok yang baru saja membuatku jatuh.Tangan besar itu meraih rambutku. Aku menjerit ketika terseret lagi. Sesuatu hendak memangsaku di hari pertama musim dingin ini. Aku menendang-nendang tanah, berupaya melawan meski tiada hasil.Terdengar bunyi daging terpotong, refleks membuatku terpaku, mengira serangan itu tertuju padaku. Tangan yang mencengkeram kepalaku mulai melemah. Aku terjatuh ke lantai, begitu kaki menyentuh lantai, segera aku merangkak menjauh."Pangeran!" Di saat itu juga tubuhku terasa terangkat. Tercium bau khas yang kukenal. Kumpulan aroma wangi yang berasal dari minuman maupun racikan yang selama ini menghias rumah baruku. Dia berdiri di depan, kedua tangan terulur siap meraihku. Segera aku mendekapnya agar tidak terjatuh. Jelas sudah siapa itu, dia pasti langsung keluar begitu melihat bayangan makhluk tadi.