Aku yakin mimpiku pertanda awal dari kisah lama yang telah terkubur. Ketika mengingat lagi, terasa lebih menyakinkan dari sebelumnya. Walau sosok yang mendekapku itu belum jelas rupanya, tapi aku yakin dia pasti Guardian yang ingin menjemputku. Dalam mimpi, kalungku bersinar. Pada sisi lain aku merasa mimpi itu hanya wujud dari keinginanku untuk bertemu dengan para Guardian-ku setelah sekian lama terpisah. Ke mana mereka selama ini? Apa mereka akan kembali?"Levi?" Suara Bibi terdengar dari balik kamar. Tak lama, dia masuk setelah kuizinkan. "Tumben bangun lebih awal.""Sudah terbiasa." Aku tersenyum tipis. Sebenarnya, ini sungguh aneh. Bukan hal biasa bagiku bangun pada malam hari seperti anak panti lainnya.Semenjak aku menetap di panti, semakin aku berharap untuk segera diadopsi saat itu juga. Memang benar dulu aku dibesarkan di sebuah panti asuhan, tapi anak-anak di sana juga sepertiku. Mereka bangun di pagi hari lalu tidur pada malamnya. Makanan yang disajikan juga beragam setiap
"Levi, bangun!" Louis rupanya berdiri di sisi ranjangku sambil berusaha mengapai rambut cokelatku. "Ayo, waktunya makan!"Dengan tarikan pelan di rambut, Louis berhasil menyeretku ke ruang makan. Anak-anak panti sudah mulai duduk dan menunggu makanannya. Aku ingin menambahkan aturan tidak tertulis dalam panti ini. Jadi, ketika hendak makan, kami seharusnya menunggu hingga seluruh anggota dalam panti ini berkumpul. Kecuali bagi yang tidak sanggup makan, tentunya. Jelas saat ini mereka menunggu kehadiranku."Halo, Levi!" Sapaan dari Bibi membuatku sedikit terkejut. Aku tidak melihatnya tadi. "Ayo, makan!"Tanpa menunggu tanggapan dariku, Louis menyeretku ke dua kursi kosong yang pastinya disediakan untuk kami berdua. Tidak lama, Bibi lalu memimpin doa dan makan pun dimulai."Kamu lagi-lagi telat." Louis terkikik sambil menyantap daging itu dengan lahap.Aku menunduk, mengamati daging yang disajikan setiap saat ini. Bukankah janggal jika kita harus makan jenis makanan yang sama setiap sa
"Kamu belum pantas untuk membawanya." Suara Bibi terdengar, meski dunia di sekitarku masih begitu gelap. Mataku terpejam, sementara badan terasa hangat karena diselimuti. Kutebak, mereka sebenarnya berdiri tidak jauh dari posisiku berbaring."Dia tanggungjawabku, aku yang melindunginya selama ini," balas seorang pria. Dia memiliki logat yang aneh, seakan berusaha menyesuaikan kalimat yang biasa diucapkan oleh Bibi. Sedikit mirip dengan suara Nemesis, meski di sisi lain juga terdengar sedikit keras seakan ingin lawan bicara tahu betapa seriusnya dia. Itulah suara yang kudengar beberapa saat sebelum kegelapan menyambut pandanganku."Kamu mungkin sudah membuktikannya, tapi aku rasa kamu masih belum pantas," sahut Bibi. "Datanglah kemari setelah aku yakin.""Mau sampai kapan kau tahan dia dariku?" balas si pria, sedikit lebih keras dari sebelumnya, dapat kurasakan gejolak amarah darinya. "Aku sudah membantumu, aku menjamin keselamatan anak-anak di sini, terutama Levi. Kau masih bilang it
Aku menjenguk beberapa anak panti yang bermain bersama kami kemarin itu. Sebagian dari mereka sudah tampak ceria kembali, walau sebagian lain tetap murung akibat mendengar kabar duka tentang Louis."Kemarin Rama, sekarang Louis." Salah satu anak bicara dengan gemetar. "Besoknya siapa?" Anak perempuan itu menunduk sambil menutupi mata dengan tangan. Rambut dia terurai hingga menutupi sebagian wajahnya yang tertunduk. Aku ingat, dia sekamar dengan Louis, Yeva setahuku. Aku jarang bicara dengannya dan kini gadis itu sedang berada tepat di depan, gemetar sambil meratapi nasib. "Padahal kita tadi hanya bermain." Dia terisak. "Kenapa dunia begitu menakutkan?""Sudah, jangan takut." Dani menepuk pelan bahu anak perempuan itu. "Kita sudah aman sekarang.""Tapi, nanti mereka akan datang dan memangsa kita!" Anak itu kembali menangis.Aku yakin yang dia maksud sebagai "mereka" itu adalah para pemburu iblis tadi. Tapi, bukannya yang menyerang kami itu juga vampir?"Kita selalu aman di panti ini,"
Malam itu aku bermimpi aneh. Aku melihat sekeliling diisi kegelapan, hanya cahaya dari kalungku yang menerangi meski tidak begitu membantu lantaran pandanganku masih tertutupi kegelapan seperti orang yang sedang tidur. Sayup-sayup, terdengar suara asing dari kejauhan. Seperti kumpulan orang dalam satu ruang yang sedang berdiskusi."Wah, akhirnya datang juga." Kudengar suara pria asing dari kejauhan. Tidak ada wujud, hanya suara dari mereka yang saling membalas."Kalian masih hidup rupanya." Kudengar suara seorang pria. Dia terdengar sinis alih-alih senang karena mungkin saja ini pertemuan bersama teman-temannya."Tidak usah sinis begitu, sudah berapa dekade kita tidak berkumpul di sini?" Terdengar suara Nemesis menyahut.Berapa dekade? Tunggu, mereka bicara tentang apa? Bagaimana bisa mereka saling menyahut meski tidak jelas wujudnya? Aku melihat sekelilingku sekali lagi, tapi tidak ada yang terlihat. Hanya suara mereka dihiasi sinar kalungku yang berpendar lebih terang dari biasanya.
Pandanganku yang buram perlahan memperlihatkan suasana di sekitar, tercium bau anyir menyengat membuat seisi perut terasa ingin keluar. Namun, aku tetap mencoba bangkit, menjauh dari apa pun yang mungkin masih menghadangku.Begitu pandangan semakin jelas, semua anak panti telah terbaring di depanku, tenggelam dalam lautan darah. Tiada satu pun bergerak, bahkan saat aku mencoba menepuk pelan tangan salah satu dari mereka, berharap paling tidak ada satu di antaranya yang menyahut. Namun, hanya keheningan menyambut, menyisakan aku terpaku di tengah anak-anak panti.Mata mereka terbuka, menatapku dengan pandangan kosong seakan menyampaikan kata yang hanya bisa dipahami hati. Kulihat rasa takut menyelimuti jasad mereka sebelum jiwanya direnggut. Pandangan mata yang dipenuhi semangat hidup kini menyisakan ketakutan yang membekas, membuatku bergidik membayangkan apa gerangan yang dilihatnya sebelum maut menjemput. Anak-anak yang dulunya berharap akan tumbuh besar dengan aman di panti kini–T
« Farees Suryanta » "Di mana Azeeza?" Pria itu bertanya. Entah kenapa posisiku saat ini justru tengah memeluk pinggangnya. Dapat kulihat sekilas wajahnya meski sangat samar. Dia memiliki rambut seperti perpaduan jingga dan merah jambu pendek. Secara fisik, tentu saja, dia jauh lebih tinggi dariku. Pria itu bertanya pada seseorang, tapi aku tidak melihat siapa mengingat pandanganku saat ini hanya fokus ke lantai putih berlapis sesuatu yang lembut layaknya kapas."Mohon maaf, Yang Mulia. Dia sepertinya sedang sibuk bersama el-Khalifa," balas orang itu. El-Khalifa ... Sepertinya aku kenal nama itu. Oh, si naga?Aneh, semua terasa seperti di dunia lain yang telah lama tak dijumpa, layaknya menemukan kepingan dalam masa lalu yang telah terkubur. Aku ingin menyentuh diri sendiri, memastikan kalau kesadaranku telah penuh pada situasi ini. Namun, mataku hanya menangkap diriku berdiri diam di sisi pria tadi."Begitu?" sahut pria yang kuyakini sebagai seorang raja, dilihat dari pakaiannya yang
Dia menjawab tanpa mengalihkan pandangan dariku. Namun, tidak ada lanjutan dari ucapannya tadi. Kukira dia akan bertanya dari mana aku mengenalnya. Namun, mengingat beberapa ucapan dari Bibi membuatku yakin kalau pria ini sudah mengenalku lebih awal.Aku kembali bicara. "Bibi memberitahuku, katanya kalian berteman.""Teman katanya?" Pria itu mengerutkan kening, suaranya terdengar tersinggung. "Begitu katanya?"Aku jelas heran. "Bukannya kalian sudah lama berteman?"Pria itu diam untuk beberapa saat. Dia tampak berusaha menyusun kalimat yang tepat untuk menjawab.Tidak mau suasana menjadi semakin canggung, aku bertanya. "Aku ... Aku Remi.""Itu namamu sekarang?" Balasannya membuatku bingung. Namun, aku langsung ingat jika dulu namaku pasti berbeda saat masih menjadi pangeran di Shan.Aku mengiakan. Kuulangi pertanyaan pertama. "Namamu? Maksudku, nama panggilan?" Rasanya canggung jika aku panggil Guardian-ku dengan nama marga. Walaupun sesama Guardian melakukannya.Pria itu menjawab, ta