Pandanganku yang buram perlahan memperlihatkan suasana di sekitar, tercium bau anyir menyengat membuat seisi perut terasa ingin keluar. Namun, aku tetap mencoba bangkit, menjauh dari apa pun yang mungkin masih menghadangku.Begitu pandangan semakin jelas, semua anak panti telah terbaring di depanku, tenggelam dalam lautan darah. Tiada satu pun bergerak, bahkan saat aku mencoba menepuk pelan tangan salah satu dari mereka, berharap paling tidak ada satu di antaranya yang menyahut. Namun, hanya keheningan menyambut, menyisakan aku terpaku di tengah anak-anak panti.Mata mereka terbuka, menatapku dengan pandangan kosong seakan menyampaikan kata yang hanya bisa dipahami hati. Kulihat rasa takut menyelimuti jasad mereka sebelum jiwanya direnggut. Pandangan mata yang dipenuhi semangat hidup kini menyisakan ketakutan yang membekas, membuatku bergidik membayangkan apa gerangan yang dilihatnya sebelum maut menjemput. Anak-anak yang dulunya berharap akan tumbuh besar dengan aman di panti kini–T
« Farees Suryanta » "Di mana Azeeza?" Pria itu bertanya. Entah kenapa posisiku saat ini justru tengah memeluk pinggangnya. Dapat kulihat sekilas wajahnya meski sangat samar. Dia memiliki rambut seperti perpaduan jingga dan merah jambu pendek. Secara fisik, tentu saja, dia jauh lebih tinggi dariku. Pria itu bertanya pada seseorang, tapi aku tidak melihat siapa mengingat pandanganku saat ini hanya fokus ke lantai putih berlapis sesuatu yang lembut layaknya kapas."Mohon maaf, Yang Mulia. Dia sepertinya sedang sibuk bersama el-Khalifa," balas orang itu. El-Khalifa ... Sepertinya aku kenal nama itu. Oh, si naga?Aneh, semua terasa seperti di dunia lain yang telah lama tak dijumpa, layaknya menemukan kepingan dalam masa lalu yang telah terkubur. Aku ingin menyentuh diri sendiri, memastikan kalau kesadaranku telah penuh pada situasi ini. Namun, mataku hanya menangkap diriku berdiri diam di sisi pria tadi."Begitu?" sahut pria yang kuyakini sebagai seorang raja, dilihat dari pakaiannya yang
Dia menjawab tanpa mengalihkan pandangan dariku. Namun, tidak ada lanjutan dari ucapannya tadi. Kukira dia akan bertanya dari mana aku mengenalnya. Namun, mengingat beberapa ucapan dari Bibi membuatku yakin kalau pria ini sudah mengenalku lebih awal.Aku kembali bicara. "Bibi memberitahuku, katanya kalian berteman.""Teman katanya?" Pria itu mengerutkan kening, suaranya terdengar tersinggung. "Begitu katanya?"Aku jelas heran. "Bukannya kalian sudah lama berteman?"Pria itu diam untuk beberapa saat. Dia tampak berusaha menyusun kalimat yang tepat untuk menjawab.Tidak mau suasana menjadi semakin canggung, aku bertanya. "Aku ... Aku Remi.""Itu namamu sekarang?" Balasannya membuatku bingung. Namun, aku langsung ingat jika dulu namaku pasti berbeda saat masih menjadi pangeran di Shan.Aku mengiakan. Kuulangi pertanyaan pertama. "Namamu? Maksudku, nama panggilan?" Rasanya canggung jika aku panggil Guardian-ku dengan nama marga. Walaupun sesama Guardian melakukannya.Pria itu menjawab, ta
"Pangeran, makanlah." Setelah beberapa saat, dia akhirnya bicara dengan lebih bernada. Logatnya memang membuat setiap ucapan yang dia lontarkan terdengar sedikit kaku dan aneh, tapi aku maklumi karena dia mungkin kesulitan merangkai kalimat yang bisa kupahami.Aku mengambil sepotong roti dan mengunyahnya, rasanya manis. Sementara mataku melirik ke arah dia yang duduk diam menghadapku. Tanpa mengalihkan pandangan, terus saja fokus kepadaku. Mungkin dia berniat menjagaku, walau terlihat canggung.Aku pun melanjutkan makan lantaran sudah lapar. Pada akhirnya aku bisa menikmati santapanku tanpa ragu. Selama beberapa hari ini aku hanya makan daging yang tidak jelas asal-usulnya. Begitu selesai menghabiskan roti itu, kuteguk teh yang dia jamukan. Meski tidak semanis yang kukira, tetap dihabiskan.Seusai itu, aku menatapnya sambil tersenyum. "Terima kasih.""Sama-sama," jawabnya kaku.Tidak mau suasana jadi canggung, aku bertanya. "Aku dari Ezilis Utara. Kalau Robert dari mana?"Dia memandan
Tempat ini tidak tampak begitu megah tapi cukup luas, orang-orang di dalam yang saling mengobrol cukup menghidupkan suasana. Aku duduk di dalam baris pembatas antara pembeli dan penjual, menyaksikan Robert melayani para pelanggan. Dia tidak menyuruhku melakukan apa pun, jadi aku memilih diam dan mencoba untuk tidak berbuat masalah.Robert sibuk melayani pelanggannya. Tidak banyak bicara, hanya mengiakan apa yang mereka pesan dan membuatnya. Aku bahkan sampai sedikit lupa apa saja yang pernah dia ucapkan dalam waktu senggang ini. Namun, ini bukan suatu masalah, aku hanya duduk diam dan mengamati.Tempat ini aku sebut sebagai "Tempat Minum" karena memang tidak tersedia makanan dalam menu, seakan memang tempat ini dirancang untuk minum saja. Pelanggan pun ke sini hanya mampir sekadar mengganjal perut sambil mengobrol bersama. Aku dengarkan sebagian, tapi tidak ada yang benar-benar penting, entah sekadar basa-basi membahas kabar kondisi kota sekarang atau soal cuaca pagi ini.Aku menengok
Alexei DurovPanti GravesNama yang tertera di bawah seragam putih itu entah mengapa tidaklah asing, sepertinya aku pernah mendengar nama itu. Aku ingat, itu nama yang pernah Bibi ucapkan kepada seseorang. Bukankah itu ... Itu nama orang yang Bibi kenal dan percayai. Anak-anak panti juga mengenalnya sebagai "Paman." Berarti ini baju salah satu pengurus panti. Kenapa bisa sampai ke rumah Robert? Aku amati lebih dekat baju itu. Tampaknya Robert telah merawatnya dengan baik. Masih rapi dan bahkan wangi seakan baru saja dibeli. Mengapa dia menyimpan baju ini?Dari satu nama dan tempat yang tertulis, aku menebak itu nama pengurus selain Bibi di Panti Graves, tempat yang menampungku untuk sementara waktu. Berarti Alexei ini orang yang mungkin sudah lama bekerja di sana hingga disediakan baju untuknya. Namun, ukurannya kecil seperti ukuran baju anak-anak sebayaku. Mungkin saja dia menyimpan baju masa kecilnya sebagai hiasan. Lantas kenapa ada di rumah Robert? Tidak mungkin dia asal menyimpan
Robert membawaku ke tengah kota, letaknya tidak jauh dari tempat dia bekerja. Di situlah banyak kereta kuda tersedia. Di antara mereka ada satu yang langsung mendekat seakan mengenali Robert.Robert menyuruhku masuk terlebih dahulu, sementara dia mengobrol sebentar dengan kusir sebelum duduk di sisiku. "Setidaknya mereka menyediakan fasilitas," komentarnya entah bicara padaku atau bicara sendiri. Nadanya terkesan ketus alih-alih lega, barangkali ini tidak sesuai harapannya, entah apa itu. Melihatnya begitu membuat aku enggan bertanya lebih lanjut.Guna menghabiskan waktu tanpa merasa canggung, aku putuskan untuk mengamati pemandangan kota saat kereta melaju. Tidak beda jauh dibandingkan Ezilis, sementara penampilan warga di sana juga sama, rata-rata memiliki kulit putih walau sedikit kemerahan. Mataku melirik ke arah Robert, kulihat dia juga sibuk mengamati sepertiku. Kucoba membandingkan rupa dia dengan warga di kota.Robert tidak jauh berbeda dari warga sekitar. Memang hampir semua
"Jika kau mau ikut, sebaiknya tutupi hidungmu." Robert menyarankan saat sang tuan rumah menawarkan diri untuk memandu jalan.Pria itu tidak tampak keberatan, harusnya dia sudah menebak karena sedari awal kami tampak memakai pelindung hidung, membuat kami tampak asing di antara warga. Namun, setidaknya mereka mengenal ciri Robert. Tentu saja ketika masuk ke rumah pria itu, kami segera melepasnya dan akan memasangnya kembali saat keluar.Pria itu kembali dengan mengenakan selembar kain melindungi sebagian wajahnya dan kami pun memulai misi. Dia berdiri depan pintu, memegang gagangnya. Tatapannya tertuju padaku. "Kamu yakin mau bawa putramu?" tanya pria itu."Dia tidak boleh jauh dariku," jawab Robert. "Dia juga cukup patuh, tidak sulit membawanya ke mana saja."Aku sedikit tersanjung mendengarnya."Ya, sudah. Ikuti kami, aku yakin makhluk itu masih di sana." Pria itu mulai membuka pintu, memperlihatkan suasana desa yang masih hening. "Aku tahu, dia begitu berat dan gemuk, kurasa akan se
Kedatangannya Elya tidak kusangka akan sepagi ini. Aku ingat kebiasaan Robert yang bangun lebih awal, barangkali mereka biasa berjanji bertemu sepagi ini. Namun, pagi ini kulihat Robert tampak mengantuk. Saat aku dititipkan di Kapel, tidak kutanyakan langsung saat itu apa yang dia kerjakan di luar sana. Sepertinya melelahkan.“Dia sedang tidur,” jawabku, tidak ada niat membangunkan Robert. Namun, aku rasa Elya bisa menunggu. Toh, gadis itu tahu pasti jadwal kerja Robert, dia biasanya juga tidak akan lama beristirahat setelah terbangun sejenak tadi. Baru hendak kutawari untuk masuk, Elya serahkan tas kecil yang melingkari pinggangnya padaku. Dia melangkah mundur. “Baik, titip pesan padanya jika nanti malam aku akan ke sini lagi.” “Kamu tidak mau menunggu?” Aku bertanya. Ingin rasanya tahu apa yang mereka berdua lakukan, kekuatan yang katanya “mengutak-atik bagian tubuh” masih tergiang dalam pikiranku. Apa gerangan yang Robert rencanakan? Apa ada kaitannya dengan cairan yang biasa dia
Membangun peradaban baru. Belum pernah terpikir jika para Guardian ingin mencapainya, tidak pula aku menduga. Kukira tujuan kami hanya bisa bertemu kembali, memulai hidup bersama seperti keluarga lainnya hingga kembali ke pelukan alam. Jika tidak akan terlahir kembali setelahnya.Elya memandangku, matanya terpaku, menunggu aku membalas, tapi aku tidak tahu jawabannya. Jika saja seorang Guardian di sini, dia pasti bisa menjawab.“Ah, Elya.” Suara tak terduga dari Frederic menyelamatkanku dari pertanyaan tadi. “Sudah lama tidak ke sini. Di mana keluargamu?”“Sedang jalan-jalan,” jawab Elya. “Kamu datang sedikit tepat waktu, aku dan Levi baru saja membahas soal kerajaan awan karena langit-langit ini.”Frederic melayangkan pandangannya pada lukisan itu. “Benarkah? Kami memilih awan karena itu mengingatkan kami akan kehidupan setelah ini,” komentarnya. “Kamu ingat sesuatu?”“Ya, Abi pernah membahas soal kerajaan di atas awan dan mengaku ingin kembali ke sana.” Elya menatapku. “Sayng sekali
Ucapan gadis itu membuatku diam. Memang para Guardian telah menjagaku dari segala bahaya. Namun, aku dan mungkin juga kakakku, Kyara, tidak tahu mengapa kami dijaga selain karena kami pewaris takhta Kerajaan Shan selama ini. Tidak seperti mereka, kami tidak ingat apa pun, hanya ikut alur yang para Guardian tuntun untuk kami.Tidak disangka ada lagi seseorang di taman. Dia berdiri di bawah naungan pohon yang jadi pusat taman, tepatnya berseberangan denganku. Rambutnya biru dengan garis-garis hitam menghiasi beberapa helai, sementara iris mata hitam, kulitnya pun sepucat anak-anak panti. Ciri-ciri anak panti yang sangat pucat membuatku ragu pada asal usul mereka. Orang Danbia memiliki kulit putih sedikit kemerahan, tak terkecuali Robert. Sementara orang Ezilis juga putih, tapi tidak sampai tampak janggal seperti anak-anak panti itu. Namun, aku belum pernah melihat gadis itu di panti dan dia tidak juga terlihat seperti orang-orang dari negeri yang kutahu.Tanganku terangkat perlahan mesk
"Pergi saja ke Kapel. Kau tidak boleh keluar dari sana sampai aku jemput." Hanya itu ucapan Robert yang aku ingat begitu waktu sekolah berakhir. Alih-alih berdiri depan sekolah bersama teman sebaya menunggu dijemput, aku langsung melangkah menuju tempat yang dia maksud. Lokasi Kapel memang tidak jauh, hanya sekitar satu jalan dari sekolahku dan itu masih berada di antara jalanan umum. Barangkali karena ini Robert membiarkanku berjalan seorang diri. Meski beberapa kesempatan–seperti Guardian lainnya–dia tidak ingin aku menjauh darinya, untuk kali ini dia mempercayakan seseorang untuk menjagaku. Kalung ini bersinar saat berada di dekat pria itu, dia pun tahu aku tanggungjawabnya. Aku teruskan langkah dengan boneka kelinci berian Arsene, untungnya tidak ada teman sekelas yang mengambilnya. Dia bisa menemaniku jika suasana Kapel ternyata begitu sunyi.Keadaan Kapel, seperti biasanya, tidak begitu ramai. Lebih terlihat beberapa orang lewat dengan pakaian yang sama seperti Frederic kenakan
"Apa?" Aku tentu heran mendengarnya. Waktu itu juga belum paham maksud dari kata "pemusnah massal" itu sendiri. Aku mulai berpikir keras akan suatu hal yang belum kupahami. Spontan saja kutanyakan persis seperti yang kupikirkan. "Pemusnah apa? Apa itu 'massal'?""Ah, lupakan, aku hanya bergurau," Ekspresi muka Robert tidak menunjukkan apa pun yang membuatnya tampak sedang bercanda, dia terlihat serius seperti biasa."Tapi, apa itu 'massal'?" Aku bersikeras ingin tahu, hati berdebar menerka maksud yang kucari.Robert berdecak pelan. "Dalam jumlah yang banyak."Aku terdiam. Kata "senjata pemusnah massal" berarti senjata yang dapat menghancurkan sesuatu dalam jumlah yang banyak. Jantungku terasa berhenti berdetak untuk sesaat. Kalimat yang baru kupelajari tadi terdengar menakutkan. "Kenapa Robert bilang begitu?" Aku protes, tidak menutupi kalau pelindungku ini memberi kesan seram sejak awal.Robert menghela napas, menggeleng pelan. "Tidak ada."Kali ini, aku mendadak jadi penasaran. Tida
"Ya, bilang saja begitu, mentang-mentang belum ada yang terbunuh." Robert mengucapkannya dengan nada mengejek. Entah mengapa tutur kata lembut dari temannya tidak mempengaruhi reaksinya. "Thomson." Dia sebut nama temannya itu dengan lembut, meski dapat kurasakan tekanan dari suaranya, tanda teguran halus. "Frederic." Robert sebut namanya seperti mendesis, menyebut nama dari temannya sekaligus membalas ucapannya barusan. Pria di depanku, yang kini akan kusebut sebagai Frederic, mempertahankan intonasi suara lembutnya. "Aku juga bertanggung jawab atas nyawanya. Percayalah, dia tidak akan menginjakkan kaki di sini." Di balik suaranya yang tenang, sorot matanya kian tajam, terus memandang ke arah Robert. Suasana kian canggung bagiku, terlebih melihat dua orang dewasa–pelindungku sendiri, kini tengah berada dalam perdebatan. Tampaknya tidak ada salah satu yang ingin mengalah, meski ada perbedaan dari cara menuturkan kata, tapi dapat kutebak masing-masing tetap ingin mempertahankan ke
Barangkali ini kebiasaan yang aku terapkan pada setiap Guardian, saat kami melangkah bersama, kupastikan kami selalu berdampingan. Namun, karena tubuh mereka lebih besar dariku, aku merasa lebih aman bernaung di bawah bayangan mereka. Seperti itulah yang aku lakukan bersama Robert saat ini. Tangan para Guardian selalu begitu besar dibandingkan punyaku, sehingga ketika bergandengan semua jariku tetap tidak sanggup meraih seluruh tangan mereka. Selagi melangkah, pandangan Robert lurus ke depan, sesekali pandangan kami bertemu tanpa reaksi, memastikan tidak terpisah barang sesaat.Langkah kami tertuju pada kapel, tempat yang bernuansa paling tenang di kota Anamsel sejauh ini, walau hanya sedikit tempat yang aku kunjungi di kota. Jumlah orang yang keluar masuk dari kapel masih terbilang sedikit, menambah kesan keheningan yang mendukung aura ketenangan yang dipancarkan. Para petugasnya ramah, apalagi mereka yang sering menerima barang berian dari Robert tadi, semua mengenakan pakaian biru
Malam itu terasa berbeda lantaran aku kini berbaring di kasur dengan Robert di sisiku. Cahaya remang dalam kamar membuat suasana hening terasa damai, meski di saat yang sama diliputi hawa dingin menusuk hingga ke tulang, membuatku menenggelamkan diri dalam selimut selagi memandang pelindungku yang entah mengapa memilih untuk membaringkan badan di atas selimut. Robert memandang langit-langit, mata cokelatnya bergerak mengamati sekeliling kamar, tenggelam dalam pikiran sejenak sebelum akhirnya bersuara."Hal pertama yang kuingat di Shan itu, saat itu aku menghadap Raja sebagai hadiah dari sang Ratu." Robert memulai ceritanya, pandangannya masih fokus memandang langit-langit. Cahaya lampu tidur yang menjadi satu-satunya penerang memantul di matanya.Tanganku masih menggenggam erat selimut, menyimak ucapannya. "Hadiah?" Terkesan aneh karena yang kutahu, hadiah itu biasa berwujud benda mati.Robert mengiakan, masih terus memandang ke atas. "Sang Ratu memberi Raja hadiah berupa aku, dengan
Bunyi keras kembali menyentak keheningan. Bersamaan dengan lantai kayu yang menampar wajahku saat kehilangan keseimbangan. Langsung saja aku terduduk, menatap sosok yang baru saja membuatku jatuh.Tangan besar itu meraih rambutku. Aku menjerit ketika terseret lagi. Sesuatu hendak memangsaku di hari pertama musim dingin ini. Aku menendang-nendang tanah, berupaya melawan meski tiada hasil.Terdengar bunyi daging terpotong, refleks membuatku terpaku, mengira serangan itu tertuju padaku. Tangan yang mencengkeram kepalaku mulai melemah. Aku terjatuh ke lantai, begitu kaki menyentuh lantai, segera aku merangkak menjauh."Pangeran!" Di saat itu juga tubuhku terasa terangkat. Tercium bau khas yang kukenal. Kumpulan aroma wangi yang berasal dari minuman maupun racikan yang selama ini menghias rumah baruku. Dia berdiri di depan, kedua tangan terulur siap meraihku. Segera aku mendekapnya agar tidak terjatuh. Jelas sudah siapa itu, dia pasti langsung keluar begitu melihat bayangan makhluk tadi.