Dia menjawab tanpa mengalihkan pandangan dariku. Namun, tidak ada lanjutan dari ucapannya tadi. Kukira dia akan bertanya dari mana aku mengenalnya. Namun, mengingat beberapa ucapan dari Bibi membuatku yakin kalau pria ini sudah mengenalku lebih awal.Aku kembali bicara. "Bibi memberitahuku, katanya kalian berteman.""Teman katanya?" Pria itu mengerutkan kening, suaranya terdengar tersinggung. "Begitu katanya?"Aku jelas heran. "Bukannya kalian sudah lama berteman?"Pria itu diam untuk beberapa saat. Dia tampak berusaha menyusun kalimat yang tepat untuk menjawab.Tidak mau suasana menjadi semakin canggung, aku bertanya. "Aku ... Aku Remi.""Itu namamu sekarang?" Balasannya membuatku bingung. Namun, aku langsung ingat jika dulu namaku pasti berbeda saat masih menjadi pangeran di Shan.Aku mengiakan. Kuulangi pertanyaan pertama. "Namamu? Maksudku, nama panggilan?" Rasanya canggung jika aku panggil Guardian-ku dengan nama marga. Walaupun sesama Guardian melakukannya.Pria itu menjawab, ta
"Pangeran, makanlah." Setelah beberapa saat, dia akhirnya bicara dengan lebih bernada. Logatnya memang membuat setiap ucapan yang dia lontarkan terdengar sedikit kaku dan aneh, tapi aku maklumi karena dia mungkin kesulitan merangkai kalimat yang bisa kupahami.Aku mengambil sepotong roti dan mengunyahnya, rasanya manis. Sementara mataku melirik ke arah dia yang duduk diam menghadapku. Tanpa mengalihkan pandangan, terus saja fokus kepadaku. Mungkin dia berniat menjagaku, walau terlihat canggung.Aku pun melanjutkan makan lantaran sudah lapar. Pada akhirnya aku bisa menikmati santapanku tanpa ragu. Selama beberapa hari ini aku hanya makan daging yang tidak jelas asal-usulnya. Begitu selesai menghabiskan roti itu, kuteguk teh yang dia jamukan. Meski tidak semanis yang kukira, tetap dihabiskan.Seusai itu, aku menatapnya sambil tersenyum. "Terima kasih.""Sama-sama," jawabnya kaku.Tidak mau suasana jadi canggung, aku bertanya. "Aku dari Ezilis Utara. Kalau Robert dari mana?"Dia memandan
Tempat ini tidak tampak begitu megah tapi cukup luas, orang-orang di dalam yang saling mengobrol cukup menghidupkan suasana. Aku duduk di dalam baris pembatas antara pembeli dan penjual, menyaksikan Robert melayani para pelanggan. Dia tidak menyuruhku melakukan apa pun, jadi aku memilih diam dan mencoba untuk tidak berbuat masalah.Robert sibuk melayani pelanggannya. Tidak banyak bicara, hanya mengiakan apa yang mereka pesan dan membuatnya. Aku bahkan sampai sedikit lupa apa saja yang pernah dia ucapkan dalam waktu senggang ini. Namun, ini bukan suatu masalah, aku hanya duduk diam dan mengamati.Tempat ini aku sebut sebagai "Tempat Minum" karena memang tidak tersedia makanan dalam menu, seakan memang tempat ini dirancang untuk minum saja. Pelanggan pun ke sini hanya mampir sekadar mengganjal perut sambil mengobrol bersama. Aku dengarkan sebagian, tapi tidak ada yang benar-benar penting, entah sekadar basa-basi membahas kabar kondisi kota sekarang atau soal cuaca pagi ini.Aku menengok
Alexei DurovPanti GravesNama yang tertera di bawah seragam putih itu entah mengapa tidaklah asing, sepertinya aku pernah mendengar nama itu. Aku ingat, itu nama yang pernah Bibi ucapkan kepada seseorang. Bukankah itu ... Itu nama orang yang Bibi kenal dan percayai. Anak-anak panti juga mengenalnya sebagai "Paman." Berarti ini baju salah satu pengurus panti. Kenapa bisa sampai ke rumah Robert? Aku amati lebih dekat baju itu. Tampaknya Robert telah merawatnya dengan baik. Masih rapi dan bahkan wangi seakan baru saja dibeli. Mengapa dia menyimpan baju ini?Dari satu nama dan tempat yang tertulis, aku menebak itu nama pengurus selain Bibi di Panti Graves, tempat yang menampungku untuk sementara waktu. Berarti Alexei ini orang yang mungkin sudah lama bekerja di sana hingga disediakan baju untuknya. Namun, ukurannya kecil seperti ukuran baju anak-anak sebayaku. Mungkin saja dia menyimpan baju masa kecilnya sebagai hiasan. Lantas kenapa ada di rumah Robert? Tidak mungkin dia asal menyimpan
Robert membawaku ke tengah kota, letaknya tidak jauh dari tempat dia bekerja. Di situlah banyak kereta kuda tersedia. Di antara mereka ada satu yang langsung mendekat seakan mengenali Robert.Robert menyuruhku masuk terlebih dahulu, sementara dia mengobrol sebentar dengan kusir sebelum duduk di sisiku. "Setidaknya mereka menyediakan fasilitas," komentarnya entah bicara padaku atau bicara sendiri. Nadanya terkesan ketus alih-alih lega, barangkali ini tidak sesuai harapannya, entah apa itu. Melihatnya begitu membuat aku enggan bertanya lebih lanjut.Guna menghabiskan waktu tanpa merasa canggung, aku putuskan untuk mengamati pemandangan kota saat kereta melaju. Tidak beda jauh dibandingkan Ezilis, sementara penampilan warga di sana juga sama, rata-rata memiliki kulit putih walau sedikit kemerahan. Mataku melirik ke arah Robert, kulihat dia juga sibuk mengamati sepertiku. Kucoba membandingkan rupa dia dengan warga di kota.Robert tidak jauh berbeda dari warga sekitar. Memang hampir semua
"Jika kau mau ikut, sebaiknya tutupi hidungmu." Robert menyarankan saat sang tuan rumah menawarkan diri untuk memandu jalan.Pria itu tidak tampak keberatan, harusnya dia sudah menebak karena sedari awal kami tampak memakai pelindung hidung, membuat kami tampak asing di antara warga. Namun, setidaknya mereka mengenal ciri Robert. Tentu saja ketika masuk ke rumah pria itu, kami segera melepasnya dan akan memasangnya kembali saat keluar.Pria itu kembali dengan mengenakan selembar kain melindungi sebagian wajahnya dan kami pun memulai misi. Dia berdiri depan pintu, memegang gagangnya. Tatapannya tertuju padaku. "Kamu yakin mau bawa putramu?" tanya pria itu."Dia tidak boleh jauh dariku," jawab Robert. "Dia juga cukup patuh, tidak sulit membawanya ke mana saja."Aku sedikit tersanjung mendengarnya."Ya, sudah. Ikuti kami, aku yakin makhluk itu masih di sana." Pria itu mulai membuka pintu, memperlihatkan suasana desa yang masih hening. "Aku tahu, dia begitu berat dan gemuk, kurasa akan se
Entah itu nyata atau hanya mimpi, semua itu tetap membuat badanku gemetar. Mata merahnya seakan mengunciku agar tidak bergerak. Semakin dekat, matanya terus tertuju padaku. Dia melaju, tanduknya menusuk hingga menembus pintu, mendorongnya hingga terlepas.Aku jatuh dalam kegelapan. Di saat tubuhku menabrak lantai kayu, aku segera merangkak menjauh. Mendorong diri agar segera menjauh sebisanya.Makhluk itu mendengus. Bau busuk memenuhi ruangan, membuatku mual. Kukunya telah menghancurkan lantai, menciptakan gentaran keras hingga menahanku merangkak lebih jauh. Dia mulai mengendus-endus, semakin dekat ke arahku. Tubuhnya yang berat ditambah kepala yang selalu menghadap ke bawah membuat makhluk itu tampak sedikit kesulitan mencariku. Hanya karena kebetulan dia melihat alu dari jauh melalui jendela, langsung saja masuk dan tidak mengira mangsanya bisa sekecil itu.Aku berusaha agar tidak terlihat. Merangkak pelan selagi dia menyisir seisi ruangan. Untungnya kerbau itu belum menemukanku. N
Seminggu berlalu, aku mulai terbiasa hidup bersama Robert, bahkan mulai hafal dengan kegiatan rutin yang dia lakukan. Pagi hari, dia akan sarapan sedikit lalu pergi bekerja di tempat minum, sementara aku hanya duduk diam menunggu di belakang mengamati segala kegiatan yang dia lakukan. Siang itu waktu istirahat, kami pulang sebentar dan kembali pada waktu menuju sore, ketika semua orang mulai istirahat. Saat matahari mulai terbenam, kami pada akhirnya pulang dan mengerjakan sesuatu di rumah, entah itu minuman atau racikan baru yang tidak boleh kucicipi. Malamnya, semua orang pergi tidur dan siklus terulang kembali ketika matahari terbit.Begitulah kegiatan Robert selama ini. Walau sesekali diselingi dengan waktu dia saling berbalas surat kepada Guardian lain. Namun, aku jarang bertanya dan hanya mendengar sedikit kabar apa adanya. Waktu itu, aku begitu polos dan tidak memiliki rasa penasaran yang tinggi. Jarang pula Robert membahas isi pesan yang dia terima, jadinya semakin misterius ke