"Mika!" Terdengar seruan Bapak. "Bantu aku membersihkan ini!"
Aku hendak menyela kalau itu bisa jadi tugas Raka, namun kulihat saudaraku sedang sibuk menyapu lantai. Mau tidak mau, aku turuti kehendaknya.Selagi mencuci piring, kuperhatikan Bapak yang sibuk dengan gelas dan minuman. Melihat tangannya yang agak kekar membuktikan bagaimana dia berhasil membunuh gadis itu hanya dengan sekali langkah.Ya, sekali.Tepat ketika mengucapkan "dengan senang hati" dia melesat dan berhasil menikam gadis itu hingga roboh.Aku tidak percaya, dia dengan mudah membunuh seseorang yang dianggap sebagai penyelamat bagi sebagian orang. Namun, tentu wajar bagiku jika Bapak memilih menghabisinya. Dia barangkali takut kalau kami bakal diserang ketika mulai berbaur dengan masyarakat akibat satu saksi.Begitu selesai menghabisi gadis itu, Bapak menyeret mayatnya. Di balik kain pelindung, kulihat dia melempar mayat gadis itu ke jurang layakny« ??? » "Tolong! Iblis!" Jeritan seorang wanita menggemparkan seisi desa lantaran saudaranya telah berubah menjadi iblis setelah berburu. Seorang pria dengan tatapan liar dengan taring tajam siap memangsa. Cakarnya hendak mencengkeram leher wanita yang berlari di depannya. "Akh!" Wanita itu tumbang. Iblis telah mengisap darahnya. Geligi itu perlahan menggerogoti seluruh bahu wanita malang itu. Mangsanya menjerit dengan sia-sia. Perlahan, suaranya semakin serak hingga akhirnya hening. Wanita itu tewas dengan mata terbalak merasakan dirinya dimangsa hidup-hidup. Syaaat! Iblis telah tumbang. Sebuah tombak menancap di kepalanya. Sosok wanita berdiri memandangi tragedi di depannya. Dia terlambat. Wanita itu menatap korban dengan tatapan prihatin. Namun, segera setelahnya, dia tancapkan pedang ke kening sang mayat hingga remuk kepalanya demi mencegah perubahan. "Pemburu
Pada zaman dahulu kala, terdapat sebuah kerajaan yang berdiri kokoh di atas langit. Di negeri yang indah itu, hiduplah sang Putri dan Pangeran. Mereka ditakdirkan untuk menjaga kerajaan bersama.Di sisi mereka berdiri para pelindung, mereka itu para Penjaga–Guardian. Bersama mereka memerintah kerajaan itu.Seseorang pernah meramalkan, jika keberuntungan akan memihak mereka. Kalau suatu saat negeri itu akan berjaya.Namun, takdir berkata lain. Seseorang telah merusak kebahagiaan mereka.Runtuhlah negeri itu, menyisakan jiwa-jiwa yang tidak tenang. Mereka menuntut balas dendam.Jiwa-jiwa itu dilahirkan kembali. Namun, tidak semua lahir kembali membawa kisah yang telah lampau.Di antara kisah yang terkikis oleh zaman, tersimpan serangkaian kisah yang akan mengungkap segalanya.Dan kisah itu adalah ...Guardians of Shan 4 :Nawala
Aku yakin mimpiku pertanda awal dari kisah lama yang telah terkubur. Ketika mengingat lagi, terasa lebih menyakinkan dari sebelumnya. Walau sosok yang mendekapku itu belum jelas rupanya, tapi aku yakin dia pasti Guardian yang ingin menjemputku. Dalam mimpi, kalungku bersinar. Pada sisi lain aku merasa mimpi itu hanya wujud dari keinginanku untuk bertemu dengan para Guardian-ku setelah sekian lama terpisah. Ke mana mereka selama ini? Apa mereka akan kembali?"Levi?" Suara Bibi terdengar dari balik kamar. Tak lama, dia masuk setelah kuizinkan. "Tumben bangun lebih awal.""Sudah terbiasa." Aku tersenyum tipis. Sebenarnya, ini sungguh aneh. Bukan hal biasa bagiku bangun pada malam hari seperti anak panti lainnya.Semenjak aku menetap di panti, semakin aku berharap untuk segera diadopsi saat itu juga. Memang benar dulu aku dibesarkan di sebuah panti asuhan, tapi anak-anak di sana juga sepertiku. Mereka bangun di pagi hari lalu tidur pada malamnya. Makanan yang disajikan juga beragam setiap
"Levi, bangun!" Louis rupanya berdiri di sisi ranjangku sambil berusaha mengapai rambut cokelatku. "Ayo, waktunya makan!"Dengan tarikan pelan di rambut, Louis berhasil menyeretku ke ruang makan. Anak-anak panti sudah mulai duduk dan menunggu makanannya. Aku ingin menambahkan aturan tidak tertulis dalam panti ini. Jadi, ketika hendak makan, kami seharusnya menunggu hingga seluruh anggota dalam panti ini berkumpul. Kecuali bagi yang tidak sanggup makan, tentunya. Jelas saat ini mereka menunggu kehadiranku."Halo, Levi!" Sapaan dari Bibi membuatku sedikit terkejut. Aku tidak melihatnya tadi. "Ayo, makan!"Tanpa menunggu tanggapan dariku, Louis menyeretku ke dua kursi kosong yang pastinya disediakan untuk kami berdua. Tidak lama, Bibi lalu memimpin doa dan makan pun dimulai."Kamu lagi-lagi telat." Louis terkikik sambil menyantap daging itu dengan lahap.Aku menunduk, mengamati daging yang disajikan setiap saat ini. Bukankah janggal jika kita harus makan jenis makanan yang sama setiap sa
"Kamu belum pantas untuk membawanya." Suara Bibi terdengar, meski dunia di sekitarku masih begitu gelap. Mataku terpejam, sementara badan terasa hangat karena diselimuti. Kutebak, mereka sebenarnya berdiri tidak jauh dari posisiku berbaring."Dia tanggungjawabku, aku yang melindunginya selama ini," balas seorang pria. Dia memiliki logat yang aneh, seakan berusaha menyesuaikan kalimat yang biasa diucapkan oleh Bibi. Sedikit mirip dengan suara Nemesis, meski di sisi lain juga terdengar sedikit keras seakan ingin lawan bicara tahu betapa seriusnya dia. Itulah suara yang kudengar beberapa saat sebelum kegelapan menyambut pandanganku."Kamu mungkin sudah membuktikannya, tapi aku rasa kamu masih belum pantas," sahut Bibi. "Datanglah kemari setelah aku yakin.""Mau sampai kapan kau tahan dia dariku?" balas si pria, sedikit lebih keras dari sebelumnya, dapat kurasakan gejolak amarah darinya. "Aku sudah membantumu, aku menjamin keselamatan anak-anak di sini, terutama Levi. Kau masih bilang it
Aku menjenguk beberapa anak panti yang bermain bersama kami kemarin itu. Sebagian dari mereka sudah tampak ceria kembali, walau sebagian lain tetap murung akibat mendengar kabar duka tentang Louis."Kemarin Rama, sekarang Louis." Salah satu anak bicara dengan gemetar. "Besoknya siapa?" Anak perempuan itu menunduk sambil menutupi mata dengan tangan. Rambut dia terurai hingga menutupi sebagian wajahnya yang tertunduk. Aku ingat, dia sekamar dengan Louis, Yeva setahuku. Aku jarang bicara dengannya dan kini gadis itu sedang berada tepat di depan, gemetar sambil meratapi nasib. "Padahal kita tadi hanya bermain." Dia terisak. "Kenapa dunia begitu menakutkan?""Sudah, jangan takut." Dani menepuk pelan bahu anak perempuan itu. "Kita sudah aman sekarang.""Tapi, nanti mereka akan datang dan memangsa kita!" Anak itu kembali menangis.Aku yakin yang dia maksud sebagai "mereka" itu adalah para pemburu iblis tadi. Tapi, bukannya yang menyerang kami itu juga vampir?"Kita selalu aman di panti ini,"
Malam itu aku bermimpi aneh. Aku melihat sekeliling diisi kegelapan, hanya cahaya dari kalungku yang menerangi meski tidak begitu membantu lantaran pandanganku masih tertutupi kegelapan seperti orang yang sedang tidur. Sayup-sayup, terdengar suara asing dari kejauhan. Seperti kumpulan orang dalam satu ruang yang sedang berdiskusi."Wah, akhirnya datang juga." Kudengar suara pria asing dari kejauhan. Tidak ada wujud, hanya suara dari mereka yang saling membalas."Kalian masih hidup rupanya." Kudengar suara seorang pria. Dia terdengar sinis alih-alih senang karena mungkin saja ini pertemuan bersama teman-temannya."Tidak usah sinis begitu, sudah berapa dekade kita tidak berkumpul di sini?" Terdengar suara Nemesis menyahut.Berapa dekade? Tunggu, mereka bicara tentang apa? Bagaimana bisa mereka saling menyahut meski tidak jelas wujudnya? Aku melihat sekelilingku sekali lagi, tapi tidak ada yang terlihat. Hanya suara mereka dihiasi sinar kalungku yang berpendar lebih terang dari biasanya.
Pandanganku yang buram perlahan memperlihatkan suasana di sekitar, tercium bau anyir menyengat membuat seisi perut terasa ingin keluar. Namun, aku tetap mencoba bangkit, menjauh dari apa pun yang mungkin masih menghadangku.Begitu pandangan semakin jelas, semua anak panti telah terbaring di depanku, tenggelam dalam lautan darah. Tiada satu pun bergerak, bahkan saat aku mencoba menepuk pelan tangan salah satu dari mereka, berharap paling tidak ada satu di antaranya yang menyahut. Namun, hanya keheningan menyambut, menyisakan aku terpaku di tengah anak-anak panti.Mata mereka terbuka, menatapku dengan pandangan kosong seakan menyampaikan kata yang hanya bisa dipahami hati. Kulihat rasa takut menyelimuti jasad mereka sebelum jiwanya direnggut. Pandangan mata yang dipenuhi semangat hidup kini menyisakan ketakutan yang membekas, membuatku bergidik membayangkan apa gerangan yang dilihatnya sebelum maut menjemput. Anak-anak yang dulunya berharap akan tumbuh besar dengan aman di panti kini–T