« Ascella »
Inikah akhir dari kisahku? Kukira semua akan berakhir indah, setidaknya menjadikanku sebagai pahlawan di akhir kisah ini. Namun, apa yang kudapat? Semua harapan rasanya telah hilang dariku ketika monster itu menyambar kami dengan petir. Terdengar konyol memang. Namun, aku rasa dia tahu sesuatu. Maksudku, bagaimana dia tahu jika aku berniat ingin menyelamatkan Kakak? Itu tidak sesuai dengan kehendak makhluk-makhluk tadi, dia jelas bagian dari mereka.Kini, aku berbaring dalam sebuah lingkaran transparan. Rasanya diangkut di antara gelombang air. Perlahan aku ditenggelamkan, tapi berkat lingkaran ini aku tetap bisa bernapas. Sekelilingku dipenuhi dengan warna biru tua bercampur sedikit warna yang lebih cerah akibat efek sinar matahari dari atas. Namun, aku tidak merasakan panas maupun dingin. Seakan lingkaran–atau barangkali gelembung–ini telah melindungiku.Di sisiku berbaring Kakak. Tidak, kurasa jin itu masih ada dalam dirinya. Entah kenapa akHingga tiba malam di hari berikutnya, tiada kabar dari Tirta yang mana membuatku cemas. Apa yang dia lakukan pada Zibaq? Kenapa dia bawa Ascella juga? Satu hal yang kupikirkan yang menurutku masuk akal tapi di sisi lain cukup menakutkan bagiku. Memang benar, aku kesal kepada Zibaq yang selalu memburu aku dan adikku. Dia juga telah membunuh ibuku dan menyakiti teman-temanku, para Guardian. Sementara yang kutahu, sosok Tirta yang tampak begitu mudah menaklukkan Zibaq harusnya memberi jin itu hukuman sepantasnya. Namun, apa benar ini yang dia lakukan? Setelah beberapa tahun berlalu, rasanya janggal jika dia pergi begitu saja. Bukan mengapa, aku mengaku terganggu, tapi di sisi lain harus mendengar kisah dari sudut pandangnya. Mengapa dia melakukan semua ini? Mengapa dia menyakiti para Guardian? Apa maunya dari kami? Jika kutanya semua pada pelindungku, aku yakin mereka tidak akan memberi jawaban yang jelas."Putri mau makan?" Suara Ezekiel membuyarkan lamu
Keesokan harinya, Khidir membangunkanku. Sedikit berbeda karena yang biasanya membangunkanku selama ini adalah Mariam kalau aku tidak bangun sendiri. Entah apa yang terjadi pada Mariam, aku jadi ingin bertemu kembali dengannya."Kyara," panggilnya lagi.Aku menyahut meski mataku terasa berat. Sejak kemarin aku merasa aneh, bukan sakit maupun perasaan lain. Antara nyaman dan resah di saat yang sama. Kami memang telah berada di akhir kisah waktu ini, tapi bagaimana berikutnya? Seperti ada sesuatu yang menungguku jauh di masa depan sana. Entah apa."Ayo," bujuknya dengan nada pelan. "Kau aman sekarang, kita bisa pergi tanpa rintangan."Seperti biasa, suara para Guardian memang enak didengar, membuatmu merasa aman di sisinya. Membuat tidurku kian nyenyak saja. Aku mencoba bangun meski dunia masih tampak berputar. "Ke mana?" tanyaku malas."Danbia," jawabnya. "Adikmu menunggu."Mendengarnya, aku berjuang untuk ban
Aku habiskan sebagian waktuku dengan tidur selagi perjalanan terus berlanjut. Sayup-sayup terdengar obrolan antara Ezekiel dan Khidir yang tampak tidak akan habisnya. Kedua Guardian ini jelas sangat sering bicara sehingga keduanya kini bertemu dan menciptakan keramaian tersendiri. Aku ingat dulu, Khidir memang lebih sering bicara karena dia memang seorang pemimpin yang wajar saja kalau menjadikan mulutnya sebagai alat untuk memimpin. Bahkan di saat bersantai dia juga masih banyak bicara. Berbeda dengan sahabatnya, Idris, yang cenderung menanggapi dengan singkat tapi tidak tampak bosan mendengarnya terus bicara. Dia mungkin terlihat seperti orang yang tidak tertarik dengan obrolan Khidir, tapi aku tidak pernah melihat Idris menjauhkan pandangannya selagi temannya bicara. Dia jelas menyimak dan hanya itu yang dia lakukan sebagian waktu.Kalau Ezekiel, aku tidak yakin siapa sahabat karibnya semasa di Adrus. Dia mungkin sering bicara kepada Safir tapi Safir memang ditugask
« Ascella »Aku tidak menyangka ini akhir dari kisahku. Mengira jika waktu yang berlalu ini semakin dekat menuju hari di mana aku akan dieksekusi, seperti kakakku. Aku yakin Kakak sudah tewas. Satu-satunya anggota keluargaku, harapanku, kini telah tiada. Kini aku sendiri di lautan dalam, di negeri yang jelas tidak ingin menerimaku. Dalam kurungan ini, aku merasa seperti tahanan yang menunggu hari kematianku, di mana dia pada akhirnya akan dihabisi karena kejahatannya. Namun, aku tidak tahu pasti apa yang kuperbuat. Selama ini, aku hanya ingin menyelamatkan Kakak. Gagal, ujungnya malah dikurung dan aku yakin sebentar lagi akan menyusul Kakak di keabadian nanti.Dalam lautan ini, memang banyak pemandangan indah yang bisa dilihat melalui lubang sekecil bola mata, tapi dunia tanpa harapan rasa tiada gunanya. Aku ingin keluar dari sini, atau barangkali menghilang saja daripada menanggung beban ini. Aku mungkin bisa hidup di daratan dan memulai hidup baru, tapi tanpa
« Remi »Malam telah tiba, waktunya makan.Aku akhirnya sudah bisa membiasakan diri makan seperti mereka. Walau jadwal tidur masih sedikit berbeda.Bibi cukup pengertian dengan memberi makan di luar jadwal panti selagi menunggu urusan sosok yang akan mengadopsiku."Levi." Dia menyebut nama samaranku. "Malam ini dia akan datang. Anak panti sudah tertidur, sebaiknya saat ini juga kamu sampaikan salam perpisahan pada mereka."Semua anak panti mulai berbaris setelah makan malam usai. Aku berdiri membelakangi pintu bersama Bibi di sampingku."Terima kasih sudah menjadi temanku. Kuharap kita bisa bermain di lain waktu," ucapku tulus kepada mereka."Dadah!" Mereka melambai berbarengan disertai senyuman perpisahan.Aku membalas senyum mereka sementara Bibi mulai menuntunku ke luar panti. Dia tidak ikut keluar tapi aku telanjur melangkah lebih jauh.Di bawah sinar bulan, kulihat sosoknya berdiri di depanku. Cahaya kalungku bersinar hingga menampakkan sedik
«???»Dia terdiam selagi memandangi langit siang yang tidak kunjung membuatnya tenang. Bagaimana tidak, kabar tentang dirinya yang telah lama ditunggu belum juga datang. Tentang sosok yang selama ini diramalkan akan mengubah hidupnya menjadi lebih baik. Namun, kapan dia datang? Sudah bertahun-tahun menunggu, sosok itu belum juga terdengar kabarnya. Padahal dari ramalan, dia akan datang pada saat negerinya telah mencapai kejayaan seperti saat ini. Apa ramalan itu benar adanya? Dia ingin sekali menemui sosok yang dimaksud.Baru saja hendak beranjak dari duduknya, dia mendengar suara dari luar kamar. Itu berasal dari pelayannya yang tadinya diutus untuk membuatkan hidangan siang ini."Dia telah datang, gadis yang engkau cari."Mendengarnya, senyuman merekah di wajahnya.
« Rama »Malam itu, Mama mengajak ke suatu tempat. Di luar rumah, dunia luar yang tersembunyi. Kami hidup di sebuah tempat yang disebut sebagai panti yang diurus oleh Mama seorang. Dari merawat kami sampai mengelola panti, Mama yang mengurus. Tiada petugas lain, selain kami yang hanya membantu jikalau beliau meminta. Setiap setahun sekali, Mama akan mengumumkan jadwal 'kedewasaan' kami. Tradisi turun menurun kata dia. Kami secara bergilir akan pergi bersama Mama, melihat dunia luar untuk kali pertama dalam seumur hidup. Biasanya dari yang tertua, baru yang termuda. Tidak sekadar jalan-jalan, melainkan juga menempuh jalan hidup baru. Melangkah menuju masa depan yang samar. Malam itu, Mama mengajak ke suatu tempat. Malam itu pula, kami melepas kepergian saudara kami. *** Aku selalu penasaran akan dunia di luar panti. Kami hidup di sebuah panti. Tempat ini tidak begitu tua, tidak juga tampak baru dibangun. Hanya bangunan luas biasa dengan cat cokelat mendominasi serta lapangan
« Hara »"Mama, Mika siap dihukum." Kepulangan Mika yang mendadak membuatku termenung. Ada apa gerangan? "Apa yang Mika lakukan?" Aku bertanya. Gagal membunuh musuh bukan masalah selagi mereka selamat. Anak-anak harus tetap hidup dan menjalaninya dengan bahagia tanpa gangguan dari Pemburu Iblis. "Mika yang salah." Gadis itu menunduk, tampak menahan tangis. "Mika membiarkan Rama masuk ke tas dan menengok dunia luar." Ah, Rama. Anak itu cerdas tapi cukup bandel. Sudah berapa kali dia mencoba kabur dari sini hanya sekadar menjawab rasa penasarannya. Tiada hari tanpa laporan Rama mencoba kabur dan tidak kusangka Mika, sebagai kakaknya, bersedia membawa adiknya ke dunia luar yang penuh bahaya. Tidak seperti kakaknya yang lain, Mika justru membiarkan adiknya dalam bahaya. Tentu saja jadi masalah. Bagaimana kalau nanti anak lain mau ikut? Bakal banyak kendala, terutama anak iblis sangat khas baunya, seperti bau yang biasa dikeluarkan hewan ternak, jelas mudah diketahui. Iblis tidak b