Gill refleks melempar sesuatu ke arahnya.
Dur...!
Ledakan kecil tadi membuat kepala itu hancur lebur dan menyebar mengotori sekitar. Gill melindungiku dari kekacauan tadi hingga jaketnya ikut kotor.
Gill menatapku dengan sorot ngeri. "Gila! Apa itu?!"
"Apa-apaan?" tanyaku merujuk pada benda yang dilemparnya.
"Biasa, mainan anak-anak." Gill memamerkan bola-bola kecil mirip petasan. Seingatku, petasan tidak sampai menghancurkan sebuah kepala bahkan sampai bagiannya berpencar ke mana-mana.
"Kamu ini sebenarnya apa?" tanyaku.
"Aku Pengalih-Rupa," jelas Gill. "Yah, cukup lemah."
"Ti-tidak masalah," balasku spontan. "Kamu baru saja melindungiku dari ... Kepala."
Gill bergidik. "Aku benci kepala tanpa badan, atau badan tanpa kepala."
"Aku juga," balasku, berniat menenangkannya.
"Kepala,"
"Setan!" Gill refleks menarikku ke sisinya dan melempar petasannya.Dur! Asap mengepul menutupi pandangan, kami terbatuk beberapa saat sebelum melihat sosok di balik kabut.Gadis cantik ... Mirip dengan si kembar, hanya saja rambutnya hitam dengan sorot mata biru. Dia seperti Akram, namun versi gadis. Berdiri di depan dengan tatapan tajam. Wajahnya kini dipenuhi abu hitam bekas petasan Gill. Aku bahkan ragu jika itu benar-benar petasan."Akram!" seru gadis itu dengan geram."Kamu sendiri yang ngagetin," balas Akram. "Nih, temanku."Gadis itu mendengkus. "Ganteng tapi penakut, percuma!"Kulirik Gill, pemuda itu menatapnya tajam. Dia arahkan telunjuk padanya. "Orang waras mana yang tidak kaget? Kamu yang main hantu dan wajar aku kaget!"Gadis itu memutar bola mata dan bersedekap."Gill, ini adikku, Nisma Ferant Elzalis Wynter," jelas Akram. "Dia seorang necromancer.""Tak heran." Gill mengalihkan pandangan.
Dalam beberapa saat, musuh kami tumbang. Aku dan Gill tercegang melihatnya dengan cepat membabat habis mayat-mayat itu. Tumpukan mayat tentaranya Nisma terkapar dalam keadaan termutilasi. Aroma anyir bercampur tanah tercium jelas. Bagian tubuh dan organ berceceran, belum lagi kotoran membanjiri tanah. Jelas menyakiti hidung. Pria itu hanya berdiri memandang kami di antara jasad musuh, menyarung pedang dengan tenang. Aku mendekat. Bagaimana bisa ia membantai mayat hidup secepat itu? Kulirik tangannya, sebuah pedang penuh daging busuk, tampak sederhana namun mematikan. Warna kulit pria itu sedikit lebih gelap dari kami, sawo matang. Rambut hitam pendek dengan mata merah menyala. Ia jelas pria tertinggi yang pernah kulihat. "Ka ..." Suara Gill bahkan terdengar seperti bisikan, seakan mengenal sosok itu tapi di saat yang sama juga ragu. Dia berdiri jauh di belakang, jela
Aku mengenalnya. Salah satu antek-antek Evergreen.Tangannya menjelma jadi benda tajam merah yang menusuk dahan tadi, dengan tatapan tajam. Seringainya seolah mencengkeram jantungku.Lucius.Ya, aku masih ingat namanya. Bukanya dia berjanji tidak akan menganggu?Lucius menyeringai. "Ia mencarimu!"Gill refleks menarik kami menjauh, melesat lebih tepatnya.DUR!Dentuman bersahutan berima di telinga. Aku sempat menoleh dan melihatnya berjuang menangkap kami. Segala rintangan dilompati Gill seperti permainan anak-anak. Hanya kami berdua yang tidak tahu harus berbuat apa sementara Gill terus menjerit entah menambah kekuatan atau memberi sinyal. Pastinya, itu jeritan jiwa yang terbelenggu oleh ketakutan nan nyata."Mampus aku!" serunya sambil melompati dahan demi dahan, masih kuat memegang baju kami. "Apa jadinya kalau kalian yang trauma?!"Kami diam saja, tidak tahu harus balas apa lagi.Aku terus mengamati Luci
Kami bergegas pulang ke rumah Evergreen dan menghubungi dokter Youngfeather. Butuh waktu beberapa jam menunggunya sementara aku duduk di luar dengan gelisah. Evergreen tampak dengan senang hati mengizinkan kami menginap di rumahnya.Evergreen duduk di samping sambil menepuk bahuku. "Ia akan baik-baik saja."Aku yang telanjur takut, beringsut memeluk Gill yang duduk di sampingku sambil terisak.Michelle hanya mengelus bahuku tanpa bisa berbuat banyak."Tidak apa, Nak." Evergreen berbisik dengan lembut disertai belaian. "Semua akan baik-baik saja. Aku janji.""Ada apa tadi?" tanya Michelle. "Dimana Nemesis?""Vampir itu menghilang," jelas Evergreen. "Begitulah kata Monsieur Perrier.""Bagaimana bisa?" heran Michelle. "Dia tidak akan hilang secepat itu!""Tahan dulu, Putri!" balas Evergreen. "Biar kami yang cari untukmu. Asal kautahu, aku punya banyak anak buah. Sayang, Lucius berkhi
Aku terbangun di kasur baru pada dini hari. Kulirik sekitar, tidak ada seorang pun menemani. Lantas, aku mencoba keluar dan mencari seseorang untuk diajak mengobrol. Kemarin malam, Evergreen menyuruhku tidur di sini, walaupun aku merasa tidak nyaman lantaran ini terlalu asing. Apalagi perihal malam itu. Aku seakan tidak percaya, namun tentu tidak bisa menolak ucapan Arsene. Pintu kamar kubuka. Lantas mencari kamar Arsene untuk menjenguk. Tok! Tok! Tok! Aku hendak memanggil, tapi– "Eh?" Baru saja mengetuk, keluar wajah Dokter yang ... Berantakan. Rambutnya acak-acakan serta mata yang tampak kelelahan. "Remi?" herannya. "Dimana Pa–" Terdengar suara batuk dari belakang. Bibirku bergetar. "Pa–" Ia memotong. "Kamu tidurlah, biarkan ayahmu istirahat." Klik Ia tutup pintunya. Aku yang tidak bisa berkata-kata, hanya duduk berharap cemas di luar sambil menyandarkan tu
"Bagaimana kabar Mister Perrier?" tanya vampir itu.Kabut hitam mengikis, menyisakan dirinya yang berdiri di tengah tangga ruang bawah tanah. Ia tampak seolah baru saja keluar dari lembah kematian. Tatapannya masih dingin, padahal kami sudah saling mengenal."Membaik," balasku."Nemesis, kamu dari mana saja?" tanya Michelle."Kemarin, kami berhasil kabur dari kumpulan vampir," jawab Nemesis. "Aku berpencar. Mister Perrier yang menyelamatkan kalian, bukan?"Aku mengiakan."Aku mendapat giliran mengirim kabar ke salah satu Guardian," ujarnya. "Sebelumnya, aku disuruh memberi kabar ke Wynter.""Untuk apa?" tanyaku."Kami menyakini sesuatu dan ia tahu itu." Nemesis berpaling menghadap ruang bawah tanah, meski tidak jelas seberapa jauh kami harus menuruni tangga. "Ayo, ikut aku!"Gill terkesiap saat kami menuruni tangga. Jelas takutnya kambuh. Aku tahu ia yang tidak mau ditinggal sendirian, terpaksa menyusul meski kuden
Gill lindungi kami sementara Nemesis menangkis vampir itu sebelum menyergap. Aku dan Michelle berpegangan tangan selagi menyaksikan makhluk itu mencoba memangsa kami.Nemesis menahannya dengan kedua cakar, Gill mencoba membantu dengan memukulinya. Alhasil, satu lawan dua yang tampak berhasil. Kuanggap begitu karena lawan kami tidak sekuat yang kubayangkan. Ia tampak berusaha keras lolos dari cengkeraman Nemesis dan pukulan Gill.Buk!Dipukul.Plak!Gagal menangkis.Brak!Ditendang di bagian selangkangan.Bruk!Kali ini, ia berhasil menahan tangan Nemesis."Kamu lupa siapa dia?!" Ia tatap tajam Nemesis yang mencengkeram tangannya. "Yang kauingat hanya dua anak ini?""Aku tidak peduli siapa!" Nemesis menyahut. "Kalau mau masih hidup, jangan sakiti Putri dan Pangeran!"Makhluk itu menggeram. Ia berjuang bertahan dari cekikan Nemesis. Aku sendiri heran, bagaimana ia bisa bertahan selama itu? Kenapa
Kucengkeram erat jubah Arsene yang kukenakan, takut jika sewaktu-waktu makhluk itu kembali muncul."E–"Srak!Kami terdorong ketika sesuatu mendekat.Bayangan hitam menahannya, terperangkap. Hanya wajah yang terlihat.Arsene mundur sambil mencengkeram tanganku.Kulirik Nemesis yang berdiri di belakang lawan kami."Aku tahu Zayn dikhianati. Tapi, dengan ilusi tidak akan membuatku merasa bersalah!" balas Nemesis.Lucius berjuang membebaskan diri dengan sia-sia. Dapat kudengar setiap jeritannya disertai amarah.Nemesis membalas. "Zayn itu Guardian gagal, ia diduga membunuh dan pengguna sihir hitam.""Jadi, kauanggap semua ini hanya kebetulan?" Lucius menatap para Guardian satu per satu....Hening.Tiada yang bersuara maupun gerak."Ada di antara kalian yang bereinkarnasi jadi pencipta kami, menjadi ruh tanpa raga, Zibaq," lanjut Lucius. "Ia telah lama memerhati