"Bagaimana kabar Mister Perrier?" tanya vampir itu.
Kabut hitam mengikis, menyisakan dirinya yang berdiri di tengah tangga ruang bawah tanah. Ia tampak seolah baru saja keluar dari lembah kematian. Tatapannya masih dingin, padahal kami sudah saling mengenal.
"Membaik," balasku.
"Nemesis, kamu dari mana saja?" tanya Michelle.
"Kemarin, kami berhasil kabur dari kumpulan vampir," jawab Nemesis. "Aku berpencar. Mister Perrier yang menyelamatkan kalian, bukan?"
Aku mengiakan.
"Aku mendapat giliran mengirim kabar ke salah satu Guardian," ujarnya. "Sebelumnya, aku disuruh memberi kabar ke Wynter."
"Untuk apa?" tanyaku.
"Kami menyakini sesuatu dan ia tahu itu." Nemesis berpaling menghadap ruang bawah tanah, meski tidak jelas seberapa jauh kami harus menuruni tangga. "Ayo, ikut aku!"
Gill terkesiap saat kami menuruni tangga. Jelas takutnya kambuh. Aku tahu ia yang tidak mau ditinggal sendirian, terpaksa menyusul meski kuden
Gill lindungi kami sementara Nemesis menangkis vampir itu sebelum menyergap. Aku dan Michelle berpegangan tangan selagi menyaksikan makhluk itu mencoba memangsa kami.Nemesis menahannya dengan kedua cakar, Gill mencoba membantu dengan memukulinya. Alhasil, satu lawan dua yang tampak berhasil. Kuanggap begitu karena lawan kami tidak sekuat yang kubayangkan. Ia tampak berusaha keras lolos dari cengkeraman Nemesis dan pukulan Gill.Buk!Dipukul.Plak!Gagal menangkis.Brak!Ditendang di bagian selangkangan.Bruk!Kali ini, ia berhasil menahan tangan Nemesis."Kamu lupa siapa dia?!" Ia tatap tajam Nemesis yang mencengkeram tangannya. "Yang kauingat hanya dua anak ini?""Aku tidak peduli siapa!" Nemesis menyahut. "Kalau mau masih hidup, jangan sakiti Putri dan Pangeran!"Makhluk itu menggeram. Ia berjuang bertahan dari cekikan Nemesis. Aku sendiri heran, bagaimana ia bisa bertahan selama itu? Kenapa
Kucengkeram erat jubah Arsene yang kukenakan, takut jika sewaktu-waktu makhluk itu kembali muncul."E–"Srak!Kami terdorong ketika sesuatu mendekat.Bayangan hitam menahannya, terperangkap. Hanya wajah yang terlihat.Arsene mundur sambil mencengkeram tanganku.Kulirik Nemesis yang berdiri di belakang lawan kami."Aku tahu Zayn dikhianati. Tapi, dengan ilusi tidak akan membuatku merasa bersalah!" balas Nemesis.Lucius berjuang membebaskan diri dengan sia-sia. Dapat kudengar setiap jeritannya disertai amarah.Nemesis membalas. "Zayn itu Guardian gagal, ia diduga membunuh dan pengguna sihir hitam.""Jadi, kauanggap semua ini hanya kebetulan?" Lucius menatap para Guardian satu per satu....Hening.Tiada yang bersuara maupun gerak."Ada di antara kalian yang bereinkarnasi jadi pencipta kami, menjadi ruh tanpa raga, Zibaq," lanjut Lucius. "Ia telah lama memerhati
Bayangan hitam menyelubungi kami selagi sulur itu nyaris menusuk. Arsene terus berlari sambil mendekapku. Tangannya melindungi kepalaku, seakan memastikan agar aku tidak menoleh. Dia berhenti di luar, di antara pintu ruang bawah tanah dan tangga. Rupanya, kami masih di lantai kedua. Sedikit lagi, bisa kabur dari rumah ini. Kutatap pemandangan di belakang. Melihat keadaan mereka. Nemesis dan Gill berhasil menahan Lucius. Nemesis keluarkan cakar kukunya, tajam bagai pisau. Ia angkat cakarnya tinggi-tinggi. Krak! Nemesis tusuk jantung Lucius. Saking kerasnya hingga tangan menembus dada lawan. "Hiyaaat!" Brak! Michelle pukul leher Lucius dengan potongan kayu hingga benda itu patah. Tidak kusangka kakakku bisa seganas itu. Gill yang ngeri melepas cengkeraman. Dia beringsut mundur. W
Dia bilang Khidir? Nama itu ... Seperti tidak asing. "Um, aku Remi," balasku canggung. Aku teringat. "Khidir, tadi kami–" Khidir letakkan telunjuk di bibirnya. Aku seketika bungkam. "Kalian aman," ujarnya. "Sahabatku mengambil alih tubuh Evergreen." "Tunggu, apa?" Aku sungguh tidak percaya. "Bagaimana?" "Rencana kami hampir berhasil," kata Khidir. "Sebentar lagi, benteng Evergreen–tidak, Zibaq–runtuh dan kita bisa kabur." Aku terdiam. Selama ini, mereka berjuang masuk ke rumah Evergreen. Aku belum pernah menengok ke luar, kuharap mereka berhasil. Khidir lalu tersenyum. "Kamu tahu kenapa aku mengundangmu?" "Karena Anda mengira aku kenal?" tebakku gamblang. Si Khidir tertawa kecil. "Bisa jadi. Kamu tahu mengapa kalungmu bercahaya?"
"Gill!" Aku menemukan pemuda itu terduduk di lingkaran api tak jauh dariku, laksana bayi mungil yang ketakutan. Kami berada di ruang tamu yang terbakar, tepat di bawah kamarku. Seisi rumah tampak bagai neraka, beruntung aku masih bisa bernapas meski harus menutup hidung dengan kerah baju. "Pangeran!" Ia menyambar tanganku. "Ayo!" "Mana Papa?" tanyaku. "Nanti!" Kami berlari melewati bara api yang memenuhi rumah. Lebih tepatnya, ia yang berlari sementara aku bagaikan sapu tangan melayang udara. Hebat, Gill tidak tampak bermasalah selama melewati asap dan api saat dalam tekanan. Aku mencium bau aneh. Sensasi terbakar mulai merambat tubuh. Seakan neraka tengah memeluk. Kini, kami berada di sana, terjebak. Krak! Sebuah kayu nyaris jatuh menimpa. Gill lekas menarikku lagi. "Ayo!" serunya. Kami
"Aku Mariam," balas wanita itu dengan datar. Begitu melihat Michelle, tatapannya melunak, dia tampak tersenyum. Michelle tampak heran. "Kyara, kamu baik-baik saja?" Entah kenapa, tatapan dan suaranya jelas menunjukkan kasih sayang lagi kecemasan layaknya seorang ibu. Siapa dia? Apa hubungannya dengan Michelle? Michelle jelas bingung. "Siapa?" Mariam mengerutkan kening. "Kamu lupa siapa aku?" Michelle diam saja, masih bingung. Mariam mendengkus. "Zibaq memang brensek!" "Siapa Zibaq?" tanya Gill. Mariam memotong sebelum aku membuka mulut. "Ia penyihir, dahulu memakai raga Sakhor," jelasnya. "Ia juga yang menyatukan jiwa Khidir dan Idris ke tubuhnya hingga menjadi sosok baru." "Kamu tahu dari mana?" tanyaku polos. "Kamu ada waktu Aibarab runtuh? Ada hubungannya, 'kan?" Mariam mengi
Di depan, berdiri sebuah lubang besar hasil ledakan. Tampak dua gadis. Berambut ungu dan satunya hitam. Aku kenal keduanya. "Butuh bantuan?" Nisma menyeringai, memamerkan gelasnya. Nisma berdiri sambil menumpahkan gelas ke tanah. Seketika itu pula, sekumpulan mayat mencuat dari tanah laksana bayi yang baru saja dilahirkan. "Ayo!" Nisma memandu pasukannya. Dia rupanya menyuruh mereka menyerang beberapa makhluk tak kasat mata tadi. Aneh, mereka bisa bertarung dengan mudah. Tanpa perlu melihat wujud lawan, sudah mampu menyisir habis entah-makluk-apa yang menyerang. Dur! Dur! Dur! Bola api berjatuhan ke tanah, menciptakan ledakan kecil mengelilingi halaman berumput. Zahra melambung di udara, menciptakan ledakan baru. Aku heran, apa yang diserang? Tidak ada apa pun sejauh mata memandang selain kobaran api merah dan hitam. Aku berlari sambil mencengkeram jubah Arsene. Gill terus memegang bahuku sambil sesekali bergumam entah karena panik atau sedang berpikir. "Apa yang dia lakukan?"
Aku terima sebuah botol kecil mirip milik Mariam. Tertulis di sana ukiran aksara yang tidak kupahami. Kulirik Michelle, dia juga memegang benda yang sama."Kalian tangkap jiwa Khidir dan Idris!" titah Guardian itu. "Akan kupisahkan jiwa mereka!"Aku dan Michelle mengiakan."Thomas, jaga mereka!" titahnya."Panggil aku 'Gill!'" Ia berdiri, masih ingat dengan kata khasnya."Siapa kamu?" tanya Michelle sebelum sosok itu beranjak dari duduknya."Tirta."Ia melesat, memasuki medan pertempuran. Antara api merah dan hitam tercampur padu menciptakan halimun yang menyesakkan dada. Aku harus menahan napas berkali-kali agar tidak pusing sambil memegang erat botol ini. Menunggu."Pangeran!" Gill menahan bahuku. "Jangan mendekat!"Aku mengiakan, walau tidak sepenuhnya patuh.Kulihat sosok yang bernama Tirta itu menari