Dia bilang Khidir?
"Um, aku Remi," balasku canggung. Aku teringat. "Khidir, tadi kami–"
Khidir letakkan telunjuk di bibirnya. Aku seketika bungkam.
"Kalian aman," ujarnya. "Sahabatku mengambil alih tubuh Evergreen."
"Tunggu, apa?" Aku sungguh tidak percaya. "Bagaimana?"
"Rencana kami hampir berhasil," kata Khidir. "Sebentar lagi, benteng Evergreen–tidak, Zibaq–runtuh dan kita bisa kabur."
Aku terdiam.
Selama ini, mereka berjuang masuk ke rumah Evergreen. Aku belum pernah menengok ke luar, kuharap mereka berhasil.
Khidir lalu tersenyum. "Kamu tahu kenapa aku mengundangmu?"
"Karena Anda mengira aku kenal?" tebakku gamblang.
Si Khidir tertawa kecil. "Bisa jadi. Kamu tahu mengapa kalungmu bercahaya?"
"Gill!" Aku menemukan pemuda itu terduduk di lingkaran api tak jauh dariku, laksana bayi mungil yang ketakutan. Kami berada di ruang tamu yang terbakar, tepat di bawah kamarku. Seisi rumah tampak bagai neraka, beruntung aku masih bisa bernapas meski harus menutup hidung dengan kerah baju. "Pangeran!" Ia menyambar tanganku. "Ayo!" "Mana Papa?" tanyaku. "Nanti!" Kami berlari melewati bara api yang memenuhi rumah. Lebih tepatnya, ia yang berlari sementara aku bagaikan sapu tangan melayang udara. Hebat, Gill tidak tampak bermasalah selama melewati asap dan api saat dalam tekanan. Aku mencium bau aneh. Sensasi terbakar mulai merambat tubuh. Seakan neraka tengah memeluk. Kini, kami berada di sana, terjebak. Krak! Sebuah kayu nyaris jatuh menimpa. Gill lekas menarikku lagi. "Ayo!" serunya. Kami
"Aku Mariam," balas wanita itu dengan datar. Begitu melihat Michelle, tatapannya melunak, dia tampak tersenyum. Michelle tampak heran. "Kyara, kamu baik-baik saja?" Entah kenapa, tatapan dan suaranya jelas menunjukkan kasih sayang lagi kecemasan layaknya seorang ibu. Siapa dia? Apa hubungannya dengan Michelle? Michelle jelas bingung. "Siapa?" Mariam mengerutkan kening. "Kamu lupa siapa aku?" Michelle diam saja, masih bingung. Mariam mendengkus. "Zibaq memang brensek!" "Siapa Zibaq?" tanya Gill. Mariam memotong sebelum aku membuka mulut. "Ia penyihir, dahulu memakai raga Sakhor," jelasnya. "Ia juga yang menyatukan jiwa Khidir dan Idris ke tubuhnya hingga menjadi sosok baru." "Kamu tahu dari mana?" tanyaku polos. "Kamu ada waktu Aibarab runtuh? Ada hubungannya, 'kan?" Mariam mengi
Di depan, berdiri sebuah lubang besar hasil ledakan. Tampak dua gadis. Berambut ungu dan satunya hitam. Aku kenal keduanya. "Butuh bantuan?" Nisma menyeringai, memamerkan gelasnya. Nisma berdiri sambil menumpahkan gelas ke tanah. Seketika itu pula, sekumpulan mayat mencuat dari tanah laksana bayi yang baru saja dilahirkan. "Ayo!" Nisma memandu pasukannya. Dia rupanya menyuruh mereka menyerang beberapa makhluk tak kasat mata tadi. Aneh, mereka bisa bertarung dengan mudah. Tanpa perlu melihat wujud lawan, sudah mampu menyisir habis entah-makluk-apa yang menyerang. Dur! Dur! Dur! Bola api berjatuhan ke tanah, menciptakan ledakan kecil mengelilingi halaman berumput. Zahra melambung di udara, menciptakan ledakan baru. Aku heran, apa yang diserang? Tidak ada apa pun sejauh mata memandang selain kobaran api merah dan hitam. Aku berlari sambil mencengkeram jubah Arsene. Gill terus memegang bahuku sambil sesekali bergumam entah karena panik atau sedang berpikir. "Apa yang dia lakukan?"
Aku terima sebuah botol kecil mirip milik Mariam. Tertulis di sana ukiran aksara yang tidak kupahami. Kulirik Michelle, dia juga memegang benda yang sama."Kalian tangkap jiwa Khidir dan Idris!" titah Guardian itu. "Akan kupisahkan jiwa mereka!"Aku dan Michelle mengiakan."Thomas, jaga mereka!" titahnya."Panggil aku 'Gill!'" Ia berdiri, masih ingat dengan kata khasnya."Siapa kamu?" tanya Michelle sebelum sosok itu beranjak dari duduknya."Tirta."Ia melesat, memasuki medan pertempuran. Antara api merah dan hitam tercampur padu menciptakan halimun yang menyesakkan dada. Aku harus menahan napas berkali-kali agar tidak pusing sambil memegang erat botol ini. Menunggu."Pangeran!" Gill menahan bahuku. "Jangan mendekat!"Aku mengiakan, walau tidak sepenuhnya patuh.Kulihat sosok yang bernama Tirta itu menari
"Nah, ini kamar kalian." Pria pucat itu adalah Count Wynter, saudara tiri Idris. Tak heran mengapa ia bersedia membantu. Kendati demikian, sikapnya yang tampak keberatan itu membuatku ragu untuk percaya. Aku disuruh tidur dijaga Gill. Pemuda itu tampak tidak setakut dulu. Malah menatap tajam Count selagi sempat, seolah menantang. Kadang aku heran dengan sikap Gill yang silih berganti. "Count, terima kasih!" ucapku tulus. Gill mengiakan, tanda setuju. "Ya, ya, ya." Count berpaling lalu menutup pint
Aku terbangun.Aneh, kenapa tidak hangat seperti malam tadi?Begitu sadar, rupanya aku telah dibaringkan di kamar kemarin yang seharusnya tadi kudiami bersama Gill.Kuedarkan pandangan, terus mengedipkan mata saking beratnya. Pandanganku kian membaik, di depan tampak Gill berdiri di depan cermin sambil memakai jubah Arsene."Eh? Pangeran?" Ia melihat bayanganku rupanya."Papa dimana?" tanyaku."Bukannya masih tidur?" balas Gill. "Kamu menjenguknya tadi?"Aku pun dengan jujur menceritakan kejadian malam itu dan fakta kalau kini aku diangkatnya sebagai anaknya. Tapi, entah demi apa, aku sengaja tidak menceritakan masa lalunya. Barangkali, malam kemarin ia hanya bertutur untukku saja. Lagipula, aku yakin Gill juga tahu masa lalunya.Gill tersenyum. "Ah, kamu punya ayah sekarang.""Dan kamu dan Nemy abangku." Aku turut tersenyum. "Itu jubah Papa, ya?"Gill mengiakan. "Pinjam sebentar."Aku tid
Aku alihkan pandangan ke kasur.Khidir tengah duduk di sana, mengerutkan kening. "Kenapa tidur di lantai?"Ia terdengar bingung, barangkali juga cemas. Namun, entah kenapa aku juga merasa bersalah. Harusnya aku menyuruh Zahra tidur di kasur lain.Aku jadi tidak nyaman, langsung menunduk.Khidir lalu duduk di lantai hingga posisi mereka sejajar. Ia elus rambut ungu Zahra yang masih diam tanpa ekspresi."Tidak dingin?" tanya Khidir.Hening lama.Aku berniat menjauh, memberi mereka privasi.Terdengar isak tangis tertahan.Aku pun berpaling.Mata Zahra berkaca, bibirnya bergetar. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, dia memeluknya erat. Dapat kudengar isak tangisnya.Khidir awalnya tampak kaget. Ia kemudian mengelus rambutnya, hanya diam.Diri ini diam menyaksikan kedua ayah dan anak bertemu lagi setelah sekian lama. Lega rasanya bisa melihat mereka bersatu t
Tidak kusangka, Idris-lah yang memiliki kekuatan naga. Dengan kagum kusaksikan ia mencoba meremukkan semua yang mencoba menyerang. Sisiknya mengkilau di bawah pantulan purnama, meski harus diselubungi kabut. Kudengar Hayya terus menyemangati, dengan mata kuning berbinar. Aku tidak sanggup bersuara lagi lantaran kagum dan heran. Sekitar kami perlahan membaik. Kabut dan api hitam terkikis. Udara jadi lebih segar dan enak diirup. Aku menarik napas, paru-paru perlahan pulih dan lega. Idris berhasil menghalau sosok yang terselubungi kabut itu menjauh, hingga tidak terlihat lagi. Kami menyaksikannya semakin jauh bersamaan dengan kabutnya. Seseorang memegang bahuku. Tersibak jubah Arsene. Aku berpaling. Dum! Gill menarikku dan Hayya sebelum ekor Idris menimpa kami. Kabut kembali menyelubungi. "Ayo!" Kami lanjutkan lari, kini tidak lagi diselubungi api, melainkan kabut. Jelas menganggu penglihatan.