Aku terbangun di kasur baru pada dini hari. Kulirik sekitar, tidak ada seorang pun menemani. Lantas, aku mencoba keluar dan mencari seseorang untuk diajak mengobrol.
Kemarin malam, Evergreen menyuruhku tidur di sini, walaupun aku merasa tidak nyaman lantaran ini terlalu asing.
Apalagi perihal malam itu. Aku seakan tidak percaya, namun tentu tidak bisa menolak ucapan Arsene.
Pintu kamar kubuka. Lantas mencari kamar Arsene untuk menjenguk.
Tok! Tok! Tok!
Aku hendak memanggil, tapi–
"Eh?"
Baru saja mengetuk, keluar wajah Dokter yang ... Berantakan. Rambutnya acak-acakan serta mata yang tampak kelelahan.
"Remi?" herannya.
"Dimana Pa–"
Terdengar suara batuk dari belakang.
Bibirku bergetar. "Pa–"
Ia memotong. "Kamu tidurlah, biarkan ayahmu istirahat."
Klik
Ia tutup pintunya.
Aku yang tidak bisa berkata-kata, hanya duduk berharap cemas di luar sambil menyandarkan tu
"Bagaimana kabar Mister Perrier?" tanya vampir itu.Kabut hitam mengikis, menyisakan dirinya yang berdiri di tengah tangga ruang bawah tanah. Ia tampak seolah baru saja keluar dari lembah kematian. Tatapannya masih dingin, padahal kami sudah saling mengenal."Membaik," balasku."Nemesis, kamu dari mana saja?" tanya Michelle."Kemarin, kami berhasil kabur dari kumpulan vampir," jawab Nemesis. "Aku berpencar. Mister Perrier yang menyelamatkan kalian, bukan?"Aku mengiakan."Aku mendapat giliran mengirim kabar ke salah satu Guardian," ujarnya. "Sebelumnya, aku disuruh memberi kabar ke Wynter.""Untuk apa?" tanyaku."Kami menyakini sesuatu dan ia tahu itu." Nemesis berpaling menghadap ruang bawah tanah, meski tidak jelas seberapa jauh kami harus menuruni tangga. "Ayo, ikut aku!"Gill terkesiap saat kami menuruni tangga. Jelas takutnya kambuh. Aku tahu ia yang tidak mau ditinggal sendirian, terpaksa menyusul meski kuden
Gill lindungi kami sementara Nemesis menangkis vampir itu sebelum menyergap. Aku dan Michelle berpegangan tangan selagi menyaksikan makhluk itu mencoba memangsa kami.Nemesis menahannya dengan kedua cakar, Gill mencoba membantu dengan memukulinya. Alhasil, satu lawan dua yang tampak berhasil. Kuanggap begitu karena lawan kami tidak sekuat yang kubayangkan. Ia tampak berusaha keras lolos dari cengkeraman Nemesis dan pukulan Gill.Buk!Dipukul.Plak!Gagal menangkis.Brak!Ditendang di bagian selangkangan.Bruk!Kali ini, ia berhasil menahan tangan Nemesis."Kamu lupa siapa dia?!" Ia tatap tajam Nemesis yang mencengkeram tangannya. "Yang kauingat hanya dua anak ini?""Aku tidak peduli siapa!" Nemesis menyahut. "Kalau mau masih hidup, jangan sakiti Putri dan Pangeran!"Makhluk itu menggeram. Ia berjuang bertahan dari cekikan Nemesis. Aku sendiri heran, bagaimana ia bisa bertahan selama itu? Kenapa
Kucengkeram erat jubah Arsene yang kukenakan, takut jika sewaktu-waktu makhluk itu kembali muncul."E–"Srak!Kami terdorong ketika sesuatu mendekat.Bayangan hitam menahannya, terperangkap. Hanya wajah yang terlihat.Arsene mundur sambil mencengkeram tanganku.Kulirik Nemesis yang berdiri di belakang lawan kami."Aku tahu Zayn dikhianati. Tapi, dengan ilusi tidak akan membuatku merasa bersalah!" balas Nemesis.Lucius berjuang membebaskan diri dengan sia-sia. Dapat kudengar setiap jeritannya disertai amarah.Nemesis membalas. "Zayn itu Guardian gagal, ia diduga membunuh dan pengguna sihir hitam.""Jadi, kauanggap semua ini hanya kebetulan?" Lucius menatap para Guardian satu per satu....Hening.Tiada yang bersuara maupun gerak."Ada di antara kalian yang bereinkarnasi jadi pencipta kami, menjadi ruh tanpa raga, Zibaq," lanjut Lucius. "Ia telah lama memerhati
Bayangan hitam menyelubungi kami selagi sulur itu nyaris menusuk. Arsene terus berlari sambil mendekapku. Tangannya melindungi kepalaku, seakan memastikan agar aku tidak menoleh. Dia berhenti di luar, di antara pintu ruang bawah tanah dan tangga. Rupanya, kami masih di lantai kedua. Sedikit lagi, bisa kabur dari rumah ini. Kutatap pemandangan di belakang. Melihat keadaan mereka. Nemesis dan Gill berhasil menahan Lucius. Nemesis keluarkan cakar kukunya, tajam bagai pisau. Ia angkat cakarnya tinggi-tinggi. Krak! Nemesis tusuk jantung Lucius. Saking kerasnya hingga tangan menembus dada lawan. "Hiyaaat!" Brak! Michelle pukul leher Lucius dengan potongan kayu hingga benda itu patah. Tidak kusangka kakakku bisa seganas itu. Gill yang ngeri melepas cengkeraman. Dia beringsut mundur. W
Dia bilang Khidir? Nama itu ... Seperti tidak asing. "Um, aku Remi," balasku canggung. Aku teringat. "Khidir, tadi kami–" Khidir letakkan telunjuk di bibirnya. Aku seketika bungkam. "Kalian aman," ujarnya. "Sahabatku mengambil alih tubuh Evergreen." "Tunggu, apa?" Aku sungguh tidak percaya. "Bagaimana?" "Rencana kami hampir berhasil," kata Khidir. "Sebentar lagi, benteng Evergreen–tidak, Zibaq–runtuh dan kita bisa kabur." Aku terdiam. Selama ini, mereka berjuang masuk ke rumah Evergreen. Aku belum pernah menengok ke luar, kuharap mereka berhasil. Khidir lalu tersenyum. "Kamu tahu kenapa aku mengundangmu?" "Karena Anda mengira aku kenal?" tebakku gamblang. Si Khidir tertawa kecil. "Bisa jadi. Kamu tahu mengapa kalungmu bercahaya?"
"Gill!" Aku menemukan pemuda itu terduduk di lingkaran api tak jauh dariku, laksana bayi mungil yang ketakutan. Kami berada di ruang tamu yang terbakar, tepat di bawah kamarku. Seisi rumah tampak bagai neraka, beruntung aku masih bisa bernapas meski harus menutup hidung dengan kerah baju. "Pangeran!" Ia menyambar tanganku. "Ayo!" "Mana Papa?" tanyaku. "Nanti!" Kami berlari melewati bara api yang memenuhi rumah. Lebih tepatnya, ia yang berlari sementara aku bagaikan sapu tangan melayang udara. Hebat, Gill tidak tampak bermasalah selama melewati asap dan api saat dalam tekanan. Aku mencium bau aneh. Sensasi terbakar mulai merambat tubuh. Seakan neraka tengah memeluk. Kini, kami berada di sana, terjebak. Krak! Sebuah kayu nyaris jatuh menimpa. Gill lekas menarikku lagi. "Ayo!" serunya. Kami
"Aku Mariam," balas wanita itu dengan datar. Begitu melihat Michelle, tatapannya melunak, dia tampak tersenyum. Michelle tampak heran. "Kyara, kamu baik-baik saja?" Entah kenapa, tatapan dan suaranya jelas menunjukkan kasih sayang lagi kecemasan layaknya seorang ibu. Siapa dia? Apa hubungannya dengan Michelle? Michelle jelas bingung. "Siapa?" Mariam mengerutkan kening. "Kamu lupa siapa aku?" Michelle diam saja, masih bingung. Mariam mendengkus. "Zibaq memang brensek!" "Siapa Zibaq?" tanya Gill. Mariam memotong sebelum aku membuka mulut. "Ia penyihir, dahulu memakai raga Sakhor," jelasnya. "Ia juga yang menyatukan jiwa Khidir dan Idris ke tubuhnya hingga menjadi sosok baru." "Kamu tahu dari mana?" tanyaku polos. "Kamu ada waktu Aibarab runtuh? Ada hubungannya, 'kan?" Mariam mengi
Di depan, berdiri sebuah lubang besar hasil ledakan. Tampak dua gadis. Berambut ungu dan satunya hitam. Aku kenal keduanya. "Butuh bantuan?" Nisma menyeringai, memamerkan gelasnya. Nisma berdiri sambil menumpahkan gelas ke tanah. Seketika itu pula, sekumpulan mayat mencuat dari tanah laksana bayi yang baru saja dilahirkan. "Ayo!" Nisma memandu pasukannya. Dia rupanya menyuruh mereka menyerang beberapa makhluk tak kasat mata tadi. Aneh, mereka bisa bertarung dengan mudah. Tanpa perlu melihat wujud lawan, sudah mampu menyisir habis entah-makluk-apa yang menyerang. Dur! Dur! Dur! Bola api berjatuhan ke tanah, menciptakan ledakan kecil mengelilingi halaman berumput. Zahra melambung di udara, menciptakan ledakan baru. Aku heran, apa yang diserang? Tidak ada apa pun sejauh mata memandang selain kobaran api merah dan hitam. Aku berlari sambil mencengkeram jubah Arsene. Gill terus memegang bahuku sambil sesekali bergumam entah karena panik atau sedang berpikir. "Apa yang dia lakukan?"
Kedatangannya Elya tidak kusangka akan sepagi ini. Aku ingat kebiasaan Robert yang bangun lebih awal, barangkali mereka biasa berjanji bertemu sepagi ini. Namun, pagi ini kulihat Robert tampak mengantuk. Saat aku dititipkan di Kapel, tidak kutanyakan langsung saat itu apa yang dia kerjakan di luar sana. Sepertinya melelahkan.“Dia sedang tidur,” jawabku, tidak ada niat membangunkan Robert. Namun, aku rasa Elya bisa menunggu. Toh, gadis itu tahu pasti jadwal kerja Robert, dia biasanya juga tidak akan lama beristirahat setelah terbangun sejenak tadi. Baru hendak kutawari untuk masuk, Elya serahkan tas kecil yang melingkari pinggangnya padaku. Dia melangkah mundur. “Baik, titip pesan padanya jika nanti malam aku akan ke sini lagi.” “Kamu tidak mau menunggu?” Aku bertanya. Ingin rasanya tahu apa yang mereka berdua lakukan, kekuatan yang katanya “mengutak-atik bagian tubuh” masih tergiang dalam pikiranku. Apa gerangan yang Robert rencanakan? Apa ada kaitannya dengan cairan yang biasa dia
Membangun peradaban baru. Belum pernah terpikir jika para Guardian ingin mencapainya, tidak pula aku menduga. Kukira tujuan kami hanya bisa bertemu kembali, memulai hidup bersama seperti keluarga lainnya hingga kembali ke pelukan alam. Jika tidak akan terlahir kembali setelahnya.Elya memandangku, matanya terpaku, menunggu aku membalas, tapi aku tidak tahu jawabannya. Jika saja seorang Guardian di sini, dia pasti bisa menjawab.“Ah, Elya.” Suara tak terduga dari Frederic menyelamatkanku dari pertanyaan tadi. “Sudah lama tidak ke sini. Di mana keluargamu?”“Sedang jalan-jalan,” jawab Elya. “Kamu datang sedikit tepat waktu, aku dan Levi baru saja membahas soal kerajaan awan karena langit-langit ini.”Frederic melayangkan pandangannya pada lukisan itu. “Benarkah? Kami memilih awan karena itu mengingatkan kami akan kehidupan setelah ini,” komentarnya. “Kamu ingat sesuatu?”“Ya, Abi pernah membahas soal kerajaan di atas awan dan mengaku ingin kembali ke sana.” Elya menatapku. “Sayng sekali
Ucapan gadis itu membuatku diam. Memang para Guardian telah menjagaku dari segala bahaya. Namun, aku dan mungkin juga kakakku, Kyara, tidak tahu mengapa kami dijaga selain karena kami pewaris takhta Kerajaan Shan selama ini. Tidak seperti mereka, kami tidak ingat apa pun, hanya ikut alur yang para Guardian tuntun untuk kami.Tidak disangka ada lagi seseorang di taman. Dia berdiri di bawah naungan pohon yang jadi pusat taman, tepatnya berseberangan denganku. Rambutnya biru dengan garis-garis hitam menghiasi beberapa helai, sementara iris mata hitam, kulitnya pun sepucat anak-anak panti. Ciri-ciri anak panti yang sangat pucat membuatku ragu pada asal usul mereka. Orang Danbia memiliki kulit putih sedikit kemerahan, tak terkecuali Robert. Sementara orang Ezilis juga putih, tapi tidak sampai tampak janggal seperti anak-anak panti itu. Namun, aku belum pernah melihat gadis itu di panti dan dia tidak juga terlihat seperti orang-orang dari negeri yang kutahu.Tanganku terangkat perlahan mesk
"Pergi saja ke Kapel. Kau tidak boleh keluar dari sana sampai aku jemput." Hanya itu ucapan Robert yang aku ingat begitu waktu sekolah berakhir. Alih-alih berdiri depan sekolah bersama teman sebaya menunggu dijemput, aku langsung melangkah menuju tempat yang dia maksud. Lokasi Kapel memang tidak jauh, hanya sekitar satu jalan dari sekolahku dan itu masih berada di antara jalanan umum. Barangkali karena ini Robert membiarkanku berjalan seorang diri. Meski beberapa kesempatan–seperti Guardian lainnya–dia tidak ingin aku menjauh darinya, untuk kali ini dia mempercayakan seseorang untuk menjagaku. Kalung ini bersinar saat berada di dekat pria itu, dia pun tahu aku tanggungjawabnya. Aku teruskan langkah dengan boneka kelinci berian Arsene, untungnya tidak ada teman sekelas yang mengambilnya. Dia bisa menemaniku jika suasana Kapel ternyata begitu sunyi.Keadaan Kapel, seperti biasanya, tidak begitu ramai. Lebih terlihat beberapa orang lewat dengan pakaian yang sama seperti Frederic kenakan
"Apa?" Aku tentu heran mendengarnya. Waktu itu juga belum paham maksud dari kata "pemusnah massal" itu sendiri. Aku mulai berpikir keras akan suatu hal yang belum kupahami. Spontan saja kutanyakan persis seperti yang kupikirkan. "Pemusnah apa? Apa itu 'massal'?""Ah, lupakan, aku hanya bergurau," Ekspresi muka Robert tidak menunjukkan apa pun yang membuatnya tampak sedang bercanda, dia terlihat serius seperti biasa."Tapi, apa itu 'massal'?" Aku bersikeras ingin tahu, hati berdebar menerka maksud yang kucari.Robert berdecak pelan. "Dalam jumlah yang banyak."Aku terdiam. Kata "senjata pemusnah massal" berarti senjata yang dapat menghancurkan sesuatu dalam jumlah yang banyak. Jantungku terasa berhenti berdetak untuk sesaat. Kalimat yang baru kupelajari tadi terdengar menakutkan. "Kenapa Robert bilang begitu?" Aku protes, tidak menutupi kalau pelindungku ini memberi kesan seram sejak awal.Robert menghela napas, menggeleng pelan. "Tidak ada."Kali ini, aku mendadak jadi penasaran. Tida
"Ya, bilang saja begitu, mentang-mentang belum ada yang terbunuh." Robert mengucapkannya dengan nada mengejek. Entah mengapa tutur kata lembut dari temannya tidak mempengaruhi reaksinya. "Thomson." Dia sebut nama temannya itu dengan lembut, meski dapat kurasakan tekanan dari suaranya, tanda teguran halus. "Frederic." Robert sebut namanya seperti mendesis, menyebut nama dari temannya sekaligus membalas ucapannya barusan. Pria di depanku, yang kini akan kusebut sebagai Frederic, mempertahankan intonasi suara lembutnya. "Aku juga bertanggung jawab atas nyawanya. Percayalah, dia tidak akan menginjakkan kaki di sini." Di balik suaranya yang tenang, sorot matanya kian tajam, terus memandang ke arah Robert. Suasana kian canggung bagiku, terlebih melihat dua orang dewasa–pelindungku sendiri, kini tengah berada dalam perdebatan. Tampaknya tidak ada salah satu yang ingin mengalah, meski ada perbedaan dari cara menuturkan kata, tapi dapat kutebak masing-masing tetap ingin mempertahankan ke
Barangkali ini kebiasaan yang aku terapkan pada setiap Guardian, saat kami melangkah bersama, kupastikan kami selalu berdampingan. Namun, karena tubuh mereka lebih besar dariku, aku merasa lebih aman bernaung di bawah bayangan mereka. Seperti itulah yang aku lakukan bersama Robert saat ini. Tangan para Guardian selalu begitu besar dibandingkan punyaku, sehingga ketika bergandengan semua jariku tetap tidak sanggup meraih seluruh tangan mereka. Selagi melangkah, pandangan Robert lurus ke depan, sesekali pandangan kami bertemu tanpa reaksi, memastikan tidak terpisah barang sesaat.Langkah kami tertuju pada kapel, tempat yang bernuansa paling tenang di kota Anamsel sejauh ini, walau hanya sedikit tempat yang aku kunjungi di kota. Jumlah orang yang keluar masuk dari kapel masih terbilang sedikit, menambah kesan keheningan yang mendukung aura ketenangan yang dipancarkan. Para petugasnya ramah, apalagi mereka yang sering menerima barang berian dari Robert tadi, semua mengenakan pakaian biru
Malam itu terasa berbeda lantaran aku kini berbaring di kasur dengan Robert di sisiku. Cahaya remang dalam kamar membuat suasana hening terasa damai, meski di saat yang sama diliputi hawa dingin menusuk hingga ke tulang, membuatku menenggelamkan diri dalam selimut selagi memandang pelindungku yang entah mengapa memilih untuk membaringkan badan di atas selimut. Robert memandang langit-langit, mata cokelatnya bergerak mengamati sekeliling kamar, tenggelam dalam pikiran sejenak sebelum akhirnya bersuara."Hal pertama yang kuingat di Shan itu, saat itu aku menghadap Raja sebagai hadiah dari sang Ratu." Robert memulai ceritanya, pandangannya masih fokus memandang langit-langit. Cahaya lampu tidur yang menjadi satu-satunya penerang memantul di matanya.Tanganku masih menggenggam erat selimut, menyimak ucapannya. "Hadiah?" Terkesan aneh karena yang kutahu, hadiah itu biasa berwujud benda mati.Robert mengiakan, masih terus memandang ke atas. "Sang Ratu memberi Raja hadiah berupa aku, dengan
Bunyi keras kembali menyentak keheningan. Bersamaan dengan lantai kayu yang menampar wajahku saat kehilangan keseimbangan. Langsung saja aku terduduk, menatap sosok yang baru saja membuatku jatuh.Tangan besar itu meraih rambutku. Aku menjerit ketika terseret lagi. Sesuatu hendak memangsaku di hari pertama musim dingin ini. Aku menendang-nendang tanah, berupaya melawan meski tiada hasil.Terdengar bunyi daging terpotong, refleks membuatku terpaku, mengira serangan itu tertuju padaku. Tangan yang mencengkeram kepalaku mulai melemah. Aku terjatuh ke lantai, begitu kaki menyentuh lantai, segera aku merangkak menjauh."Pangeran!" Di saat itu juga tubuhku terasa terangkat. Tercium bau khas yang kukenal. Kumpulan aroma wangi yang berasal dari minuman maupun racikan yang selama ini menghias rumah baruku. Dia berdiri di depan, kedua tangan terulur siap meraihku. Segera aku mendekapnya agar tidak terjatuh. Jelas sudah siapa itu, dia pasti langsung keluar begitu melihat bayangan makhluk tadi.