"Jadi, nomor yang nggak aku kenal itu kamu?" Ayra bertanya untuk memastikan lagi. Ia menatap Farid tanpa berkedip.Farid mengangguk santai. "Bukannya aku bermaksud mau merusak hubungan kalian. Tapi aku kasihan sama kamu, Ra," ungkap Farid dengan tulus."Tapi kenapa kamu nggak ngaku aja sih? Aku blokir nomor kamu karena mengganggu pikiranku terus-menerus," ketus Ayra merasa kesal."Jhihh, maaf." Farid terkekeh pelan."Tapi makasih, ya? Jadi selama ini kamu paham dengan mereka?" Ayra menunjuk ke arah Reti dan Rendra yang tampak masih bercakap di tengah rooftop."Iya, aku tahu lah. Dia hamil, 'kan?" Farid mengendikkan bahu menunjuk Reti."Aku benar-benar nggak nyangka." Ayra menekan setiap suku kata. Ia enggan berada di sana terus. Lebih baik segera pergi agar kepalanya tidak bertambah pening.Hari-hari Ayra kian terasa menggelap dan sendu. Sekarang semua orang telah pergi. Ia hanya harus memperkuat diri.Gadis itu berjalan menuju kelas. Hari ini tidak ada pelajaran khusus yang diajarkan
Sebuah makam tengah dikunjungi oleh seorang gadis berseragam SMA. Gadis yang merupakan sahabat dekat dari orang yang kini telah terbaring di dalam tanah. Hanya ada satu orang di sana. Keadaan pemakaman begitu sepi.Ayra berjongkok di sebelah makam milik Fera. Kedua tangannya mengulurkan satu buket bunga yang disusun rapi dan cantik. Ia letakkan di atas gundukan tanah, dekat dengan batu nisan."Bunganya wangi, Fer. Ini bunga yang biasa kamu beli di toko itu. Makasih, ya, udah ngenalin aku ke penjaga toko bunga itu. Itu tandanya, kamu benar-benar sahabat aku yang paling baik. Kamu menganggapku sahabat spesial."Ayra menyunggingkan senyuman meskipun air matanya bergulir berjatuhan. Telapak tangannya meraba batu nisan dan mengusapnya dengan halus. "Terima kasih karena selama ini kamu sudah menjadi bagian dari hidupku. Kamu sahabat berharga yang kumiliki hingga akhirnya kamu pergi. Aku tahu kepergianmu begitu cepat. Namun aku akan belajar ikhlas, Fer.""Ternyata isi surat kamu ada benarnya
Ayra menatap layar ponsel di atas kasur hingga berjam-jam. Berharap Attar menghubunginya. Ia bahkan mengabaikan pelajaran yang seharusnya ia pelajari untuk ujian besok hari Senin. Karena besok pagi masih hari Sabtu. Jadi, Ayra merasa santai.Meskipun sudah menunggu begitu lama, kenyataannya tak ada satu kalipun Attar menghubunginya. Ia jadi ragu untuk menggagalkan pernikahan itu. Jangan-jangan Attar memang sudah mantap dengan wanita pilihannya sendiri. Apapun itu, bisakah Ayra tetap menggagalkan acara pernikahan Attar? Jika besok ia benar-benar melakukannya, apakah dirinya berdosa?"Aku harus gimana? Benarkah aku harus menggagalkan pernikahan mereka? Apa aku nggak jahat?" gumam Ayra pelan. Ia memejamkan mata dan mendadak seluruh kenangan bersama Attar di rumah itu menyeruak mengusik pikirannya. Ayra perlahan meneteskan air mata karena merindukan sosok Attar.Ayra juga sangat mengingat jelas ketika Attar menyuruhnya agar putus dengan Rendra. Mungkin sejak itulah Attar sudah tahu dan p
Ayra duduk memeluk lutut sembari mengeluarkan air mata bahagia, sedih, takut, dan rasa bersalah. Semuanya bercampur menjadi satu. Ia merasa bersalah karena telah mengganggu acara pernikahan Attar hingga dapat dipastikan pernikahan tersebut benar-benar batal sebab Attar akan datang menemuinya.Di sisi lain, Ayra merasa lega untuk egonya. Ia akan mendapatkan apa yang ia inginkan, sesuai dengan pesan dari Fera. Mungkin pesan itulah yang menuntunnya pada sebuah takdir yang selama ini tidak ada di bayangan Ayra. Membuat keberanian dirinya mengungkapkan kejujuran. Lagipula Ayra tidak bersalah karena sejak dulu Attar pernah mengatakan untuk menikah dengannya. Attar pula memiliki rasa cinta yang lebih besar untuk Ayra daripada untuk Sania.Sementara itu, Attar segera melepas jas pernikahan lalu diletakkan di kursi kosong. Matanya beredar memandang ke sekeliling. Kebetulan, di tempat itu tidak ada orang lain. Ia memakai masker dan kacamata hitam andalannya. Kemudian menyelinap keluar dari ged
"Mbak, mempelai prianya di mana, ya? Saya cari nggak ada," tanya salah satu perias pengantin kepada Sania yang masih dirias. Hampir selesai.Sania perlahan menoleh ke sumber suara dengan perasaan biasa-biasa saja. Ia mengira kalau Attar paling pergi sebentar untuk urusan kecil. "Paling ke toilet, Mbak. Tunggu aja." Sania menyahut santai. Ia membalikkan wajah menghadap cermin. Orang di sebelahnya yang bertugas meriasnya pun melanjutkan tugas finishing."Saya sudah menunggu lebih dari tiga puluh menit loh, Mbak. Saya mau nambahin make-up dia sedikit. Tapi saya sudah cari ke mana-mana nggak ada. Tanya sama orang-orang yang hadir di depan pun nggak ada," kekeh wanita berusia tiga puluh tahunan itu yang berdiri di belakang Sania.Sania membuka kedua kelopak mata. Jantungnya seolah direbut paksa dan dibawa pergi. Firasatnya mendadak tidak enak. "Sebentar, Mbak." Sania menginterupsi periasnya agar berhenti dulu merias dirinya. Ia mengambil ponsel yang berada di dalam tas tak jauh darinya.S
"Ternyata kamu udah dewasa, Ay. Nggak lihat kamu beberapa minggu aja udah gede." Attar menyadari cara Ayra berbicara layaknya orang dewasa."Hehe. Gara-gara banyak merenung nih, Pak." Ayra menjawab dengan sedikit malu.Attar menautkan jari tangannya dengan jari-jemari tangan milik Ayra. Lelaki itu menaiki tangga ingin menuju kamar Ayra. "Kamarmu di atas?""Iya, Pak." Ayra menjawab sambil mengikuti langkah pria yang berada di sebelahnya. Mereka berjalan bersamaan dengan jemari saling bertautan."Aku mau numpang tidur. Capek," ucap Attar sembari melepas dasi yang masih mengikat di lehernya. Attar merasa sedikit lelah setelah mengemudi mobil selama satu jam lebih. Selain itu, matanya juga lumayan mengantuk.Sesampainya di kamar, Attar melepaskan tautan jemari mereka. Ia lalu mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruang kamar Ayra."Kamarmu rapi banget, Ay." Kemudian mata Attar menuju meja belajar Ayra yang juga sangat rapi. "Kamu nggak belajar? Senin ujian, 'kan?""Aku lagi nggak bisa b
Ayra berjalan cepat dan berhasil menarik lengan tangan Rendra serta menghentikan langkah kaki pria tersebut. "Stop, Ren! Kamu nggak berhak urusi kehidupan orang lain!" tegasnya dengan tatapan tajam."Aku masih belum mau putus denganmu, Ra." Suara Rendra tak kalah tegas.Ayra tak mau mendengar apapun lagi dari mulut Rendra. Ia langsung menarik tangan Rendra agar mereka berjalan keluar rumah. Ayra melakukannya dengan amarah yang membumbung tinggi seperti kesetanan. Tenaga Rendra saja kalah jika dibandingkan dengan tenaganya."Lepasin aku, Ra.""Nggak! Pergi kamu dari sini, Rendra!" Ayra sudah berhasil membawa Rendra keluar pintu. Ia pun mendorong sekaligus melepaskan tangan Rendra."Jangan berani-beraninya kamu datang ke sini buat ganggu aku lagi, Ren. Apalagi sampai mengusik Pak Attar.""Ra, kamu tuh bener-bener, ya? Kamu kenapa sih? Tiba-tiba berubah gini? Bukannya dulu kamu cinta mati sama aku?" Rendra hampir menarik kembali tangan Ayra, tetapi berhasil ditepis berkali-kali oleh gadi
"Sabar, Sayang. Mungkin Attar memang bukan jodohmu. Masih ada lelaki yang lebih pantas untuk mendapatkanmu.""Tapi dia benar-benar tega mempermalukan aku, Ma. Aku malu sama teman-temanku, sama semua tamu undangan yang aku undang dari luar negeri. Semuanya berantakan!" teriak Sania masih tidak terima dengan pernikahannya yang tiba-tiba batal karena Attar entah berada di mana tidak ada yang tahu.Sania sudah berada di rumahnya. Ia enggan mencari Attar lagi karena sudah lelah. Sempat pergi ke rumahnya Attar tetapi lelaki itu tidak ada di sana. "Aaaa!" Sania berteriak histeris sembari menangis. Ibunya hanya berani berdiri di sebelah gadis itu.Sania duduk di tepi ranjang kamar miliknya. Meratapi gagalnya pernikahan pertama. Sekarang bayang-bayang sikap laku Attar bisa ia mengerti semuanya. Setelah dipikir-pikir, Attar memang tidak berniat menikah dengannya.***Setelah acara makan selesai, Attar meminta Ayra untuk kembali ke rumah Attar seperti semula. Dengan senang hati, Ayra menerima a