“Rendra.” Reti memanggil suaminya sebelum lelaki itu berangkat kuliah. Mereka belum bersalaman, tetapi Rendra malah hendak pergi begitu saja.Pemilik nama yang dipanggil itu pun berbalik badan. Dia hampir lupa pada kebiasaan istrinya yang terkadang masih belum bisa diterima. Seharusnya yang seperti ini padanya adalah Ayra, bukan Reti sebab Rendra dan Ayra pernah berjanji untuk saling menikah.Namun Rendra segera tersadar bahwa dia tidak boleh terus berlarut dalam ingatan masa lalu dirinya tentang Ayra. Ayra sudah berbahagia dengan pria lain, sedangkan dia pun harus bertanggung jawab terhadap wanita yang tengah mengandung anaknya.“Maaf, aku lupa.” Rendra membalas tatapan Reti, tepat pada netra legam wanita itu. Kemudian menyodorkan tangannya untuk bersalaman dengan sang istri. Ucapan maaf dari Rendra barusan membuat hati Reti meleleh.Senyuman tipis terpatri di wajah Reti. Dia lalu mencium punggung tangan Rendra. “Ren, aku boleh minta uang lebih nggak?” tutur Reti dengan penuh kehati-
Satu pertanyaan lagi yang membuat Reti benar-benar merasa bahwa Rendra saat ini bukanlah Rendra yang kemarin. Semenjak tadi malam, Rendra sudah terlihat berbeda.Wanita itu masih membeku dengan suara Rendra yang masih terngiang di telinganya. Beberapa detik setelahnya, Reti baru menjawab, “aku nggak benci sama kamu, Ren. Kadang aku cuma sakit hati karena perlakuanmu padaku.”“Aku ngerasa kalau aku ini suami yang buruk buat kamu dan calon ayah yang nggak pantas untuk anak kita. Aku selalu nggak bisa gimana caranya perbaiki hubungan kita karena udah terlanjur sering nyakitin kamu.” Rendra masih mendekap Reti. Dia merenungi kesalahannya selama ini. Ingin memperbaiki berulang kali meskipun selalu gagal. Kali ini, Rendra berharap dirinya bisa menjadi orang yang lebih baik lagi.“Aku ngerti keadaan kamu, kok, Ren. Kamu pasti masih syok buat jadi seorang suami sekaligus calon ayah. Dua gelar ini terlalu cepat buat kamu karena sebenarnya kamu belum siap. Aku yang salah. Aku yang lebih dulu me
“Ren, aku udah masak enak buat kamu. Aku harap kamu belum makan malam di luar.” Reti menyambut kepulangan Rendra seperti biasa, yakni pada malam hari. Dia berjalan di belakang Rendra yang baru saja masuk ke rumah.Reti melihat tas Rendra dan berinisiatif untuk membawakan benda tersebut karena sepertinya Rendra terlihat begitu lelah.“Ren, aku bawain tas kamu, ya?” ucap Reti sembari tangannya yang sudah mengambil tas di punggung Rendra.Rendra pun mendadak menghentikan langkah kakinya. Dia menoleh ke arah Reti, menatapnya dengan lekat.Embusan napas panjang pun terdengar di indra pendengaran Reti. Membuat wanita itu menjadi sedikit takut. Takut apabila tiba-tiba Rendra justru marah karena dirinya yang banyak bicara.Tatapan Rendra mengubah nyali Reti menjadi ciut. Dia pun menundukkan pandangannya dan siap menerima omelan dari sang suami. Namun yang Reti dapat justru sebaliknya.Kedua tangan Rendra menangkup bahu Reti. Kemudian dia membungkuk, menyejajarkan wajahnya dengan wanita di dep
Rendra tidak merespon apapun. Juga tidak menyingkirkan tubuh Reti. Dia hanya terdiam membiarkan wanita di sebelahnya memeluk dirinya. Tidak ada pikiran untuk menyentuh lebih.Rendra mengecup Reti sebelumnya juga hanya bermaksud agar Reti merasa lebih disayang dan lebih tenang.Pria itu mencoba mengatur napasnya supaya lebih teratur. Dia sedikit kurang nyaman karena posisinya yang tercapit tangan dan tubuh Reti. Namun Rendra tidak mau mengusik tidur istrinya yang telah lelap.“Harusnya suami istri yang udah menikah secara sah, hidup mereka akan bahagia dan saling menyayangi, saling berbagi kasih. Bisa bergurau dan tertawa. Kenapa sekarang aku justru merasa hambar? Padahal Reti pernah jadi wanita impianku.”“Apa karena aku udah dapatin apa yang dulu aku mau, makanya sekarang rasa penasaranku udah hilang, berganti jadi hambar?” Rendra mengeluhkan diri sendiri yang dirasa membingungkan atas perasaannya.Saat ini dia hanya menjalani hidup dengan mengikuti alur yang ada, dengan menjaga Reti
Setelah menjelajahi beberapa tempat wisata yang Ayra inginkan bersama Attar, mereka pun beristirahat di sebuah kedai makanan. Keduanya membeli olahan ayam beserta makanan lain untuk mengisi perut yang sudah terasa begitu lapar.Sembari menunggu pesanan datang, Ayra sibuk melihat-lihat hasil foto objek wisata yang diambil olehnya. Ada beberapa gambar dirinya dan Attar, baik sendiri-sendiri maupun foto bersama.Berulang kali Ayra tersenyum bahkan tertawa kecil saat sebagian besar hasil gambar di layar pipih itu tidak mengecewakan sama sekali.“Ahaha, lucu banget,” gumam Ayra. Jemari tangannya masih menggeser-geser layar ponsel yang tengah dipandanginya.Attar yang duduk di depan Ayra hanya menyaksikan kesenangan istrinya seharian ini. Sesekali ikut tersenyum dengan perasaan bersyukur.“Ih, fotonya Mas Attar baru sedikit banget. Di sini kebanyakan fotoku sama foto objek wisata. Mas Attar kenapa susah banget buat diajak foto, sih?” Ayra melempar tatapan kesal ke arah suaminya.Dia menatap
“Aku yakin kalau aku cuma salah lihat. Masa iya dia di sini?” Sepanjang perjalanan pulang menuju ke rumah, Reti tak hentinya memikirkan perempuan yang sempat dilihat olehnya di dalam kedai tempat dia membeli makanan tadi.Perempuan yang Reti lihat bersama dengan seorang pria itu sangat mirip dengan Ayra, masa lalu suaminya. Reti sengaja buru-buru menghindari tatapan Ayra saat itu guna menghindari kalau saja dirinya dihampiri oleh Ayra.“Tapi itu jelas-jelas Ayra. Di sini nggak mungkin ada orang yang mirip banget sama dia, apalagi wajahnya sangat khas asli Indonsesia. Tapi buat apa dia datang jauh-jauh ke sini? Bersama seorang pria juga? Pria itu siapanya dia?” Reti menggigit bibir bawahnya.Dia mulai merasa gelisah sekaligus ketakutan. Takut kalau saja itu benar bahwa yang dilihatnya di sana memang Ayra. Itu tandanya keberadaan Ayra sangat dekat dengan Rendra?Bagaimana kalau dalam waktu dekat ini mereka saling bertemu atau masing-masing berjanjian untuk bisa saling bertemu? Bagaimana
Menjelang malam, Ayra dan Attar masih berada di salah satu toserba yang tidak jauh dari penginapan keduanya. Mereka sengaja pergi ke sana karena Ayra ingin membeli beberapa kebutuhan serta camilan untuk dibawa ke dalam hotel.“Mas Attar, ini kebanyakan nggak, sih? Aku ambil jajan banyak buat makan di dalam hotel nanti malam. Malam nanti rencananya mau istirahat aja di hotel. Ternyata jalan-jalan seharian bikin aku jadi capek.” Ayra memperlihatkan troli belanjaan supaya suaminya melihat isi di dalamnya. Padahal yang sedang mendorong troli tersebut adalah Attar.Attar hanya melihat sekilas apa yang Ayra ambil dari rak barang. Menurutnya, barang-barang tersebut tidak terlalu banyak. “Masih ada lagi yang mau kamu beli?” Attar justru bertanya demikian yang membuat Ayra merasa senang.“Boleh, Mas?” tanya Ayra. Dia berharap masih bisa mengambil jajanan lagi meskipun di dalam troli masih banyak.Kepala Attar mengangguk yakin. Dia tidak pernah keberatan apabila istrinya itu menghabiskan uang u
“Mas, aku lupa beli biskuit! Aku pengin biskuit.” Ayra tiba-tiba merengek saat mereka menunggu layanan antar jemput kendaraan umum.Attar pun terlihat bingung harus masuk ke toserba lagi atau bagaimana, sedangkan barang bawaan mereka banyak.“Mas Attar nunggu di sini aja. Aku yang masuk sendirian buat nyari biskuit. Janji nggak akan lama, Mas,” kata Ayra untuk meyakinkan suaminya. “Aku juga seharusnya beli pads buat jaga-jaga kalau tiba-tiba datang bulan. Ini udah masuk ke tanggal on period.”Kepala Attar mengangguk seraya menghela napas panjang. “Ya udah sana masuk lagi. Aku nungguin kamu di sini. Jangan lama-lama,” peringatnya.“Oke, Mas. Mas Attar mau nitip sesuatu atau nggak?”“Nggak. Semuanya udah punya.”Ayra segera berbalik badan. Kemudian berjalan cepat memasuki toserba itu lagi. “Ada aja yang kurang,” gumam Ayra.Karena toserba itu lumayan besar, Ayra mekangkah lumayan jauh untuk bisa tiba di rak khusus snack. Pikirannya hanya fokus tertuju pada apa yang dia inginkan.Sesampa