“Mas, aku lupa beli biskuit! Aku pengin biskuit.” Ayra tiba-tiba merengek saat mereka menunggu layanan antar jemput kendaraan umum.Attar pun terlihat bingung harus masuk ke toserba lagi atau bagaimana, sedangkan barang bawaan mereka banyak.“Mas Attar nunggu di sini aja. Aku yang masuk sendirian buat nyari biskuit. Janji nggak akan lama, Mas,” kata Ayra untuk meyakinkan suaminya. “Aku juga seharusnya beli pads buat jaga-jaga kalau tiba-tiba datang bulan. Ini udah masuk ke tanggal on period.”Kepala Attar mengangguk seraya menghela napas panjang. “Ya udah sana masuk lagi. Aku nungguin kamu di sini. Jangan lama-lama,” peringatnya.“Oke, Mas. Mas Attar mau nitip sesuatu atau nggak?”“Nggak. Semuanya udah punya.”Ayra segera berbalik badan. Kemudian berjalan cepat memasuki toserba itu lagi. “Ada aja yang kurang,” gumam Ayra.Karena toserba itu lumayan besar, Ayra mekangkah lumayan jauh untuk bisa tiba di rak khusus snack. Pikirannya hanya fokus tertuju pada apa yang dia inginkan.Sesampa
Ayra dan Attar tiba di hotel. Mereka membongkar kantong plastik berisi barang belanjaan hari ini dan hendak diletakkan di tempat yang tersedia di dalam hotel tersebut.“Loh, Mas, kok jajannya jadi tambah banyak gini? Perasaan aku nggak ambil yang ini? Yang ini juga aku ngambil? Kenapa tiba-tiba ada?” Ayra terkejut melihat barang belanjaan mereka yang ternyata lebih banyak dari yang sebelumnya dia ambil.“Itu aku yang ambil. Aku juga mau makan snack buat nemenin kerjaan nanti.” Attar menggeser gorden untuk menutupi sebagian kaca jendela karena hari sudah menggelap.“Loh, Mas Attar kerja? Katanya libur?” tanya Ayra. Dia menatap suaminya dengan tatapan kurang percaya.“Nggak. Cuma mantau dikit aja. Kalau nggak dipantau takutnya berantakan.” Pria itu kembali ke dekat Ayra. Mereka duduk di sofa yang tersedia tak jauh dari tempat tidur.“Oh, kirain tetap kerja full. Ada-ada aja. Udah libur masih disuruh kerja. Nggak enak banget jadi orang dewasa.” Ayra mendengkus kesal.Attar hanya memaklum
Pagi itu, Reti terbangun dari tidurnya. Dia melihat Rendra sudah tidak ada di sebelahnya. Padahal, biasanya dia yang bangun lebih awal dari suaminya.Reti segera keluar dari kamar. Memasak adalah tujuan utamanya selepas bangun. Wanita tersebut pun berjalan menuju ke dapur dan dia dibuat terkejut saat mendapati Rendra ada di sana.“Ren? Kok kamu udah bangun? Terus kenapa malah jadi kamu yang masak?” ucap Reti merasa bersalah karena membiarkan suaminya memasak sendirian. Apakah dirinya yang bangunnya terlambat?Rendra menoleh dan menatap wajah Reti yang baru bangun dari tidur. “Kamu udah bangun? Duduk aja di ditu. Nggak usah ke sini,” ujarnya, mencegah Reti yang hendak mendekatinya.“Aku bantuin kamu aja.” Reti mencuci tangan di wastafel yang ada di sebelah Rendra. Dia berniat membantu suaminya memasak.Belum sempat Reti mengambil wajan untuk dipasang di atas kompor, Rendra buru-buru menghentikan aksi wanita itu. Rendra mendorong Reti sampai ke meja makan dan akhirnya Reti duduk di sana
Kotak bekal sudah siap dengan isi yang lengkap. Reti telah memasukkan beberapa lauk ke dalamnya sebagai bekal Rendra kuliah. Meskipun bukan dia yang memasak, wanita itu tetap membantu suaminya menyiapkannya.“Ren, udah aku siapin semuanya,” ucap Reti dengan wajah ceria. Kedua tangannya menenteng tas bekal lalu diberikan kepada Rendra.Laki-laki itu menerimanya dengan baik. Mereka sudah selesai sarapan dan Rendra hendak berangkat.“Aku berangkat dulu, ya?” pamitnya membuat Reti menganggukkan kepala. Seperti biasa, dia mencium punggung tangan Rendra sebelum suaminya melenggang pergi dari sana.Terkadang, Reti berharap lebih. Dia mengharapkan sentuhan yang lebih intens dari Rendra. Namun kenyataan menyadarkan dirinya bahwa laki-laki itu kemungkinan belum mencintainya dengan sepenuh hati. Jadi, tidak akan pernah bisa dipaksakan untuk melakukan sesuai apa yang dia inginkan.Reti ikut mengantarkan Rendra hingga ke ambang pintu rumah. Dia terus menatap kepergian Rendra yang semakin menjauh d
“Apa kamu bilang? Sekali-sekali?” sahut Attar tak terima. Dia menatap wajah istrinya dengan tatapan geram. “Jangan pernah coba-coba walaupun cuma sekali!” tegasnya sambil menunjuk wajah Ayra.Ayra justru memamerkan cengiran tengilnya. Merasa senang karena sudah berhasil membuat Attar marah sebab cemburu.“Aku suka ngeliat Mas Attar cemburu. Wajah seramnya nggak bikin aku takut. Malah bikin ketawa,” lontar Ayra sembari terkikik. Dia mencubit pipi Attar dengan gemas.Ayra melihat ekspresi wajah Attar yang tidak berubah. “Aku cuma bercanda aja, Mas. Hihi lucu banget suami tuaku ternyata mudah cemburu.”“Siapa yang tua? Apa kamu nggak liat kalau aku ini masih tampan rupawan?” balas Attar.“Hihi, emang Mas Attar ganteng, tapi tetap aja umurnya udah tua, wlee!” Lidah Ayra mencuat dari kedua belah bibirnya.Karena merasa bertambah gemas, Attar sontak menggelitiki wanita muda di sebelahnya itu hingga Ayra tertawa-tawa menahan geli.“Bocah nakal! Awas aja nanti malam di hotel. Bakal aku kasih
“Jangan gila kamu, Ren! Kita udah punya pasangan masing-masing!” Seketika Ayra langsung bangkit dari tempat duduknya karena terkejut dengan pengakuan Rendra. Bisa-bisanya laki-laki itu mengatakan kalau dia mencintai Ayra tanpa berpikir panjang lebih dulu?Sempat terbesit di dalam kepala Ayra memikirkan Rendra. Hanya sekilas. Namun perasaannya saat ini sudah tidak untuk Rendra lagi.“Kamu juga masih ada rasa sama aku ‘kan, Ra?” Rendra turut berdiri. Dia menatap mata Ayra dengan tatapan lekat.Napas Ayra tersenggal. Dia marah karena sikap Rendra yang seperti itu. “Cukup, Ren. Jangan pernah mengungkit-ungkit sesuatu yang udah berlalu. Udah bukan saatnya lagi kita bersikap kayak gini. Kita udah dewasa dan udah punya pilihan masing-masing. Kenapa kamu nggak bisa dengerin aku, sih?”Rendra perlahan meraih tangan Ayra. Pertama kali meraihnya, dia ditepis kasar oleh wanita itu. Kemudian Rendra tidak menyerah. Dia mencobanya lagi untuk yang ke-dua kali dengan lembut.“Ra, jangan marah-marah sa
“Mas Attar, dengerin aku, Mas. Aku sama sekali nggak janjian sama dia. Aku juga nggak tahu kalau Rendra ternyata kuliah di sana.” Ayra terus mengejar Attar yang berjalan menghindarinya.Attar benar-benar muak terhadap dua orang itu. Dulu saat Rendra hendak pergi, dia menyaksikan Rendra dan Ayra saling berpelukan. Sekarang saat keduanya bertemu di negeri orang pun masih sempat-sempatnya melakukan hal yang sama? Harus percaya pada siapa lagi Attar?Attar menghentikan langkahnya secara mendadak. “Jangan sebut namanya lagi di depanku,” ucapnya dengan suara rendah.“Aku mohon jangan bersikap kayak gini, Mas. Yang kamu lihat tadi cuma sekilas kejadian yang bikin salah paham. Kamu nggak tahu kejadian sebelumnya.” Ayra berusaha menjelaskan pada suaminya.Sayangnya, Attar terlihat tidak peduli sama sekali dengan penjelasan istrinya. Dia melanjutkan jalannya, menyusuri jalanan khusus untuk pejalan kaki. Mereka belum sampai ke hotel, masih di tengah perjalanan.Ayra pun tetap mengejar pria itu.
Attar berjongkok di depan Ayra yang duduk di atas sofa. Dia membantu mengolesi betadine ke luka yang ada di kaki Ayra dengan telaten.Semenjak beberapa detik yang lalu, Ayra menatap wajah Attar tanpa beralih. Perlahan tangannya bergerak menyentuh surai legam suaminya lalu membelainya. “Kamu masih marah sama aku, Mas? Kamu nggak percaya sama aku?” tanyanya dengan suara sedih.“Kenapa kamu diam aja waktu dia meluk kamu?” Attar bertanya balik tanpa menatap wajah Ayra.“Aku nggak bermaksud nerima pelukan dia. Aku cuma kaget sampai rasanya susah buat gerak. Apalagi saat itu kamu langsung lihat aku sama dia. Gimana aku nggak makin syok? Aku yakin Mas Attar pasti langsung salah paham.”“Mas Attar nggak tahu kalau sebelumnya aku marah dan memaki dia. Tapi dia nggak mau dengerin aku,” lanjutnya mengadu.“Besok kita pergi dari sini. Aku nggak mau kalau sampai dia nyariin kamu lagi,” ucap Attar. Kemudian setelah selesai mengobati kaki Ayra, dia mengangkat wajah untuk menatap bola mata istrinya.
Bunyi bel rumah membuat Ayra berjalan cepat menuju ke pintu untuk segera membukakannya. “Iya sebentar!” teriaknya sembari menuruni tangga. “Siapa sih, pagi-pagi gini udah ada yang datang? Kalau itu tamu kurang sopan, sih. Tapi kalau Mbok Inah nggak mungkin datang sepagi ini,” gumamnya dengan heran. Pasalnya, tidak biasanya ada orang yang datang ke rumahnya saat hari masih begitu pagi. Langit pun baru terlihat sedikit terang. Ayra meninggalkan Attar yang tadi masih rebahan di kasur. Dia meraih gagang pintu lalu membukanya. Betapa terkejut Ayra saat dia mendapati wajah seorang wanita yang berdiri di depan pintu dengan penampilan lebih menarik dibanding dirinya. Melihat wajah wanita itu, Ayra langsung menahan amarahnya yang seketika menggebu. Ada urusan apa lagi dengan wanita itu? Kendati demikian, Ayra harus belajar untuk bersabar. Dia terpaksa memasang wajah senyum. “Mbak Sania? Ada apa?” Ayra sadar bahwa semenjak mendengar kabar Sania dirawat di rumah sakit, kini sudah berlalu sel
“Coba jelasin.”“Kok kamu keliatan nggak suka gitu, Mas? Harusnya senang?”“Bu-bukannya aku nggak suka. Tapi aku kaget aja.”“Loh, kaget kenapa, Mas?” Ayra menuntut penjelasan atas reaksi suaminya yang terlihat membingungkan setelah dia menyatakan kalau Attar akan menjadi calon ayah. Seharusnya lelaki manapun akan merasa senang dan bangga mengetahui istrinya yang tengah hamil.“Maksud dari perkataanmu tadi ... kamu hamil?” tanya Attar untuk memastikan kembali.Kepala Ayra mengangguk.“Dari mana kamu tahu?”“Aku udah cek tadi sambil nungguin kamu pulang.”“Loh, tapi ‘kan aku pergi buat beli test pack. Kamu dapat alat itu dari mana?”“Makanya kalau mau apa-apa itu tanya atau bicara dulu sama istrinya. Ya aku masih nyimpen test pack lah! Aku punya stok banyak.” Ayra nyaris dibuat emosi oleh suaminya.“Oh ... jadi ... kamu beneran hamil?” Attar masih saja seperti orang linglung.“Ih! Mas Attar kok gitu reaksinya?!” teriak Ayra sambil memukul dada Attar dengan keras karena benar-benar kesa
“Ay, sampai sekarang aku merasa masih punya hutang sama dia. Aku merasa sangat bersalah. Aku merasa berdosa karena perbuatanku waktu itu. Aku harap kamu ngerti.” Attar menggigit bibir bawahnya. Menahan rasa gelisah sekaligus cemas. Takut apabila Ayra semakin marah.“Jadi ... kamu diam-diam masih mikirin dia, Mas?” Ayra mengusap air matanya yang menetes lagi, menyapu pori-pori di kulit wajahnya.Hati kecil Attar ingin sekali berteriak. Dia tidak bermaksud seperti itu. Namun dia gagal menyampaikan kepada Ayra dan wanita itu semakin salah paham terhadapnya.“Ay, kenapa kamu mikir sejauh itu?” tanya Attar sembari melangkah, mendekati Ayra. Kemudian perlahan meraih wajah Ayra dan berakhir memeluk tubuh istrinya.Tangis Ayra seketika pecah. Suaranya menggema di ruang tamu, teredam oleh dada Attar. Lelaki itu mempererat pelukannya.“Aku minta maaf. Ini salahku.”“Aku cuma takut kalau kamu diam-diam menjalin hubungan atau punya perasaan dengan wanita lain, Mas. Aku nggak mau sampai itu terjad
“Dari mana aja kamu, Mas?” tanya Ayra dengan nada dingin.Attar baru saja masuk ke rumah. Dia langsung mematung seketika mendapati istrinya berdiri tak jauh dari meja tamu, dengan posisi membelakanginya. Di sana sudah tidak ada kedua orang tuanya. Kemungkinan besar, ayah dan ibunya Attar sudah masuk ke kamar karena hari sudah berganti menjadi malam. Attar pergi selama kurang lebih dua jam.Keberanian Attar menciut. Terlebih lagi, Ayra terus memunggungi dirinya. Dapat disimpulkan bahwa wanita itu sungguh marah padanya.“Ay, aku habis—”“Siapa yang kamu bayarkan di rumah sakit?” Ayra memotong perkataan Attar dan ucapannya itu membuat sang suami menelan saliva dengan berat.Dari mana Ayra bisa tahu?Kini Ayra berbalik badan. Dia tidak mendengar jawaban dari Attar dan rasa kecewa itu terus menyelimuti hatinya hingga membuat napas Ayra terasa sesak.“Ayo jawab, Mas! Ada yang kamu sembunyiin dari aku? Jangan-jangan ada wanita lain yang diam-diam menjalin hubungan sama kamu di belakangku. Ta
“Mas? Kamu pergi? Jangan lama-lama, ya?” Ayra menyahut dari kejauhan sana.“Iya, Sayang. Nggak akan lama kok.”“Oke. Aku tunggu di rumah. Setengah jam lagi harus nyampe rumah. Daah.” Ayra mematikan panggilan secara sepihak.Sedang Attar menggigit bibir bawahnya. Perjalanan dia menuju rumah sakit terdekat saja memakan waktu sekitar dua puluh menit. Belum lagi dia harus menggunakan waktunya lagi untuk membeli makanan yang Ayra inginkan. Perjalanan pulang juga kembali memakan waktu.“Aku harus mencari cara supaya Ayra nggak marah. Atau aku harus mencari cara supaya bisa mencari alasan yang masuk akal kenapa aku bisa lama.” Attar bermonolog dalam hatinya.Attar kembali menoleh ke arah Sania. Wanita itu terlihat begitu malang. Ada apa dengan Sania? Mengapa terlihat rapuh seperti itu? Apakah terjadi sesuatu padanya?Attar mengontrol pikirannya. Itu bukan hak dan urusannya. Hanya saja, dia sedikit penasaran atas apa yang terjadi pada wanita yang ditempatkan di jok belakangnya.Dua puluh meni
“Ayra tidur?” tanya Sarah saat Attar kembali turun ke ruang tamu menemui kedua orang tuanya yang masih duduk di sana.“Iya, Bu. Badannya lagi kurang sehat. Mungkin dia sakit karena kecapekan.” Attar menjawab. Dia mengembuskan napas berat saat mengingat kalau keadaan istrinya saat ini sedang kurang baik meskipun jauh di lubuk hatinya, Attar merasa seperti ada kabar bahagia yang sebentar lagi hadir di rumah tangga mereka.“Jangan-jangan istri kamu nggak enak badan bukan cuma karena perjalanan aja? Gimana kalau ternyata Ayra sedang isi? Coba cek kehamilan,” usul Sarah yang langsung disetujui oleh suaminya.“Aku setuju banget, Bu. Attar, lebih baik sekarang kamu pergi ke apotek terdekat dan beli test pack. Nanti malam coba tes kehamilan. Ayah yakin kalau ini pertanda baik.”Attar mengalihkan perhatiannya ke wajah sang ayah. Dia belum sempat duduk dengan benar, tetapi perkataan ayahnya seakan menggugah hatinya untuk segera pergi ke suatu tempat dan mendapatkan alat kecil yang sedang dibica
“Udah, Mas. Lepasin. Aku bisa jalan sendiri,” ujar Ayra yang masih berada di gendongan depan suaminya bahkan setelah mereka baru saja tiba di dalam kamar.“Malu?”“Ya iyalah, Mas! Aku malu!” ketus wanita itu.“Tapi sekarang udah nggak ada mereka dan kita udah ada di kamar. Ngapain malu, hm?” Attar perlahan membaringkan tubuh Ayra ke atas tempat tidur. Dia membelai rambut dan wajah Ayra dengan lembut. Posisinya masih membungkuk di atas tubuh sang istri.Kedua insan itu saling bertatapan dengan tatapan yang dalam. Seakan keduanya tengah menciptakan dan menumbuhkan ulang perasaan cinta mereka yang berasal dari hati.“Mas Attar mau langsung turun lagi?” tanya Ayra dengan raut wajah sedih. Jemari tangannya bergerak mencapai pipi Attar. Kemudian menusuk-nusuk pipi Attar dengan pelan.“Kamu nggak mau ditinggal?” Attar menangkup jemari tangan Ayra yang menggelitik kulit pipinya.Kepala Ayra menggeleng. Dia memang tidak ingin ditinggal oleh suaminya karena merasa badannya sedang kurang sehat.
“Ibu tahu kalau kalian juga pasti nggak sabar ingin punya momongan, ‘kan? Ibu doakan yang terbaik buat kalian. Semoga secepatnya dikasih rejeki berupa anak. Ibu juga udah tahu kalau Attar usianya udah dewasa. Pasti ingn segera punya anak ‘kan?” sejak tadi, wanita bernama Sarah itu tiada henti membahas tentang kehamilan bahkan sampai mereka tiba di rumah.Usai turun dari mobil, Sarah masuk bersama Ayra. Sementara, Attar dan ayahnya sibuk menurunkan barang bawaan selama perjalanannya dengan sang istri.“Ayra, ayo duduk sini. Kenapa dari tadi cuma diam sama senyum aja? Atau jangan-jangan kamu sudah isi ya?” tebak Sarah sambil mendahului duduk di ruang tamu usai mereka tiba di ruang tamu.Ayra pun duduk di hadapan ibu mertuanya. Dia masih belum bisa menjawab seluruh percakapan Sarah karena masih bingung harus menjelaskan bagaimana. Ibu mertuanya sudah terlanjur sangat berharap besar akan kehamilannya, sedangkan sampai kini, Ayra belum merasakan adanya tanda-tanda kehadiran janin di dalam
Beberapa hari setelah menghabiskan waktunya selama berlibur di Jerman, kini Attar dan Ayra sudah kembali ke tanah air. Mereka pulang ke Indonesia satu hari lebih cepat dari rencana yang telah ditata sebelumnya.Kepulangan suami istri yang memiliki perbedaan umur sepuluh tahun itu di sambut oleh orang tuanya Attar di sebuah bandara di mana mereka mendarat.Karena Ayra baru bertemu dengan orang tuanya Attar saat acara pernikahan dan mereka kurang begitu akrab, wanita itu merasa malu-malu saat ketika akan bertemu kembali untuk yang ke-dua kalinya.“Aku masih malu sama orang tuamu, Mas,” ucap Ayra sambil memeluk lengan tangan Attar. Keduanya berjalan menuju ke titik penjemputan.Sementara, barang-barang mereka dibawakan oleh orang lain yang menyewakan jasa untuk membawakan barang.“Malu kenapa? Jangan malu-malu gitu. Nanti ditagih cucu, loh.” Attar merasa senang tatkala menggoda istrinya.“Ayah sama Ibu ke sini berdua aja?” tanya Ayra untuk memastikan siapa saja yang hendak dia temui nant