“Apa kamu bilang? Sekali-sekali?” sahut Attar tak terima. Dia menatap wajah istrinya dengan tatapan geram. “Jangan pernah coba-coba walaupun cuma sekali!” tegasnya sambil menunjuk wajah Ayra.Ayra justru memamerkan cengiran tengilnya. Merasa senang karena sudah berhasil membuat Attar marah sebab cemburu.“Aku suka ngeliat Mas Attar cemburu. Wajah seramnya nggak bikin aku takut. Malah bikin ketawa,” lontar Ayra sembari terkikik. Dia mencubit pipi Attar dengan gemas.Ayra melihat ekspresi wajah Attar yang tidak berubah. “Aku cuma bercanda aja, Mas. Hihi lucu banget suami tuaku ternyata mudah cemburu.”“Siapa yang tua? Apa kamu nggak liat kalau aku ini masih tampan rupawan?” balas Attar.“Hihi, emang Mas Attar ganteng, tapi tetap aja umurnya udah tua, wlee!” Lidah Ayra mencuat dari kedua belah bibirnya.Karena merasa bertambah gemas, Attar sontak menggelitiki wanita muda di sebelahnya itu hingga Ayra tertawa-tawa menahan geli.“Bocah nakal! Awas aja nanti malam di hotel. Bakal aku kasih
“Jangan gila kamu, Ren! Kita udah punya pasangan masing-masing!” Seketika Ayra langsung bangkit dari tempat duduknya karena terkejut dengan pengakuan Rendra. Bisa-bisanya laki-laki itu mengatakan kalau dia mencintai Ayra tanpa berpikir panjang lebih dulu?Sempat terbesit di dalam kepala Ayra memikirkan Rendra. Hanya sekilas. Namun perasaannya saat ini sudah tidak untuk Rendra lagi.“Kamu juga masih ada rasa sama aku ‘kan, Ra?” Rendra turut berdiri. Dia menatap mata Ayra dengan tatapan lekat.Napas Ayra tersenggal. Dia marah karena sikap Rendra yang seperti itu. “Cukup, Ren. Jangan pernah mengungkit-ungkit sesuatu yang udah berlalu. Udah bukan saatnya lagi kita bersikap kayak gini. Kita udah dewasa dan udah punya pilihan masing-masing. Kenapa kamu nggak bisa dengerin aku, sih?”Rendra perlahan meraih tangan Ayra. Pertama kali meraihnya, dia ditepis kasar oleh wanita itu. Kemudian Rendra tidak menyerah. Dia mencobanya lagi untuk yang ke-dua kali dengan lembut.“Ra, jangan marah-marah sa
“Mas Attar, dengerin aku, Mas. Aku sama sekali nggak janjian sama dia. Aku juga nggak tahu kalau Rendra ternyata kuliah di sana.” Ayra terus mengejar Attar yang berjalan menghindarinya.Attar benar-benar muak terhadap dua orang itu. Dulu saat Rendra hendak pergi, dia menyaksikan Rendra dan Ayra saling berpelukan. Sekarang saat keduanya bertemu di negeri orang pun masih sempat-sempatnya melakukan hal yang sama? Harus percaya pada siapa lagi Attar?Attar menghentikan langkahnya secara mendadak. “Jangan sebut namanya lagi di depanku,” ucapnya dengan suara rendah.“Aku mohon jangan bersikap kayak gini, Mas. Yang kamu lihat tadi cuma sekilas kejadian yang bikin salah paham. Kamu nggak tahu kejadian sebelumnya.” Ayra berusaha menjelaskan pada suaminya.Sayangnya, Attar terlihat tidak peduli sama sekali dengan penjelasan istrinya. Dia melanjutkan jalannya, menyusuri jalanan khusus untuk pejalan kaki. Mereka belum sampai ke hotel, masih di tengah perjalanan.Ayra pun tetap mengejar pria itu.
Attar berjongkok di depan Ayra yang duduk di atas sofa. Dia membantu mengolesi betadine ke luka yang ada di kaki Ayra dengan telaten.Semenjak beberapa detik yang lalu, Ayra menatap wajah Attar tanpa beralih. Perlahan tangannya bergerak menyentuh surai legam suaminya lalu membelainya. “Kamu masih marah sama aku, Mas? Kamu nggak percaya sama aku?” tanyanya dengan suara sedih.“Kenapa kamu diam aja waktu dia meluk kamu?” Attar bertanya balik tanpa menatap wajah Ayra.“Aku nggak bermaksud nerima pelukan dia. Aku cuma kaget sampai rasanya susah buat gerak. Apalagi saat itu kamu langsung lihat aku sama dia. Gimana aku nggak makin syok? Aku yakin Mas Attar pasti langsung salah paham.”“Mas Attar nggak tahu kalau sebelumnya aku marah dan memaki dia. Tapi dia nggak mau dengerin aku,” lanjutnya mengadu.“Besok kita pergi dari sini. Aku nggak mau kalau sampai dia nyariin kamu lagi,” ucap Attar. Kemudian setelah selesai mengobati kaki Ayra, dia mengangkat wajah untuk menatap bola mata istrinya.
Kepala Reti menggeleng cepat. Dia tidak dapat menerima kenyataan kalau Rendra masih saja mengintai Ayra.Di sisi lain, Rendra gundah dengan hatinya. Selama ini dia sudah berusaha untuk melupakan Ayra, tetapi sangat sulit. Pernah mencoba mencintai Reti, hal itu juga sama-sama sulit. Kemarin-kemarin Rendra sudah mulai belajar merelakan hatinya, merelakan kondisi yang dia alami. Namun semuanya luluh lantah dalam sekejab hanya karena bertemu dengan wanita masa lalunya lagi.Suara benda jatuh membuat Rendra reflek menoleh ke belakang. Dia mendapati istrinya sedang berdiri tak jauh di belakangnya. Matanya memindai ke lantai. Ternyata yang jatuh adalah ponsel milik Ayra.Rendra pun segera sadar dan paham kalau kemungkinan besar Reti barus saja mendapati dirinya sedang mengamati foto Ayra.Di sana, Reti terlihat marah. Wajahnya memerah. Dia meninggalkan ruang tamu tanpa mengatakan apapun.Rendra kembali menatap ke depan. Dia menghirup oksigen sekitar yang seakan habis, membuatnya mendadak mer
Tangan Rendra semakin erat mendekap tubuh Reti. Hatinya memohon agar wanita itu tidak meninggalkan dirinya. “Aku mohon jangan pergi. Jangan tinggalin aku,” ungkapnya.“Kamu nggak mau ditinggalin aku karena nggak ada wanita lain yang sayang sama kamu setulus aku, ‘kan? Cuma itu ketakutan kamu! Karena Ayra yang kamu cintai itu udah nggak cinta lagi sama kamu! Iya, ‘kan?!” sentak Reti sembari terus berusaha memberontak. Namun, tenaganya kian melemah saat air matanya bergulir semakin banyak.Rendra tidak bisa menjawab. Pada kenyataannya, semua yang Reti ucapkan ada benarnya. Akan tetapi, Rendra juga ingin memiliki kesempatan untuk membalas ketulusan wanita itu.Reti menyerah. Dia tidak mampu melawan Rendra yang seakan terus membelenggunya ke dalam hubungan beracun.“Terakhir kali ... aku minta kesempatan untuk yang terakhir kali. Maaf kalau aku masih aja jadi laki-laki yang buruk,” lontar Rendra.Anehnya, semakin lama, rengkuhan Rendra di tubuhnya membuat Reti merasa nyaman dan tenang. Di
Semenjak kejadian saat bersama Rendra itu, kini Attar dan Ayra sudah berpindah tempat. Mereka bahkan berpindah kota. Tidak lagi di Berlin, tetapi berada di kota Munich.Malam ini Ayra duduk di sofa kamar penginapan yang bernuansa hangat. Dia sedang fokus dengan ponselnya hanya untuk menonton hiburan musik di youtobe. Tepat di depannya, ada meja yang terdapat beberapa sisa makanan beserta camilan utuh serta minuman. Dia dan Attar baru saja menyelesaikan makan malam bersama di kamar itu.“Sayang, sini deh.” Attar yang berdiri di dekat jendela tiba-tiba memanggil Ayra. Namun, wanita yang dipanggil namanya itu terlalu asik dengan apa yang sedang dilihatnya di layar ponsel sehingga tidak menyadari kalau suaminya memanggil.Attar menoleh. Menatap wajah istrinya. Dia pun berjalan mendekat seraya menahan rasa gemasnya. Sesampainya di depan Ayra, Attar berdiri sejenak memperhatikan wanita yang saat ini sedang senyum-senyum sendiri. Tak lama kemudian, jemari tangannya bergerak menarik ujung hid
“Iya, deh. Terserah istriku. Kan emang yang wajib nyari nafkah itu aku.”“Nah, itu sadar. Nanti kalau Mas Attar nyari uang, aku juga nyari uang, yang ngabisin siapa? Hayo siapa? Kan lebih enak kalau yang kerja itu suami terus yang make uangnya istrinya. Biar istrinya makin cantik juga harus dikasih jatah lebih banyak buat perawatan. Iya ‘kan, Mas?” Ayra tak hentinya tersenyum sumringah sepanjang mengatakan itu sambil memijit punggung suaminya.“Cerewet banget kamu, Ay. Siapa yang ngajarin sih?” tanya Attar pada istri kecilnya itu. Dia merasakan otot-otot di punggungnya mulai merasa rileks sedikit demi sedikit karena tekanan jemari tangan Ayra yang sejak tadi dilakukan.“Mas Attar tadi juga cerewet,” balas Ayra.“Kapan aku cerewet?” protes Attar karena merasa sama sekali tidak benar dengan apa yang Ayra tuduhkan padanya.“Tadi.”“Eh, nggak ya?”“Iya. Mas Attar tadi juga cerewet, jangan sok nggak ingat,” kekeh Ayra.“Kapan?”“Tadi!”“Tadi kapan?”“Aku doain hilang ingatan beneran.”“Ser
Bunyi bel rumah membuat Ayra berjalan cepat menuju ke pintu untuk segera membukakannya. “Iya sebentar!” teriaknya sembari menuruni tangga. “Siapa sih, pagi-pagi gini udah ada yang datang? Kalau itu tamu kurang sopan, sih. Tapi kalau Mbok Inah nggak mungkin datang sepagi ini,” gumamnya dengan heran. Pasalnya, tidak biasanya ada orang yang datang ke rumahnya saat hari masih begitu pagi. Langit pun baru terlihat sedikit terang. Ayra meninggalkan Attar yang tadi masih rebahan di kasur. Dia meraih gagang pintu lalu membukanya. Betapa terkejut Ayra saat dia mendapati wajah seorang wanita yang berdiri di depan pintu dengan penampilan lebih menarik dibanding dirinya. Melihat wajah wanita itu, Ayra langsung menahan amarahnya yang seketika menggebu. Ada urusan apa lagi dengan wanita itu? Kendati demikian, Ayra harus belajar untuk bersabar. Dia terpaksa memasang wajah senyum. “Mbak Sania? Ada apa?” Ayra sadar bahwa semenjak mendengar kabar Sania dirawat di rumah sakit, kini sudah berlalu sel
“Coba jelasin.”“Kok kamu keliatan nggak suka gitu, Mas? Harusnya senang?”“Bu-bukannya aku nggak suka. Tapi aku kaget aja.”“Loh, kaget kenapa, Mas?” Ayra menuntut penjelasan atas reaksi suaminya yang terlihat membingungkan setelah dia menyatakan kalau Attar akan menjadi calon ayah. Seharusnya lelaki manapun akan merasa senang dan bangga mengetahui istrinya yang tengah hamil.“Maksud dari perkataanmu tadi ... kamu hamil?” tanya Attar untuk memastikan kembali.Kepala Ayra mengangguk.“Dari mana kamu tahu?”“Aku udah cek tadi sambil nungguin kamu pulang.”“Loh, tapi ‘kan aku pergi buat beli test pack. Kamu dapat alat itu dari mana?”“Makanya kalau mau apa-apa itu tanya atau bicara dulu sama istrinya. Ya aku masih nyimpen test pack lah! Aku punya stok banyak.” Ayra nyaris dibuat emosi oleh suaminya.“Oh ... jadi ... kamu beneran hamil?” Attar masih saja seperti orang linglung.“Ih! Mas Attar kok gitu reaksinya?!” teriak Ayra sambil memukul dada Attar dengan keras karena benar-benar kesa
“Ay, sampai sekarang aku merasa masih punya hutang sama dia. Aku merasa sangat bersalah. Aku merasa berdosa karena perbuatanku waktu itu. Aku harap kamu ngerti.” Attar menggigit bibir bawahnya. Menahan rasa gelisah sekaligus cemas. Takut apabila Ayra semakin marah.“Jadi ... kamu diam-diam masih mikirin dia, Mas?” Ayra mengusap air matanya yang menetes lagi, menyapu pori-pori di kulit wajahnya.Hati kecil Attar ingin sekali berteriak. Dia tidak bermaksud seperti itu. Namun dia gagal menyampaikan kepada Ayra dan wanita itu semakin salah paham terhadapnya.“Ay, kenapa kamu mikir sejauh itu?” tanya Attar sembari melangkah, mendekati Ayra. Kemudian perlahan meraih wajah Ayra dan berakhir memeluk tubuh istrinya.Tangis Ayra seketika pecah. Suaranya menggema di ruang tamu, teredam oleh dada Attar. Lelaki itu mempererat pelukannya.“Aku minta maaf. Ini salahku.”“Aku cuma takut kalau kamu diam-diam menjalin hubungan atau punya perasaan dengan wanita lain, Mas. Aku nggak mau sampai itu terjad
“Dari mana aja kamu, Mas?” tanya Ayra dengan nada dingin.Attar baru saja masuk ke rumah. Dia langsung mematung seketika mendapati istrinya berdiri tak jauh dari meja tamu, dengan posisi membelakanginya. Di sana sudah tidak ada kedua orang tuanya. Kemungkinan besar, ayah dan ibunya Attar sudah masuk ke kamar karena hari sudah berganti menjadi malam. Attar pergi selama kurang lebih dua jam.Keberanian Attar menciut. Terlebih lagi, Ayra terus memunggungi dirinya. Dapat disimpulkan bahwa wanita itu sungguh marah padanya.“Ay, aku habis—”“Siapa yang kamu bayarkan di rumah sakit?” Ayra memotong perkataan Attar dan ucapannya itu membuat sang suami menelan saliva dengan berat.Dari mana Ayra bisa tahu?Kini Ayra berbalik badan. Dia tidak mendengar jawaban dari Attar dan rasa kecewa itu terus menyelimuti hatinya hingga membuat napas Ayra terasa sesak.“Ayo jawab, Mas! Ada yang kamu sembunyiin dari aku? Jangan-jangan ada wanita lain yang diam-diam menjalin hubungan sama kamu di belakangku. Ta
“Mas? Kamu pergi? Jangan lama-lama, ya?” Ayra menyahut dari kejauhan sana.“Iya, Sayang. Nggak akan lama kok.”“Oke. Aku tunggu di rumah. Setengah jam lagi harus nyampe rumah. Daah.” Ayra mematikan panggilan secara sepihak.Sedang Attar menggigit bibir bawahnya. Perjalanan dia menuju rumah sakit terdekat saja memakan waktu sekitar dua puluh menit. Belum lagi dia harus menggunakan waktunya lagi untuk membeli makanan yang Ayra inginkan. Perjalanan pulang juga kembali memakan waktu.“Aku harus mencari cara supaya Ayra nggak marah. Atau aku harus mencari cara supaya bisa mencari alasan yang masuk akal kenapa aku bisa lama.” Attar bermonolog dalam hatinya.Attar kembali menoleh ke arah Sania. Wanita itu terlihat begitu malang. Ada apa dengan Sania? Mengapa terlihat rapuh seperti itu? Apakah terjadi sesuatu padanya?Attar mengontrol pikirannya. Itu bukan hak dan urusannya. Hanya saja, dia sedikit penasaran atas apa yang terjadi pada wanita yang ditempatkan di jok belakangnya.Dua puluh meni
“Ayra tidur?” tanya Sarah saat Attar kembali turun ke ruang tamu menemui kedua orang tuanya yang masih duduk di sana.“Iya, Bu. Badannya lagi kurang sehat. Mungkin dia sakit karena kecapekan.” Attar menjawab. Dia mengembuskan napas berat saat mengingat kalau keadaan istrinya saat ini sedang kurang baik meskipun jauh di lubuk hatinya, Attar merasa seperti ada kabar bahagia yang sebentar lagi hadir di rumah tangga mereka.“Jangan-jangan istri kamu nggak enak badan bukan cuma karena perjalanan aja? Gimana kalau ternyata Ayra sedang isi? Coba cek kehamilan,” usul Sarah yang langsung disetujui oleh suaminya.“Aku setuju banget, Bu. Attar, lebih baik sekarang kamu pergi ke apotek terdekat dan beli test pack. Nanti malam coba tes kehamilan. Ayah yakin kalau ini pertanda baik.”Attar mengalihkan perhatiannya ke wajah sang ayah. Dia belum sempat duduk dengan benar, tetapi perkataan ayahnya seakan menggugah hatinya untuk segera pergi ke suatu tempat dan mendapatkan alat kecil yang sedang dibica
“Udah, Mas. Lepasin. Aku bisa jalan sendiri,” ujar Ayra yang masih berada di gendongan depan suaminya bahkan setelah mereka baru saja tiba di dalam kamar.“Malu?”“Ya iyalah, Mas! Aku malu!” ketus wanita itu.“Tapi sekarang udah nggak ada mereka dan kita udah ada di kamar. Ngapain malu, hm?” Attar perlahan membaringkan tubuh Ayra ke atas tempat tidur. Dia membelai rambut dan wajah Ayra dengan lembut. Posisinya masih membungkuk di atas tubuh sang istri.Kedua insan itu saling bertatapan dengan tatapan yang dalam. Seakan keduanya tengah menciptakan dan menumbuhkan ulang perasaan cinta mereka yang berasal dari hati.“Mas Attar mau langsung turun lagi?” tanya Ayra dengan raut wajah sedih. Jemari tangannya bergerak mencapai pipi Attar. Kemudian menusuk-nusuk pipi Attar dengan pelan.“Kamu nggak mau ditinggal?” Attar menangkup jemari tangan Ayra yang menggelitik kulit pipinya.Kepala Ayra menggeleng. Dia memang tidak ingin ditinggal oleh suaminya karena merasa badannya sedang kurang sehat.
“Ibu tahu kalau kalian juga pasti nggak sabar ingin punya momongan, ‘kan? Ibu doakan yang terbaik buat kalian. Semoga secepatnya dikasih rejeki berupa anak. Ibu juga udah tahu kalau Attar usianya udah dewasa. Pasti ingn segera punya anak ‘kan?” sejak tadi, wanita bernama Sarah itu tiada henti membahas tentang kehamilan bahkan sampai mereka tiba di rumah.Usai turun dari mobil, Sarah masuk bersama Ayra. Sementara, Attar dan ayahnya sibuk menurunkan barang bawaan selama perjalanannya dengan sang istri.“Ayra, ayo duduk sini. Kenapa dari tadi cuma diam sama senyum aja? Atau jangan-jangan kamu sudah isi ya?” tebak Sarah sambil mendahului duduk di ruang tamu usai mereka tiba di ruang tamu.Ayra pun duduk di hadapan ibu mertuanya. Dia masih belum bisa menjawab seluruh percakapan Sarah karena masih bingung harus menjelaskan bagaimana. Ibu mertuanya sudah terlanjur sangat berharap besar akan kehamilannya, sedangkan sampai kini, Ayra belum merasakan adanya tanda-tanda kehadiran janin di dalam
Beberapa hari setelah menghabiskan waktunya selama berlibur di Jerman, kini Attar dan Ayra sudah kembali ke tanah air. Mereka pulang ke Indonesia satu hari lebih cepat dari rencana yang telah ditata sebelumnya.Kepulangan suami istri yang memiliki perbedaan umur sepuluh tahun itu di sambut oleh orang tuanya Attar di sebuah bandara di mana mereka mendarat.Karena Ayra baru bertemu dengan orang tuanya Attar saat acara pernikahan dan mereka kurang begitu akrab, wanita itu merasa malu-malu saat ketika akan bertemu kembali untuk yang ke-dua kalinya.“Aku masih malu sama orang tuamu, Mas,” ucap Ayra sambil memeluk lengan tangan Attar. Keduanya berjalan menuju ke titik penjemputan.Sementara, barang-barang mereka dibawakan oleh orang lain yang menyewakan jasa untuk membawakan barang.“Malu kenapa? Jangan malu-malu gitu. Nanti ditagih cucu, loh.” Attar merasa senang tatkala menggoda istrinya.“Ayah sama Ibu ke sini berdua aja?” tanya Ayra untuk memastikan siapa saja yang hendak dia temui nant